• Tidak ada hasil yang ditemukan

t

K = Pertumbuhan modal (capital) pada tahun-t

*

t

A = Pertumbuhan total factor productivity (TFP) tahun-t

Nilai α pada persamaan di atas menunjukkan bagian (share) tenaga kerja dari total output atau (MPL x L)/Y, di mana MPL (produk marginal tenaga kerja) tidak lain adalah upah riil tenaga kerja.

2.4. Pasar Tenaga Kerja

Keseimbangan pasar tenaga kerja, mencerminkan adanya kesesuaian dari interaksi antara penawaran tenaga kerja (labor supply) dan permintaan tenaga kerja (labor demand). Dinamika pasar tenaga kerja ditentukan perubahan-perubahan yang terjadi pada kedua sisi dari pasar tenaga kerja tersebut. Secara umum pasar tenaga kerja dapat dipengaruhi oleh tingkat upah, pertumbuhan penduduk atau angkatan kerja, migrasi, inflasi, pengangguran, pendapatan masyarakat (PDB/PDRB) dan lain sebagainya. Teori dari berbagai komponen pasar tenaga kerja tersebut akan diuraikan satu per satu sebaga i berikut.

2.4.1. Penawaran Tenaga kerja

Menurut Ruby (2003) bahwa model dari penawaran tenaga kerja dimulai dengan asumsi bahwa pekerja akan memilih kombinasi jam-kerja dan pendapatan dengan tujuan untuk memaksimumkan kepuasan (utility) meraka dengan kendala jumlah jam yang tersedia dalam sehari. Model penawaran tenaga kerja menganggap bahwa jam bekerja adalah merupakan barang yang tidak disukai, tetapi dengan bekerja akan memberikan pendapatan. Sedangkan jam tidak bekerja atau yang disebut waktu luang (leisure time) meruapakan barang yang disukai. Dengan demikian maksimisasi kepuasan akan ditentukan dari pendapatan dan waktu luang : Maximaze U = f (pendapatan, waktu luang). Dengan menggunakan analisa kurva indeferen (indifference curve) kita dapat menguj i efek dari perubahan tingkat upah terhadap jumlah penawaran jam kerja, yang dilukiskan pada gambar-8. Dimana kurva indiferen (IC) menggambarkan berbagai titik kombinasi antara pendapatan dan waktu luang yang menghasilkan tingkat kepuasan sama. Selanjutnya garis pendapatan (budget constraint) seperti garis XY, menggambarkan tingkat pendapatan berdasarkan jumlah jam bekerja dalam

sehari. Semakin banyak jam bekerja (semakin kecil waktu senggang) yang digunakan maka semakin tinggi pendapatan. Kepuasan maksimal terjadi apabila kurva indeferen bersentuhan dengan garis pendapatan. Kombina optimal tersebut akan berubah apabila tingkat upah mengalami perubahan, seperti ditunjukkan bahwa peningkatan upah merubah slop dari garis anggaran menjadi X’Y, sehingga kombinasi optimal berubah dari titik R ke titik T, yang mencerminakan perubahan jam kerja yang ditawarkan.

Gambar 8-a. Peningkatan upah (Efek substitusi lebih kuat)

Gambar 8-b

Kurva penawaran tenaga terja

Sumber : Ruby, 2003.

Gambar 8 Penentuan kurva penawaran tenaga kerja

Menurut Bellente dan Jacson (1990) besarnya waktu yang disediakan atau dialokasikan untuk bekerja merupakan fungsi tingkat upah tertentu. Setelah mencapai tingkat upah tertentu pertamb ahan upah justru akan mengurangi waktu yang disediakan untuk bekerja, penomena ini akan menghasilkan apa yang disebut backward-bending supply curve, atau kurva penawaran yang berbelok. Kasliwal (1995) mengatakan phenomena tersebut banyak terjadi terutama pada kelompok perempuan dari keluarga kaya, sementara sesungguhnya mereka tergolong dalam angkatan kerja (labor force), sehingga tentu memiliki relevansi dengan pembangunan.

Tenaga Kerja (Jam)

R T $12 $10 0 2 4 6 8 10 12 14 16 Tingkat Upah (W) SLabor

Jam Kerja lebih banyak Waktu (Jam) Waktu Senggan lebih banyak

Y X X’ T R 0 2 4 6 8 10 12 14 16 Pendapatan (L x W) IC1 IC0 $196 $160 $120 80

Pengaruh tingkat upah terhadap penawaran tenaga kerja sesungguhnya ditentukan oleh dua kekuatan yang saling berlawanan yakni pengaruh efek pendapatan (income effect) dan efek substitusi (substitution effect). Apabila efek pendapatan yang positif terhadap tingkat upah lebih kecil dari kekuatan efek substitusi yang negatif, maka efek total akan menjadi negatif yang berarti bahwa pekerja akan mengurangi konsumsi waktu luang (leisure) dan menambah waktu jam kerjanya sehingga kurva penawaran akan memiliki kemiringan positif (upward sloping). Sebaliknya jika efek total positif maka akan terjadi “bacward-bending” pada kurva penawaran tenaga kerja yang berarti bahwa pekerja justru akan mengurangi jam kerjanya dengan peningkatan upah (McConnell dan Brue, 1995). Selanjutnya Ruby (2003) mengatakan bahwa dalam analisa agregat, penawaran tenaga kerja, selain ditentukan oleh tingkat upah, juga sangat dipengaruhi oleh perubahan populasi, tingat partisipasi angkatan kerja (demographic changes) dan arus immigrasi (immigration flows).

2.4.2. Permintaan Tenaga Kerja

Permintaan tenaga kerja di dasarkan dari permintaan produsen (pengusaha) terhadap input tenaga kerja sebagai salah satu input dalam proses produksi. Produsen mempekerjakan seseorang dalam rangka untuk membantu memproduksi barang atau jasa untuk dijual kepada konsumen. Apabila permintaan konsumen terhadap barang atau jasa yang diproduksi meningkat, maka, pengusaha terdorong untuk meningkatkan produksinya melalui penambahan input, termasuk input tenaga kerja, selama manfaat dari penambahan produksi tersebut lebih tinggi dari tambahan biaya karena penambahan input. Dengan kata lain, pertambahan permintaan pengusaha terhadap tenaga kerja, tergantung dari pertambahan permintaan konsumen dari barang dan jasa yang dihasilkannya. Oleh karena itu permintaan tenaga kerja merupakan permintaan turunan (derived demand) dari permintaan konsumen. Hal ini mengindikasikan bahwa kekuatan permintaan untuk tenaga kerja akan tergantung pada : (1) tingkat produktifitas tenaga kerja dalam membantu menghasilkan barang atau jasa, dan (2) nilai pasar dari barang atau jasa tersebut. (Swastika dan Kuastiari, 2000).

Menurut Ruby (2003), bahwa permintaan tenaga kerja di turunkan dari fungsi produksi yang merupakan fungsi dari tenaga kerja (L) dan modal (K). Fungsi produksinya adalah sebagai berikut :

TP (Y) = f(L,K)

Dimana : TP = Produksi total (output) L = Tenaga kerja

K = Modal

Dengan asumsi bahwa pengusaha senangtiasa ingin memaksimumkan pendapatannya, maka dalam jangka pendek, produksi optimal (profit maximizing) terjadi pada saat produktivitas marginal tenaga kerja (MPL) sama dengan ratio upah (wt) terhadap harga produk (wt/Px) atau kondisi dimana nilai produk marginal tenaga kerja (VMPL) = wt. Upah (wt) tidak lain adalah jumlah tambahan biaya yang diperlukan untuk mempekerjakan tambahan seorang pekerja. Apabila MPL lebih besar dari wt/Px, maka perusahaan akan menambah permintaan tenaga kerjanya. Secara umum, dalam jangka pendek permintaan tenaga kerja berkorelasi negatif dengan tingkat upah (wt). Akan tetapi terdapat hubungan positif antara harga produk (Px) dengan permintaan tenaga kerja jangka pendek, karena kurva MPL (kurva permintaan tenaga kerja), akan bergeser keluar (outwards) jika harga output menjadi lebih mahal (Borjas, 1996).

Sumber : Ruby, 2003.

Gambar 9. Penentuan kurva permintaan tenaga terja

Dalam jangka panjang, semua faktor produksi akan mengalami perubahan. Penentuan faktor produksi mana yang digunakan di dasarkan pada daya substitusi

L2 d 0 L1 b P W

Tingkat Upah Riil (W/P)

MPL = D (L) MPL*= D* Y2 Output (Y) d L2 0 Y1 L1

Produksi optimal yg baru

b Profit1 Labor (L) Profit2 Y=f(L,K) Y=f*(L,K)

(marginal rate of technical substitution) dari faktor produksi tersebut. Perusahaan akan meningkatkan penggunaan tenaga kerja jika tenaga kerja relatif lebih murah dibandingkan dengan modal. Dikatakan tenaga kerja lebih murah secara relatif dibandingkan modal, jika produktivitas tenaga kerja lebih tinggi dari produktivitas modal. Menurut Ruby (2003) bahwa peningkatan produktifitas tenaga kerja ini dapat disebabkan oleh penambahan kemajuan teknologi atau penambahan modal per tenaga kerja. Peningkatan produktifitas ini akan menyebabkan bergesernya fungsi produksi ke atas (output per tenaga kerja lebih tinggi) dan menggeser keluar kurva MPL, yang mencirikan permintaan tenaga kerja bertambah. Atau dengan kata lain peningkatan produktivitas tenaga kerja, bukan hanya meningkatkan output, tetapi juga mendorong perluasan kesempatan kerja.

2.4.3. Keseimbangan Pasar Tenaga Kerja

Keseimbangan pasar tenaga kerja adalah kondisi yang menggambarkan adanya kesesuaian antara permintaan dan penawaran tenaga kerja. Kesesuaian tersebut bukan hanya dalam jumlah dan tingkat upah, tetapi juga implisit di dalamnya mengenai berbagai karakteristik tenaga kerja yang dibutuhkan pasar, seperti keterampilan, pendidikan dan lain- lain. Dalam kondisi dimana mekanisme pasar dapat bekerja secara sempurna, tidak ada satu atau beberapa kons umen maupun produsen yang memiliki kekuatan yang cukukp untuk memaksakan kehendaknya guna mempengaruhi harga- harga input dan harga output barang dan jasa, sehingga tingkat penyerapan tenaga kerja dan tingkat upah di tentukan secara bersamaan oleh segenap harga output dan faktor- faktor produksi dalam suatu perekonomian melalui perimbangan kekuatan-kekuatan permintaan dan penawaran.

Kondisi keseimbangan dalam pasar tenaga kerja, memiliki makna yang sangat berarti dalam suatu perekonomian, karena kondisi tersebut mencirikan tidak adanya faktor produksi tenaga kerja yang menganggur atau yang sering disebut sebagai kondisi full employment. Akan tetapi pengangguran senangtiasa wujud dalam perekonomian, hal mengindikasikan bahwa pasar tenaga kerja sulit untuk mencapai keseimbangan atau terjadi kegagalan pasar tenaga kerja. Kegagalan pasar tenaga kerja menuju titik keseimbangan ditentukan oleh banyak

faktor. Diantaranya karena sektor-sektor produksi memiliki daya serap (permintaan) tenaga kerja yang rendah, sementara penawaran tenaga kerja bertambah terus karena adanya pertambahan angkatan kerja dan migrasi. Faktor lain penyebab kegagalan pasar tenaga kerja adalah tidak singkronnya spesifikasi tenaga kerja yang diinginkan oleh pengusaha dengan karakteristik tenaga kerja yang tersedia, seperti perbedaan keterampilan, pendidikan, pengalaman dan lain-lain. Selain itu faktor informasi yang tidak sempurna juga memberikan kontribusi yang signifkan terhadap kegagalan pasar tenaga kerja. Kondisi keseimbangan pasar tenaga kerja ditunjukkan pada titik equilibrum pada gambar 10.

Sumber : Nicholson, 1998 dan Kasliwal 1995.

Gambar 10. Keseimbangan pasar tenaga kerja dan pengangguran

Pada gambar 10 memperlihatkan keseimbangan pasar tenaga kerja tercapai pada jumlah tenaga kerja yang akan ditawarkan oleh individu sama dengan besarnya yang diminta oleh pengusaha yaitu pada tingka upah W0. Pada tingkat upah yang lebih tinggi (W2) penawaran tenaga kerja lebih tinggi dari jumlah yang diminta. Perbedaan dari jumlah penawaran dan permintaan tenaga kerja ini merupakan kelompok tenaga kerja yang mencari kerja (menganggur) dari angkatan kerja (L), selebihnya adalah kelompok tenaga kerja yang terserap dalam pasar tenaga kerja (employment). Semakin besar angka pengangguran, maka semakin ketat persaingan diantara mereka untuk memperebutkan lowongan kerja yang tersedia sehingga dapat mendorong upah akan turun ke arah titik

L 0 L0 Employment Unemployment E = W0 Kondisi keseimbangan Tingkat Upah SL Excess Supply W2 MPL = DL

Penyerapan Tenaga Kerja W1

keseimbangan. Penomena dimana banyaknya pencari kerja bersedia bekerja walau dengan tingkat upah yang rendah akan mendorong semakin banyaknya disquised unemployment.

2.4.4. Pengangguran, Upah Kaku dan Distorsi Pasar Tenaga Kerja

Seperti yang telah dijelaskan sebelumnya bahwa keseimbangan pasar tenaga kerja mengacu pada kondisi yang menggambarkan adanya kesesuaian antara permintaan dan penawaran tenaga kerja, yang berarti pula bahwa tidak terdapat pengangguran dalam perekonomian, karena setiap tenaga kerja yang kehilangan pekerjaan dengan segera mendapatkan pekerjaan baru. Akan tetapi Menurut Mankiw (2003) pada kenyataannya para pekerja mempunyai preferensi dan kemampuan yang berbeda dan pekerjaan memerlukan spesifikasi keahlian yang berda serta upah yang berbeda. Selain itu, karena adanya informasi tentang calon karyawan dan lowongan kerja yang tidak sempurna, dan mobilitas geografis pekerja tidak instant, sehingga calon karyawan dalam mencari pekerjaan yang tepat membutuhkan waktu dan usaha dan hal ini tentu mengurangi tingkat penemuan pekerjaan. Karena setiap calon karyawan membutuhkan waktu untuk mencari pekerjaan, maka pengangguran pasti selalu terjadi. Pengangguran yang disebabkan oleh waktu yang dibutuhkan orang untuk mencari pekerjaan di sebut sebagai pengangguran friksional.

Lebih lanjut Mankiw (2003) menjelaskan bahwa pengangguran friksional selalu terjadi pada perekonomian yang selalu berubah. Ketika terjadi perubahan pada komponen permintaan masyarakat akan berdampak pada perubahan struktur produksi (pergeseran sektoral) pula sehingga juga mempengaruhi permintaan tenaga kerja. Pergeseran sektoral ini mencirikan bahwa ada sektor produksi lama yang mengalami kemunduran dan kebangkrutan, tetapi ada pula sektor produksi baru yang muncul dan berkembang. Dalam kondisi seperti itu, maka selalu ada pemutusan hubungan kerja dan ada pula lowongan kerja baru, karena informasi tidak sempurna sehingga pencari kerja selalu membutuhkan waktu untuk menemukan pekerjaan yang sesuai, karena itu pengangguran friksional selalu terjadi.

Alasan kedua untuk pengangguran menurut Mankiw (2003) adalah karena kekakuan upah (wage rigidity) yakni gagalnya upah melakukan penyesuaian sampai penawaran tenaga kerja sama dengan permintaannya. Upah tidak selalu fleksibel menyeimbangkan penawaran dan permintaan tenaga kerja, kadang-kadang upah riil tertahan di atas tingkat kliring-pasar. Ketika upah riil di atas tingkat yang menyeimbangkan penawaran dan permintaan, jumlah tenaga kerja yang ditawarkan melebih jumlah yang diminta sehingga terjadi pengangguran.

Hal senada juga diungkapkan oleh ahli ekonomi structuralist (seperti Taylor dan Chenery) ketika mengkritik teori pertumbuhan Solow yang mengatakan bahwa ketidak sempurnaan pasar tenaga kerja terjadi secara kritis di negara berkembang yang ditunjukkan bahwa tenaga kerja menerima upahnya lebih besar dari upah pasar bebasnya (Kasliwal, 1995), atau dengan kata lain

p w

PML < / (upah riil lebih tinggi dari produksi marginal tenaga kerja). Menurut Taylor dan Chenery, bahwa kegagalan pasar yang terjadi di negara berkembang ini berkaitan dengan: (1) Harga (upah) tidak melakukan penyesuaian secara bebas, dan (2) agen ekonomi merespon secara lambat terhadap perubahan harga (upah) yang terjadi. Dengan demikian pandangan ini sudah sejalan dengan pendapat Mankiw tentang kekakuan upah (wage rigidity) atau gagalnya upah melakukan penyesuaian ke arah keseimbangan pasar ketika terjadi shock (perubahan) pada sisi permintaan maupun pada sisi penawaran tenaga kerja.

Menurut Kasliwal (1995) bahwa kegagalan pasar yang telah tersebar luas berkaitan dengan keterbatasan informasi, eksternalitas, skala peningkatan hasil yang semakin meningkat, dan cara alokasi yang tidak melalui pasar (non-market), yang lebih muda diterapkan. Lebih lanjut, ketika pemerintah campurtangan, mereka sering menciptakan yang bahkan lebih penyimpangan. Karena itu distorsi pasar dapat terjadi secara serius di negara berkembang. Sedangkan menurut Mankiw (2003) bahwa hal yang menyebabkan kekakuan upah adalah undang-undang upah minimum, kekuatan monopoli serikat pekerja dan efisiensi upah. Karena itu semakin kuat faktor-faktor tersebut berpengaruh maka tentu upah semakin kakuh dan agen ekonomi semakin lamban merespon perubahan upah, yang berarti pula semakin lama waktu yang dibutuhkan oleh upah untuk melakukan penyesuaian, demikian pula semakin lama waktu yang dibutuhkan

oleh agen ekonomi untuk merespon perubahan upah. Dengan demikian lamanya waktu yang dibutuhkan oleh upah untuk melakukan penyesuaian serta waktu yang dibutuhkan agen ekonomi untuk merespon perubahan upah dapat dijadikan indikator tingkat distorsi pasar tena ga kerja.