• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB 4 HASIL DAN PEMBAHASAN

A. HASIL

2. Partisipan II

Tabel 5. Gambaran Umum Partisipan II Identitas Partisipan II

Nama Tante Wati (Nama Samaran)

Usia 49 tahun

Pekerjaan Wiraswasta

Riwayat kesehatan Hipertensi Lama merawat orang

tua

5 tahun

Usia pernikahan 23 tahun

Jumlah anak 4 orang

Suku Tanjung

Pendidikan Sarjana Ekonomi Anak ke- 1 dari 11 bersaudara Usia orang tua 71 tahun

Riwayat kesehatan orang tua

Komplikasi (kolestrol, diabetes, jantung, dan hipertensi)

Tabel 6. Jadwal Pelaksanaan Wawancara

Hari/Tanggal Pukul Lokasi

Sabtu, 29 Maret 2014 19.05-20.05 WIB Jln. Sutrisno Gang Insyaf, Medan Rabu, 16 April 2014 20.30-21.40 WIB Jln. Sutrisno Gang Insyaf, Medan Kamis, 08 Mei 2014 20.15-20.50 WIB Jln. Rahmadsyah, Medan

Jumat, 16 Mei 2014 16.30-17.30 WIB Jln. Sutrisno Gang Insyaf, Medan

a. Rangkuman Hasil Observasi

Partisipan kedua dalam penelitian ini bernama Tante Wati. Tante Wati adalah seorang perempuan Minang yang berusia 49 tahun. Ia memiliki tinggi badan sekitar 152 cm dengan berat badan sekitar 48 kg dan memiliki kulit berwarna kuning langsat. Dalam kesehariannya Tante Wati mengenakan pakaian muslimah lengkap dengan jilbabnya. Namun, pada saat wawancara terakhir Tante Wati tidak mengenakan jilbabnya tersebut.

Wawancara pertama dilakukan di rumah partisipan, yakni Tante Wati, yang berada di sebuah gang di Jalan Sutrisno. Saat peneliti tiba disana, Tante Wati sedang melaksanakan sholat Maghrib di ruang tamunya. Maka peneliti pun menunggu Tante Wati menyelesaikan sholatnya. Setelah selesai melaksanakan sholat Maghrib, Tante Wati pun langsung duduk di salah satu kursi yang terbuat dari kayu Jepara, tepat di sebelah kursi yang diduduki oleh peneliti. Rumah Tante Wati terdiri dari dua tingkat. Meskipun demikian ukuran rumah Tante Wati cukup kecil. Hal ini terlihat dari tempat dimana wawancara dilakukan, yakni ruang tamu yang juga merangkap sebagai

ruang keluarga serta ruang makan. Di pertemuan ini Tante Wati mengenakan long dress berwarna merah dengan corak bunga-bunga dan jilbab yang menutupi bagian dadanya.

Selain peneliti dan Tante Wati, suami Tante Wati juga berada di ruang tamu selama proses wawancara berlangsung. Tante Wati termasuk orang yang sangat kooperatif selama sesi wawancara berlangsung. Ia sangat antusias dalam menjawab pertanyaan-pertanyaan yang diajukan peneliti. Selama proses wawancara berlangsung kami juga melakukan kontak mata. Tante Wati juga banyak bercerita tentang kehidupannya walaupun hal tersebut tidak ditanyakan oleh peneliti. Namun, karena sang suami juga berada di ruang tamu saat wawancara berlangsung, sesekali Tante Wati bertanya kepada sang suami mengenai jawaban dari pertanyaan yang diajukan oleh peneliti.

Sesekali suami Tante Wati menginterupsi jawaban sang istri selama proses wawancara berlangsung. Tante Wati terkadang juga menjawab pertanyaan peneliti sebelum peneliti menyelesaikan pertanyaannya. Ia juga tidak sungkan untuk bertanya mengenai maksud pertanyaan yang diajukan jika kurang mengerti maksud dari pertanyaan tersebut. Beberapa kali Tante Wati menyelingi jawabannya dengan tertawa atau bahkan sesekali ia tidak menjawab pertanyaan yang diajukan peneliti, melainkan hanya tertawa saja. Tante Wati sering menyebutkan kata ‘eceknya´ saat menjawab pertanyaan yang diajukan peneliti. Terdapat perubahan intonasi suara saat Tante Wati menjawab pertanyaan, seperti dari tinggi ke rendah atau sebaliknya.

Wawancara kedua pada tanggal 16 April 2014 juga dilaksanakan di rumah Tante Wati. Sesampainya peneliti di rumah Tante Wati, ia sedang menyantap makan malam bersama keluarganya sembari menonton televisi. Pada saat menyantap makan malamnya, Tante Wati tidak mengenakan jilbabnya. Setelah selesai menyantap makan malamnya, Tante Wati masuk ke dalam sebuah ruangan dan keluar dengan memakai jilbabnya. Pada pertemuan ini Tante Wati mengenakan long dress berwarna merah dengan corak garis. Selama wawancara berlangsung kami duduk bersebelahan di sebuah sofa panjang yang terbuat dari kayu Jepara. Pada wawancara kali ini, Tante Wati sudah lebih banyak menjawab berbagai pertanyaan yang diajukan oleh peneliti jika dibandingkan dengan pertemuan sebelumnya. Sama seperti pertemuan sebelumnya, Tante Wati dan peneliti saling melakukan kontak mata selama proses wawancara berlangsung Selain itu, Tante Wati juga lebih jarang menanyakan maksud dari pertanyaan peneliti jika dibandingkan dengan wawancara sebelumnya. Masih sama seperti wawancara sebelumnya, Tante Wati sering tertawa dan juga menyebutkan kata ‘eceknya’ saat menjawab pertanyaan yang diajukan peneliti.

Selama proses wawancara berlangsung, sesekali Tante Wati mengusap kedua matanya dengan menggunakan tangan kanannya secara bergantian. Memang saat wawancara berlangsung, hari sudah cukup larut malam. Intonasi suara Tante Wati pun berubah-ubah, dari rendah ke tinggi dan sebaliknya, saat menjawab pertanyaan peneliti. Proses wawancara sempat terhenti beberapa saat karena Tante Wati berbicara dengan anaknya. Terdapat juga beberapa hal lainnya yang mengganggu selama proses wawancara berlangsung, yakni volume televisi yang lumayan kencang

sehingga membuat kebisingan, dan terdapat beberapa keponakan Tante Wati yang datang ke rumahnya dimana mereka juga membuat keributan.

Wawancara ketiga dilakukan pada tanggal 8 Mei 2014 di rumah ibu Tante Wati yang berada tidak jauh dari rumahnya. Sesampainya peneliti tiba di rumah ibu Tante Wati, suasana di dalam ruang tamu sangat ramai. Salah satu kerabat Tante Wati yang melihat kehadiran peneliti memanggil Tante Wati untuk keluar. Lalu, Tante Wati pun mengajak peneliti untuk masuk ke dalam rumah dan kami duduk di sebuah kasur yang diletakkan di lantai ruang televisi. Peneliti dan Tante Wati duduk bersebelahan. Berbeda dengan pertemuan sebelumnya, pada kali ini wajah Tante Wati kelihatan lelah dan terdapat kantung mata di bawah matanya. Memang Tante Wati mengakui bahwa saat itu ia sedang lelah karena baru beberapa hari sampai di Medan setelah mengantar anak sulungnya ke Bandung. Meskipun dalam keadaan lelah namun Tante Wati tetap antusias menjawab pertanyaan peneliti sebab ia memberi jawaban yang cukup panjang untuk setiap pertanyaan yang diajukan peneliti meskipun saat itu ia sedang dalam keadaan lelah. Tante Wati pun selalu menatap peneliti saat memberikan jawabannya. Intonasi suara Tante Wati cukup tinggi saat menjawab pertanyaan namun intonasi tersebut juga bisa berubah menjadi lebih tinggi karena ia antusias saat memberi jawaban. Ini terlihat dari tempo bicara Tante Wati yang semakin cepat.

Masih sama seperti biasanya, Tante Wati lumayan sering tertawa saat menjawab pertanyaan yang diajukan peneliti. Sesekali Tante Wati berbicara dengan salah satu keponakannya dan suaminya yang juga berada di ruang televisi saat itu.

Selain itu, Tante Wati juga beberapa kali berbicara dengan ibunya yang hilir-mudik di sekitaran ruang televisi. Meskipun banyak orang yang hilir-mudik atau berada di ruang televisi saat itu, Tante Wati tanpa ragu tetap menjawab pertanyaan-pertanyaan yang dirasa cukup krusial, seperti apakah keberatan merawat sang ibu dan sebagainya. Terdapat beberapa hal lainnya yang mengganggu selama proses wawancara berlangsung, seperti volume televisi yang cukup kencang, suara saudara-saudara Tante Wati yang cukup berisik, dan juga ada dua orang keponakan Tante Wati yang bolak-balik lewat di tengah-tengah hadapan Tante Wati dan peneliti.

Sesampainya peneliti di rumah Tante Wati pada tanggal 16 Mei 2014, suami Tante Wati yang melihat kedatangan peneliti di teras rumahnya, segera memanggil istrinya untuk keluar rumah. Tante Wati langsung mempersilahkan peneliti untuk masuk dan duduk di sofa yang terbuat dari kayu Jepara yang berada di ruang tamu. Kami pun lalu duduk bersebelahan namun di sofa yang berbeda. Tidak jauh berbeda dengan pertemuan sebelumnya, kali ini pun raut wajah Tante Wati tampak letih. Dan benar saja, Tante Wati mengakui bahwa ia baru selesai mencuci pakaian malam itu dan ia sedang kurang sehat. Meskipun saat itu Tante Wati sedang dalam kondisi kurang sehat dan lelah, namun Tante Wati tetap antusias dalam menjawab semua pertanyaan peneliti. Sama halnya dengan pertemuan-pertemuan sebelumnya, Tante Wati masih sering tertawa saat menjawab pertanyaan peneliti. Kami pun saling melakukan kontak mata selama proses wawancara berlangsung.

Di tengah-tengah wawancara Tante Wati terbatuk. Ini menyebabkan Tante Wati harus bolak-balik ke toilet. Setelah selesai dari toilet, Tante Wati pun kembali

bergabung dengan peneliti di ruang tamu. Sesekali Tante Wati masih terbatuk namun ia tidak pergi ke toilet lagi. Ia hanya menutup mulut menggunakan telapak tangan kanannya saat terbatuk. Saat wawancara sudah hampir selesai, ibu Tante Wati datang dan bergabung dengan kami di ruang tamu. Sesekali Tante Wati juga berbicara dengan ibunya. Meskipun sang ibu berada di ruangan yang sama kami, Tante Wati tetap berbicara seperti biasa dan tanpa sungkan menjawab pertanyaan peneliti sekalipun pertanyaan tersebut berhubungan dengan ibunya. Nada bicara Tante Wati juga berubah-ubah dari lambat menjadi cepat atau kebalikannya. Begitu juga dengan intonasi suaranya yang sesekali berubah dari rendah menjadi tinggi dan sebaliknya. b. Rangkuman Hasil Wawancara

Partisipan kedua dalam penelitian ini bernama Tante Wati. Ia adalah seorang wanita beretnis Minang yang berumur 49 tahun. Profesi Tante Wati adalah seorang wiraswasta dimana ia bersama dengan sang suami berjualan pakaian muslim di Pusat Pasar. Tante Wati dan sang suami tidak berjualan di toko yang sama. Ia dan sang suami masing-masing bertanggung jawab atas dua ruko yang berbeda. Tante Wati dan suami masing-masing memiliki karyawan yang membantu mereka saat berjualan di Pusat Pasar.

Tante Wati sudah menikah dengan suaminya selama 23 tahun. Sang suami juga dari etnis Minang. Ia beserta keluarganya masih sering mudik ke kampung halaman sang suami sebab masih banyak keluarga sang suami yang berdomisili di kampung tersebut. Dari pernikahannya dengan sang suami, Tante Wati telah dikaruniai oleh empat orang anak. Setelah menyelesaikan pendidikan S1-nya, anak

sulung Tante Wati kini menyusul adiknya, UL, ke Bandung yang juga kuliah disana, untuk mengikuti tes seleksi penerimaan beasiswa program S2. Sementara anak Tante Wati yang lainnya saat ini adalah mahasiswi tingkat satu di Universitas Sumatera Utara dan anak bungsunya sedang duduk di bangku Sekolah Menengah Atas kelas dua.

Setelah menikah Tante Wati sempat tinggal satu rumah bersama dengan kedua orang tuanya selama enam bulan. Lalu, ia membeli sebuah rumah dan memutuskan untuk tidak tinggal serumah lagi bersama kedua orang tuanya. Namun, hal tersebut tidak berlangsung lama sebab ayah Tante Wati menyuruhnya untuk kembali tinggal bersama di rumah orang tuanya. Menurut Tante Wati ini dikarenakan ia adalah anak pertama dalam keluarganya yang beretnis Minang sehingga ayahnya memberi kepercayaan lebih padanya untuk melakukan pekerjaan rumah tangga dan juga mengelola usaha keluarga mereka, yakni usaha gordyn. Selain memiliki usaha gordyn, keluarga Tante Wati juga memiliki usaha perabotan Jepara yang masih dikelola oleh sang ibu. Tante Wati beserta keluarganya kembali memutuskan untuk tidak tinggal serumah dengan kedua orang tuanya. Walaupun demikian Tante Wati tetap tinggal berdekatan dengan kedua orang tuanya. Ia membangun sebuah rumah yang berada tidak jauh dengan tempat tinggal orang tuanya. Hal ini dimaksudkan agar ia tetap bisa melihat dan mengurus orang tuanya meskipun sudah tidak tinggal satu rumah lagi.

Setelah sang ayah meninggal dunia, Tante Wati tetap menjalankan kewajibannya sebagai anak perempuan etnis Minang untuk merawat sang ibu

meskipun mereka memang tidak tinggal satu rumah lagi. Tante Wati beserta keluarganya juga masih menjalankan adatnya sebagai orang Minang. Meskipun mereka tidak tinggal di Sumatera Barat tetapi mereka tetap menjalankan adatnya seperti anak perempuan dalam keluarga mereka yang lebih diutamakan untuk mendiami dan merawat rumah peninggalan orang tua. Selain itu, anak perempuan dalam keluarga mereka diberi tanggung jawab untuk mengelola usaha gordyn yang telah dirintis oleh sang ayah.

Setiap hari sang ibu berkunjung ke rumah Tante Wati. Hal ini tentu saja dikarenakan jarak rumah yang mereka berdekatan. Selain itu, Tante Wati menuturkan bahwa meskipun saat ini sang ibu tinggal satu rumah bersama adik perempuannya tetapi sang ibu lebih mengandalkan Tante Wati dalam berbagai hal. Jika sang ibu merasa tidak selera untuk makan masakan anak perempuannya, yang tinggal serumah dengannya, ia akan pergi ke rumah Tante Wati untuk makan. Lalu, Tante Wati akan memasakkan atau membelikan makanan yang diinginkan oleh sang ibu.

Sudah lima tahun terakhir ini, sejak usia 66 tahun, ibu Tante Wati memiliki riwayat penyakit, antara lain hipertensi, diabetes, jantung, dan juga kolestrol. Hal ini menyebabkan Tante Wati harus merawat sang ibu dengan ekstra. Tante Wati dan saudara-saudaranya yang lain memang menjaga sang ibu secara bergantian jika sedang opname di rumah sakit. Namun, karena anak-anak Tante Wati sudah besar dan mandiri, Tante Wati yang selalu menjaga sang ibu saat opname di rumah sakit pada malam hari. Tidak jarang Tante Wati harus bangun pada tengah malam untuk mengantarkan ibunya pergi ke rumah sakit. Diakui Tante Wati bahwa ia dan

saudara-saudaranya secara bersama-sama menanggung biaya berobat sang ibu. Jika biaya berobat sang ibu cukup besar maka semua biaya tersebut akan dibagi rata dengan saudara-saudaranya yang lain. Sedangkan jika biaya berobatnya tidak terlalu besar, Tante Wati akan membaginya hanya bersama beberapa saudaranya saja.

Tanggung jawab Tante Wati dalam mengurus sang ibu tidak berhenti sampai disitu saja. Sang ibu sering meminta Tante Wati untuk menemaninya berpergian keluar kota, seperti ke Jepara untuk membeli bahan baku usaha perabotan miliki keluarganya atau bahkan menemani sang ibu melaksanakan ibadah umroh. Memiliki banyak tanggung jawab sekaligus, yaitu mengurus keluarga, merawat sang ibu, dan juga bekerja bukanlah hal yang mudah untuk dilakukan oleh Tante Wati. Diakui oleh Tante Wati bahwa ia mengalami kendala dalam melaksanakan berbagai tanggung jawabnya secara bersamaan. Ia sulit untuk membagi waktu untuk satu tugasnya dengan tugas yang lain sehingga pekerjaan rumahnya menjadi terbengkalai jika ia menemani sang ibu di rumah sakit, seperti tidak bisa menyiapkan sarapan untuk keluarga dan sebagainya. Anak sulung Tante Wati sempat membantunya mengerjakan pekerjaan rumah tangga atau menggantikannya berjualan di Pusat Pasar. Namun, karena sekarang anak sulungnya sedang berada di Bandung, tugas-tugas Tante Wati pun kembali menjadi terbengkalai.

“Enggaklah, eceknya kita apain ajalah yakan. Kita jalanin aja. Capek kali kita yah cuma pekerjaan rumahlah yang terbengkalai yakan?” (R2.W2/b.661-663/h.15-16)

“Yah teganggu smua-smualah yakan? Eceknya kerjaan kita, ke pajak, kan terganggu yakan? Cuma sebelumnya ada si Mifta gak apa kali yakan? Pas si Mifta ada jadi gak kepikir kali. Kadang kalo di toko, kita gak ada barang kan,

kalo orang minta butuh, kan tante bisa pulang nyarikan. Kan kalo anggota terbatas.” (R2.W4/b.1317-1322/h.30)

Selain itu, Tante Wati juga merasa kelelahan saat harus mengurus sang ibu, mengurus keperluan keluarganya, dan juga bekerja secara bersamaan. Tante Wati juga menjadi semakin lelah jika ia harus pulang-pergi melakukan perjalanan keluar kota untuk membeli keperluan usahanya. Walaupun demikian Tante Wati berusaha untuk ikhlas menjalankan berbagai tanggung jawabnya tersebut. Menurutnya, berbagai tugas yang dimilikinya, seperti mengurus sang ibu, mengurus keluarga, dan juga bekerja adalah tanggung jawab yang harus ia terima.

“Kalo capek-capek itu adalah ya ‘kan? Namanya kadang kan secara sibuk, sini pun sibuk. Baru pulang dari Jakarta capeklah kita ya ‘kan?” (R2.W1/b.89-91/h.3)

“Kalo capek yah memang capeklah. Kalo minta ke rumah sakit kan, mau gak mau kita temanin juga. Daripada fatal tengah malam sakit yah kita kawaninlah. Kadang taulah dokternya, kalo kita gak buat janji dulu, bisa malam pulang.” (R2.W2/b.653-657/h.15)

“Cemana rasakannya? Yah kita terimalah, cemana mau dibilang lagi yakan? Namanya kewajiban kita, orang tua kita, jadi toh orang lain gak bisa nolak. Kayak adek tante, masing-masing punya anak kecil yakan? Kalo tante kan dah bebas, gak diurusin lagi. Kayak Bu Wa kan anaknya masih kecil, nanti tunggu tante juga. Kalo kayak sekarang ini kan tanpa dp, jadi orang itu bisa, tante datang jam 8 pagi aja. Sekalian buat sarapan nenek kan? Sebab disitu tanpa makan, makan kita bawa dari rumah pribadi.” (R2.W4/b.1382-1391/h.32) Salah satu keinginan Tante Wati yang sudah terwujud ialah memiliki ruko. Meskipun demikian, Tante Wati menilai secara keseluruhan hidupnya belum memuaskan. Menurutnya hal ini dikarenakan adanya keinginannya yang lain yang belum tercapai. Tante Wati memiliki keinginan untuk memiliki rumah yang besar dan juga ingin melihat semua anaknya bisa tamat dari bangku kuliah. Tante Wati

menuturkan ia ingin memiliki rumah yang besar agar rumah tersebut nantinya bisa ditempati oleh anak-anaknya yang sudah menikah. Selain itu, keinginan lainnya yang dimiliki Tante Wati ialah melaksanakan ibadah haji. Saat ini ia sudah masuk ke dalam daftar tunggu untuk bisa melaksanakan keinginannya tersebut. Walaupun keinginannya tersebut belum terwujud tapi Tante Wati mengakui bahwa ia sudah cukup senang karena sudah mendaftarkan dirinya dan juga sang suami untuk melaksanakan ibadah haji. Terlebih lagi Tante Wati juga sudah pernah sebelumnya melaksanakan ibadah umroh bersama sang ibu. Ini membuat Tante Wati merasa bahwa keinginannya untuk pergi ke tanah suci sudah hampir terwujud. Dan meskipun menilai hidupnya belum memuaskan, tetapi Tante Wati tetap bersyukur atas segala rejeki yang diberikan Allah padanya.

“Eceknya yang kepingin udahlah. Dulu pingin punya ruko sendiri udah, di Batang Kuis udah ada. Untuk hari tua, mana tau yakan?” (R2.W2/b.730-732/h.17)

“Bukan rumah besar, eceknya orang ini udah pada besar mana tau ada jodohnya, gak mungkin rumah kecil kayak gini yakan. Itu ajanya.” (R2.W4/b.1522-1524/h.35)

“Kalo tante… cemana dibilangkan? Jalanin aja hidup ini yakan? Yang penting kita udah berdoa, udah berusaha. Kalo soal rejeki Allah yang menentukan. Jadi mau bilang apa lagi? Yah kalo manusia kurang puas aja. Cuma segitu dikasih Allah, kita terimalah. Kalo merasa sedih, merasa apa enggak. Kalo merasa stress insyaAllah enggaklah yakan.” (R2.W2/b.594-600/h.14)

“Mana ya? Yah Alhamdulillah lah. Kalo merasa puas manusia belum ada merasa puas-puasnya yakan. Cuma kalo dikasih Alhamdulillah lah yakan?” (R2.W2/b.711-713/h.17)

Keinginan Tante Wati yang lainnya yang sudah terwujud ialah agar semua anak-anaknya berkelakuan baik. Hal ini adalah hal terpenting baginya. Menurut Tante

Wati hal ini terlihat dari kehidupan agama semua anak-anaknya yang sudah baik. Sejauh ini semua anak Tante Wati tidak pernah berbuat yang aneh-aneh, misalnya seperti pulang malam atau yang lainnya. Memang terkadang anak Tante Wati pernah pulang malam ke rumah. Namun, hal ini dikarenakan mereka mengikuti kegiatan organisasi di kampusnya yang mengharuskan mereka untuk pulang terlambat ke rumah.

“Yah apalah, yang paling penting aman-aman ajalah. Anak baik, bagus yakan? Eceknya gak macam-macam.” (R2.W2/b.735-737/h.17)

“Yah kesampaian yah.. mudah-mudahan insyaAllah kalo anak pun.. sholat pun taat, yang apalah ya ‘kan. Yang laki-laki pun baguslah, eceknya gak macam-macamlah anak tante. Tapi yang kecil itu pun, yang SMA yang laki-laki, eceknya gak nyusahkan kitalah ya ‘kan. Pulang sekolah jadi imam di mesjid dekat sini. Siap itu ngajar ngaji lagi musholla itu, sampe isya baru pulang dia kadang.” (R2.W1/b.157-164/h.3)

Walaupun menilai hidupnya secara keseluruhan belum memuaskan namun Tante Wati tetap merasakan afek positif dalam kehidupannya. Ia menganggap bahwa berbagai tanggung jawab yang dimilikinya menyenangkan. Selain itu, ia juga merasa enjoy dengan berbagai tanggung jawab yang dimilikinya meskipun ia memang mengakui bahwa banyak kendala yang dihadapinya karena hal tersebut.

“Dampak apa ya? Tante bawa apa ajalah ya, bawa senang ajalah ya. Gak tante pikirin kali.” (R2.W1/b.56-57/h.2)

“Kalo sedih, kesal, gak juga. Yah kita jalanin ajalah dengan apa, dengan tenang ajalah. Alhamdulillah dapat teratasilah semuanya ya ‘kan? Anggap enjoy ajalah.” (R2.W1/b.212-215/h.5)

Tante Wati tidak merasa cemas karena salah satu anaknya kuliah dan tinggal berjauhan dengan dirinya. Sebaliknya, ia justru merasa senang karena meskipun

mereka tinggal berjauhan namun sang anak menunjukkan prestasi yang bagus dalam pendidikannya, memiliki penghasilan sendiri dengan menjadi asisten laboratorium di kampusnya dan saat mengikuti praktek kuliah langsung (PKL). Tentu saja hal ini tidak sekedar membuat Tante Wati senang. Ia mengakui bahwa ia cukup terbantu karena anaknya sudah memiliki penghasilan sendiri sehingga saat ia tidak bisa mengirimkan uang bulanan bagi anaknya tersebut, sang anak tetap memiliki uang untuk bisa mencukupi kebutuhan hidupnya sehari-hari di Bandung. Tidak hanya satu

Dokumen terkait