• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB VI PRAKTEK PERSAINGAN USAHA PASAR

A. Pasar dan Realitas Budaya

Pasar tradisional dalam pandangan atau pendekatan substantivisme, tidaklah sekedar tempat untuk jual beli atau transaksi yang bersifat ekonomi semata. Dengan menggunakan pendekatan substantive terlihat bahwa pasar tradisional dan fenomena ekonomi lainnya bukan sekedar aktivitas ekonomi semata, akan tetapi merupakan suatu keseluruhan aktivitas sosio kultural. Pasar berfungsi sebagai tempat kegiatan sosial, ini berarti pasar memiliki fungsi antara lain: a) media interaksi sosial; b) pusat komunikasi dan informasi melalui bahasa dan simbul yang dipahami bersama; dan c) pusat keramaian dan hiburan.

Syarat awal adanya aktivitas kehidupan manusia terutama dilingkungan pasar tradisional adalah melalui interaksi. Penyebab interaksi ada dua yaitu kontak sosial dan komunikasi. Kontak sosial dapat bersifat positif dan negatif. Kontak sosial yang bersifat positif mengarah pada kerjasama, sedangkan kontak sosial yang bersifat negatif dapat mengarah pada suatu pertentangan atau bahkan tidak menghasilkan interaksi sama sekali.

Kontak sosial juga dapat bersifat primer atau sekunder. Kontak primer terjadi jika ada hubungan secara langsung atau tatap muka, sedangkan kontak sekunder dapat dilakukan

melalui perantara baik oleh orang lain maupun benda-benda budaya. Pasar tradisional sebagai tempat bertemunya orang dan barang dari berbagai tempat (kota maupun desa), penjual dan pembeli, memungkinkan terjadi interaksi sosial yang cenderung kepada kontak sosial yang bersifat primer, seperti proses tawar menawar barang atau jasa. Proses ini mensyaratkan adanya keinginan dari si penjual (pemilik barang) untuk melepas barang dagangannya dengan harga tertentu kepada si pembeli (yang menginginkan barang tersebut). Kontak sosial yang bersifat primer ini berakhir apabila terjadi kesepakatan atau ketidaksepakatan harga.

Penjual dan pembeli telah melakukan kontak sosial dalam waktu yang lama akan menimbulkan menimbulkan rasa keterkaitan satu sama lain berupa rasa ketergantungan. Hubungan ini akan mempengaruhi keduanya (penjual dan pembeli) dalam transaksi berupa kepercayaan, yaitu si penjual percaya bahwa si penjual akan memberi (menawar) harga yang layak, dan pembeli juga percaya bahwa si penjual akan memberikan barang yang kualitasnya sesuai dengan harga yang ditetapkan. Hubungan yang erat antara penjual dan pembeli atau pelanggan ini dalam masyarakat Jawa menimbulkan peribahasa yang berbunyi “tuna sithik bathi sanak” artinya “rugi sedikit tapi tambah saudara”. Peribahasa ini mengambarkan bahwa dalam dunia perdagangan, orang jawa tidak hanya mengejar keuntungan belaka, akan tetapi hubungan kekeluargaan agar terus terbina. Keterikatan ini menyebabkan dalam tawar menawar terdapat suatu kerahasiaan di antara pedagang dan pembeli, dan adanya kesediaan bagi penjual untuk menyediakan barang-barang yang dipesan oleh si pembeli meskipun barang yang dipesan itu bukan jenis komoditi yang dijualnya.

Perlu dipahami bahwa pasar (market) selalu akan terbagi atas beberapa segmen baik secara geografis, demografis, psikologis, psikografis, maupun sosio-kultural. Setiap segmen

pelanggan memiliki pola perilaku yang berbeda satu sama lain. Dari perspektif ini, pasar tradisional memiliki berbagai keunggulan yang tak kalah dengan pasar modern. Pasar tradisional merupakan gambaran sosial, ekonomi, teknologi, politik, agama, struktur sosial, kekerabatan masyarakat yang ada di sekitarnya.

Pasar memberikan peluang terciptanya hubungan yang tidak semata-mata economic oriented, karena para pelaku dapat mencapai tujuan lain selain mencari keuntungan. Wilson dan Plattner138 dengan menggunakan pendekatan formal berpendapat bahwa selain sejarah atau latar belakang hubungan antar pribadi (interpersonal), maka nilai-nilai, dan kualitas para pelakunya sangat mempengaruhi perilaku di pasar (market place behaviors). Hal ini tercermin dalam usaha menentukan harga atau tawar-menawar yang dapat mempunyai arti sosial yang lebih mendalam (metacom-municative meaning). Sejalan dengan pemikiran Wilson dan Plattner, Merrit menunjukkan bahwa bukan saja ”apa” yang dikomunikasikan antara penjual dan pembeli penting, akan tetapi juga “bagaimana” komunikasi dilakukan sangatlah menentukan hubungan selanjutnya antara mereka. Ditunjukkan pula bahwa struktur interaksi mencerminkan bagaimana pembeli dan penjual melalui proses interaksi dyadic139 menciptakan kenyataan sosial. Menurut Eko Yuwono140, budaya dan perilaku konsumen Indonesia yang gemar tawar-menawar adalah faktor penting yang bahkan bisa dikatakan sebagai keunggulan kompetitif dari pasar tradisional, sebab hal ini hampir tidak

138 Wilson & Plattner, “Adaptation to Uncertainty and Small Number Exchange:

The New Sugland Fish Market”, artikel dalam Journal of Economic 11, 1980, hlm, 491-504.

139 Interaksi dyadic adalah merupakan salah satu bentuk interaksi yang terjadi jika

ada dua orang yang terlibat di dalamnya atau lebih dari dua orang tetapi arah interaksinya hanya terjadi dua arah.

140 Wawancara dengan Bapak Eko Yuwono, Kasubbag. Umum dan Kepegawaian

mungkin diterapkan oleh pasar modern. Keunggulan lain adalah kedekatan antara penjual dan pembeli yang biasanya ada di pasar tradisional jarang ditemukan pada pasar modern sekalipun mereka seringkali mengatasi dengan database pelanggan namun tidak terasa alami sebagaimana hubungan yang dibangun antara penjual-pembeli di pasar tradisional. Persepsi pelanggan mengenai harga pasar tradisional yang lebih murah juga menjadi faktor lain, belum lagi di pasar tradisional pelanggan bisa membeli sesuai jumlah (minimum) yang diperlukan sementara di ritel modern sudah dikemas dengan ukuran-ukuran standar.

Selain itu pasar tradisional adalah contoh nyata hidup berbhineka tunggal ika. Ada banyak suku dan karakter bertemu dan hidup bersaing di pasar. Para pedagang memainkan peran masing-masing, namun iramanya tetap hormonis. Di Pasar tidak ada lagi budaya tertentu yang mendominasi karena mereka sudah menyatu dalam budaya pasar. Di Pasar dapat dijumpai orang Jawa, Sunda, Minang, Batak, Keturunan Thionghoa, dan lain sebagainya mencari nafkah saling berdampingan dalam lapak dan kios yang sempit. Walupun mereka berbeda suku mereka mempunyai tekad untuk menyatu ketika sedang melayani pembeli.

Hal ini bisa dilihat, bila ada seorang pedagang yang harus pergi sejenak, misalnya hendak sholat di Masjid atau Mushola dekat pasar atau menjemput anak pulang sekolah, pedagang tersebut biasa menitipkan dagangnya pada rekan sesame pedagang terdekat. Ketika pembeli datang dan tertarik membeli jualan si pedagang yang sedang berkepentingan di luar, pedagang yang diberi amanat akan melayani keinginan pembeli. Soal harga, sesama pedagang biasanya sudah tahu standar harga jual suatu produk.

pembeli, termasuk meluluhkan hati pembeli dengan menggunakan bahasa atau simbul-simbul kesukuan. Contoh pedagang asal Minang, akan merayu pembeli yang kebetulan orang jawa dengan memainkan kata-kata dan logat jawa atau tidak mengherankan kalau ada seorang pedagang yang keturunan Tionghoa berbicara dengan logat jawa atau sunda sama fasihnya ketika berbicara dengan bahasa ibu mereka.

Pembeli pun, sering dijumpai tidak jarang menyapa pedagang dengan sapaan uda, uni, koh, cik, lek, kang, dan lain sebagainya, meski mereka bukan dari suku tersebut. Panggilan atau sapaan itu pada dasarnya mengandung tujuan berupa rayuan-rayuan agar diberi harga murah. Tetapi, panggilan atau sapaan tersebut mengandung makna sebagai penghargaan dan ingin menjadi bagian dari budaya asal si pedangan. Ada upaya “pengingatan” akan akar budaya para pelaku pasar oleh sesama mereka. Ada beberapa pembeli bahkan “terpaksa” menggunakan bahasa sehari-hari yang merupakan suku mayoritas pedagang, untuk menunjukkan bahwa mereka (pembeli) “bukan orang jauh” sehingga terhindar dari tawaran harga yang mahal.

Pasar dengan persaingan ekonomi yang kadang-kadang tidak sehat, stigma dan streotif para palaku juga menempel. Seperti cap pelit, kasar, selalu memberi harga mahal, hingga kerap menipu atau tidak jujur kepada konsumen, menempel pada suku tertentu. Setiap suku sebagai pedagang yang ada di pasar mempunyai cap masing-masing. Streotif itu biasanya bagian strategi dagang masing-masing, sehingga kebhenikaan yang ada di pasar jika tidak dikelola dengan baik akan menimbulkan persoalan sendiri. Keharmonisan budaya di pasar adalah contoh yang luar biasa, orang (para pedagang) bisa bersaing mencari rezeki tapi tetap harmonis menghargai budaya.

B. Pasar Modern: Ancaman Terhadap Eksistensi Pasar

Dokumen terkait