• Tidak ada hasil yang ditemukan

Bahwa Pasal 28I ayat (2) UUD 1945 menyatakan ”Setiap orang berhak bebas atas perlakuan yang bersifat diskriminatif atas dasar apa pun dan

Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan terhadap Pasal 27 ayat (1), ayat (2) dan Pasal 28A UUD 1945, adalah sebagai berikut:

B. Alasan-alasan Hukum Permohonan Uji Materi terhadap Pasal 160 ayat (7) dan Pasal 162 ayat (1) dan ayat (2) UU Nomor 13/2003 tentang

29. Bahwa Pasal 28I ayat (2) UUD 1945 menyatakan ”Setiap orang berhak bebas atas perlakuan yang bersifat diskriminatif atas dasar apa pun dan

berhak mendapatkan perlindungan terhadap perlakuan yang bersifat diskriminatif itu”; (bukti P-1)

30. Bahwa Pasal 28G ayat (1) UUD 1945 menyatakan, ”Setiap orang berhak atas perlindungan diri pribadi, keluarga, kehormatan, martabat, dan harta benda yang di bawah kekuasaannya, serta berhak atas rasa aman dan perlindungan dari ancaman ketakutan untuk berbuat atau tidak berbuat sesuatu yang merupakan hak asasi; (bukti P-1)

31. Bahwa kemudian Pasal 28H ayat (4) UUD 1945 menyatakan, ”Setiap orang berhak mempunyai hak milik pribadi dan hak milik tersebut tidak boleh diambil alih secara sewenang wenang oleh siapa pun dan dengan alasan apapun; (bukti P-1)

32. Bahwa Pasal 156 UU Nomor 13/2003 tentang Ketenagakerjaan menyatakan:

1. Dalam hal terjadi pemutusan hubungan kerja, pengusaha diwajibkan membayar uang pesangon dan atau uang penghargaan masa kerja dan uang penggantian hak yang seharusnya diterima.

2. Perhitungan uang pesangon sebagaimana dimaksud pada ayat (1) paling sedikit sebagai berikut:

a. masa kerja kurang dari 1 (satu) tahun, 1 (satu) bulan upah;

b. masa kerja 1 (satu) tahun atau lebih tetapi kurang dari 2 (dua) tahun, 2 (dua) bulan upah;

c. masa kerja 2 (dua) tahun atau lebih tetapi kurang dari 3 (tiga) tahun , 3 (tiga) bulan upah;

d. masa kerja 3 (tiga) tahun atau lebih tetapi kurang dari 4 (empat) tahun, 4 (empat) bulan upah;

e. masa kerja 4 (empat) tahun atau lebih tetapi kurang dari 5 (lima) tahun, 5 (lima) bulan upah;

f. masa kerja 5 (lima) tahun atau lebih tetapi kurang dari 6 (enam) tahun, 6 (enam) bulan upah;

g. masa kerja 6 (enam) tahun atau lebih tetapi kurang dari 7 (tujuh) tahun, 7 (tujuh) bulan upah;

h. masa kerja 7 (tujuh) tahun atau lebih tetapi kurang dari 8 (delapan) tahun, 8 (delapan) bulan upah;

i. masa kerja 8 (delapan) tahun atau lebih, 9 (sembilan) bulan upah.

3. Perhitungan uang penghargaan masa kerja sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditetapkan sebagai berikut:

a. masa kerja 3 (tiga) tahun atau lebih tetapi kurang dari 6 (enam) tahun, 2 (dua) bulan upah;

b. masa kerja 6 (enam) tahun atau lebih tetapi kurang dari 9 (sembilan) tahun, 3 (tiga) bulan upah;

c. masa kerja 9 (sembilan) tahun atau lebih tetapi kurang dari 12 (dua belas) tahun, 4 (empat) bulan upah;

d. masa kerja 12 (dua belas) tahun atau lebih tetapi kurang dari 15 (lima belas) tahun, 5 (lima) bulan upah;

e. masa kerja 15 (lima belas) tahun atau lebih tetapi kurang dari 18 (delapan belas) tahun, 6 (enam) bulan upah;

f. masa kerja 18 (delapan belas) tahun atau lebih tetapi kurang dari 21 (dua puluh satu) tahun, 7 (tujuh) bulan upah;

g. masa kerja 21 (dua puluh satu) tahun atau lebih tetapi kurang dari 24 (dua puluh empat) tahun, 8 (delapan) bulan upah;

h. masa kerja 24 (dua puluh empat) tahun atau lebih, 10 (sepuluh) bulan upah;

4. Uang penggantian hak yang seharusnya diterima sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi:

a. cuti tahunan yang belum diambil dan belum gugur;

b. biaya atau ongkos pulang untuk pekerja/buruh dan keluarganya ke tempat di mana pekerja/buruh diterima bekerja;

c. penggantian perumahan serta pengobatan dan perawatan ditetapkan 15% (lima belas perseratus) dari uang pesangon dan atau uang penghargaan masa kerja bagi yang memenuhi syarat;

d. hal-hal lain yang ditetapkan dalam perjanjian kerja, peraturan perusanaan atau perjanjian kerja bersama.

5. Perubahan perhitungan uang pesangon, perhitungan uang penghargaan masa kerja, dan uang penggantian hak sebagaimana dimaksud pada ayat (2), ayat (3), dan ayat (4) ditetapkan dengan Peraturan Pemerintah.

33. Bahwa pasal 160 ayat (7) UU Nomor 13/2003 tentang Ketenagakerjaan yang menyatakan, 7. “Pengusaha wajib membayar kepada pekerja/buruh yang mengalami pemutusan hubungan kerja sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dan ayat (5), uang penghargaan masa kerja 1 (satu) kali ketentuan Pasal 156 ayat (3) dan uang penggantian hak sesuai ketentuan dalam Pasal 156 ayat (4)”.

34. Bahwa pasal 162 UU Nomor 13/2003 tentang Ketenagakerjaan yang menyatakan:

1. Pekerja/buruh yang mengundurkan diri atas kemauan sendiri, memperoleh uang penggantian hak sesuai ketentuan Pasal 156 ayat (4).

2. Bagi pekerja/buruh yang mengundurkan diri atas kemauan sendiri, yang tugas dan fungsinya tidak mewakili kepentingan pengusaha secara langsung, selain menerima uang penggantian hak sesuai ketentuan Pasal 156 ayat (4) diberikan uang pisah yang besarnya dan pelaksanannnya diatur dalam perjanjian kerja, peraturan perusahaan atau perjanjian kerja bersama.

3. Pekerja/buruh yang mengundurkan diri sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus memenuhi syarat:

a. mengajukan permohonan pengunduran diri secara tertulis selambat-lambatnya 30 (tiga puluh) hari sebelum tanggal mulai pengunduran diri;

b. tidak terikat dalam ikatan dinas, dan

c. tetap melaksanakan kewajibannya sampai tanggal mulai pengunduran diri.

4. Pemutusan hubungan kerja dengan alasan pengunduran diri atas kemauan sendiri dilakukan tanpa penetapan lembaga penyelesaian perselisihan hubungan industrial

35. Bahwa uang pesangon, uang penghargaan masa kerja dan uang penggantian hak hakikatnya adalah hak setiap pekerja/buruh yang bekerja pada perusahaan, di mana hak tersebut melekat pada pribadi pekerja/buruh termasuk para Pemohon yang senantiasa akan hak-hak tersebut akan bertambah seiring dengan bertambahnya masa kerja para pekerja/buruh termasuk juga para Pemohon bekerja pada perusahaan dan hak-hak tersebut merupakan tabungan pekerja yang diakhir ia bekerja akan

diberikan, sehingga nantinya akan dapat dijadikan bekal oleh pekerja/buruh dan keluarganya untuk keperluan hidupnya sambil mencari atau beradaptasi dengan lingkungan pekerjaan yang baru;

36. Bahwa dengan adanya Pasal 160 ayat (7) UU Nomor 13/2003 tentang Ketenagakerjaan secara nyata akan merugikan para Pemohon dan para pekerja/buruh se-Indonesia untuk mempertahankan dan mendapatkan hak-haknya terutama uang pesangon di saat terjadi pengakhiran hubungan kerja karena melakukan tindak pidana, sebagaimana telah diketahui hak yang dimiliki seseorang adalah hakikatnya melekat pada pribadinya dan tidak dapat dirampas oleh siapapun dan dengan alasan apapun, apabila pekerja/buruh melakukan tindak pidana maka ia akan diancam dengan hukum pidana, akan tetapi tidak seharusnya pekerja/buruh tersebut ditambah hukumananya dengan berupa perampasan hak yaitu uang pesangon, ini juga sama diberlakukan kepada para nara pidana yang lain, yang mana di saat ia melakukan pencurian atau pembunuhan, maka hak-hak pribadinya juga tidak dilakukan perampasan. Hal ini juga telah jelas diatur dalam Burgerlijk Wetboek (BW) Kitab Undang-Undang Hukum Perdata Bab ke satu Pasal 3 yang manyatakan “Tiada suatu hukumanpun mengakibatkan kematian perdata, atau kehilangan segala hak kewarganegaraan”.

37. Bahwa dengan adanya Pasal 160 ayat (7) UU Nomor 13/2003 tentang Ketenagakerjaan seringkali terjadi di lapangan, ditemukan beberapa perusahaan melakukan pemutusan hubungan kerja dengan alasan pekerja/buruh telah melakukan tindak pidana, mereka dituduh melakukan pencurian atau penggelapan meskipuan barang yang dituduhkan tersebut tidak bernilai tinggi, seperti yang dituduhkan terhadap Sdri. Sulfiana yang bekerja di salah satu perusahaan di Pasuruan di mana ia dilaporkan dituduh menggelapkan “snak” yang nilainya hanya sekitar Rp. 2.500,- (dua ribu lima ratus rupiah) kemudian ia divonis penjara percobaan selama 15 hari, namun efeknya ia di PHK tanpa mendapatkan uang pesangon yang nilainya sekitar Rp. 30.000.000,- (tiga puluh juta rupiah) dan masih banyak contoh kasus-kasus serupa, yang nantinya bukti putusan hukum (pengadilan) serta para korban ini akan para Pemohon hadirkan dalam persidangan;

38. Bahwa berdasarkan konsepsi trias politica, fungsi menghukum, dalam hal ini memberikan hukuman pidana, hanya ada di kekuasaan yudikatif melalui Pengadilan atas putusan yang Incraht dan diputus oleh Majelis Hakim.

39. Bahwa Pasal 160 ayat (7) UU Nomor 13/2003 tentang Ketenagakerjaan merupakan produk hukum DPR bersama dengan Pemerintah yaitu Undang-Undang yang menurut teori hukum tersebut di atas tidak memiliki fungsi untuk menghukum. Bahwa klausula pasal tersebut dalam implementasinya menghukum pekerja yang dalam proses pidana dengan cara menghilangkan hak atas pesangon. Hal ini jelas banyak dimanfaatkan oleh pengusaha dalam menghindari kewajiban untuk membayar pesangon kepada pekerja tetap.

40. Bahwa keberlakuan pasal a quo dalam hal ini sangat menyebabkan kerancuan dalam menerapkan hukum di Indonesia dan jelas sangat merugikan buruh terutama buruh tetap. Sudah menjadi hal yang umum bahwa proses pidana menuju putusan inkracht yang menyatakan bahwa benar atau tidak terlapor/tersangka/terdakwa melakukan tindak pidana pasti lebih dari 6 bulan. Yang menjadi pertanyaan dasar adalah "Siapa yang bertanggungjawab atas hilangnya uang pesangon bagi seorang buruh yang diputus bebas oleh Pengadilan?"

41. Bahwa memperhatikan uraian dan dasar hukum di atas para Pemohon berpendapat bahwa Pasal 160 ayat (7) UU Nomor 13/2003 tentang Ketenagakerjaan telah bertentangan dengan Pasal 28D ayat (1), Pasal 28I ayat (2), Pasal 28G ayat (1), dan Pasal 28H ayat (4) UUD 1945; (bukti P-2).

42. Bahwa dengan adanya Pasal 162 ayat (1) dan ayat (2) UU Nomor 13/2003 tentang Ketenagakerjaan secara nyata telah dan dapat merugikan para pekerja/buruh se-Indonesia untuk mempertahankan/mendapatkan hak-haknya terutama uang pesangon dan uang penghargaan masa kerja disaat terjadi pengakhiran hubungan kerja karena mengundurkan diri, di mana pekerja/buruh yang sudah bekerja sangat lama dan bermaksud melakukan pengunduran diri secara baik-baik dan tidak ada kesalahan akan tetapi hak-haknya sebagaimana dimaksud baik uang pesangon, uang penghargaan, uang masa kerja dirampas/dihilangkan hal ini jelas sangat tidak adil, dan perlu juga para Pemohon sampaikan bahwa di dalam Pasal 161 UU Nomor 13 Tahun 2003 apabila pekerja/buruh yang sudah terbukti melakukan

kesalahan/pelanggaran kemudian di PHK masih tetap mendapatkan hak-hak dimaksud, namun sangat tidak adil manakala pekerja/buruh yang mengundurkan diri secara baik-baik malah tidak mendapatkan hak-hak tersebut.

43. Bahwa UU Nomor 13/2003 tentang Ketenagakerjaan telah mengatur bahwa pekerja/buruh yang terbukti melakukan kesalahan/pelanggaran biasa tetap mendapatkan hak-haknya baik berupa uang pesangon, uang penghargaan masa kerja dan uang penggantian hak, hal ini sebagimana diatur dalam Pasal 161 UU Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan.

Pasal 161 UU Nomor 13 Tahun 2003 “

i. Dalam hal pekerja/buruh melakukan pelanggaran ketentuan yang diatur dalam perjanjian kerja, peraturan perusahaan atau perjanjian kerja bersama, pengusaha dapat melakukan pemutusan hubungan kerja, setelah kepada pekerja/buruh yang bersangkutan diberikan surat peringatan pertama, kedua, dan ketiga secara berturut-turut.

ii. Surat peringatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) masing-masing berlaku untuk paling lama 6 (enam) bulan, kecuali ditetapkan lain dalam perjanjian kerja, peraturan perusahaan atau perjanjian kerja bersama.

iii. Pekerja/buruh yang mengalami pemutusan hubungan kerja dengan alasan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) memperoleh uang pesangon sebesar 1 (satu) kali ketentuan Pasal 156 ayat (2), uang penghargaan masa kerja sebesar 1 (satu) kali ketentuan Pasal 156 ayat (3) dan uang penggantian hak sesuai ketentuan Pasal 156 ayat (4).

44. Bahwa dampak dari diberlakukannya Pasal 162 ayat (1) dan ayat (2) UU Nomor 13/2003 tentang Ketenagakerjaan hal ini memunculkan banyak persoalan baru, di mana pekerja/buruh cenderung melakukan pelanggaran ketenagakerjaan yang sifatnya kesalahan ringan seperti malas bekerja, tidur, makan saat kerja, dll untuk mengakhiri hubungan kerja dari pada mengundurkan diri secara baik-baik, hal ini dengan pertimbangan bila pekerja/buruh di PHK dikarenakan terbukti adanya pelanggaran, yang diawali dengan dikenakan sanksi surat peringatan satu (SP 1), (SP 2) dan (SP 3) maka pekerja/buruh masih mendapatkan pesangon, uang penghargaan dan uang penggantian hak, sementara apabila pekerja/buruh mengundurkan diri secara baik-baik maka pekerja/buruh tersebut tidak

mendapatkan pesangon dan uang penghargaan, melainkan hanya mendapatkan uang penggantian hak yang nilainya sangat kecil bahkan tidak jelas, sehingga Pemohon berpandangan bahwa pasal a quo selain tidak memberikan rasa keadilan pasal tersebut juga mengesankan menyuruh para pekerja/buruh untuk berbuat hal-hal yang tidak baik;

45. Bahwa sesungguhnya Pasal 162 ayat (1), dan ayat (2) UU Nomor 13 Tahun 2003 di mana menyebutkan bahwa pekerja/buruh yang mengundurkan diri secara baik-baik akan memperoleh uang penggantian hak sesuai ketentuan Pasal 156 ayat (4), di mana nilai uang penggantian hak tersebut sebesar 15% dari jumlah uang pesangon ditambah uang penghargaan masa kerja, jadi mana mungkin pekerja/buruh mendapatkan uang penggantian hak sebesar 15% tersebut manakala uang pesangon dan uang penghargaannya tidak didapatkan oleh pekerja/buruh, artinya hak buruh mendapatkan uang pesangon dan uang penghargaan masa kerja telah dihilangkan (bernilai Rp.

0) oleh Pasal 161 ayat (1) dan ayat (2).

46. Bahwa dalam Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 61/PUU-VIII/2010 halaman 75-76 dinyatakan bahwa: “jika bekerja pada prinsipnya adalah untuk menjaga kelestarian kehidupan dengan memperoleh upah sesuai dengan kedudukan dan prestasinya, maka seseorang yang mengundurkan diri atas kemauan sendiri dapat dimungkinkan bahwa ia telah mendapatkan pekerjaan yang baru yang lebih sesuai dengan prestasinya. Hal ini banyak dilakukan oleh mereka yang pendidikan serta skill-nya tinggi sehingga mereka berhak memperoleh penghasilan yang lebih baik.”

“Terlebih lagi jika yang bersangkutan di tempat kerjanya semula telah menguasai berbagai kemampuan dan keterampilan, serta memperoleh pengalaman yang meningkatkan daya tawar. Oleh sebab itu, menurut Mahkamah, hak pekerja yang mengundurkan diri atas kemauan sendiri pantas hanya memperoleh uang penggantian hak sesuai dengan ketentuan Pasal 156 ayat (4) UU 13/2003 dan tidak bertentangan dengan UUD 1945 yang mewajibkan adanya perlakuan yang adil dan layak dalam hubungan kerja;”

Bahwa berdasarkan pendapat Mahkamah tersebut, fakta yang para Pemohon temukan di lapangan, kasus pengunduran diri tidak hanya dikarenakan pekerja/buruh mendapatkan pekerjaan baru, melainkan

pekerja/buruh banyak juga yang di intimidasi atau di mutasi ketempat lain sehingga pekerja/buruh tersebut tidak betah untuk melanjutkan hubungan kerja dan memilih untuk mengundurkan diri. Selain itu para Pemohon sampaikan bahwa pengunduran diri yang dilakukan oleh pekerja/buruh secara baik-baik bukan berarti merelakan/mengikhlaskan hak pesangon atau uang penghargaannya untuk di lepas/dihilangkan akan tetapi pekerja/buruh tersebut sebatas merelakan pekerjaannya saja untuk ditinggalkan dan belum tentu pekerja/buruh yang mengundurkan diri sudah pasti mendapatkan pekerjaan baru.

47. Bahwa dengan memperhatikan uraian di atas para Pemohon beranggapan bahwa Pasal 162 ayat (1) dan ayat (2) UU Nomor 13/2003 tentang ketenagakerjaan bertentangan dengan Pasal 28D ayat (1), Pasal 28I ayat (2), Pasal 28G ayat (1) dan Pasal 28H ayat (4) UUD 1945; (bukti P-2)

48.Dengan adanya ketentuan Pasal 160 ayat (3), ayat (7) dan Pasal 162 ayat (1) dan ayat (2) UU Nomor 13/2003 tentang Ketenagakerjaan, maka para Pemohon yang dan juga jutaan pekerja/buruh yang ada di seluruh Indonesia terancam kehilangan Hak-haknya, baik hak berupa pekerjaan ataupun hak berupa uang pesangon, uang penghargaan masa kerja dan uang penggantian hak disaat terjadi pengakhiran hubungan kerja dengan alasan melakukan tindak pidana ataupun pengunduran diri secara baik-baik;

49.Dengan menggunakan alasan konstitusional di dalam Pasal 27 ayat (1), ayat (2), Pasal 28A, Pasal 28D ayat (1), Pasal 28I ayat (2), Pasal 28G ayat (1) dan Pasal 28H ayat (4) UUD 1945 tersebut di atas, maka Pemohon dengan ini mengajukan permohonan uji materi kepada Mahkamah Konstitusi terhadap Pasal 160 ayat (3) dan ayat (7) dan Pasal 162 ayat (1) dan ayat (2) UU Nomor 13/2003 tentang Ketenagakerjaan;

50. Berdasarkan uraian tersebut di atas dan memperhatikan uraian pada poin sebelumnya, maka para Pemohon berkesimpulan bahwa hak-hak pekerja/buruh baik berupa pekerjaan, uang pesangon, uang penghargaan masa kerja dan uang penggantian hak adalah hak yang melekat pada diri pribadi pekerja/buruh tersebut dan negara harus melindungi setiap hak warga negara, sehingga para Pemohon berkesimpulan bahwa Pasal 160 ayat (3) UU Nomor 13/2003 tentang Ketenagakerjaan bertentangan dengan Pasal 27 ayat (1) dan ayat (2), Pasal 28A UUD 1945, Adapun Pasal 160

ayat (7) dan Pasal 162 ayat (1), ayat (2) UU Nomor 13/2003 tentang Ketenagakerjaan bertentangan dengan Pasal 28D ayat (1), Pasal 28I ayat (2), Pasal 28G ayat (1) dan Pasal 28H ayat (4) UUD 1945;

51.Dengan demikian, para Pemohon berpendapat bahwa Mahkamah Konstitusi seyogianya dapat menerima permohonan uji materi Pasal 160 ayat (3), ayat (7) dan Pasal 162 ayat (1), ayat (2) UU Nomor 13/2003 tentang Ketenagakerjaan;

VI. PETITUM

Berdasarkan segala yang diuraikan di atas, para Pemohon memohon agar Mahkamah Konstitusi memberikan putusan yang amarnya sebagai berikut:

1. Mengabulkan permohonan para Pemohon seluruhnya;

2. Menyatakan Pasal 160 ayat (3) Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan bertentangan dengan UUD 1945;

3. Menyatakan Pasal 160 ayat (7) dan Pasal 162 ayat (1) dan ayat (2) UU Nomor 13/2003 tentang Ketenagakerjaan bertentangan dengan UUD 1945;

4. Menyatakan Pasal 160 ayat (3), ayat (7) dan Pasal 162 ayat (1), ayat (2) UU Nomor 13/2003 tentang Ketenagakerjaan tidak mempunyai kekuatan hukum tetap/mengikat;

5. Mengubah frase Pasal 160 ayat (6) UU Nomor 13/2003 tentang Ketenagakerjaan yang sebelumnya menyatakan “Pemutusan hubungan kerja sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dan ayat (5) dilakukan tanpa penetapan lembaga penyelesaian perselisihan hubungan industrial” digantikan dengan kalimat yang menyatakan “Pemutusan hubungan kerja sebagaimana dimaksud pada ayat (5) dilakukan tanpa penetapan lembaga penyelesaian perselisihan hubungan industrial”

6. Mengubah frase Pasal 160 ayat (7) UU Nomor 13/2003 tentang Ketenagakerjaan yang sebelumnya menyatakan “Pengusaha wajib membayar kepada pekerja/buruh yang mengalami pemutusan hubungan kerja sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dan ayat (5), uang penghargaan masa kerja 1 (satu) kali ketentuan Pasal 156 ayat (3) dan uang penggantian hak sesuai ketentuan dalam Pasal 156 ayat (4)” digantikan dengan kalimat yang menyatakan “Pengusaha wajib membayar kepada pekerja/buruh yang mengalami pemutusan hubungan kerja sebagaimana dimaksud pada ayat (5), uang pesangon sebesar 1 (satu) kali ketentuan pasal 156 ayat (2), uang

penghargaan masa kerja 1 (satu) kali ketentuan Pasal 156 ayat (3) dan uang penggantian hak sesuai ketentuan dalam Pasal 156 ayat (4)” .

7. Mengubah frase Pasal 162 ayat (1) UU Nomor 13/2003 tentang Ketenagakerjaan yang sebelumnya menyatakan “Pekerja/buruh yang mengundurkan diri atas kemauan sendiri, memperoleh uang penggantian hak sesuai ketentuan Pasal 156 ayat (4)” digantikan dengan kalimat yang menyatakan “Pekerja/buruh yang mengundurkan diri atas kemauan sendiri, memperoleh uang pesangon sebesar 2 (dua) kali ketentuan pasal 156 ayat (2), uang penghargaan masa kerja 1 (satu) kali ketentuan Pasal 156 ayat (3) dan uang penggantian hak sesuai ketentuan Pasal 156 ayat (4)”

8. Mengubah frase Pasal 162 ayat (2) UU Nomor 13/2003 tentang Ketenagakerjaan yang sebelumnya menyatakan “Bagi pekerja/buruh yang mengundurkan diri atas kemauan sendiri, yang tugas dan fungsinya tidak mewakili kepentingan pengusaha secara langsung, selain menerima uang penggantian hak sesuai ketentuan Pasal 156 ayat (4) diberikan uang pisah yang besarnya dan pelaksanannnya diatur dalam perjanjian kerja, peraturan perusahaan atau perjanjian kerja bersama” digantikan dengan kalimat yang menyatakan “Bagi pekerja/buruh yang mengundurkan diri atas kemauan sendiri, yang tugas dan fungsinya tidak mewakili kepentingan pengusaha secara langsung, memperoleh uang pesangon sebesar 2 (dua) kali ketentuan Pasal 156 ayat (2), uang penghargaan masa kerja 1 (satu) kali ketentuan Pasal 156 ayat (3) dan menerima uang penggantian hak sesuai ketentuan Pasal 156 ayat (4) serta diberikan uang pisah yang besarnya dan pelaksanannnya diatur dalam perjanjian kerja, peraturan perusahaan atau perjanjian kerja bersama”

9. Memerintahkan pemuatan putusan ini dalam Berita Negara Republik Indonesia sebagaimana mestinya;

Atau, apabila Mahkamah Konstitusi berpendapat lain, mohon putusan yang seadil-adilnya (ex aequo et bono);

[2.2] Menimbang bahwa untuk membuktikan dalil-dalil permohonannya para Pemohon telah mengajukan bukti-bukti tertulis yang diberi tanda bukti P - 1 sampai dengan bukti P - 20, sebagai berikut:

1. Bukti P – 1 : Fotokopi Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945;

2. Bukti P – 2 : Fotokopi Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan;

3. Bukti P – 3 : Fotokopi Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi;

4. Bukti P – 4 : Fotokopi Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2000 tentang Serikat Pekerja/Serikat Buruh;

5. Bukti P – 5 : Fotokopi Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan;

6. Bukti P – 6 : Fotokopi Kartu Tanda Penduduk Nomor 3570522810760001 atas nama Jazuli;

7. Bukti P – 7 : Fotokopi Kartu Tanda Penduduk Nomor 3575010607780005 atas nama Anam Supriyanto;

8. Bukti P – 8 : Fotokopi Kartu Tanda Penduduk Nomor 3514161305820011 atas nama Wariaji;

9. Bukti P – 9 : Fotokopi Anggaran Dasar dan Anggaran Rumah Tangga Federasi Serikat Pekerja Metal Indonesia Tahun 2006-2011;

10. Bukti P- 10 : Fotokopi Tanda Bukti Pencatatan Serikat Pekerja Indonesia Nomor 27/O.19.912/2008;

11. Bukti P-11 : Fotokopi SK Pengurus Serikat Pekerja Nomor KEP.01/JTM/DPW-FSPMI/IV/2012;

12. Bukti P-12 : Fotokopi Putusan Pengadilan Negeri Kabupaten Mojokerto Nomor 292/Pid.B/2010/PN.Mkt, atas perkara pidana sdri. Eka Hernawati;

13. Bukti P-13 : Fotokopi Putusan Mahkamah Agung Nomor 1191 K/Pid/2011 a.n Eka Hernawati;

14. Bukti P-14 : Fotokopi Putusan Pengadilan Hubungan Industrial pada Pengadilan Negeri Surabaya Nomor 58/G/2012/PHI, Sby atas PHK Eka Hernawati yang diajukan oleh pengusaha PT.Kurnia Agung;

15. Bukti P-15 : Fotokopi Putusan Pengadilan Negeri Kabupaten Sidoarjo Nomor 751/Pid.B/2009/PN.Sda, atas perkara pidana sdr.

Susanto;

16. Bukti P-16 : Fotokopi Anjuran Disnaker Sidoarjo atas perkara Susanto Nomor 560/2352/404.3.3/2009;

17. Bukti P-17 : Fotokopi Putusan Pengadilan negeri Kabupaten Sidoarjo Nomor 129/Pid.B/2009/PN.Sda, atas perkara pidana sdr.

Susanto;

18. Bukti P-18 : Fotokopi Surat Skorsing tanggal 7 Oktober dari PT. Kurnia Anggun untuk Eka Hernawati;

19. Bukti P-19 : Fotokopi Surat Penangguhan pembayaran Upah skorsing untuk Eka Hernawati;

20. Bukti P-20 : Fotokopi SK Nomor SK-214/PR/V/2009;

Selain itu, para Pemohon mengajukan dua orang saksi dan seorang ahli yang telah disumpah dan didengar keterangannya di depan persidangan tanggal 10 September 2013 dan 25 September 2013, yang pada pokoknya sebagai berikut:

SAKSI PARA PEMOHON

Dokumen terkait