• Tidak ada hasil yang ditemukan

Partisipasi pria dalam KB merupakan manifestasi kesetaraan gender, ketidaksetaraan gender dalam bidang KB dan Kesehatan Reproduksi yang sangat berpengaruh pada keberhasilan program. Sebagian besar masyarakat dan provider Serta penentu kebijakan masih mengganggap bahwa penggunaan kontrasepsi adalah urusan perempuan. Oleh karena itu, peserta KB pria di Indonesia masih sangat rendah yaitu masih di bawah 2 persen, disamping masih relatif rendahnya kepedulian pria terhadap proses reproduksi keluarganya terutama dalam hal kehamilan dan kelahiran. Dimasa lalu, persoalan pengaturan kelahiran lebih banyak difokuskan kepada perempuan, sehingga terkesan bahwa keluarga berencana adalah urusan perempuan saja. Data berbagai survei menunjukkan bahwa prevalensi pengguna kontrasepsi pria masih dibawah 2 persen. Meskipun rendahnya pengguna kontrasepsi berkaitan dengan pula dengan keterbatasan teknik kontrasepsi yang tersedia bagi pria, angka ini menunjukkan bahwa kepedulian pria terhadap keluarga berencana masih rendah (BkkbN, 2009a).

Keterlibatan pria didefinisikan sebagai partisipasi dalam proses pengambilan keputusan KB, pengetahuan pria tentang KB dan penggunaan kontrasepsi pria. Keterlibatan pria dalam KB diwujudkan melalui perannya berupa dukungan terhadap

KB dan penggunaan alat kontrasepsi serta merencanakan jumlah keluarga. Untuk merealisasikan tujuan terciptanya Norma Keluarga Kecil Bahagia Sejahtera.

Partisipasi pria dalam Keluarga Berencana adalah tanggung jawab pria dalam kesertaan ber-KB, Serta berperilaku seksual yang sehat dan aman bagi dirinya, pasangan atau keluarganya. Keterlibatan pria dalam program KB dapat terjadi secara langsung atau tidak langsung. Penggunaan metode kontrasepsi pria merupakan satu bentuk partisipasi pria secara langsung, sedangkan keterlibatan pria secara tidak langsung misalnya pria memiliki sikap yang lebih positif dan membuat keputusan yang lebih baik berdasarkan sikap dan persepsi, serta pengetahuan yang dimilikinya. 2.2.1 Tanggung Jawab Pria dalam KB dan Kesehatan Reproduksi

Tanggung jawab pria dalam KB yaitu:

1. Bersama isteri merencanakan jumlah dan jarak anak

2. Bersama isteri berupaya memperoleh informasi tentang KB

3. Bersama isteri memilih/menggunakan salah satu alat/metode kontrasepsi yang cocok

4. Bersama istri mengatasi kegagalan dan komplikasi akibat KB (BkkbN, 2009a) Dalam upaya pengembangan kesehatan reproduksi dan hak–hak reproduksi perhatian program KB bukan hanya ditujukan kaum perempuan, tetapi kaum pria juga diberikan perhatian sehingga dapat ikut berperan dalam program KB. Peran serta pria dalam program Keluarga Berencana yaitu:

1. Sebagai Peserta KB

Partisipasi suami dalam program KB dapat bersifat langsung atau tidak langsung. Secara langsung adalah menggunakan salah satu cara atau metode kontrasepsi. Sedangkan partisipasi tidak langsung dengan menganjurkan, mendukung dan memberi kebebasan kepada isteri untuk menggunakan kontrasepsi.

2. Mendukung istri dalam ber KB

Apabila telah disepakati istri yang akan berKB, peranan suami adalah mendukung dan memberikan kebebasan kepada istri untuk menggunakan kontrasepsi atau cara/metode KB yang diawali sejak menikah dengan istri dalam merencanakan masa reproduksi

3. Merencanakan jarak anak

Merencanakan jarak anak dalam keluarga perlu dibicarakan antar suami dan istri dengan mempertimbangkan berbagai aspek antara lain kesehatan reproduksi istri, perencanaan keluarga yang berkualitas, perlu memperhatikan usia reproduksi istri (BkkbN, 2012b).

2.2.2 Metode Keluarga Berencana Pria

Pria sebagai kepala keluarga dapat mengambil bagian aktif dalam pelaksanaan KB sehingga dapat dicapai norma keluarga kecil bahagia dan sejahtera. Metode KB pria yang dapat dipakai adalah memakai kondom, koitus interuptus, pantang berkala, dan vasektomi sebagai kontap pria (MOP) (Manuaba, 2009)

2.2.3 Faktor yang Memengaruhi Pemakaian Kontrasepsi

Menurut Affandi dalam Mutiara (1998), faktor-faktor yang memengaruhi pemakaian kontrasepsi adalah :

1. Faktor pola perencanaan keluarga. Adalah mengenai penentuan besarnya jumlah keluarga yang menyangkut waktu yang tepat untuk mengakhiri kesuburan. Dalam perencanaan keluarga harus diketahui kapan kurun waktu reproduksi sehat, berapa sebaiknya jumlah anak sesuai kondisi, berapa jarak umur antar anak. Seorang wanita secara biologik memasuki usia reproduksi nya beberapa tahun sebelum mencapai umur dimana kehamilan dan persalinan dapat berlangsung dengan aman. Kurun waktu yang paling aman adalah umur 20-35 tahun dengan pengaturan :

a) Anak pertama lahir sesudah ibunya berumur 20 tahun b) Anak kedua lahir sebelum ibunya berumur 30 tahun

c) Jarak antara anak pertama dan kedua sekurang - kurangnya 2 tahun atau diusahakan jangan ada 2 anak balita dalam kesempatan yang sama. Kemudian menyelesaikan besarnya keluarga sewaktu istri berusia 30 - 35 tahun dengan kontrasepsi mantap.

2. Faktor subyektif. Bagaimanapun baiknya suatu alat kontrasepsi baik dipandang dari sudut kesehatan maupun rasionalitas nya namun belumlah tentu dirasakan cocok dan dipilih oleh akseptor/calon akseptor. Pilihan ini sangat pula tergantung pada pengetahuannya tentang alat kontrasepsi tersebut, baik yang didapat dari

keluarga/kerabat maupun yang didapat dari petugas kesehatan atau tokoh masyarakat.

3. Faktor obyektif. Pemilihan kontrasepsi yang digunakan disesuaikan dengan keadaan wanita (kondisi fisik dan umur) serta disesuaikan dengan fase-fase menurut kurun waktu reproduksinya. Biasanya pemilihan jenis kontrasepsi juga disesuaikan dengan maksud Penggunaan kontrasepsi tersebut.

4. Faktor motivasi. Kelangsungan pemakaian kontrasepsi sangat tergantung dari motivasi dan penerimaan pasangan suami istri. Motivasi akseptor KB untuk terus menggunakan kontrasepsi yang lama, akan merubah metode, atau menghentikan sama sekali penggunaan kontrasepsi, dipengaruhi oleh berbagai faktor. Mereka yang menggunakan kontrasepsi dengan tujuan untuk membatasi kelahiran mempunyai tingkat kemantapan yang lebih tinggi dibandingkan mereka yang bertujuan untuk menunda kehamilan.

2.2.4 Faktor-Faktor yang Memengaruhi Partisipasi Pria dalam Keluarga Berencana

Menurut BKKBN (2007) faktor-faktor yang memengaruhi rendahnya partisipasi pria dalam KB antara lain : terbatasnya sosialisasi dan promosi KB pria, adanya persepsi bahwa wanita yang menjadi target program KB, terbatasnya akses pelayanan KB pria, tingginya harga yang harus dibayar untuk MOP, ketidaknyamanan dalam penggunaan KB pria (kondom), terbatasnya metode kontrasepsi pria, rendahnya pengetahuan pria terhadap KB, kualitas pelayanan KB pria belum memadai, istri tidak mendukung suami ber-KB, adanya stigmatisasi

tentang KB pria di masyarakat, kondisi Politik, Sosial, Budaya Masyarakat, Agama, dan komitmen pemerintah masih belum optimal dalam mendukung KB pria.

Banyak faktor yang menyebabkan rendah nya partisipasi pria dalam keluarga berencana yang dilihat dari berbagai aspek, yaitu dari sisi klien pria itu sendiri (pengetahuan, sikap dan praktik serta kebutuhan yang ia inginkan), faktor lingkungan yaitu sosial budaya, dukungan istri, tokoh masyarakat dan keluarga/istri, keterbatasan informasi dari tenaga kesehatan dan aksesibilitas terhadap pelayanan keluarga berencana pria, keterbatasan jenis kontrasepsi pria disertai masih adanya persepsi dimasyarakat mengenai keluarga berencana pria (BkkbN, 2010).

Penyebab masalah kesehatan menurut Green (1980) dalam Notoatmodjo (2012) membedakan adanya dua determinan masalah kesehatan, yaitu behavioral factor (faktor perilaku) dan non behavioral factor (faktor non perilaku). Faktor perilaku kesehatan dipengaruhi oleh tiga faktor utama yaitu, faktor predisposisi yaitu faktor yang mempermudah atau mempredisposisi terjadinya prilaku seseorang antara lain pengetahuan, sikap, keyakinan, kepercayaan, nilai – nilai tradisi. Faktor pemungkin yaitu faktor yang memungkinkan atau yang memfasilitasi prilaku atau tindakan yaitu sarana dan prasarana atau fasilitas untuk terjadinya prilaku kesehatan, dan faktor penguat yaitu faktor yang mendorong atau memperkuat terjadinya prilaku antara lain tokoh masyarakat, peraturan undang – undang, keputusan dari para pejabat pemerintah pusat dan daerah.

2.2.5 Pengaruh Faktor Pendukung terhadap Partisipasi Pria dalam Keluarga Berencana

Faktor pemungkin yaitu faktor yang memungkinkan atau yang memfasilitasi prilaku atau tindakan yaitu sarana dan prasarana atau fasilitas untuk terjadinya prilaku kesehatan, untuk berprilaku sehat masyarakat memerlukan sarana dan prasarana pendukung (Notoatmodjo, 2012).

Menurut Wibowo dalam Budisantoso (2008) adanya kemudahan dan ketersediaan sarana pelayanan berdampak positif terhadap penggunaan suatu alat kontrasepsi. Menurut suami pelayanan KB pria yang paling disukai adalah dekat dengan rumah atau dekat dari tempat mereka bekerja (48,85%), sebanyak 12,8% menginginkan tempat pelayanan dengan trasportasi yang mudah, biaya terjangkau (9,9%), fasilitas lengkap (9,3%), dilayani, dengan tenaga ahli yang ramah (9%) dan dapat menjaga privacy (2,2%). Sedangkan tempat memperoleh pelayanan KB pria adalah rumah sakit pemerintah 36,1%, Puskesmas 29,1%, dan rumah sakit swasta 8,6%. Belum semua pelayanan kesehatan mampu memberikan pelayanan vasektomi. Hanya 5 - 81 persen pelayanan kesehatan yang menyediakan pelayanan vasektomi dengan rata-rata 41 persen pelayanan kesehatan pemerintah.

2.2.6 Pengaruh Faktor Penguat terhadap Partisipasi Pria dalam Keluarga Berencana

Faktor penguat yaitu faktor yang mendorong atau memperkuat terjadinya prilaku antara lain tokoh masyarakat, peraturan undang – undang, keputusan dari para pejabat pemerintah pusat dan daerah (Notoatmodjo, 2012).

Kesertaan dalam KB Pria juga di pengaruhi oleh adanya diskusi antara suami isteri tentang KB, walaupun sebenarnya pembicaraan antara suami isteri mengenai KB tidak selalu menjadi prasyarat dalam penerimaan KB, namun demikian, tidak adanya diskusi dapat menjadi penghalang terhadap pemakaian kontrasepsi. Komunikasi yang baik antara suami isteri merupakan suatu jembatan dalam proses penerimaan dan kelangsungan pemakaian kontrasepsi. Bagi suami yang akan mengikuti KB, apapun metodenya, Kondom atau Vasektomi, perlu dibicarakan dulu dengan isterinya, apalagi jika akan mengikuti vasektomi yang memerlukan pertimbangan dan persyaratan suami isteri. Persetujuan isteri sangat diperlukan untuk memutuskan dilakukannya vasektomi (BkkbN, 2009a).

Petugas dan pengelola KB di lapangan umumnya merespon positif dan mendukung pelaksanaan peningkatan partisipasi pria dalam KB, namun demikian karena keterbatasan sumber dana, daya dan tenaga program ini masih belum menjadi prioritas utama . Masih adanya keragu-raguan dari pihak pengelola, petugas, provider maupun tokoh agama dan tokoh masyarakat bahkan sebagian dari klien terhadap pelayanan vasektomi. Karena vasektomi sampai saat ini masih menjadi bahan perbincangan dan perdebatan dikalangan tokoh masyarakat dan tokoh agama. Belum optimalnya dukungan Pengambil Keputusan, tokoh masyarakat dan tokoh agama disebabkan: (a) kurangnya advokasi (b) budaya masyarakat yang patriarkat (c) rendahnya pengetahuan Keluarga tentang pentingnya partisipasi pria dalam KKG (kesetaran dan keadilan gender) (d) kurang mantapnya pelaksanaan mekanisme operasional dalam penggarapan KB pria oleh para pengelola.

Menurut BKKBN (2007) faktor-faktor yang memengaruhi rendahnya partisipasi pria dalam KB antara lain : terbatasnya sosialisasi dan promosi KB pria, adanya persepsi bahwa wanita yang menjadi target program KB, terbatasnya akses pelayanan KB pria, tingginya harga yang harus dibayar untuk MOP, ketidaknyamanan dalam penggunaan KB pria (kondom), terbatasnya metode kontrasepsi pria, rendahnya pengetahuan pria terhadap KB, kualitas pelayanan KB pria belum memadai, istri tidak mendukung suami ber-KB, adanya stigmatisasi tentang KB pria di masyarakat, kondisi Politik, Sosial, Budaya Masyarakat, Agama, dan komitmen pemerintah masih belum optimal dalam mendukung KB pria.

Dokumen terkait