• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB 4 HASIL DAN PEMBAHASAN

A. HASIL

3. Partisipan III

Tabel 9. Gambaran Umum Partisipan III Identitas Partisipan III

Nama Bu Uppi (Nama Samaran)

Usia 47 tahun

Pekerjaan Wiraswasta

Riwayat kesehatan Asam Urat Lama merawat orang tua 8 tahun Usia pernikahan 27 tahun

Jumlah anak 5 orang

Suku Mandai

Pendidikan SMP

Anak ke- 2 dari 7 bersaudara

Usia orang tua a. Ayah : 75 tahun b. Ibu : 70 tahun Riwayat kesehatan orang tua a. Ayah : Batu Ginjal

Tabel 10. Jadwal Pelaksanaan Wawancara

Hari/Tanggal Pukul Lokasi

Rabu, 30 April 2014 11.15-12.00 WIB Jln. Bromo, Medan Senin, 05 Mei 2014 10.35-11.25 WIB Jln. Bromo, Medan Rabu, 28 Mei 2014 12.05-12.55 WIB Jln. Bromo, Medan

a. Rangkuman Hasil Observasi

Partisipan ketiga dalam penelitian ini bernama Ibu Uppi. Ibu Uppi adalah seorang perempuan yang berusia 47 tahun. Ibu Uppi memiliki tinggi badan sekitar 165 cm dengan berat badan sekitar 48 sampai 50 kg. Kulit Ibu Uppi berwarna sawo matang dan memiliki rambut lurus berwarna hitam sepanjang bahu. Wawancara dengan Ibu Upii dilakukan sebanyak tiga kali. Ketiga wawancara tersebut dilakukan di rumah Ibu Uppi yang bertempat di Jalan Bromo, Medan. Rumah Ibu Uppi terletak di dalam sebuah gang kecil yang hanya bisa dilewati kendaraan beroda dua saja. Tempat tinggal Ibu Uppi ini termasuk pemukiman yang padat penduduk sebab jarak antara satu rumah dengan rumah lainnya sangat berdekatan.

Rumah Ibu Uppi berukuran 6x15 meter namun rumah tersebut dibagi menjadi dua bagian. Bangunan yang berukuran 3x15 meter pertama terdiri dari beberapa kamar tidur dan ruang tamu sekaligus merangkap sebagai ruang televisi. Bangunan yang berukuran 3x15 meter lainnya dijadikan sebagai tempat usaha Ibu Uppi, yaitu usaha konveksi dan sebuah warung kecil-kecilan. Terdapat sebuah dinding yang sudah dijebol terlebih dahulu untuk menggabungkan kedua bangunan ini. Semua

wawancara dilakukan di ruang tamu yang juga merangkap sebagai ruang televisi. Ruang tamu tersebut berukuran kecil, yakni 3x3 meter. Ruangan tersebut pun dipenuhi oleh banyak barang, seperti sebuah lemari, tumpukan kotak sepatu untuk dagangan Ibu Uppi, sebuah televisi yang ditempel langsung ke dinding, dan sebuah pohon plastik dengan tinggi 1,5 meter yang berada di sudut ruangan tersebut.

Wawancara pertama dilakukan pada tanggal 30 April 2014. Sesampainya peneliti di rumah Ibu Uppi, Ibu Uppi terlihat sedang sibuk menjahit sandal yang menjadi barang dagangannya. Setelah ia melihat kedatangan peneliti, Ibu Uppi pun menghentikan aktivitasnya tersebut dan mengajak peneliti untuk pindah ke ruang tamu. Ibu Uppi pun kemudian membentangkan karpet sebagai alas duduk kami saat itu sebab memang tidak ada perabotan lainnya di ruang tamu tersebut selain sebuah lemari. Selama wawancara berlangsung kami duduk bersila dan saling berhadapan satu sama lain. Pada wawancara ini Ibu Uppi menggunakan long dress berwarna merah darahdengan corak bunga-bunga berwarna putih.

Ibu Uppi termasuk orang yang sangat kooperatif selama wawancara. Ia cukup antusias dalam menjawab setiap pertanyaan peneliti. Hal ini terlihat dari intonasinya saat berbicara yang cukup cepat dan hampir tanpa jeda. Jawaban yang diberikan Ibu Uppi kepada peneliti juga lumayan panjang. Selain itu, Ibu Uppi juga selalu melakukan kontak mata dengan peneliti selama proses wawancara berlangsung. Namun, saat peneliti bertanya tentang keinginannya yang belum terwujud, Ibu Uppi menjawabnya sambil meneteskan air mata. Peneliti pun memberikan waktu pada Ibu Uppi untuk menenangkan diri beberapa saat. Setelah dirasa cukup tenang, peneliti

pun kembali bertanya pada Ibu Uppi. Selama proses wawancara berlangsung terdapat beberapa hal yang mengganggu seperti salah satu saudara Ibu Uppi yang sempat bergabung dan menginterupsi di awal proses wawancara. Selain itu juga ada seorang tamu pria yang datang ke rumah Ibu Uppi, dimana ini menyebabkan proses wawancara sempat terhenti untuk beberapa saat.

Pada tanggal 5 Mei 2014 peneliti kembali hadir ke rumah Ibu Uppi bersama seorang teman untuk melakukan wawancara. Sama seperti pertemuan sebelumnya, saat peneliti tiba di rumah Ibu Uppi, ia sedang menjahit kacu yang juga menjadi barang dagangannya selain sandal. Wawancara pun kembali dilakukan di ruang tamu seperti pertemuan sebelumnya. Ibu Uppi pun kembali membentangkan karpet sebagai alas untuk kami duduk di lantai. Sama seperti pertemuan sebelumnya, pada wawancara kali ini Ibu Uppi menggunakan long dress berwarna merah darahdengan corak bunga-bunga berwarna putih.

Wawancara kali ini agak berbeda dengan wawancara sebelumnya. Hal ini dikarenakan Ibu Uppi menjawab pertanyaan peneliti dengan sedikit tergesa-gesa jika dibandingkan dengan pertemuan sebelumnya. Memang Ibu Uppi mengakui bahwa hari itu ia sedang sibuk karena ia dan sang suami akan pergi ke grosir-grosir untuk mengantarkan kacu yang sedang ia buat. Namun, meskipun demikian Ibu Uppi tetap berusaha untuk menjawab pertanyaan peneliti dengan sebaik mungkin. Hal ini terlihat dari jawaban Ibu Uppi yang panjang-lebar saat menjawab pertanyaan peneliti. Namun, masih sama seperti pertemuan sebelumnya, Ibu Uppi selalu menatap ke arah peneliti selama proses tanya-jawab berlangsung.

Wawancara ketiga, sekaligus wawancara terakhir, dilaksanakan pada tanggal 28 Mei 2014. Tidak ada perbedaan yang signifikan antara wawancara ini dengan wawancara sebelumnya. Sesampainya peneliti di rumah Ibu Uppi, ia terlihat sedang menyapu bagian depan rumah yang menjadi tempat usaha konveksinya sekaligus merangkap sebagai warung. Begitu melihat kehadiran peneliti, Ibu Uppi langsung menghentikan aktivitasnya saat itu dan mempersilahkan peneliti beserta temannya untuk masuk ke dalam ruang tamu. Pada pertemuan ini, Ibu Uppi mengenakan long dress polos berwarna hitam. Di awal wawancara ia cukup tergesa-gesa dalam menjawab pertanyaan peneliti.

Ia mengakui bahwa ia cukup sibuk pada hari itu. Ibu Uppi menuturkan bahwa ia baru saja pulang dari tukang jahit untuk mengurus keperluan dagangnya tepat sebelum wawancara dimulai. Namun, di pertengahan wawancara Ibu Uppi sudah tidak tergesa-gesa lagi saat menjawab pertanyaan peneliti. Sebaliknya, Ibu Uppi cukup antusias dalam menjawab pertanyaan yang diajukan oleh peneliti dengan memberikan jawaban yang cukup panjang. Ibu Uppi juga selalu menatap ke arah peneliti setiap kali menjawab pertanyaan yang diajukan oleh peneliti. Wawancara hari itu sempat terhenti beberapa kali karena ada beberapa hal yang mengganggu, seperti Ibu Uppi yang berbicara pada anak-anaknya, berbicara pada sang ayah, berbicara pada tetangganya, ataupun bolak-balik dari ruang tamu ke warung kecilnya untuk melayani pembeli yang berbelanja saat itu.

Ibu Uppi adalah seorang perempuan etnis Minang yang berusia 47 tahun. Ia sudah menikah selama 27 tahun dengan seorang pria beretnis Jawa. Dari pernikahannya tersebut ia telah dikarunia lima orang anak, masing-masing berumur 27 tahun, 23 tahun, 21 tahun, 17 tahun dan 10 tahun. Ibu Uppi adalah seorang wiraswasta. Bersama dengan suaminya dia membuka usaha konveksi sandal dan perlengkapan sekolah seperti topi ataupun kacu. Selain memiliki usaha konveksi, Ibu Uppi juga memiliki usaha lainnya. Di bagian depan rumahnya, ia membuka sebuah warung kecil-kecilan yang menjual bahan-bahan masakan, seperti ikan, kepiting, minyak goreng, kacang hijau, dan lain sebagainya.

Saat ini Ibu Uppi dan keluarga tinggal di rumah orang tua Ibu Uppi. Hal ini bukannya tanpa alasan. Ibu Uppi adalah satu-satunya anak perempuan dalam keluarganya. Ibu Uppi adalah anak kedua dari tujuh bersaudara, dimana semua saudaranya tersebut adalah laki-laki. Sebagai satu-satunya anak perempuan dalam keluarganya, Ibu Uppi menuturkan bahwa ia diberikan sebidang tanah oleh kedua orang tuanya tepat disebelah rumah orang tuanya tersebut. Ibu Uppi pun lalu membangun tanah tersebut, yang kini ditempatinya bersama keluarga dan kedua orang tuanya. Walaupun hanya ia satu-satunya yang diberikan tanah dan memiliki hak untuk merawat rumah orang tuanya, tapi semua saudara laki-lakinya bisa memahami hal tersebut. Hal ini dikarenakan mereka tetap melaksanakan adat Minang meskipun mereka tidak tinggal di kampung halamannya, yaitu Sumatera Barat.

Sudah delapan tahun terakhir ini Ibu Uppi benar-benar mengurus kedua orang tuanya. Sebelumnya, walaupun mereka tinggal serumah namun kedua orang tuanya

masih bisa mengurus dirinya sendiri. Seiring dengan berjalannya waktu, kedua orang tua Ibu Uppi pun semakin tua sehingga memerlukan bantuan dari anaknya untuk mengurus keperluan mereka sehari-hari. Saat ini sang ibu berusia 70 tahun sedangkan ayahnya berusia 75 tahun. Sang ayah sempat memiliki penyakit batu ginjal. Namun, karena sering menjalani pengobatan tradisional akhirnya sang ayah penyakit hipertensi. Tetapi, sang ibu selalu menjaga kesehatannya seperti berobat ke dokter atau menggunakan obat-obatan herbal sehingga penyakit hipertensi yang dimilikinya tidak menjadi semakin parah.

Semua kebutuhan sehari-hari orang tuanya dipenuhi oleh Ibu Uppi, mulai dari keperluan makannya sampai biaya untuk berobatnya. Sesekali saudara-saudaranya yang lain juga membantu untuk biaya berobat orang tua mereka namun Ibu Uppi menuturkan bahwa ia yang lebih banyak mengeluarkan dana untuk biaya berobat kedua orang tuanya. Walaupun demikian, Ibu Uppi sama sekali tidak merasa keberatan harus mengeluarkan biaya yang lebih besar daripada saudara-saudaranya untuk biaya berobat kedua orang tuanya. Ibu Uppi juga tidak merasa kesulitan membagi waktu untuk masing-masing tanggung jawab yang dimilikinya. Hal ini dikarenakan ia sudah terbiasa dengan berbagai tanggung jawabnya tersebut sebab saat kecil dulu ia sudah terbiasa untuk bekerja,

“Yah di awal-awal gitu juga, gak begitu sulit. Karna ibu dari gadis udah biasa kerja. Ibu dari gadis pun pulang sekolah udah kerja. Pagi tuh ibu sebelum masuk sekolah, kan masuk siang, ibu bantu saudara ibu jualan di pajak. Nanti pulang sekolah ibu udah jahit topi juga dulu ibu, nggosok rok-rok orang. Jadi ibu udah biasa bekerja dari gadis. Karna kami, hidup kami udah susah dari orang tua. Adek enam sekolah, kami tujuh jadi orang tua kami kan susah,

kami bantu, ibu bantu. Jadi ibu udah biasa bekerja. Jadi ibu gak canggung ngadepin keadaan itu.” (R3.W2/b.856-867/h.20)

“Udah biasa, eceknya gak terganggulah, dah biasa. Kalo dah biasa kerja jadi pagi bikin teh manis, masak air panas, sambil jahit kita jualan juga. Dah terbiasa. Kayak tadi ngerjain topi lagi. Kalo dah terbiasa udah gak apa lagi, dah gak bingung lagi bagi waktunya. Dah sehari-hari itulah kerjaan kita.” (R3.W3/b.1362-1367/h.31)

Secara keseluruhan Ibu Uppi menilai kehidupannya saat ini belum memuaskan. Meskipun hal-hal yang dianggapnya penting, seperti pengertian, kejujuran, kerja sama, saling menyayangi, serta saling menghormati dalam keluarga sudah terwujud, tetapi ini tidak membuatnya menilai bahwa hidupnya sudah memuaskan. Hal ini dikarenakan adanya hal-hal lain yang dinilai penting oleh Ibu Uppi yang belum terwujud, mulai dari ingin melaksanakan ibadah haji, ingin memiliki rumah pribadi, serta ingin melihat anaknya yang sudah dewasa segera menikah. Penghasilan yang dimiliki Ibu Uppi saat ini belum cukup untuk mewujudkan keinginannya tersebut.

“Kesehatan, saling percaya dalam rumah tangga, saling tolong-menolong, bekerja sama dengan baik gitu kan, saling jujurlah. Apapun kita lakukan bersama dimusyawahkan kalo ada masalah. Itulah yang perlu ibu dalam rumah tangga itu. Mudah-mudahan udah kami laksanakanlah dengan baik ama bapak gitu kan.” (R3.W2/b.1150-1156/h.26)

“Kerjaan ini udah cukup, usaha ini udah ada. Cuma kalo untuk ekonomi ini kan mesti, belum cukupnya belum bisa bangun rumah kita, gitu kan. Rasanya ekonomi itu kan kurang. Istilahnya belum bisa menabung masalah haji, belum mampu gitu kan? Ingin pula gitu kan, pingin rumah, melaksanakan haji gitu kan? Itu anak-anak berumah tangga, kepingin juga nengok. Cuma yang perlu bangun rumah sama haji itulah yang penting ibu.” (R3.W2/b.1124-1133/h.26) “Yah Alhamdulillah baguslah, bagus. Dijalankan baik-baiklah, sempurnalah istilahnya kan? Walaupun ada kekurangan yah lebih banyak sempurnanya dibanding kekurangannya. Manusia tuh gak ada yang sempurna sebenarnya.

Tapi lebih baik sempurnanyalah dibanding kekurangannya. Pasti ada kurang aja manusia ini, gak ada puasnya kan? Tapi kita ambil hikmahnya aja, kita syukurin ajalah. Mungkin ini rejeki dari Allah, kita jalankan gitu kan. Yang penting kita percaya, ikhlas, ridho apa yang kita jalankan itu aja. Jadi kita, merasa puas hati kita. Kalo memang dibilang puas, puas dalam arti, dalam arti batin udah puas. Tapi dari segi ekonominya mungkin lebih tinggi lagi yakan, pinginnya lebih tinggi lagi. Tapi kalo untuk mencapai kita yakan, sekarang kita jalani aja, kita usahakan aja. Untung-untung tercapai dengan usaha kita yang giat ini yakan?” (R3.W2/b.1103-1120/h.25-26)

Selain itu Ibu Uppi juga menginginkan agar pendidikan anak-anaknya lebih maju dari dirinya atau sang suami. Saat ini hanya anak sulung Ibu Uppi yang sudah tamat dari bangku kuliah. Sementara anak kedua dan ketiganya hanya tamat SMA, anak ketiganya sedang duduk di bangku SMA, dan anak bungsunya sedang duduk di bangku kelas lima saat ini. Namun, karena keterbatasan ekonomi, Ibu Uppi tidak bisa menyekolahkan anak-anaknya yang lain sampai ke jenjang pendidikan yang lebih tinggi. Meskipun Ibu Uppi menilai secara keseluruhan hidupnya belum memuaskan namun Ibu Uppi tetap mensyukuri segala rejeki yang diberikan Allah kepadanya. Ia menilai bahwa apa yang telah ia dapatkan saat ini merupakan hasil dari usahanya selama ini yang harus ia terima.

“Enggak, gak puas juga cuma tamat SMA. Pingin lebih tinggi yakan? Tapi itu rejeki merekalah. Misalnya ada apa, mereka bisa kuliah kan? Gitu aja.” (R3.W3/b.1527-1530/h.35)

“Manusia itu gak akan pernah puas sebenarnya. Pinginnya lebih-lebih gitukan. Tapi kita yah kan istilahnya kita ingin mencapai lebih tapi kan dengan usaha kita yang lebih apa lagilah, lebih giat lagi gitukan. Yah ibu memang sebenarnya gak pernah puas manusia itu. Cuman iya kita banyak bersyukur. Rejeki dari Allah itu kita syukuri aja. Emang kita usaha lebih baik lagi, gitu aja.” (R3.W1/b.151-158/h.4)

Ibu Uppi merasa senang karena dengan berbagai kesibukan yang dimilikinya, ia masih bisa mengurus kedua orang tuanya. Ia mengakui bahwa ia merasa bangga karena bisa menyayangi dan memperhatikan kedua orang tuanya. Ibu Uppi menuturkan bahwa ia merasa enjoy dengan berbagai tanggung jawab yang dimilikinya saat ini, mulai dari mengurus kedua orang tua, mengurus keluarga, dan juga bekerja. Hal ini dikarenakan Ibu Uppi ikhlas dengan berbagai tanggung jawabnya tersebut sehingga bisa merasa senang.

“Senang karna kita bisa ngelakuin kegiatan, bisa ngebantu suami, bisa ngurus orang, kan senang kan? Trus nanti ibadah, ngurus orang tua kita suatu ibadah. Gitu kan, ngurus dia kita masih bisa ngurusin karna kita masih sehat kan? Kapanlah kita masanya ngurus orang tua. Jarang-jarang orang tua kita ama kita, udah gak ada. Dia ada itu kesempatan kita buat ngurus dia.” (R3.W1/b.232-239/h.6)

“Yah banggalah kita bisa ngerawat orangtua kita kan? Jarang kali ada orang yang mau ngerawat orang tuanya tapi kita bisa. Dengan kesibukan kita luar biasa, kita bisa sempat merawat orang tua kita. Bisa menyayanginya, memperhatikan dia, makan dia, kesehatan dia. Kan bangga kita, bukan bangga karna kita ngasih duit dia, tidak, tapi karna memperhatikan dia. Dia udah tua diperhatikan anaknya gitu. Walaupun dia gak tinggal sama ibu, pasti ibu perhatikan. Kayak itu mertua ibu jauh, ibu perhatikan. Ibu perhatikan sambalnya, makan dia ini hari, dianter kesana sama anak. Apa lagi ibu kita gitu kan?” (R3.W3/b.1589-1601/h.36)

“Enggak, istilahnya besyukurlah gak ada ngerasa beban yakan? Karna kita kan ikhlas. Itulah ikhlas hati itu aja ngurus orang tua kita. Kerjaan kita yang banyak ini, hati kita lapang aja ngadapinya, gitu aja. Kalo hati kita gak bersih, gak lapang, itu sempit hati kita. Ibarat rumah kecil tapi anggap rumah ini lapang, besar aja gak ada rasa sempit. Pulang ke hati sebenarnya semua itu, itu aja.” (R3.W2/b.653-660/h.15)

Ibu Uppi juga merasa senang jika sang anak mau membantunya mengerjakan pekerjaan rumah tangga. Namun, menurut Ibu Uppi anak-anak perempuannya hanya mau mengerjakan pekerjaan rumah tangga jika diminta olehnya sehingga sang ibulah

yang kemudian mengerjakan pekerjaan tersebut. Hal inilah yang menyebabkan Ibu Uppi merasa kesal jika saat ia pulang ke rumah sehabis mengantarkan barang dagangannya ke grosir-grosir, rumahnya masih dalam keadaan berantakan. Selain itu, Ibu Uppi juga merasa tersinggung dan kesal saat masakannya tidak sesuai dengan selera sang ibu dan sang ibu lebih memilih untuk membeli makanan diluar. Atau hal lainnya yang membuat Ibu Uppi merasa kesal saat sang ibu ingin memasak sesuatu dengan menggunakan bahan masakan yang dijual di warung Ibu Uppi dan baru mengatakan keinginannya tersebut setelah bahan masakan tersebut telah habis terjual. “Ada juga, kadang-kadang ada juga kita kesel, capek yakan. Orang tua inikan udah tua, kadang-kadang gak sesuai dia sama masakan kita, kadang-kadang dia apa. Orang tua inikan seperti anak-anak balik. Kan dia apa buat kita kesel kadang-kadang kita masak itu, gak suka dia makan. Nanti kadang-kadang mau dia beli gitu. Kan tesinggung kita. Tapi yaudah namanya orang tua. Yah kadang-kadang anak-anak ini kita capek dia gak tau. Banyak kali kita pulang-pulang nolak, ada ajalah liat piring beserak, kita kan capek, pening namanya anak-anak gak mau ngerjakan. Kadang-kadang kesal jugalah. Tapi yah namanya tetap kita kerjakan kan? Kalo dibawakan kali kesalnya nanti bisa jadi penyakit ama kitakan? Yaudah kalo udah apa bawa tidur aja. Nengok kerjaan beserak itu ibu tidur aja. Itu aja ibu. Jadi ibu gak terlalu kepikiran ibu. Apapun gak ibu pikirkan gitu.” (R3.W1/b.111-128/h.3-4)

Adapun hal lainnya yang membuat Ibu Uppi merasa kesal ialah saat anak-anaknya melawan kepadanya. Selain itu, Ibu Uppi juga tidak memungkiri bahwa terkadang ia merasa lelah dan jenuh dengan berbagai tanggung jawab yang dimilikinya, yakni mengurus kedua orang tua, mengurus keluarga, dan juga bekerja. Hal ini yang kemudian membuat Ibu Uppi menjadi lebih gampang marah saat sedang merasa lelah seperti itu. Meskipun demikian, Ibu Uppi tetap akan melakukan berbagai tanggung jawabnya tersebut sebab ia ikhlas untuk melakukannya. Namun, jika Ibu

Uppi sedang merasakan afek negatif, ia lebih memilih untuk pergi keluar rumah sembari mengantarkan barang-barang dagangannya ke grosir-grosir untuk menghilangkan afek negatif tersebut.

“Gak menyenangkan yah namanya.. cemana yah yang gak menyenangkan? Anak-anaklah kadang-kadanglah. Anak-anak kadang-kadang buat kita kesal kan? Kadang dia melawan ama kita. Udah capek-capek kita, asal kita bilang apa itu dibantah aja. Kalo bapak itu gak pernah. Udah 26 tahun bapak itu sama itu gak pernah apa-apa, bagus aja. Dia gak pernah mukul ibu, gak pernah apa-apa.” (R3.W1/b.607-614/h.14)

“Kadang-kadang maulah kita merepetlah gitu istilahnya kan. Duh capeknya gitu kan?” (R3.W3/b.1286-1287/h.29)

“Yah kayak mana? Ibu kalo jenuh tuh ibu sibukkan juga tuh, kesibukan sendiri juga. Kayak semalam tuh menjahit jugalah ibu. Kalo jenuh tuh kita bante kerja juga, karna duduk-duduk pun sama juga yakan? Ibu bante kerja juga, menggosok supaya ada kegiatan lain lagi. Malam gak ada mau dijahit, duduk-duduk aja, sepi yah ibu bawa nggosok. Pokoknya ibu bawa kerjalah kalo jenuh itu. Timbang duduk-duduk gitu bagus kita kerja.” (R3.W2/b.772-780/h.18)

“Yah pernah juga tapi jaranglah. Kadang-kadang makanya kayak yang ibu bilang itu, kalo kita ikhlas apapun senang. Apapun hati kita, ridho kita melakukan, punya hati yang ikhlas itu tadi, apapun yang kita kerjakan gak berat. Gak ada.. gak ada.. ke.. gak ada menyakitkan gitu gak ada. Gak ada ke apa.. gak ada suntuklah kita gitu gak ada. Hati kita senang menjalaninya karna ikhlas itu tadilah. Lapang dada kita mengerjakannya.” (R3.W1/b.243-251/h.6) “Kalo ibu kesel yah kadang-kadang ibu bawa keluar sebentarlah. Duduk-duduk gitu atau kadang-kadang yah.. kalo misalnya.. kadang-kadang kita bawa nolak, kayak ini mau nolak cepat, dibawa keluar. Diluar bukan main-main, melalak gitu. Istilahnya kita duduk di pajak gitu kan stress kita itu ilang. Liat yang di pasar itu, orang-orang lewat ntah itu, jadi kita itu gak terpusat ama stress kita. Ilang sendirinya gitulah.” (R3.W2/b.667-675/h.16)

Selain pergi keluar rumah sembari mengantarkan barang dagangan ke grosir-grosir untuk menghilangkan afek negatif yang sedang dirasakannya, Ibu Uppi juga

Dokumen terkait