• Tidak ada hasil yang ditemukan

Pasien yang Dirawat di Ruang ICU ( Intensive Care Unit )

Protokol dan prosedur tentang indikasi masuk dan keluar ICU harus dimiliki setiap ICU. Kebijaksanaan ini harus disusun oleh tim disiplin multi medis, perawat dan direktus Rumah Sakit. Kebijaksanaan harus selalu ditinjau secara teratur dan kalau perlu diadakan koreksi atau revisi. Pada saat-saat penggunakan yang tinggi dan fasilitas tempat perawatan terbatas, maka dilakukan prioritas. Kriteria masuk ICU harus disusun berdasarkan masalah klinis, harapan untuk pulih kembali dan keuntungan terapi intensif. Dokter perujuk atau pemilik pasien bertanggung jawab untuk meminta perawatan intensif dan segera memindahkan pasien ke ruang perawatan lain jika telah memenuhi kriteria pindah. Pimpinan atau staf medis memutuskan apakah pasien benar-benar memerlukan perawatan intensif atau tidak. Pada

kasus-kasus yang menimbulkan konflik untuk menentukan kriteria masuk dan keluar ICU, maka pimpinan atau staf medis ICU menentukan prioritas ICU. 2.3.1 Indikasi pasien masuk ruang perawatan ICU

Pasien yang memerlukan perawatan di ICU adalah pasien dengan krisis atau kegagalan pada sistem pernapasan, sistem hemodinamik, sistem syaraf pusat, sistem endokrin dan metabolik, overdosis obat, reaksi obat dan keracunan, sistem pembekuan darah, infeksi berat (sepsis). Indikasi masuk ICU juga ada karena indikasi sosial yaitu masuknya pasien ke ICU karena ada pertimbangan sosial. Indikasi pasien masuk ICU dapat dibagi menjadi 3 prioritas, yaitu :

2.3.1.1 Prioritas I

Pasien kritis, pasien tidak stabil yang memerlukan tindakan terapi intensif dan agresif untuk mengatasinya, seperti bantuan ventilasi, infus obat-obat vasoaktif dan lain-lain. Pada pasien seperti ini terapi tidak dibatasi ( do everything), Contoh: edema paru, status convulsivus ,septic shock, gagal nafas.

2.3.1.2 Prioritas II

Pasien golongan ini pada saat masuk tidak dalam keadaan kritis tetapi kondisi klinisnya membutuhkan pemantauan intensif baik secara invansif maupun non invasif atau keadaan-keadaan yang dapat menimbulkan ancaman gangguan pada sistem organ vital. Pasien dengan bantuan alat ventilasi, monitoring, dan obat-obatan vasoakif kontinyu. Pada pasien seperti ini terapi juga tidak dibatasi. Misalnya: pasca bedah ekstensif, pasca henti jantung dalam keadaan tidak stabil, pasca bedah jantung dan pasca bedah dengan penyakit jantung. 2.3.1.3 Prioritas III

Pasien dalam keadaan kritis dengan harapan kecil untuk penyembuhannya. Pasien kelompok ini memerlukan terapi intensif terbatas untuk mengatasi krisis penyakit, tetapi tidak dilakukan terapi invasif seperti intubasi dan resusitasi (do

something). Misalnya: pasien dengan metastase keganasan, penyakit jantung dan paru terminal dengan komplikasi akut.

2.3.2 Pasien kritis yang tidak memerlukan perawatan ICU

Pasien kritis yang tidak memerlukan perawatan di ICU adalah pasien yang dengan terapi atau pemantauan intensif tidak diharapkan atau tidak memberikan hasil, sedangkan pasien pada waktu itu tidak menggunakan alat bantu mekanis (ventilator), yaitu:

2.3.2.1 Pasien mati batang otak (MBO), kecuali donor organ. 2.3.2.2 Pasien koma dengan keadaan vegetatif yang permanen.

2.3.2.3 Pasien dalam stadium akhir/terminal (end-stage) dari suatu penyakit.

2.3.2.4 Pasien yang menolak pemberian terapi bantuan hidup. 2.3.2.5 Pasien ARDS stadium akhir.

2.3.2.6 Pasien yang secara fisologis stabil, secara statistik resikonya rendah untuk memerlukan terapi ICU, contoh:

a. Pasien pasca bedah vaskuler yang stabil b. Pasien diabetic ketoasidosis tanpa komplikasi c. Keracunan obat, terapi sadar

d. Pasien yang lebih disukai dimasukkan kesuatu unit intermediate untuk terapi definitif dan atau observasi

2.3.3 Indikasi pasien keluar perawatan ruang

2.3.3.1 Pasien prioritas I dipindahkan keluar ICU jika tidak membutuhkan lagi terapi yang intensif atau terapi mengalami kegagalan sehingga prognosis buruk dan terdapat sedikit kemungkinan untuk pulih kembali.

2.3.3.2 Pasien prioritas II dipindahkan keluar ICU jika hasil pemantauan intensif menunjukkan bahwa terapi intensif dan monitoring khusus tidak diperlukan lagi atau apabila terdapat pasien prioritas I yang memerlukan perawatan.

2.3.3.3 Pasien prioritas III dipindahkan jika terapi intensif tidak dibutuhkan lagi, dan dapat dipindahkan lebih awal jika diketahui kemungkinan untuk pulih kembali sangat kecil atau keuntungan terapi sangat sedikit.

2.3.3.4 Pasien-pasien yang tidak banyak memperoleh keuntungan terapi intensif, antara lain :

a. Pasien tua dengan kegagalan 3 sistem organ yang tidak memberi respon dalam 72 jam setelah terapi intensif. b. Pasien mati batang otak atau koma non traumatik yang

menyebabkan keadaan vegetatif menetap.

c. Pasien penyakit paru menahun stadium lanjut, penyakit jantung terminal, atau metastase luas dari keganasan yang tidak respon terhadap terapi intensif dan tidak terdapat terapi lain.

2.3.3.5 Pasien atau keluarga menolak untuk dirawat lebih lanjut di ICU atau pulang paksa.

2.3.3.6 Penyakit atau keadaan pasien telah membaik dan cukup stabil. 2.3.3.7 Pasien yang meninggal dunia.

2.3.4 Kontra indikasi pasien masuk ruang perawatan ICU

Pada prinsipnya pasien yang masuk ICU tidak boleh ada yang mempunyai riwayat penyakit menular. Pasien dengan penyakit yang sangat menular mutlak tidak boleh masuk ICU, misalnya gas gangren.

2.3.5 Lama hari rawat pasien ICU

Lama perawatan pasien ICU disesuaikan dengan kondisi atau keparahan, diagnosis atau jenis penyakit dan indikasi masuk ICU atau tingkat kebutuhan perawatan dari masing-masing pasien. Berakhirnya perawatan pasien bisa dikarenakan indikasi keluar, sembuh, dirujuk, pulang paksa ataupun meninggal dunia. Pasien yang keluar perawatan di ICU harus disesuaikan dengan indikasi keluar dari ICU dan apabila

pasien/keluarga menolak untuk dirawat lebih lanjut di ICU (keluar paksa). Lama hari perawatan pasien ICU RSUD dr.H.Soemarno Sosroatmodjo Kuala Kapuas tempat dilakukannya penelitian ini disesuaikan dengan indikasi pasien masuk ICU atau tingkat kebutuhan perawatan pasien kritis dan kebijakan penetapan lama hari rawat ruang ICU. Secara umum nilai rata-rata lama hari rawat pasien yang ideal adalah antara 6-9 hari (Depkes, 2005). Nursalam (2011), menyatakan rata-rata lama hari rawat pasien secara umum adalah 7 sampai 10 hari

2.3.6 Pasien ICU yang beresiko mengalami dekubitus

Blaney (2010), menyatakan jenis penyakit atau kondisi pasien yang dapat meningkatkan resiko terjadinya dekubitus yaitu penyakit vaskular perifer, infark miokard, stroke, beberapa trauma, gangguan otot atau patah tulang, gastrointestinal perdarahan, cedera sumsum tulang belakang, gangguan saraf, seperti sindrom guillain-barré atau multiple sclerosis, kondisi medis tidak stabil atau kronis seperti diabetes, penyakit ginjal, kanker, penyakit paru obstruktif kronik, gagal jantung, dan demensia, riwayat ulkus tekanan sebelumnya. Berdasarkan data rekam medik (2012), ada 10 diagnosis penyakit pasien yang paling sering dirawat di ruang ICU RSUD dr.H.Soemarno Sosroatmodjo Kuala Kapuas tempat dilakukannya penelitian ini diantaranya adalah stroke, hipertensi krisis, infark miokard akut, sepsis, gagal jantung kongestif, gagal ginjal akut, edema paru, gagal nafas, ketoasidosis diabetik, dan malaria serebral.

2.3.6.1 Stroke

Stroke atau CVA (Cerebrovascular accident atau Cerebral apoplexy ), adalah kerusakan otak akibat tersumbatnya atau pecahnya pembuluh darah otak. Stroke terbagi dua yaitu hemorhagik dan non hemorhagik. Stroke hemorhagik terjadi akibat pecahnya pembuluh darah yang menuju ke otak

sedangkan stroke non hemorhagik terjadi akibat tersumbatnya pembuluh darah yang menuju ke otak.

Gejala klinis diantaranya:

a. Perubahan dan penurunan kesadaran, hal ini disebabkan karena perdarahan intraserebral akibat pecahnya pembuluh darah di otak.

b. Gangguan sensorik diantaranya:

1) Hemihipestesia (kurangnya sensitifitas pada 1 sisi) 2) Hemiparestesia (kesemutan 1 sisi)

3) Kesemutan sekitar mulut, gangguan pengecapan atau lidah, nyeri pada satu sisi tubuh.

c. Gangguan motorik diantaranya

1) Hemiparesis (lemah sebelah badan, tangan kaki kanan atau kiri saja)

2) Quadriparesis (lemah keempat anggota badan, tangan kaki kanan dan kiri)

3) Paraparesis (lemah kedua kaki)

4) Gangguan gerak otot wajah, biasanya ditandai dengan bentuk bibir yang tiba-tiba miring, gangguan gerak bola mata (oftalmoplegia)

5) Gangguan menelan (disfagia)

6) Afasia/disafasia yaitu tiba-tiba tidak mengerti bahasa yang biasa digunakannya sehari-hari, dysartria atau gangguan berbicara, muka tidak simetris, gangguan gerak tangkas atau gerak tidak terkoordinasi

2.3.6.2 Hipertensi krisis

Krisis hipertensi adalah keadaan klinis yang ditandai oleh tekanan darah yang sangat tinggi dengan kemungkinan timbulnya atau telah terjadi kelainan organ target (otak, mata /retina, ginjal, jantung, dan pembuluh darah). Hipertensi krisis merupakan suatu kondisi dimana diperlukan penurunan

tekanan darah dengan segera untuk mencegah atau membatasi kerusakan organ. Penatalaksanaan dengan obat penurun tekanan darah secara intravena dan observasi ketat tanda vital dan memonitor EKG pasien harus segera dilakukan.

Gejala klinis:

a. Neurologi: sakit kepala, kejang, gangguan kesadaran, hilangnya/kabur penglihatan

b. Oftalmologi: funduskopi perdarahan retina, eksudat, edema pupil

c. Kardiovaskuler: nyeri dada, edema paru d. Ginjal: azotemia, proteinuria, oligouria

e. Obstetri: preekslamsi dengan gejala-gejala gangguan penglihatan, sakit kepala hebat, gagal jantung kongestif, gangguan serebrovaskuler

2.3.6.3 Infark miokard akut

Infark miokard akut adalah kematian otot jantung karena penyumbatan atau penyempitan pada arteri koroner. Otot-otot jantung yang tidak tersuplai darah akan mengalami kerusakan atau kematian mendadak. Pasien dengan infark miokard akut diharuskan istirahat penuh dan pembatasan aktifitas. Aktifitas pasien yang penting harus disesuaikan dengan kondisi pasien. Observasi dan tanda-tanda vital dan terapi oksigen harus diberikan terutama sebelum, selama dan sesudah ada aktifitas selama perawatan.

Gejala klinis:

a. Keluhan khas nyeri dada retrosternal seperti diremas-remas, ditekan, ditusuk, panas, dan ditindih barang berat.

b. Keluhan nyeri dada dapat menjalar ke lengan (umumnya kiri), bahu, leher, rahang, sampai punggung dan epigastrium

c. Nyeri dada dapat berlangsung lebih lama dari angina pektoris disertai perasaan mual, muntah, berkeringat dingin, pusing, berdebar-debar atau sinkope

2.3.6.4 Sepsis

Sepsis didefinisikan sebagai kehadiran banyak bakteri di dalam darah. Sepsis dapat terjadi ketika seluruh tubuh bereaksi terhadap infeksi. Reaksi ini mengarah ke overdrive serius dari sistem kekebalan tubuh dan menyebabkan serangkaian reaksi yang dapat menyebabkan peradangan luas dan pembekuan darah. Gejala klinis diantaranya demam tinggi dengan suhu 100.4°F atau 38°C, menggigil dan menggigil, nafas cepat, detak jantung cepat, kebingungan dan disorientasi, pusing, mual dan muntah. Sepsis parah dan mengalami septic shock adalah darurat medis yang harus masuk di unit perawatan intensif. Organ tubuh dan tekanan darah, dan pernapasan mungkin perlu dukungan peralatan medis di ICU. Resiko kematian dalam kasus yang parah setinggi 30 sampai 50%. 2.3.6.5 Gagal jantung kongestif

Gagal jantung kongestif adalah suatu kondisi medis yang ditandai kegagalan jantung memompakan darah secukupnya keseluruh tubuh. Karena laju darah yang dipompakan keluar dari jantung lebih lambat dari laju darah yang kembali ke jantung melalui pembuluh darah vena maka akan menyebabkan akumulasi cairan dalam jaringan. Gejala khas yang timbul seperti pembengkakan di tungkai kaki atau pergelangan kaki, sesak nafas dan kelelahan ketika mengerahkan tenaga. Gejala lainnya yang mungkin timbul yaitu batuk kronis bercampur darah dan lendir, kelelahan, berdebar-debar, aritmia, asites, sakit dada dan retensi cairan. Pasien dengan gagal jantung kongestif akan menjalani perawatan intensif dan pengobatan dapat berbeda tergantung

kondisi dan penyakit yang diderita pasien. Observasi ketat dan monitor harus dilakukan terutama pada pasien yang mendapatkan terapi dieuretik untuk mencegah gangguan keseimbangan cairan dan elektrolit.

2.3.6.6 Gagal ginjal akut

Gagal ginjal akut dapat didefinisikan sebagai sindrom klinis akibat kerusakan metabolik atau patologik pada ginjal yang ditandai dengan penurunan fungsi yang nyata dan cepat serta terjadinya azotemia. Biasanya penyakit ini disertai oliguria (urin out put < 400 ml/ hari). Tiga kategori utama kondisi penyebab gagal ginjal akut adalah kondisi prerenal (hipoperfusi ginjal), intrarenal (kerusakan aktual jaringan ginjal), dan pasca renal yang biasanya akibat dari obstruksi di bagian distal ginjal.

Gejala klinis:

a. Perubahan haluran urin, sedikit dapat mengandung darah, dan gravitas spesifiknya rendah (0,010 sedangkan nilai normalnya 0,015-0,025)

b. Peningkatan BUN dan kadar kreatinin

c. Hiperkalemia, asidosis metabolik, abnormalitas Ca++ dan PO4- dan anemia

Penatalaksanaan sangat dipengaruhi oleh penyebab atau penyakit primer. Penyebab prerenal perlu sekali dievaluasi, misalnya dehidrasi, penurunan tekanan darah, CVP < 3cm, syok, KU jelek. Perawatan intensif dan pemantauan ketat pada cairan, fase oliguria, hyperkalemia dan monitor EKG mengharuskan pasien dirawat di ICU.

2.3.6.7 Edema paru

Edema paru adalah akumulasi cairan di paru-paru secara tiba-tiba akibat peningkatan tekanan intravaskular. Gejala yang paling umum dari pulmonary edema adalah sesak napas.

Gejala-gejala umum lain mungkin termasuk mudah lelah, lebih cepat mengembangkan sesak napas daripada normal dengan aktivitas yang biasa (dyspnea on exertion), napas yang cepat (tachypnea), kepeningan, atau kelemahan. Tingkat oksigen darah yang rendah (hypoxia) mungkin terdeteksi pada pasien dengan pulmonary edema. Jika memburuk (pasien makin sesak, takipneu, ronchi bertambah, PaO2 tidak bisa dipertahankan > 60 mmHg dengan O2 konsentrasi dan aliran tinggi, retensi CO2, hipoventilasi, atau tidak mampu mengurangi cairan edema secara adekuat), maka dilakukan intubasi endotrakeal, suction, dan ventilator. Pemasangan ventilator dilakukan pada pasien dengan hipoksia berat, asidosis atau tidak berhasil dengan oksigen Pasien edema paru yang mendapakan terapi deuretik harus dimonitor keseimbangan cairan dan elektrolitnya dan tanda-tanda vital. 2.3.6.8 Gagal nafas

Gagal nafas adalah ketidakmampuan tubuh dalam mempertahankan tekanan parsial normal O2 dan atau CO2 didalam darah. Gagal nafas merupakan suatu kegawatan yang disebabkan oleh gangguan pertukaran oksigen dan karbondioksida, sehingga sistem pernafasan tidak mampu memenuhi metabolisme tubuh.

Penyebab gagal nafas:

a. Penyebab sentral diantaranya trauma kepala (contusion serebri), radang otak (encephalitis), gangguan vaskuler (perdarahan otak, infark otak), obat-obatan (narkotika, anestesi).

b. Penyebab perifer diantaranya kelainan neuromuskuler (tetanus, trauma servikal, muscle relaxans) kelainan jalan nafas (obstruksi jalan nafas, asma bronkhiale), kelainan di paru (edema paru, atelectasis, ards), kelainan tulang iga

(fraktur costa, pneumothorak, haemothorak), kelainan jantung (gagal jantung kiri).

Gejala klinis:

a. Umum: kelelahan, berkeringat

b. Respirasi: wheezing, merintih, menurun/menghilangnya suara nafas, cuping Hidung retraksi, takipnea, bradipnea atau apnea, sianosis.

c. Kardiovaskuler: bradikardia atau takikardia hebat, hipotensi/hipertensi, pulsus Paroksus 12 mmHg, henti jantung.

d. Serebral: gelisah, iritabilitas, sakit kepala, kekacauan mental, kesadaran Menurun, kejang, koma.

Penatalaksanaan mulai dari terapi oksigen nasal atau masker sampai pemasangan ventilator mekanik, pemberian inhalasi, dan pemantauan hemodinamik, semuanya memerlukan pengawasan monitoring yang intensif di ruang ICU.

2.3.6.9 Ketoasidosis diabetik

Ketoasidosis Diabetik adalah salah satu bentuk dari komplikasi pada penderita diabetes melitus (DM) yang terjadi pada waktu yang cepat. Gejala dari ketoasodosis diabetik ini mulai dari penurunan kesadaran, sesak nafas, dehidrasi, suhu badan tinggi, muntah-muntah, banyak kencing hingga ngompol. Komplikasi ini bila tidak diberikan pengobatan yang cepat dan tepat maka kematian dengan sangat cepat datang. Hal ini bisa terjadi pada keadaan penderita DM tipe 1 yang mendapat pengobatan suntikan insulin tetapi lupa atau tidak menyuntik insulin dengan dosis yang tepat dan pada DM tipe 2, terjadinya komplikasi ketoasidosis disebabkan infeksi, stres pada metabolisme tubuh (stroke, serangan jantung atau infark miokard). Pengobatan pada kondisi ini dengan perawatan Intensive Care, monitor cairan tubuh, tekanan darah, monitor

jumlah kencing, monitor kesadaran dan pemberian insulin dan jangan lupa mencari pencetus dari keto asidosis yakni fokus infeksi seperti infeksi gigi, saluran kencing, saluran pernafasan, infeksi jaringan kulit (bisul).

2.3.6.10Malaria serebral

Malaria serebral adalah suatu akut ensefalopati yang menurut WHO definisi malaria serebral memenuhi 3 kriteria yaitu koma yang tidak dapat dibangunkan atau koma yang menetap lebih dari 30 menit setelah kejang disertai adanya plasmodium falsiparum yang dapat ditunjukkan dan penyebab lain dari akut ensefalopati telah disingkirkan.

Gejala klinis penderita malaria falsiparum yang non imun bila diagnosa terlambat, penundaan terapi, absorbsi gagal karena muntah-muntah, resisten OAM, dalam 3-7 hari setelah panas, dapat mengarah cepat pada keadaan koma. Keadaan akan memburuk cepat dengan nyeri kepala yang bertambah dan penurunan derajat kesadaran dari letargi, sopor sampai koma. Sebelum diagnosis dapat dipastikan melalui pemeriksaan darah malaria, beberapa tindakan perlu dilakukan pada penderita dengan dugaan malaria berat berupa tindakan perawatan di ICU yaitu

a. Pertahankan fungsi vital, sirkulasi, kebutuhan oksigen, cairan dan nutrisi

b. Hindarkan trauma, dekubitus, jatuh dari tempat tidur

c. Monitoring, temperatur, nadi, tensi, dan respirasi tiap ½ jam dan baringkan/posisi tidur sesuai dengan kebutuhan

d. Monitoring ukuran dan reaksi pupil, kejang dan tonus otot Pemeriksaan mikroskopis laboratorium sangat membantu dalam menegakan deagnosis. Pemeriksaan sediaan darah tebal dan hapusan darah tipis dapat ditemukan parasit plasmodium.

Dokumen terkait