• Tidak ada hasil yang ditemukan

Kajian stok dan analisis ketidakpastian hasil tangkapan sumberdaya ikan pepetek (Leiognathus equulus Forskal, 1874) di perairan Teluk Jakarta

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Kajian stok dan analisis ketidakpastian hasil tangkapan sumberdaya ikan pepetek (Leiognathus equulus Forskal, 1874) di perairan Teluk Jakarta"

Copied!
180
0
0

Teks penuh

(1)

i

(Leiognathus equulus Forskal, 1874)

DI PERAIRAN TELUK JAKARTA

EKA PRATIWI

SKRIPSI

DEPARTEMEN MANAJEMEN SUMBERDAYA PERAIRAN FAKULTAS PERIKANAN DAN ILMU KELAUTAN

INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR

(2)

PERNYATAAN MENGENAI SKRIPSI DAN SUMBER

INFORMASI

Dengan ini saya menyatakan bahwa skripsi yang berjudul :

Kajian stok dan analisis ketidakpastian hasil tangkapan sumberdaya ikan

pepetek (Leiognathus equulus Forskal, 1874) di perairan Teluk Jakarta

adalah benar merupakan hasil karya sendiri dan belum diajukan dalam bentuk apapun kepada perguruan tinggi manapun. Semua sumber data dan informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam daftar pustaka di bagian akhir skripsi ini.

Bogor, Mei 2011

(3)

RINGKASAN

Eka Pratiwi. C24070032. Kajian stok dan analisis ketidakpastian hasil tangkapan sumberdaya ikan pepetek (Leiognathus equulus Forskal, 1874) di perairan Teluk Jakarta . Dibawah bimbingan Mennofatria Boer dan Achmad Fachruddin

lkan pepetek (Leiognathus equulus) termasuk kelompok ikan demersal yang mempunyai nilai ekonomis dan tersebar di seluruh wilayah perairan Indonesia, salah satunya di perairan Teluk Jakarta. Ikan pepetek merupakan hasil tangkapan sampingan yang diolah menjadi ikan asin, pakan udang dan pakan ikan. Walaupun demikian, ikan pepetek merupakan ikan tangkapan dominan yang didaratkan di TPI Cilincing. Penelitian ini bertujuan untuk mengkaji stok ikan pepetek melalui aspek biologi, seperti TKG, nisbah kelamin, hubungan panjang bobot, faktor kondisi, parameter pertumbuhan, dan laju mortalitas selain itu dianalisis juga laju eksploitasi dan analisis ketidakpastian hasil tangkapan ikan pepetek. Informasi ini merupakan masukan yang diperlukan dalam penyusunan rencana pengelolaan sumberdaya ikan pepetek yang berkelanjutan.

Pengambilan contoh ikan berlangsung mulai 23 Oktober-18 Desember 2010. di Tempat Pelelangan Ikan (TPI) Cilincing. Ikan contoh setiap 2 minggu sekali sebanyak 30-100 ekor dan dibedakan antara jantan dan betina Data primer yang dikumpulkan adalah panjang total dan bobot basah serta TKG melalui pembedahan ikan. Sedangkan data sekunder berupa hasil produksi dan harga ikan pepetek tahun 2008 sampai 2010 diperoleh dari pencatatan pelelangan TPI Cilincing.

Kelompok umur dipisahkan dengan metode NORMSEP (Normal Separation); TKG dianalisis secara morfologi; nisbah kelamin ditentukan dengan perbandingan jantan dan betina, faktor kondisi dianalisis dengan membandingkan panjang dan bobot; pertumbuhan dan mortalitas dianalisis berdasarkan frekuensi dari panjang; parameter pertumbuhan yang meliputi K (koefisien pertumbuhan) L∞ (panjang asimtotik) dan t0 (rumus teoritis ikan pada saat panjang nol) dianalisis menggunakan metode Ford Walford; laju mortalitas meliputi laju motalitas total (Z) diduga dengan kurva hasil tangkapan yang dilinearkan berbasis data panjang, mortalitas alami (M) menggunakan rumus empiris pauly, mortalitas penangkapan (F) dengan menggunakan rumus F = Z – M, sehingga diperoleh tingkat eksploitasi (E) dengan E = F/Z. Pendugaan analisis ketidakpastian menggunakan metode Monte Carlo.

(4)

pertumbuhan ikan jantan lebih besar dibandingkan ikan betina, sehingga ikan jantan lebih lama mencapai panjang asimtotik dibandingkan ikan pepetek betina. Ikan pepetek jantan memiliki laju mortaitas alami (M) sebesar 0.7519 per tahun dan mortalitas penangkapan sebesar 6.9888 per tahun, sehingga laju eksploitasi mencapai 90.29 % per tahun. Mortalitas alami Ikan pepetek betina sebesar 0.4704 per tahun dan mortalitas penangkapan sebesar 5.7851 per tahun dengan laju eksploitasi sebesar 92.48 % per tahun. Nilai laju eksploitasi ikan pepetek melebihi laju eksploitasi optimum 50 %. Berdasarkan hasil analisis, stok ikan pepetek di perairan Teluk Jakarta mengalami growth overfishing. Hasil analisis ketidakpastian menunjukkan nilai produksi ikan pepetek mengalami fluktuasi sehingga dapat dikatakan memiliki ketidakpastian tinggi, sedangkan harga dari tahun 2008-2010 relatif konstan.

Tingkat eksploitasi yang tinggi harus diimbangi dengan pengelolaan sumberdaya ikan pepetek secara berkelanjutan. Upaya pengelolaan dapat berupa mengurangi jumlah perahu motor untuk menangkap ikan pepetek, pembuatan jadwal secara bergantian dalam penangkapan ikan pepetek untuk mengurangi upaya penangkapan ikan tersebut, serta penggunaan alat tangkap yang selektif.

(5)

KAJIAN STOK DAN ANALISIS KETIDAKPASTIAN

HASIL TANGKAPAN SUMBERDAYA IKAN PEPETEK

(Leiognathus equulus Forskal, 1874)

DI PERAIRAN TELUK JAKARTA

Eka Pratiwi

C2070032

Skripsi

Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh

gelar sarjana Perikanan pada Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan

DEPARTEMEN MANAJEMEN SUMBERDAYA PERAIRAN FAKULTAS PERIKANAN DAN ILMU KELAUTAN

INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR

(6)

PENGESAHAN SKRIPSI

Judul : Kajian Stok dan Analisis Ketidakpastian Hasil Tangkapan Sumberdaya Ikan Pepetek (Leiognathus equulus Forskal, 1874) di Perairan Teluk Jakarta

Nama Mahasiswa : Eka Pratiwi

NIM : C24070032

Program Studi : Manajemen Sumberdaya Perairan

Menyetujui,

Pembimbing I Pembimbing II

Prof. Dr. Ir.Mennofatria Boer DEA Dr. Ir. H. Achmad Fachruddin M. Si NIP. 19570928 19810 3 1006 NIP. 19640327 198903 1 003

Mengetahui,

Ketua Departemen Manajemen Sumberdaya Perairan

Dr. Ir. Yusli Wardiatno, M.Sc NIP. 19660728 199103 1 002

(7)

PRAKATA

Puji dan syukur kehadirat Allah SWT yang telah memberikan karunia, rahmat dan hidayah-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi ini dengan baik. Skripsi ini berjudul “Kajian stok dan analisis ketidakpastian hasil tangkapan sumberdaya ikan pepetek (Leiognathus equulus Forskal, 1874) di perairan Teluk Jakarta”; disusun berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan di TPI Cilincing pada November 2010-Desember 2010. Hal ini merupakan syarat untuk memperoleh gelar sarjana perikanan pada Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan, Institut pertanian Bogor.

Penulis menyadari skripsi yang dibuat ini jauh dari kata sempurna dikarenakan keterbatasan pengetahuan penulis. Penulis mengharapkan hasil penelitian ini dapat berguna untuk berbagai pihak.

Bogor, Mei 2011

(8)

UCAPAN TERIMA KASIH

Pada kesempatan ini, penulis ingin mengucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada :

1. Bapak Prof. Dr. Ir. Mennofatria Boer, DEA selaku dosen pembimbing I dan Bapak Dr. Ir. Achmad Fachruddin, M.Si selaku dosen pembimbing II dan selaku dosen pembimbing akademik yang telah memberikan bimbingan, arahan, serta saran dalam pelaksanaan penelitian dan penyusunan skripsi. 2. Bapak Ir. Zairion M. Sc selaku dosen penguji tamu dan Bapak Ir. Agustinus M

Samosir, M.Phil selaku ketua komisi pendidikan atas saran serta arahannya. 3. Keluarga tercinta; Papa (Bapak Abdul Syakur), Mama (Ibu Siti Badriyah),

adik-adikku (Mimi Suhelmi, Andi Rifaldi dan A. Syarafuddin Asyirazi) atas motivasi dan dukungan.

4. Seluruh staf Tata Usaha MSP serta staf MOSI yang telah membantu memperlancar proses penelitian serta penulisan skripsi ini.

5. Seluruh Pegawai TPI Cilincing atas dukungan dan bantuannya selama penulis melaksanakan penelitian

6. Fitryanti dan Austin Efflin W. R sebagai patner, atas suka duka, perjuangan, kerjasama dan semangatnya.

(9)

RIWAYAT HIDUP

Penulis dilahirkan di Tangerang, 27 Agustus 1989 dari pasangan Bapak Abdul Syakur dan Ibu Siti Badriyah. Penulis merupakan anak pertama dari empat bersaudara. Pendidikan formal yang telah ditempuh yaitu SDN 01 Teluknaga, Kab. Tangerang. Penulis melanjutkan pendidikan formal di SMPN 01 Teluknaga, Kabupaten Tangerang. dan SMAN 6 Tangerang. Pada tahun 2007, penulis lulus seleksi masuk ke perguruan tinggi yaitu Institut Pertanian Bogor melalui jalur USMI di Departemen Manajemen Sumberdaya perairan.

Selama mengikuti perkuliahan, penulis aktif sebagai Asisten Pengkajian Stok Ikan tahun 2011. Pengurus Badan Eksekutif Mahasiswa (BEM) Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan tahun 2007-2008, Pengurus Himpunan Mahasiswa Manajemen Sumberdaya Perairan (HIMASPER) tahun 2008-2010, serta aktif mengikuti berbagai macam kepanitiaan.

(10)

DAFTAR ISI

2.5. Distribusi Frekuensi Panjang... 11

2.6. Pertumbuhan ... 11

2.7.1. Hubungan panjang bobot ... 12

2.7.2. Faktor kondisi ... 12

2.7.3. Parameter pertumbuhan ... 13

2.7. Mortalitas dan Laju Eksploitasi ... 14

2.8. Ketidakpastian Hasil Tangkapan ... 14

2.9. Pengelolaan Sumberdaya Perikanan ... 18

3. METODE PENELITIAN ... 19

3.3.3. Sebaran frekuensi panjang ... 22

3.3.4. Identifikasi kelompok umur ... 22

3.3.5. Pertumbuhan ... 23

3.3.5.1. Hubungan panjang bobot ... 23

3.3.5.2. Faktor kondisi ... 24

3.3.5.3. Parameter pertumbuhan ... 25

3.3.6. Mortalitas dan eksploitasi ... 27

(11)

3.3.7. Analisis ketidakpastian hasil tangkapan ... 28

4. HASIL DAN PEMBAHASAN ... 30

4.1. Kondisi Ikan Pepetek di Perairan Teluk Jakarta ... 30

4.2. Perairan Teluk Jakarta... 31

4.3. Nisbah Kelamin ... 32

4.4. Tingkat Kematangan Gonad ... 32

4.5. Sebaran Frekuensi Panjang ... 34

4.6. Kelompok Umur ... 36

4.7. Pertumbuhan ... 39

4.7.1. Hubungan panjang bobot ... 39

4.7.2. Faktor kondisi ... 42

4.7.3. Parameter pertumbuhan ... 43

4.8. Mortalitas dan Eksploitasi ... 46

4.9. Analisis Ketidakpastian Hasil Tangkapan ... 48

4.10. Hubungan Ketidakpastian dengan Stok ... 50

4.11. Pengelolaan Sumberdaya Ikan Pepetek di Teluk Jakarta... 51

5. KESIMPULAN DAN SARAN ... 53

5.1. Kesimpulan... 53

5.2. Saran ... 53

DAFTAR PUSTAKA... 54

(12)

DAFTAR TABEL

Halaman 1. Sumber-sumber ketidakpastian dalam perikanan ... 15 2. Alat dan bahan yang digunakan dalam penelitian beserta fungsinya ... 20 3. Penentuan TKG secara morfologi dari Cassie ... 21 4. Nisbah kelami dan proporsi kelamin pada ikan pepetek (Leiognathus

equulus) jantan di TPI Cilincing Teluk Jakarta setiap pengambilan

contoh ... . 32 5. Sebaran frekuensi panjang ikan pepetek (Leiognathus equulus) di TPI

Cilincing Teluk Jakarta ... 34 6. Sebaran kelompok umur ikan pepetek (Leiognathus equulus) jantan

di TPI Cilincing Teluk Jakarta setiap pengambilan contoh ... . 38 7. Sebaran kelompok umur ikan pepetek (Leiognathus equulus) betina

di TPI Cilincing Teluk Jakarta setiap pengambilan contoh ... . 38 8. Hubungan panjang bobot ikan pepetek (Leiognathus equulus) di TPI

Cilincing Teluk Jakarta setiap pengambilan contoh ... . 39 9. Hubungan panjang bobot ikan pepetek (Leiognathus equulus) jantan

di TPI Cilincing Teluk Jakarta setiap pengambilan contoh ... . 39 10. Hubungan panjang bobot ikan pepetek (Leiognathus equulus) betina

di TPI Cilincing Teluk Jakarta setiap pengambilan contoh ... . 39 11. Parameter pertumbuhan ikan pepetek (Leiognathus equulus) di TPI

Cilincing, Teluk Jakarta. ... 44 12. Analisis beberapa penelitian menegenai parameter pertumbuhan ikan

pepetek (Leiognathus equulus) di TPI Cilincing, Teluk Jakarta ... 45 13. Laju mortalitas dan laju eksploitasi ikan pepetek (Leiognathus

equulus) di TPI Cilincing, Teluk Jakarta ... 47 14. Nilai statistik produksi ikan pepetek periode 2008-2010 di TPI

Cilincing Teluk Jakarta ... . 49

(13)

DAFTAR GAMBAR

Halaman

1. Kerangka pemikiran penelitian pengkajian stok dan analisis

sumberdaya ikan pepetek di perairan Teluk Jakarta ... 3

2. Ikan pepetek (Leiognathus equulus) ... 5

3. Peta penyebaran ikan pepetek (Leiognathus equulus) ... 8

4. Alat penangkapan dogol ikan pepetek (Leiognathus equulus) ... 9

5. Lokasi penangkapan ikan pepetek di perairan Teluk Jakarta pada bulan Oktober 2010 - Desember 2010 ... 19

6. Produksi per jenis ikan dominan tahun 2010 di TPI Cilincing Teluk Jakarta menggunakan alat tangkap dogol ... 30

7. TKG ikan pepetek (Leiognathus equulus) jantan di TPI Cilincing, Teluk Jakarta pada bulan Oktober 2010-Desember 2010 ... 33

8. TKG ikan pepetek (Leiognathus equulus) betina di TPI Cilincing, Teluk Jakarta pada bulan Oktober 2010-Desember 2010 ... 33

9. Sebaran frekuensi panjang ikan pepetek (Leiognathus equulus) jantan maupun betina di TPI Cilincing Teluk Jakarta pada bulan Oktober 2010-Desember 2010 ... . 35

10. Frekuensi panjang ikan pepetek (Leiognathus equulus) jantan periode Oktober 2010-Desember 2010 ... 36

11. Frekuensi panjang ikan pepetek (Leiognathus equulus) betina periode Oktober 2010-Desember 2010 ... 37

12. Hubungan panjang-bobot dan hubungan logaritma panjang-logaritma bobot ikan pepetek (Leiognathus equulus) di TPI Cilincing, Teluk Jakarta pada bulan Oktober 2010-Desember 2010 ... 40

13. Hubungan panjang-bobot dan hubungan logaritma panjang-logaritma bobot ikan pepetek (Leiognathus equulus) jantan di TPI Cilincing, Teluk Jakarta pada bulan Oktober 2010-Desember 2010 ... 40

14. Hubungan panjang-bobot dan hubungan logaritma panjang-logaritma bobot ikan pepetek (Leiognathus equulus) betina di TPI Cilincing, Teluk Jakarta pada bulan Oktober 2010-Desember 2010 ... 41

15. Faktor kondisi ikan Hubungan panjang-bobot dan hubungan logaritma panjang-logaritma bobot ikan pepetek (Leiognathus equulus) di TPI Cilincing, Teluk Jakarta pada bulan Oktober 2010-Desember 2010 ... 43

16. Kurva pertumbuhan Von Bartalanffy ikan pepetek (Leiognathus equulus) di TPI Cilincing, Teluk Jakarta ... 44

(14)

17. Kurva hasil tangkapan yang dilinearkan berbasis panjang ikan pepetek

(Leiognathus equulus) di TPI Cilincing, Teluk Jakarta ... 46 18. Grafik produksi ikan pepetek yang didaratkan di TPI Cilincing

Perairan Teluk Jakarta periode 2008-2010 ... 48 19. Diagram frekuensi volume produksi ikan pepetek periode 2008-2010

(15)

DAFTAR LAMPIRAN

Halaman

1. Alat dan bahan yang digunakan selama melakukan penelitian di TPI

Cilincing Teluk Jakarta ... 58 2. Panjang total dan bobot ikan pepetek (Leiognathus equulus) di TPI

Cilincing, Telik Jakarta setiap pengambilan contoh... ... 59 3. Uji t nilai b hubungan panjang bobot ikan pepetek (Leiognathus

equulus)di TPI Cilincing, Teluk Jakarta pada 6 November 2010... ... 64 4. Uji t nilai b hubungan panjang bobot ikan pepetek (Leiognathus

equulus)di TPI Cilincing, Teluk Jakarta pada 20 November 2010... 66 5. Uji t nilai b hubungan panjang bobot ikan pepetek (Leiognathus

equulus)di TPI Cilincing, Teluk Jakarta pada 4 Desember 2010... ... 68 6. Uji t nilai b hubungan panjang bobot ikan pepetek (Leiognathus

equulus)di TPI Cilincing, Teluk Jakarta pada 18 Desember 2010... ... 70 7. Uji t nilai b hubungan panjang bobot ikan pepetek (Leiognathus 10. Tampilan NORMSEP dengan menggunakan FISAT untuk ikan

pepetek (Leiognathus equulus) jantan di TPI Cilincing, Teluk Jakarta .. 77 11. Tampilan NORMSEP dengan menggunakan FISAT untuk ikan

pepetek (Leiognathus equulus) betina di TPI Cilincing, Teluk Jakarta .. 79 12. Data sekunder produksi ikan pepetek (Leiognathus equulus) di TPI

Cilincing, Teluk Jakarta Periode 2008-2010 ... 81

(16)

1

1.1. Latarbelakang

Potensi perikanan laut meliputi perikanan tangkap, budidaya laut, dan industri bioteknologi kelautan merupakan asset bagi pertumbuhan ekonomi bangsa Indonesia. Luas perairan lautan Indonesia sekitar 5,8 juta km2 memiliki potensi sumberdaya ikan diperkirakan sebanyak 6,26 juta ton per tahun. Dari jumlah tersebut sebanyak 4,4 juta ton dapat ditangkap di perairan Indonesia dan 1,86 juta ton dapat diperoleh dari Zonasi Ekonomi Eksklusif Indonesia (ZEEI). Sampai tahun 1999, potensi pemanfaatan sumberdaya ikan tersebut baru dimanfaatkan sebesar 76 % dengan tingkat produksi sebesar 3,82 juta ton (Dahuri et al 2001).

Pemanfaatan sumberdaya perikanan pepetek harus dilakukan secara rasional agar sumberdaya ikan pepetek tetap lestari. Menurut Undang-Undang Perikanan Nomor 45 tahun 2009 bahwa pengelolaan perikanan dilakukan untuk tercapainya manfaat yang optimal dan berkelanjutan serta terjaminnya kelestarian sumberdaya ikan. Pemanfaatan tersebut memerlukan pengkajian secara menyeluruh terhadap ikan pepetek meliputi aspek biologi, aspek ekonomi, aspek ekologi dan aspek sosial. Aspek biologi ikan yang dikaji berupa dinamika yang terjadi pada stok sumberdaya ikan yang di eksploitasi.

(17)

penelitian mengenai stok sumberdaya ikan pepetek sangat penting dilakukan Teluk Jakarta meliputi pertumbuhan, rekuitmen, mortalitas alami, dan mortalitas penangkapan serta analisis ketidakpastian hasil tangkapan dan harga ikan pepetek di Teluk Jakarta.

1.2. Perumusan Masalah

Penangkapan ikan pepetek terus menerus tanpa mempertimbangkan kelestarian sumberdaya pepetek mengakibatkan mengalami penurunan stok ikan tersebut di perairan Teluk Jakarta. Eksploitasi atas sumberdaya perikanan yang bersifat open access semakin marak sehingga mendorong timbulnya berbagai upaya dalam pengelolaan perikanan perikanan yang berkelanjutan.

Semakin kecil ukuran panjang ikan yang tertangkap diduga stok ikan mengalami eksploitasi, sehingga memerlukan suatu pengelolaan yang tepat. Kondisi aktual stok sumberdaya ikan dipengaruhi oleh pertumbuhan, rekruiment, mortalitas alami dan penangkapan. Informasi panjang dan bobot ikan pepetek dapat berguna dalam upaya meningkatkan produksi perikanan ikan pepetek, maka diperlukan kajian tentang penyebaran kelompok umur berdasarkan analisis frekuensi panjang, hubungan panjang dan bobot ikan pepetek. Hal tersebut dapat menyebabkan fluktuasi produksi sehingga terjadi ketidakpastian produksi ikan pepetek di perairan Teluk Jakarta. Penelitian mengenai kajian stok dan analisis ketidakpastian hasil tangkapan sumberdaya ikan pepetek (Leiognathus equulus) yang mengkaji tentang pertumbuhan, penyebaran kelompok umur, laju mortalitas dan eksploitasi serta analisis ketidakpastian hasil tangkapan ikan pepetek berguna dalam pengelolaan perikanan yang berkelanjutan.

(18)

serta analisis ketidakpastian ikan pepetek tersebut sehingga dapat merencanakan suatu pengelolaan yang berkelanjutan.

Gambar 1. Kerangka pemikiran penelitian pengkajian stok dan analisis sumberdaya ikan pepetek di perairan Teluk Jakarta

1.3. Tujuan

Tujuan penelitian ini adalah :

1) Menduga pertumbuhan ikan pepetek di Teluk Jakarta

2) Menduga laju mortalitas dan laju eksploitasi ikan pepetek di Teluk Jakarta 3) Mengkaji ketidakpastian hasil tangkapan sumberdaya ikan pepetek di

Teluk Jakarta

(19)

1.4. Manfaat

(20)

2.

TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Ikan Pepetek

2.1.1. Klasifikasi dan morfologi

Berdasarkan Allen (2000) dan www.fishbase.org (2010) Klasifikasi ikan pepetek (Gambar 2) adalah sebagai berikut:

Kingdom : Animalia

Filum : Chordata

Subfilum :Vertebrata

Kelas : Pisces

Subkelas : Teleostei

Ordo : Perchomorphi

Subordo : Perciformes Famili : Leiognathidae Genus : Leiognathus

Spesies : Leiognathus equulus, Forskal, 1874 Nama Indonesia : Peperek topang

Nama lokal : Peperek (Jakarta), pepetek (Jakarta), petek Nama FAO/ umum : Common ponyfish

(21)

Ikan pepetek (Leiognathus equulus) memiliki ukuran panjang maksimal 24 cm. Ikan pepetek biasa hidup di dasar perairan dengan suhu perairan antara 26-29 0C serta dapat ditemukan juga di daerah estuari. Badan keperak-perakan, batang ekor dengan pelana coklat kecil, sirip dubur kekuningan, sirip punggung transparan, telanjang kepala dengan tulang belakang nuchal serta mulut menunjuk ke bawah (Allen 2000).

Fungsi ekonomis ikan pepetek dirasakan tidak lebih penting daripada fungsi ekologisnya. Ikan petek kurang diminati dalam bentuk segar sehingga lebih banyak dipasarkan dalam bentuk asin kering dan rebus. Ikan yang termasuk dalam famili Leiognathidae ini merupakan salah satu jenis ikan hasil tangkap sampingan yang dominan tertangkap. Ikan ini memiliki nilai cukup ekonomis sehingga nelayan cenderung mengeksploitasi ikan ini dalam jumlah besar.

Secara alami ikan pepetek memiliki tingkat pertumbuhan dan rekruitmen yang relatif tinggi (Saadah 2000), namun tingkat kematian alami ikan ini cukup tinggi (Pauly 1971 in Saadah 2000). Badrudin et. al. (1998) in Saadah (2000) mengatakan bahwa ikan pepetek memiliki daya tahan sangat rendah terhadap penangkapan. Hal ini disebabkan oleh ruaya yang tidak terlalu jauh dan aktivitas gerak relatif rendah. Mortalitas ikan pepetek akibat penangkapan akan meningkat dua kali lebih besar apabila intensitas penangkapan ditingkatkan dua kali. Berikut ini ciri-ciri ikan pepetek spesies lain:

a. Leiognathus elonganthus

Leiognathus elonganthus memiliki badan yang ramping dan sedikit pipih, kepala panjang ke depan, tetapi bagian pipi dan dada ditutup sisik-sisik kecil, terdapat munchal spine. Mulut dapat disembulkan ke bawah, warna lebih keperak-perakan bagian belakang dengan warna hitam gelap, sirip punggung memiliki warna kuning membentuk pita mendatar. Ikan jantan memiliki garis-garis biru membujur perut (www.fishbase.org 2011).

b. Leiognathus splendens

(22)

sirip hingga sirip ekor. berwarna kuning cerah pada sirip dubur (www.fishbase.org 2011).

c. Leiognathus daura

Ikan Leioghnathus daura umumnya memiliki panjang maksimal 14 cm, tetapi pada umumnya memiliki panjang 9 cm. Ikan pepetek ini memiliki 8 duri punggung, 16 duri lunak punggung, 16 duri anal, dan 14 duri lunak anal. Badan ikan spesies ini bewarna silver, punggung berwarna agak kehijau-hijauan, kepala dengan nuchal, dan mulut dapat disembulkan ke bawah. Ikan ini biasanya ditemukan di perairan dangkal, terutama atas dasar berlumpur. Makanan untuk ikan pepetek ini adalah polychaeta, bivalva, krustacea kecil, dan sponge (www.fishbase.org 2011).

d. Leiognathus aureus

Ikan pepetek jenis leioghnathus aureus memiliki panjang maksimal 10 cm tetapi banyak ditemukan dengan panjang 6 cm dan hidup pada daerah perairan damersal dengan kedalaman 70-140 m. Ikan pepetek ini memiliki 8 duri punggung, 16 duri lunak punggung, 3 duri anal, dan 14 duri lunak anal, serta 24 tulang belakang. Mulut menonjol keluar tidak dapat disembulkan, garis hitam antara margin anteroventral mata dan artikulasi rendah ketika mulut tertutup, garis rusuk lengkap, dan tubuh agak ramping . Keperakan atas setengah dengan bercak abu-abu - coklat yang tidak teratur. Habitat ikan di sekitar pantai dan biasanya ditangkap menggunakan trawl (www.fishbase.org 2011).

e. Leiognathus blochii

(23)

f. Leiognathus brevirostis

Ikan ini sering ditemukan dengan panjang 11 cm dan memiliki panjang maksimum 13.5 cm. Ikan pepetek ini memiliki 8 duri punggung, 16 duri lunak punggung, 3 duri anal, dan 14 duri lunak anal. Badan keperakan; spesimen hidup atau segar dengan kilatan emas. Kepala dengan nuchal, mulut dapat disembulkan kebawah. Makanannya seperti diatom, copepod, Lucifer, nematode and polychaete (www.fishbase.org2011).

2.1.2. Distribusi Ikan Pepetek

Ikan pepetek (Leiognathus equulus) tinggal di lingkungan benthopelagic (dasar perairan hingga mencapai permukaan), sebagian besar hidup di laut, beberapa di air payau dan air tawar. Ikan pepetek hidup pada kedalaman 10-110 m sampai kedalaman 40-60 m dan biasanya ditemukan dalam gerombolan besar. Daerah penyebaran ikan pepetek (Gambar 3) meliputi, Indo-Pasifik Barat: laut merah, Teluk Gulf Persia dan Afrika Timur serta Utara Australia Afrika Selatan, Teluk Benggala, Sepanjang Pantai Laut Cina Selatan, Philipina, Taiwan, Pantai Utara Australia, ke Barat sampai Pantai Afrika Timur (Comoros, Seychelles, Madagaskar dan Mauritus), Teluk Persia, Fiji, Utara ke Pulau Ryukyu, Selatan Australia (Allen 2000).

Gambar 3. Peta sebaran ikan pepetek (Leiognathus equulus)

(www.fishbase.org 2011)

(24)

Sulawesi, Buton, Ambon, Ternate, Halmahera, selat Tiworo dan Arafuru. Secara umum dapat dikatakan bahwa distribusi ikan petek di Indonesia tersebar di pesisir Barat Daya Sumatera sampai ke Laut Timor, serta perairan India berada pada kedalaman kurang lebih antara 20-40 dan hidup berkelompok pada kedalaman 40-60 m (Pauly 1977 in Saadah 2000).

2.2. Alat Tangkap

Umumnya ikan pepetek ditangkap mengunakan alat tangkap payang, dogol, dan bagan. Penangkapan ikan pepetek di Teluk Jakarta terutama TPI Cilincing menggunakan jaring dogol (Gambar 4). Jaring dogol digunakan untuk menangkap ikan yang berada di bawah perairan atau termasuk ikan damersal.

Gambar 4. Alat tangkap dogol untuk menangkap ikan pepetek (Leiognathus equulus)

www.citranews.com (2010)

(25)

2.3. Nisbah Kelamin

Nisbah kelamin merupakan perbandingan jumlah ikan jantan dengan ikan betina dalam suatu populasi. Perbedaan jenis kelamin dapat ditentukan melalui perbedaan morfologi tubuh atau perbedaan warna tubuh. Kondisi nisbah kelamin yang ideal yaitu ratio 1:1 (Bal & Rao 1984 in Tampubolon 2008). Nisbah kelamin penting diketahui karena berpengaruh terhadap kestabilan populasi ikan. Perbandingan 1:1 ini sering menyimpang, antara lain disebabkan oleh perbedaan pola tingkah laku ikan jantan dan betina, perbedaan laju mortalitas dan laju pertumbuhannya (Nasabah 1996 in Ismail 2006).

Menurut Effendie (2002), perbandingan rasio di alam tidaklah mutlak. Hal ini dipengaruhi oleh pola distribusi yang disebabkan oleh ketersediaan makanan, kepadatan populasi, dan keseimbangan rantai makanan. Keseimbangan nisbah kelamin dapat berubah menjelang pemijahan. Ikan yang melakukan ruaya pemijahan, populasi ikan didominasi oleh ikan jantan, kemudian menjelang pemijahan populasi ikan jantan dan betina dalam kondisi yang seimbang, lalu didominasi oleh ikan betina.

2.4. Tingkat Kematangan Gonad

Tingkat kematangan gonad adalah tahap-tahap tertentu perkembangan gonad sebelum dan sesudah ikan memijah. Pencatatan tahap-tahap kematangan gonad diperlukan untuk mengetahui perbandingan ikan-ikan yang akan melakukan reproduksi dengan yang tidak. Tahap perkembangan gonad terdiri dari dua tahap, yaitu tahap pertumbuhan gonad dan tahap pematangan gonad (Affandi et al. 2007).

Pendugaan ukuran pertama kali matang gonad merupakan salah satu cara untuk mengetahui perkembangan populasi dalam suatu perairan, seperti ikan akan memijah,

baru memijah atau sudah selesai memijah. Pendugaan puncak pemijahan dapat

dilakukan berdasarkan persentase jumlah ikan matang gonad pada suatu waktu (Sulistiono et al. 2001 in Tampubolon 2008).

(26)

gonad adalah faktor internal (perbedaan spesies, umur, ukuran, serta sifat-sifat fisiologis dari ikan tersebut) dan faktor eksternal (makanan, suhu, arus, dan adanya individu yang berlainan jenis kelamin yang berbeda dan tempat memijah yang sama) (Tampubolon 2008). Secara alamiah TKG akan berkembang menurut siklusnya sepanjang kondisi makanan dan faktor lingkungan tidak berubah (Handayani 2006).

2.5. Distribusi Frekuensi Panjang

Semua metode pendugaan stok pada intinya memerlukan masukan data komposisi umur. Beberapa metode numerik telah dikembangkan yang memungkinkan dilakukannya konversi atas data frekuensi panjang dalam komposisi umur. Oleh karena itu pendugaan stok spesies tropis adalah analisis sejumlah frekuensi panjang. Analisis data frekuensi panjang bertujuan untuk menentukan umur terhadap kelompok-kelompok panjang tertentu. Analisis tersebut bermanfaat dalam pemisahan suatu distribusi frekuensi panjang yang kompleks kedalam sejumlah kelompok umur (Sparre & Venema 1999).

Analisis frekuensi panjang memiliki kegunaan untuk menentukan umur dan membandingkan pada metode lain yang menggunakan struktur lebih rumit (Pauly 1984). Menurut Iversen (1996) in Sharif (2009) menyebutkan bahwa terdapat faktor pembatas dalam analisis frekuensi panjang yaitu penentuan umur mempersyaratkan banyak contoh dengan selang waktu yang lebar dan umur pada saat pertama kali tertangkap seharusnya diketahui untuk menditeksi kelompok umur pertama. Menurut Lagler (1977) in Sparre & Venema (1999), perbedaan ukuran ikan antar jenis kelamin kemungkinan disebabkan faktor genetik.

2.6. Pertumbuhan

(27)

diantaranya keturunan, jenis kelamin, penyakit, hormon dan kemampuan memanfaatkan makanan. Sedangkan faktor luar meliputi ketersediaan makanan, kompetisi dalam memanfaatkan ruang dan suhu perairan.

2.6.1. Hubungan Panjang Bobot

Analisis mengenai hubungan panjang-bobot yang dapat digunakan untuk mempelajari pola pertumbuhan. Persamaan hubungan panjang-bobot ikan dimanfaatkan untuk bobot ikan melalui panjangnya dan menjelaskan sifat pertumbuhannya. Bobot dapat dianggap sebagai suatu fungsi dari panjang. Hubungan panjang bobot hampir mengikuti hukum kubik yaitu bahwa bobot ikan sebagai pangkat tiga dari panjangnya. Hubungan ini dapat dimanfaatkan untuk menduga bobot melalui panjang (Effendie 2002).

Hubungan panjang bobot hampir mengikuti hukum kubik, yaitu bobot ikan merupakan hasil pangkat tiga dari panjangnya, nilai pangkat (b) dari analisis tersebut menjelaskan pola pertumbuhan. Nilai b lebih besar dari 3 menunjukkan bahwa pertumbuhan ikan bersifat allometrik positif, artinya pertumbuhan bobot ikan lebih besar daripada pertumbuhan panjang. Nilai b lebih kecil dari 3 maka menunjukkan bahwa pertumbuhan allometrik negatif, artinya pertumbuhan panjang lebih besar daripada pertumbuhan bobot. Apabila nilai b sama dengan 3 maka pertumbuhan isometrik, artinya pertumbuhan panjang sama dengan pertumbuhan bobot. Perhitungan hubungan panjang dan bobot antara ikan jantan dan ikan betina dipisahkan, karena terdapat perbedaan hasil antara jantan dan betina (Effendie 2002).

Pola pertumbuhan yang sama dimiliki ikan pepetek ditemukan juga di perairan Teluk Pelabuhan Ratu (Hazrina 2010). Pola pertumbuhan yang berbeda ditemukan pada ikan pepetek yang hidup di perairan Blanakan dan perairan Labuan dimana memiliki pola pertumbuhan allometrik positif yakni pertumbuhan bobot lebih dominan dibandingkan panjang (Simanjuntak 2010).

2.6.2. Faktor Kondisi

(28)

menunjukkan keadaan ikan dari segi kapasitas fisik untuk bertahan hidup dan melakukan reproduksi (Effendie 2002). Satuan Faktor kondisi sendiri tidak berarti apapun, namun kegunaannya akan terlihat jika dibandingkan dengan individu lain atau satu kelompok dengan kelompok lain. Perhitungan faktor kondisi berdasarkan pada panjang dan bobot ikan. Faktor kondisi juga akan berbeda tergantung jenis kelamin ikan, musim atau lokasi penangkapan serta faktor kondisi juga dipengaruhi oleh tingkat kematangan gonad dan kelimpahan makanan (King 1995). Variasi nilai kondisi tergantung pada makanan, umur, jenis kelamin dan kematangan gonad (Effendie 2002). Faktor kondisi tinggi pada ikan betina dan jantan menunjukkan ikan dalam perkembangan gonad, sedangkan faktor kondisi rendah menunjukkan ikan kurang mendapat asupan makanan(Effendie 2002).

2.6.3. Parameter Pertumbuhan

Persamaan pertumbuhan Von Bertalanffy merupakan persamaan yang umumnya digunakan dalam studi pertumbuhan suatu populasi. Menurut Beverton & Holt (1957) mengatakan bahwa persamaan Von Bertalanffy menunjukan representasi pertumbuhan populasi ikan yang memuaskan. Hal ini dikarenakan persamaan pertumbuhan Von Bertalanffy berdasarkan konsep fisiologis sehingga bisa digunakan untuk mengetahui beberapa masalah seperti variasi pertumbuhan karena ketersediaan makanan. Model Ford Walford merupakan model sederhana untuk menduga parameter pertumbuhan Ldan K dari persamaan Von Bertalanffy dengan interval waktu pengambilan contoh yang sama (Sparre & Venema 1999). Metode ini memerlukan masukan panjang rata-rata ikan dari beberapa kelompok ukuran. Kelompok ukuran dipisahkan menggunakan metode Battacharya (Sparre & Venema 1999).

(29)

diketahui umur ikan pada saat panjang tertentu. Dengan demikian, penyusunan perencanaan pengelolaan akan lebih mudah.

2.7. Mortalitas dan Laju Eksploitasi

Laju mortalitas total (Z) adalah penjumlahan laju mortalitas penangkapan (F) dan laju mortalitas alami (King 1995). Mortalitas alami adalah mortalitas yang terjadi karena berbagai sebab selain penangkapan seperti pemangsaan, penyakit, stres pemijahan, kelaparan dan usia tua (Sparre & Venema 1999).

Beverton & Holt (1957) menduga bahwa predasi merupakan faktor eksternal yang umum sebagai penyebab mortalitas alami. Nilai laju mortalitas alami berkaitan dengan nilai parameter pertumbuhan Von Bertalanffy yaitu koefisien pertumbuhan (K) dan panjang secara teoritis (L). Ikan mengalami pertumbuhan cepat (nilai K tinggi) mempunyai nilai mortalitas (M) tinggi dan sebaliknya. Nilai M berkaitan dengan nilai L karena pemangsa ikan besar lebih sedikit dari ikan kecil. Menurut Pauly (1984) faktor lingkungan yang mempengaruhi nilai M adalah suhu rata-rata perairan selain faktor panjang maksimum secara teoritis (L) dan laju pertumbuhan (K). Mortalitas penangkapan adalah mortalitas yang terjadi akibat adanya aktivitas penangkapan (Sparre & Venema 1999).

Menurut Pauly (1984), laju eksploitasi adalah jumlah ikan ditangkap dibandingkan dengan jumlah total ikan yang mati karena semua faktor baik alami maupun penangkapannya. Laju eksploitasi dapat didefinisikan sebagai bagian suatu kelompok umur yang akan ditangkap selama ikan tersebur hidup. Menurut King (1995), penentuan laju eksploitasi merupakan salah satu faktor yang perlu diketahui untuk menentukan kondisi sumberdaya perikanan dalam pengkajian stok ikan. Semakin tinggi tingkat eksploitasi ikan di suatu daerah maka mortalitas penangkapan tinggi (Sparee &Venema). Gulland (1971) in Pauly (1984) menduga bahwa jika stok ikan yang dieksploitasi optimum maka laju mortalitas penangkapan (F) akan sama dengan laju mortalitas alami (M) atau laju eksploitasi (E) adalah 0.5.

2.8. Ketidakpastian Hasil Tangkapan

(30)

sebagai semua kegiatan yang berhubungan dengan pengelolaan dan pemanfaatan sumberdaya ikan dan lingkungannya mulai dari praproduksi, produksi, pengolahan sampai dengan pemasaran, yang dilaksanakan dalam suatu sistem bisnis perikanan. Sumber perikanan merupakan komoditas yang memiliki karakteristik yang berbeda dan rumit bila dibandingkan dengan komoditas lainnya. Karakteristik yang berbeda tersebut menghasilkan berbagai macam ketidakpastian serta menimbulkan resiko yang dapat mengganggu sektor perikanan tersebut. Sumberdaya perikanan tidak hanya dibutuhkan saat ini saja akan tetapi generasi yang akan datang memerlukan sumberdaya perikanan untuk berbagai kepentingan. Sumberdaya perikanan ini memerlukan pengolahan yang tepat dan cermat oleh karena itu diperlukan suatu pengelolaan sumberdaya perikanan secara lestari dan berkelanjutan (sustainable resource exploitation) dan di dukung dengan kebijakan pengelolaan yang baik pada semua lapisan (Charles 2001).

Sumber ketidakpastian muncul dalam sistem perikanan baik secara alamiah maupun dari sisi manusia dan manajemen yang dapat dilihat pada Tabel 1. Dampak ketidakpastian akan menimbulkan resiko dalam sistem perikanan apabila tidak diatasi akan mengancam sistem perikanan (Charles 2001).

Tabel 1. Sumber-sumber ketidakpastian dalam perikanan

Sumber yang bersifat alami

Sumber yang bersifat dari manusia dan manajemen

Ukuran stok dan struktur umur ikan Harga ikan dan struktur pasar Mortalitas alami Biaya operasional dan biaya

Predator-prey Perubahan tekhnologi

Heterogenitas ruang Sasaran pengelolaan

Migrasi Sasaran nelayan

Parameter "stock-assessment" Respon nelayan terhadap peraturan Hubungan "stock-recuitment" Perbedaan persepsi terhadap stok ikan Interaksi multispesies Perilaku konsumen

Interksi ikan dengan lingkungan Discount rate Sumber : Charles (2001)

(31)

tahun, atau berakibat terhadap produksi dimasa yang akan datang ketersediaan ikan (Charles 2001).

Berikut ini beberapa tipologi ketidakpastian yang dijelaskan oleh Charles (2001) yaitu:

1. Randomness/ Process Uncertainty, yaitu tipologi ketidakpastian yang menyangkut dengan proses dalam sistem perikanan yang bersifat random (acak).

2. Parameter and State Uncertainty, yaitu tipologi ketidakpastian dalam konteks ketidakakuratan yang dibagi menjadi tiga macam:

a. Observation Uncertainty, ketidakpastian perikanan karena keterbatasan observasi (ketidakpastian variable perikanan yang dapat mengakibatkan terjadinya miss-management.

b. Model Uncertainty, ketidakpastian dalam memprediksi model sistem perikanan.

c. Estimation Uncertainty, ketidakpastian sebagai akibat dari ketidakakuratan estimasi.

3. Structural Uncertainty, yaitu tipologi ketidakpastian yang muncul akibat dari proses struktural dalam pengelolaan perikanan.

a. Implementation Uncertainty, ketidakpastian implementasi yang muncul akibat dari proses structural dalam pengelolaan perikanan.

b. Instutional Uncertainty, ketidakpastian dalam pengelolaan perikanan sebagai sebuah institusi atau ketidakpastian “value system” dalam perikanan.

(32)

1. Secara kuantitatif, dimana analisis ini digunakan untuk mengidentifikasi resiko kemungkinan kerusakan atau kegagalan sistem informasi dan memprediksi besarnya kerugian berdasarkan formula-formula matematis yang dihubungkan dengan nilai-nilai finansial.

2. Secara kualitatif, dimana merupakan suatu analisis yang menentukan resiko tantangan organisasi. Penilaian dilakukan berdasarkan instuisi, tingkat keahlian dalam menilai jumlah resiko yang mungkin terjadi dan potensi kerusakannya.

Dalam pengelolaan perikanan sendiri, pemahaman mengenai resiko dibedakan menjadi dua, yaitu :

1. Risk Assessment (penaksiran resiko) digunakan untuk menganalisis ketidakpastian, mengukur resiko, memprediksi hasil perikanan, serta dapat memberikan skenario pengelolaan. Tujuan dari Risk Assessment ada dua, yaitu: a. Menentukan besarnya resiko ketidakpastian yang timbul dari adanya fluktuasi

acak, pendugaan pengukuran parameter yang tidak tepat dan ketidakpastian yang berkenaan dengan keadaan alam. Hal ini dapat dicapai melalui analisis statistik dengan menggunakan time-series data.

b. Memprediksi resiko secara kuantitatif dari hal-hal pasti yang akan terjadi akan tetapi kejadian tersebut tidak diinginkan. Hal ini dapat dianalisis dengan pendekatan simulasi stok untuk mengestimasi implikasi jangka panjang (risks) dari sebuah skenario pengelolaan.

2. Risk Management (pengelolaan resiko) merupakan upaya untuk mengatur, mengurangi atau mengatasi resiko dalam sistem perikanan, melalui beberapa teknik analisis dengan merancang rencana pengelolaan yang optimal dalam kondisi ketidakpastian. Hal ini dapat dicapai dengan prinsip adaptive management. Adapun ide dasar dari prinsip adaptive management adalah menghitung resiko dengan memanfaatkan bukan mencari informasi. Adaptive management terdiri dari tiga model, yaitu:

a. Non-adaptive models; pengukuran ketidakpastian yang terlalu berlebihan. b. Passive adaptive models; memperbaharui pengukuran tanpa mempedulikan

perubahan-perubahan yang terjadi di masa yang akan datang

(33)

2.9. Pengelolaan Sumberdaya Perikanan

Menurut FAO (1997) menyatakan bahwa pengelolaan perikanan adalah proses yang terintegrasi dalam pengumpulan informasi, analisis, perencanaan, konsultasi, pembuatan keputusan, alokasi sumberdaya dan implementasi dari aturan-aturan main di bidang ikan dalam rangka menjamin kelangsungan produktivitas sekunder dan penyamapaian tujuan perikanan lain. Pengelolaan sumberdaya periakanan dikarenakan semakin meningkatnya tekanan eksploitasi terhadap berbagai stok ikan. Secara umum tujuan pengelolaan sumberdaya perikanan terbagi kedalam empat kelompok yaitu biologi, ekologi, ekonomi, dan sosial (politik dan budaya). Tujuan utama pengelolaan sumberdaya perikanan adalah menjamin bahwa mortalitas penangkapan tidak melampaui kemampuan populasi untuk bertahan dan tidak mengancam untuk merusak kelestarian dan produktivitas dari populasi ikan yang dikelola (Widodo & Suwardi 2008).

Menurut Boer & Aziz (2007) bahwa pengelolaan sumberdaya perikanan bertujuan demi tercapainya kesejahteraan para nelayan, penyediaan bahan pangan, bahan baku industri, penghasilan devisa serta mengetahui porsi optimum pemanafaatan oleh aramada penangkapan ikan. Pengelolaan perikanan memilki tugas untuk menentukan jumlah tangkapan yang diperbolehkan berdasarkan tangkapan maksimum lestari. Pendekatan yang digunakan adalah pendekatan struktural atau analitik yaitu pendekatan dengan menjelaskan sistem sumberdaya perikanan melalui komponen-komponen yang membentuk sistem tersebut. Konsep tersebut adalah penamabahan, pertumbuhan dan mortalitas.

(34)

3.

METODE PENELITIAN

3.1. Lokasi dan Waktu

Penelitian dilakukan pada 23 Oktober 2010 sampai dengan 18 Desember 2010. Lokasi pengambilan ikan contoh di Tempat Pelelangan Ikan Cilincing Teluk Jakarta (Gambar 5). Pengambilan data primer berupa data panjang dan bobot ikan di TPI Cilincing, Teluk Jakarta dan pengambilan data sekunder dilakukan selama penelitian berlangsung.

Gambar 5. Lokasi penangkapan ikan pepetek di perairan Teluk Jakarta pada bulan Oktober 2010 - Desember 2010

3.2. Metode Kerja

3.2.1. Alat dan bahan

(35)

Tabel 2. Alat dan bahan yang digunakan dalam penelitian beserta fungsinya

No. Alat dan Bahan Fungsi Keterangan

1 Penggaris Mengukur panjang tubuh ikan Ketelitian 1 mm

2 Timbangan digital Mengukur bobot ikan Ketelitian 1 gr

3 Kamera digital Dokumentasi

4 Tissue Membersihkan tubuh ikan

5 Plastik Bening Alas timbangan digital

6 Alat Tulis sekunder. Data sekunder digunakan untuk menunjang data primer. Data primer didapat dari melakukan pengambilan ikan contoh yang dilakukan secara acak dari beberapa nelayan yang ada, ikan diambil 30-100 ekor setiap pengambilan contoh di setiap keranjang nelayan. Ikan contoh didapatkan dengan cara membeli ikan tersebut kepada nelayan. Ikan pepetek ditangkap menggunakan alat tangkap dogol degan mata jaring 1 inchi bagian luar, 1.25 inchi bagian tengah dan 1.5 inchi bagian belakang dengan kapal berukuran 5-6 GT. Pengambilan ikan dilakukan interval waktu 14 hari selama 2,5 bulan. Ikan pepetek yang diamati selama penelitian berjumlah 411 ekor.

(36)

Pengumpulan data sekunder didapat dari arsip TPI Cilincing Teluk Jakarta dan Dinas Perikanan DKI Jakarta. Data sekunder yang dikumpulkan meliputi data kapal perikanan, alat tangkap yang digunakan untuk menangkap ikan pepetek, jumlah nelayan, data produksi dan harga ikan pepetek tahun 2008-2010.

3.3. Analisis Data

3.3.1. Nisbah kelamin

Nisbah kelamin digunakan untuk melihat perbandingan ikan jantan dan ikan betina yang ada pada suatu perairan. Untuk mencari nisbah kelamin dapat menggunakan rumus berikut:

(1)

P adalah proporsi ikan (jantan atau betina), n adalah jumlah jantan atau betina dan N adalah jumlah total ikan (jantan & betina)

3.3.2. Tingkat kematangan gonad

Tabel 3. Penentuan TKG secara morfologi menggunakan modifikasi dari Cassie (Effendie 2002) .

TKG Betina Jantan I Ovari seperti benang, panjangnya

sampai ke depan rongga tubuh, serta permukaannya licin

Testes seperti benang,warna jernih, dan ujungnya terlihat di rongga tubuh

II Ukuran ovari lebih besar. Warna ovari kekuning-kuningan, dan telur belum terlihat jelas

Ukuran testes lebih besar, pewarnaan seperti susu

III Ovari berwarna kuning dan secara morfologi telur mulai terlihat

Permukaan testes tampak bergerigi, warna makin putih dan ukuran makin besar

IV Ovari makin besa, telur berwarna kuning, mudah dipisahkan. Butir minyak tidak tampak, mengisi 1/2-2/3 rongga perut

Dalam keadaan diawet mudah putus, testes semakin pejal

V Ovari berkerut, dinding tebal, butir telur sisa terdapat didekat pelepasan

Testes bagian belakang kempis dan dibagian dekat pelepasan masih berisi

(37)

gonad, serta perkembangan isi gonad. Secara histologi berdasarkan anatomi gonad secara mikroskopik (Tabel 3).

3.3.3. Sebaran frekuensi panjang

Data yang digunakan dalam penentuan distribusi frekuensi panjang adalah data panjang total ikan pepetek yang ditangkap di Cilincing Teluk Jakarta. Tahap untuk menganalisis data frekunsi panjang adalah:

a) Menentukan jumlah selang kelas yang diperlukan b) Menentukan lebar selang kelas

c) Menentukan selang frekuensi dan memasukkan frekuensi masing-masing kelas dengan memasukkan panjang masing-masing ikan contoh pada panjang selang ikan yang ditentukan.

Sebaran frekuensi panjang yang telah ditentukan dalam selang kelas yang sama kemudian diplotkan dalam sebuah grafik. Pada grafik tersebut dapat dilihat sebuah pergeseran distribusi kelas panjang setiap bulannya. Pergeseran sebaran kelas panjang menggambarkan jumlah kelompok umur yang ada (kohort). Bila terjadi pergeseran modus distribusi frekuensi panjang berarti terdapat lebih dari satu kohort.

3.3.4. Identifikasi kelompok umur

Pendugaan kelompok ukuran dilakukan dengan menganalisis frekuensi panjang ikan pepetek. Data frekuensi panjang dianalisis dengan mengunakan metode yang terdapat dengan program FISAT II (FAO-ICLARM Stock Assesment Tool) yaitu metode NORMSEP (Normal Separation). Sebaran frekuensi panjang dikelompokkan ke dalam beberapa kelompok umur yang diasumsikan menyebar normal, masing-masing dicirikan oleh rata-rata dan simpangan baku.

Menurut Boer (1996), jika fi adalah frekuensi ikan kedalam kelas panjang ke-i

(i = 1,2,…,N), µj adalah rata-rata panjang kelompok ke-j, σj adalah simpangan baku

panjang kelompok umur ke-j dan pi adalah proporsi ikan dalam kelompok umur ke-j

(38)

(2)

yang merupakan fungsi kepekatan sebaran normal dengan nilai tengah µj dan simpangan baku σj. xi merupakan titik tengah dari kelas panjang ke-i. Fungsi objektif L ditentukan dengan cara mencari turunan pertama L masing-masing terhadap µj, σj ,pj sehingga diperoleh dugaan µj, σj ,pj yang akan digunakan untuk menduga parameter pertumbuhan.

Dalam penggunaan metode NORMSEP sangat diperhatikan nilai indeks separasi. Menurut Hasselblad (1996), McNew & Summerfelt (1978) serta Clark (1981) in Sparre & Venema (1999) menjelaskan bahwa indeks separasi merupakan kuantitas yang relevan terhadap studi bila dilakukan kemungkinan bagi suatu pemisahan yang berhasil dari dua komponen yang berdekatan. Apabila indeks separasi kurang dari dua (<2) maka tidak mungkin dilakukan pemisahan kelompok ukuran karena akan terjadi tumpang tindih dengan kedua kelompok ukuran tersebut.

3.3.5. Pertumbuhan

3.3.5.1. Hubungan panjang bobot

Analisis pola pertumbuhan ikan pepetek menggunakan hubungan panjang dengan rumus sebagai berikut (Effendie 2002):

W = (3)

Untuk mendapatkan persamaan linear atau garis lurus di gunakan persamaan sebagai berikut :

Log W = Log a + b Log L (4)

untuk mendapatkan parameter a dan b digunakan analisis regresi dengan Log W sebagai ‘y’ dan Log L sebagai ‘x’, maka dapat didapatkan regresi sebagai berikut:

(39)

untuk menguji nilai b = 3 melawan b < 3 atau b < 3 dilakukan uji-t (uji parsial) dengan hipotetis :

H0 : b = 3, hubungan panjang dan bobot adalah isometrik

H1 : b < 3, hubungan panjang dan bobot adalah allometrik negatif atau, b > 3, hubungan panjang dan bobot adalah allometrik positif

W adalah bobot, L adalah panjang, Log a adalah intersep (perpotongan kurva hubungan panjang bobot dengan sumbu y), b adalah penduga pola pertumbuhan panjang-bobot.

Hipotesis yang digunakan adalah bila b=3 maka disebut isometrik (pola pertumbuhan panjang sama dengan pola pertumbuhan bobot). Jika b<3 disebut allometrik negatif (pertumbuhan panjang lebih dominan) dan bila b>3 allometrik positif (pola pertumbuhan bobot lebih dominan) (Effendie 2002).

(6)

(7)

b1 adalah Nilai b (dari hubungan panjang bobot), b0 adalah 3, Sb1 adalah simpangan koefisien

Bandingkan nilai thitung dan nilai ttabel pada selang kepercayaan 95%. Selanjutnya untuk mengetahui pola pertumbuhan ikan pepetek, maka kaidah keputusan yang diambil adalah :

thitung > ttabel : tolak hipotesis H0 thitung < ttabel : gagal tolak hipotesis H0

3.3.5.2. Faktor kondisi

(40)

reproduksi. Jika pertumbuhan ikan pepetek termasuk pertumbuhan isometrik (b=3), maka nilai faktor kondisi (K) dapat dihitung dengan rumus berikut (Effendie 2002):

(8)

K adalah faktor kondisi, W adalah bobot ikan contoh (gram), L adalah panjang ikan contoh (mm), a dan b adalah konstanta regresi. Jika pertumbuhan bersifat allometrik positif umumnya ikan diamati lebih gemuk dibandingkan ikan yang bertipe allometrik negatif.

3.3.5.3. Parameter pertumbuhan (L∞,K, dan t0)

Plot Ford Walford merupakan salah satu metode yang paling sederhana dalam menduga parameter pertumbuhan dari persamaan Von Bertalanffy dengan interval waktu pengambilan contoh yang tetap. Berikut ini adalah persamaan pertumbuhan von Bertalanffy (King 1995).

(9) atau,

(10)

Lt adalah Panjang ikan pada saat umur t (satuan waktu), L∞ adalah Panjang maksimum secara teoritis (panjang asimtotik), K adalah koefisien pertumbuhan (per satuan waktu), t0 adalah umur teoritis pada saat panjang sama dengan nol. Untuk t sama dengan t+1, persamaaan (11) menjadi:

(11)

(41)

(12)

dengan mendistribusikan persamaan (10) ke (12), di peroleh

(13)

atau,

(14)

Lt dan Lt+1 merupakan panjang ikan pada saat t dan t+1 yang merupakan panjang ikan yang dipisahkan oleh interval waktu yang konstan (1 =tahun, bulan, atau minggu) (Pauly 1984). Persamaan (14) dan (15) dapat diduga dengan persamaan regresi linear y = b0 + b1x, jika Lt sebagai absis (x) di plotkan terhadap Lt+1 sebagai ordinat (y) sehingga terbentuk kemiringan (slope) sama dengan e-K dan titik potong dengan absis sama dengan L[1-e-K]. Nilai K dan L di peroleh dengan cara sebagai berikut:

K = -ln (b) (15)

dan

(16)

(42)

Log (-t0) = 0.3922-0.2752 (Log L∞) – 1.038 (Log K) (17)

3.3.6. Mortalitas dan laju eksploitasi

Laju mortalitas total (Z) diduga dengan kurva tangkapan yang dilinearkan berdasarkan data komposisi panjang (Sparre & Venema 1999) dengan langkah-langkah sebagai berikut.

Langkah 1 : mengkonversikan data panjang ke data umur denagn mengunakan inverse persamaan Von Bertalanffy.

(18)

Langkah 2 : menghitung waktu yang diperlukan oleh rata-rata ikan untuk tumbuh dari panjang L1 ke L2 (t)

(19)

Langkah 3 : menghitung (t+t/2)

(20)

Langkah 4 : menurunkan kurva hasil tangkapan (C) yang dilinearkan yang dikonversikan ke panjang

(21)

persamaan (20) adalah bentuk persamaan linear dengan kemiringan (b) = -Z

Laju mortalitas alami (M) diduga dengan menggunakan rumus empiris Pauly (1980) in Sparre & Venema (1999) sebagai berikut.

Ln M = - 0.0152-0.279*Ln L∞ + 0.6543*Ln K + 0.463*Ln T (22)

(43)

M adalah mortalitas alami, L∞ adalah panjang asimsotik pada persamaan pertumbuhan Von Bertalanffy, K adalah koefisien pertumbuhan pada persamaan pertumbuhan Von Bertalanffy, T adalah rata-rata suhu permukaan air (0C).

Laju mortalitas penangkapan (F) ditentukan dengan :

F = Z – M (24)

Laju eksploitasi ditentukan dengan membandingkan mortalitas penangkapan (F) terhadap mortaliatas total (Z) (Pauly 1984) :

(25)

Laju mortalitas penangkapn (F) atau laju eksploitasi optimum menurut Gulland (1971) in Pauly (1984) adalah:

Foptimum = M dan Eoptimum = 0.5 (26)

3.3.7. Analisis ketidakpastian hasil tangkapan

Analisis ketidakpastian dalam perikanan mengikuti hukum peluang dimana terdapat kemungkinan berhasil atau gagal dalam menghasilkan tangkapan. Hal tersebut dapat disebabkan oleh beberapa faktor diantaranya upaya serta harga (price) dari ikan hasil tangkapan. Analisis ketidakpastian dilakukan dengan menggunakan Kaidah Bayes yang menggunakan probabilitas bersyarat sebagai dasarnya. Teorema Bayes dijelaskan dalam Walpole (1993) , yaitu:

Jika kejadian-kejadian B1, B2, …, Bk merupakan kejadian yang saling terpisah yang gabungannya ruang contoh S dengan P(Bi) ≠ 0 untuk i = 1, 2, …, k, maka untuk sembarang kejadian A yang bersifat:

(44)

untuk r = 1,2,…,k

Metode Bayes merupakan metode yang baik dalam pembelajaran berdasarkan data training, dengan menggunakan probabilitas bersyarat sebagai dasarnya. Metode Bayes hanya bisa digunakan untuk persoalan klasifikasi dengan supervised learning dan data-data kategorikal. Metode Bayes memerlukan pangetahuan awal untuk mengambil suatu keputusan. Tingkat keberhasilan metode ini sangat tergantung pada pengetahuan awal yang diberikan.

(45)

4.

HASIL DAN PEMBAHASAN

4.1. Kondisi ikan pepetek di perairan Teluk Jakarta

Perairan Teluk Jakarta memiliki luas teluk sebesar 285 km2, garis pantai yang dimiliki sepanjang 33 km, dan rata-rata kedalaman 15 meter. Masyarakat sekitar perairan Teluk Jakarta sebagian memiliki profesi sebagai nelayan tradisional dengan menggunakan alat tangkap berupa bagan, dogol, pancing, jaring payang, dan purseine. Kapal penangkapan ikan di TPI Cilincing merupakan kapal kayu yang dominan berukuran 5-6 GT. Kapal yang digunakan di TPI Cilincing, Teluk Jakarta adalah perahu tempel dan kapal motor. Hasil tangkapan utama berupa ruca, pepetek, kuniran, pari, kurisi, kapasan, samgeh, dan cumi. Pada Gambar 6 disajikan per jenis ikan dominan tahun 2010 di TPI Cilincing.

Gambar 6. Produksi per jenis ikan dominan tahun 2010 di TPI Cilincing Teluk Jakarta yang menggunakan alat tangkap dogol

DKP-DKI 2010

(46)

4.2. Perairan Teluk Jakarta

Teluk Jakarta terletak pada 5°54’40” - 6°00’40” Lintang Selatan (LS) dan 106°40’45” - 107°01’19” Bujur Timur (BT) dan garis lintang 5°48’30” LS hingga 6°10’30” LS yang membentang dari Tanjung Kait di bagian Barat hingga Tanjung Karawang di bagian Timur dengan panjang pantai ± 89 km. Panjang garis yang menghubungkan kedua Tanjung tersebut melalui Pulau Air Besar dan Pulau Damar adalah sekitar 21 mil laut. Secara administratif, perairan Teluk Jakarta berbatasan dengan Kabupaten Bekasi di sebelah timur dan Kabupaten Tangerang di sebelah barat (Agnitasari 2006).

Menurut hasil penelitian Apriadi (2005) pada titik contoh sejauh 3 000 m dari muara sungai, kandungan logam berat di Teluk Jakarta diantaranya timbal (Pb) berkisar antara 0.0040-0.0560 mg/l, sedangkan kandungan krom (Cr) berkisar antara 0.0110-0.0300 mg/l. Nilai tersebut telah melebihi nilai baku mutu yang ditetapkan oleh Keputusan Menteri Lingkungan Hidup No. 51 tahun 2004 untuk biota laut, yaitu masing-masing sebesar sebesar 0.0080 mg/l dan 0.0050 mg/l.

(47)

TPI Cilincing adalah ikan kembung, kurisi, kuniran, teri, pepetek, samgeh, dan cumi-cumi.

4.3. Nisbah Kelamin

Nisbah kelamin penting diketahui karena berpengaruh terhadap kestabilan populasi ikan. Jumlah frekuensi jantan ikan pepetek di perairan Teluk Jakarta sebesar 243 ekor dan jumlah frekuensi ikan betina 131 ekor. Perbandingan jumlah ikan pepetek jantan dan betina sebesar 1,9:1. Nisbah kelamin dan proporsi kelamin ikan pepetek pada setiap pengambilan contoh dijelaskan pada Tabel 4.

Tabel 4. Nisbah kelamin dan proporsi kelamin pada ikan pepetek (Leiognathus equulus) di TPI Cilincing, Teluk Jakarta setiap pengambilan contoh Pengambilan

Waktu Nisbah Jenis Kelamin (%)

Contoh Jantan Betina

1 6 November 2010 62 38 2 20 November 2010 55 55 3 2 Desember 2010 67 33 4 18 Desember 2010 72 28

Menurut Effendie (2002), perbandingan rasio di alam tidaklah mutlak. Hal ini dipengaruhi oleh pola penyebaran, ketersediaan makanan, kepadatan populasi, dan keseimbangan rantai makanan. Keseimbangan nisbah kelamin dapat berubah menjelang pemijahan. Ikan yang melakukan ruaya pemijahan, populasi ikan didominasi oleh ikan jantan kemudian menjelang pemijahan populasi ikan jantan dan betina dalam kondisi yang seimbang, lalu didominasi oleh ikan betina. Perbedaan jenis pertumbuhan dan laju eksploitasi antara jantan dan betina menyebabkan penyimpangan nisbah kelamin. Perbandingan 1:1 ini sering menyimpang, antara lain disebabkan oleh perbedaan pola tingkah laku ikan jantan dan betina, perbedaan laju mortalitas dan laju pertumbuhannya (Nasabah 1996 in Ismail 2006).

4.4. Tingkat Kematangan Gonad

(48)

Gonad (TKG) pada tiap bulan pengamatan dari ikan pepetek jantan dan betina dapat dilihat pada Gambar 7 dan Gambar 8:

Gambar 7. TKG ikan pepetek (Leiognathus equulus) jantan di TPI Cilincing, Teluk Jakarta pada bulan Oktober 2010-Desember 2010

Gambar 8. TKG ikan pepetek (Leiognathus equulus) betina di TPI Cilincing, Teluk Jakarta pada bulan Oktober 2010-Desember 2010

(49)

4.5. Sebaran frekuensi panjang

(50)

Jumlah frekuensi ikan pepetek jantan lebih banyak daripada ikan pepetek betina (Gambar 9). Ikan contoh yang digunakan dalam analisis sebaran ukuran panjang terdiri dari 243 ekor ikan pepetek jantan dan 131 ekor ikan pepetek betina. Secara keseluruhan diketahui bahwa frekuensi tertinggi ikan pepetek jantan pada selang kelas 105-109 mm dan frekuensi tertinggi untuk ikan pepetek betina pada selang 95-99 mm. ukuran ikan pepetek jantan lebih besar dibandingkan ikan pepetek betina. Menurut Lagler (1977) in Sparre & Venema (1999). perbedaan ukuran ikan antar jenis kelamin kemungkinan disebabkan faktor genetik.

Gambar 9. Sebaran frekuensi panjang ikan pepetek (Leiognathus equulus) jantan maupun betina di TPI Cilincing Teluk Jakarta pada bulan Oktober 2010-Desember 2010

(51)

panjang total maksimum yang lebih kecil bisa mengindikasikan adanya tekanan penangkapan yang tinggi. Berdasarkan Gambar 9 jumlah ukuran panjang total ikan pepetek jenis kelamin betina lebih kecil dibandingkan ikan pepetek jenis kelamin jantan. Hal tersebut dapat menyebabkan eksploitasi pada ikan pepetek yang ada di Teluk Jakarta.

4.6. Kelompok Umur

Analisis kelompok umur dilakukan untuk setiap pengambilan contoh. Hal ini dilakukan untuk melihat perubahan rata-rata panjang menurut waktu pengambilan contoh. Hasil analisis pemisahan kelompok umur diperoleh dari rata-rata dan indeks separasi masing-masing ukuran kelompok panjang ikan pepetek.

(52)

Pada Gambar 10 dan Gambar 11 diketahui bahwa ikan pepetek mengalami pertumbuhan panjang, pergeseran modus ke arah kanan dan perubahan ukuran panjang ikan setiap pengambilan contoh baik jantan maupun betina.

Gambar 11. Frekuensi panjang ikan pepetek (Leiognathus equulus) betina periode November 2010-Desember 2010 di TPI Cilincing Teluk Jakarta

(53)

metode NORMSEP sangat diperhatikan nilai indeks separasi (Tabel 6 dan Tabel 7). Menurut Hasselblad (1996), McNew & Summerfelt (1978) serta Clark (1981) in Sparre & Venema (1999) menjelaskan bahwa indeks separasi merupakan kuantitas yang relevan terhadap studi bila dilakukan kemungkinan bagi suatu pemisahan yang berhasil dari dua komponen yang berdekatan. Apabila indeks separasi kurang dari dua (<2) maka tidak mungkin dilakukan pemisahan kelompok umur karena akan terjadi tumpang tindih dengan kedua kelompok umur tersebut. Berdasarkan Tabel 6 dan Tabel 7, dapat dilihat tidak ada indeks separasi yang diperoleh kurang dari dua (<2). Hal ini menunjukkan bahwa hasil pemisahan kelompok umur ikan pepetek dapat diterima dan digunakan untuk analisis berikutnya. Ikan pepetek pada umumnya memiliki 1-2 kelompok umur yang cenderung membentuk sebaran normal. Hal ini, menunjukkan ikan pepetek yang tertangkap umurnya tidak melebihi 2 tahun.

Tabel 6. Sebaran kelompok umur ikan pepetek (Leiognathus equulus) jantan di TPI Cilincing, Teluk Jakarta setiap pengambilan contoh

Tanggal

Nilai

Tengah Simpangan Jumlah Indeks separasi

Tabel 7. Sebaran kelompok umur ikan pepetek (Leiognathus equulus) betina di TPI Cilincing, Teluk Jakarta setiap pengambilan contoh

(54)

4.7. Pertumbuhan

4.7.1. Hubungan Panjang dan Bobot

Analisis hubungan panjang dan bobot menggunakan data panjang total dan bobot basah ikan contoh untuk melihat pola pertumbuhan individu ikan pepetek di perairan Teluk Jakarta.

Hubungan panjang bobot ikan pepetek pada setiap pengambilan contoh di Teluk Jakarta disajikan pada Tabel 8, ikan pepetek jantan pada Tabel 9 dan ikan pepetek betina pada Tabel 10.

Tabel 8. Hubungan panjang bobot ikan pepetek (Leiognathus equulus) di TPI Cilincing, Teluk Jakarta setiap pengambilan contoh

Pengambilan

Tabel 9. Hubungan panjang bobot ikan pepetek (Leiognathus equulus) jantan di TPI Cilincing, Teluk Jakarta setiap pengambilan contoh

Pengambilan TPI Cilincing, Teluk Jakarta setiap pengambilan contoh

(55)

Ikan pepetek contoh yang digunakan sebanyak 411 ekor ikan. Pengambilan contoh yang dilakukan selama lima kali menunjukkan pertumbuhan bersifat allometrik negatif yaitu laju pertumbuhan panjang lebih cepat dibandingkan bobot yang didukung dengan dilakukan uji t pada selang kepercayaan 95%.

Gambar 12. Hubungan panjang-bobot dan hubungan logaritma panjang-logaritma bobot ikan pepetek (Leiognathus equulus) di TPI Cilincing, Teluk Jakarta pada bulan Oktober 2010-Desember 2010

Dengan menggunakan analisis hubungan panjang bobot (Gambar 12) diketahui persamaan W = 0.00004L2.836 dengan nilai b sebesar 2.836 berdasarkan uji t dilakukan terhadap nilai b dengan α = 0.05 diketahui bahwa pola pertumbuhan ikan pepetek bersifat allometrik negatif yaitu pola pertumbuhan panjang lebih dominan dibandingkan pertumbuhan bobot. Pada persamaan logaritma panjang dan logaritma bobot memperoleh persamaan Log W= 2.836 Log L - 4.454 yang artinya setiap penambahan logaritma panjang sebesar 1 mm akan menaikan logaritma bobot sebesar 2.836 gram.

(56)

Hubungan panjang bobot untuk menunjukkan pola pertumbuhan ikan pepetek di Teluk Jakarta. Pada ikan pepetek jantan hubungan panjang bobot ikan pepetek di Teluk Jakarta adalah W = 0.00003 L2.882 dan logaritma panjang dan logaritma bobot memperoleh persamaan log W = 2.882 Log L – 4.549 (Gambar 13). Persamaan tersebut menunjukkan setiap penambahan logaritma panjang maka akan menurunkan logaritma bobot sebesar 2.882 gram. Nilai koefisien sebesar 94% menunjukkan bahwa fomula ini dapat menjelaskan keadaan sebenarnya di alam sebesar 94%. Nilai b = 2.882 setelah dilakukan uji t (α=0.05) diketahui bahwa ikan pepetek Jantan di Teluk Jakarta bersifat allometrik negatif yaitu pertumbuhan panjang lebih cepat dibandingkan bobot (Effendie 2002). Hal ini di dukung dengan bentuk tubuh ikan yang pipih.

Gambar 14. Hubungan panjang-bobot dan hubungan logaritma panjang-logaritma bobot ikan pepetek (Leiognathus equulus) betina di TPI Cilincing, Teluk Jakarta pada bulan Oktober 2010-Desember 2010

(57)

negatif yang menunjukkan pertumbuhan panjang lebih cepat dibandingkan bobot disajikan pada Gambar 14.

Pada Tabel 8 pola pertumbuhan ikan pepetek secara keseluruhan adalah allometrik negatif yang artinya ikan memiliki pertumbuhan panjang yang mempengaruhi dibandingkan pertumbuhan bobot (Effendie 2002). Pada ikan pepetek jantan dan betina secara keseluruhan juga pertumbuhan allometrik negatif tetapi pada pengambilan contoh ke-2 untuk ikan pepetek jantan dan pada pengambilan contoh ke-3 untuk ikan pepetek betina menyatakan pola pertumbuhan isometrik setelah dilakukan uji t yang menyatakan gagal tolak H0. Pola pertumbuhan isometrik dan allometrik negatif menunjukkan bahwa ikan pepetek kurus-kurus. Adanya perbedaan nilai b untuk setiap pengambilan data dipengaruhi oleh musim, makanan, suhu, dan faktor fisiologis dari ikan pepetek (Effendie 2002).

Pola pertumbuhan yang sama dimiliki ikan pepetek ditemukan juga di perairan Teluk Pelabuhan Ratu (Hazrina 2010). Pola pertumbuhan yang berbeda ditemukan pada ikan pepetek yang hidup di perairan Blanakan dan perairan Labuan dimana memiliki pola pertumbuhan allometrik positif yakni pertumbuhan bobot lebih dominan dibandingkan panjang (Simanjuntak 2010). Perbedaan pola pertumbuhan terjadi karena adanya faktor lingkungan seperti suhu, jumlah, dan ketersediaan makanan yang dapat dicerna, selain itu faktor dalam seperti gen, umur, jenis kelamin, hormon, dan penyakit

4.7.2. Faktor Kondisi

(58)

Gambar 15. Faktor kondisi ikan pepetek (Leiognathus equulus) di TPI Cilincing, Teluk Jakarta berdasarkan waktu pengambilan contoh

Faktor kondisi ikan pepetek jantan berkisar antara 0.8279-1.0124 sedangkan faktor kondisi ikan pepetek betina berkisar antara 0.8710-1.0232. Faktor kondisi tinggi pada ikan betina dan jantan menunjukkan ikan dalam perkembangan gonad, sedangkan faktor kondisi rendah menunjukkan ikan kurang mendapat asupan makanan. Faktor kondisi juga akan berbeda tergantung jenis kelamin ikan, musim atau lokasi penangkapan serta faktor kondisi juga dipengaruhi oleh tingkat kematangan gonad dan kelimpahan makanan (King 1995). Nilai faktor kondisi ikan pepetek di suatu perairan bervariasi. Variasi nilai faktor kondisi tergantung pada makanan, umur, jenis kelamin dan kematangan gonad (Effendie 2002).

4.7.3. Parameter Pertumbuhan

Gambar

Tabel 1. Sumber-sumber ketidakpastian dalam perikanan
Tabel 5. Sebaran frekuensi panjang ikan pepetek (Leiognathus equulus) di TPI Cilincing Teluk Jakarta
Gambar 10. Frekuensi panjang ikan pepetek ( Leiognathus equulus) jantan periode November 2010-Desember 2010 di TPI Cilincing Teluk Jakarta
Gambar 11. Frekuensi panjang ikan pepetek (Leiognathus equulus) betina periode November 2010-Desember 2010 di TPI Cilincing Teluk Jakarta
+7

Referensi

Dokumen terkait

Berdasarkan matrik hubungan antara kualitas air, tingkat kesuburan dan hasil tangkapan ikan (Tabel 9, 10, dan 11), menunjukkan bahwa walaupun kondisi perairan di empat

Saran untuk pengelolaan ialah perlu adanya pengaturan alat tangkap dengan cara memperbesar ukuran mata jaring (&gt;2 inchi) agar ikan yang pertama kali matang gonad diberi

4) Menentukan jumlah tangkapan yang diperbolehkan (JTB) atau TAC ( Total Allowable Catch ) sumberdaya ikan kembung lelaki di perairan Teluk Jakarta.. Berdasarkan Gambar 1,

Hasil yang didapatkan dari pengkajian aspek reproduksi ikan selanget diajukan beberapa alternatif pengelolaan, yaitu penangkapan ikan dengan menggunakan alat tangkap jaring

Pola pemijahan ikan kembung perempuan adalah bertahap (partial spawning). Beberapa alternatif pengelolaan yang dapat dilakukan adalah mengatur waktu penangkapan yaitu tidak

Pola pertumbuhan isometrik juga terjadi pada Sardinella gibbosa di Labuan, Teluk Palabuhanratu, dan Blanakan (Hari 2010), sedangkan dari nilai b yang diperoleh dan setelah

Studi tentang kondisi sumber daya ikan di perairan Tegal dalam rangka strategi pengelolaan pemanfaatan yang berkelanjutan dengan pendekatan Bio-Ekonomi telah dilakukan