• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Lama Hari Rawat - BAB 2.pdf

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2019

Membagikan "BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Lama Hari Rawat - BAB 2.pdf"

Copied!
39
0
0

Teks penuh

(1)

BAB 2

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Lama Hari Rawat

Lama hari rawat merupakan salah satu unsur atau aspek asuhan dan pelayanan di rumah sakit yang dapat dinilai atau diukur. Bila seseorang dirawat di rumah sakit, maka yang diharapkan tentunya ada perubahan akan derajat kesehatannya. Bila yang diharapkan oleh tenaga medis maupun oleh penderita itu sudah tercapai maka tentunya tidak ada seorang pun yang ingin berlama-lama di rumah sakit. Lama dirawat dihitung dari tanggal pertama pasien tersebut masuk ruang perawatan sampai tanggal pasien tersebut check out atau keluar (Indradi, 2007).

Lama hari rawat berhubungan erat dengan mutu dan efisiensi rumah sakit, sehingga sangat berdampak dan berpangaruh pada jumlah pengeluaran biaya oleh keluarga pasien, beban kerja Rumah Sakit, dan tim kesehatan di Rumah Sakit. Lama hari rawat pasien merupakan salah satu indikator mutu pelayanan Rumah Sakit. Lama hari rawat dapat menggambarkan kondisi penyakit pasien selama menjalani perawatan dan menggambarkan efektifitas pelayanan, pengobatan dan kinerja pelayanan Rumah Sakit (Heryati, 1993 dalam Suheri, 2009).

(2)

(Mei) ditambah 6 (Juni) menjadi 9 hari. Apabila pasien masuk dan keluar pada hari yang sama, maka lama hari rawatnya adalah 1 hari.

Lama hari rawat merupakan selisih dari tanggal terakhir pasien dirawat dan tanggal pasien masuk ruang perawatan. Lama hari rawat merupakan rentang waktu sejak pasien masuk perawatan hingga keluar dari Rumah Sakit. Rata-rata lama hari rawat merupakan akumulasi hari perawatan masing-masing pasien (hidup dan mati) dibagi jumlah pasien keluar (hidup dan mati). Lama hari rawat adalah rentang atau periode waktu sejak pasien diterima masuk ke Rumah Sakit hingga berakhirnya proses pengobatan secara administratif oleh suatu sebab tertentu. Berakhirnya proses perawatan pasien dapat terjadi karena dinyatakan sembuh, meninggal dunia, dirujuk atau alih rawat ke Rumah Sakit lain atau pulang paksa. Lama hari rawat pasien merupakan jumlah akumulasi lamanya pasien menjalani perawatan di Rumah Sakit (Indradi, 2007).

Lama hari rawat adalah rata-rata hari perawatan di Rumah Sakit yang diterima oleh seorang pasien yang sudah memutuskan untuk pulang dalam satu jangka waktu. Rata-rata lama hari rawat merupakan indikator untuk menggambarkan tingkat efisiensi dan mutu pelayanan dan apabila diterapkan pada diagnosis tertentu dapat dijadikan sesuatu hal yang perlu pengamatan yang lebih lanjut. Secara umum nilai rata-rata lama hari rawat pasien yang ideal adalah antara 6-9 hari (Depkes, 2005).

(3)

Lama hari rawat pada pasien tertentu yang membutuhkan perawatan khusus dan perawatan lama seperti pasien stroke, koma, dan pasien dengan imobilisasi fisik bisa sampai lebih dari 1 minggu. Dewi (2011), menyatakan bahwa pasien gangguan neurologi dengan perawatan tirah baring yang lama beresiko tinggi mengalami dekubitus. Suheri (2009), menyatakan pasien gangguan neurologi, berpenyakit kronik dalam waktu lama, penurunan kesadaran dan dirawat di ICU berpotensi tinggi mengalami luka dekubitus. Pasien stroke dengan gangguan mobilisasi fisik (kelemahan fisik dan lumpuh) dan tirah baring lebih dari 1 minggu beresiko tinggi terjadinya dekubitus (Potter dan Perry, 2010).

2.2 Dekubitus

2.2.1 Pengertian dekubitus

Dekubitus adalah kerusakan kulit akibat kekurangan aliran darah dan iritasi pada kulit yang ditimbulkan karena tekanan yang kuat oleh berat badan pada tempat tidur. Dekubitus merupakan nekrosis jaringan lokal yang cenderung terjadi ketika jaringan lunak tertekan di antara tonjolan tulang dengan permukaan eksternal dalam jangka waktu lama akibat imobilisasi fisik. Morison (2003), mendefinisikan dekubitus sebagai suatu daerah kerusakan seluler yang terlokalisasi, baik akibat tekanan langsung pada kulit, sehingga menyebabkan iskemia tekanan maupun akibat kekuatan gesekan sehingga menyebabkan stres mekanik terhadap jaringan.

2.2.2 Penyebab dan faktor resiko terjadinya dekubitus dekubitus

(4)

faktor ekstrinsik yaitu faktor penyebab yang berasal dari luar tubuh pasien dan faktor intrinsik yaitu faktor penyebab yang berasal dari tubuh pasien.

2.2.2.1 Faktor ekstrinsik a. Tekanan

Faktor tekanan, terutama sekali bila tekanan tersebut terjadi dalam jangka waktu lama yang menyebabkan jaringan menjadi iskemik akibat terhambatnya aliran darah dan akhirnya berkembang menjadi nekrosis atau kematian kulit dan jaringan.

b. Pergesekan dan pergeseran

Gaya gesekan adalah sebagai faktor yang menimbulkan luka iskemik, hal ini biasanya akan terjadi apabila pasien diatas tempat tidur kemudian sering merosot, dan kulit sering kali mengalami regangan dan tekanan yang mengakibatkan terjadinya iskemik pada jaringan.

c. Kelembaban

Kondisi kulit pada pasien yang sering mengalami lembab akan mengkontribusi kulit menjadi maserasi kemudian dengan adanya gesekan dan pergeseran, memudahkan kulit mengalami kerusakan. Kelembaban ini dapat akibat dari incontinensia, drain luka, banyak keringat dan lainnya. 2.2.2.2 Faktor intrinsik

a. Usia

(5)

b. Temperatur

Kondisi tubuh yang mengalami peningkatan temperatur akan berpangaruh pada temperatur jaringan. Setiap terjadinya peningkatan metabolism akan meningkatkan 1 derajat Celsius dalam temperature jaringan. Dengan adanya peningkatan temperature ini akan beresiko terhadap iskemik jaringan. Selain itu dengan menurunnya elastisitas kulit, akan tidak toleran terhadap adanya gaya gesekan dan pergeseran sehingga akan mudah mengalami kerusakan kulit.

c. Nutrisi

Nutrisi merupakan faktor yang dapat mengkontribusi terjadinya luka dekubitus. Nutrisi buruk juga mengganggu keseimbangan cairan dan elektrolit. Pada pasien yang mengalami kehilangan protein berat, hipoalbuminimea menyebabkan perpindahan volume cairan ekstrasel kedalam jaringan sehingga terjadi edema. Edema dapat meningkatkan resiko terjadi dekubitus di jaringan. Suplai darah pada suplai jaringan edema menurun dan produk sisa tetap tinggal karena terdapatnya perubahan tekanan pada sirkulasi dan dasar kapiler (Shkleton & litwalk, 1991 dalam Potter & Perry, 2010).

(6)

infeksi bakteri. Selain itu, usia yang tua, perawatan di Rumah Sakit yang lama, inkontinesia urin dan alvi, merokok, penurunan kesadaran mental dan penyakit lain (seperti diabetes melitus dan gangguan vaskuler) akan mempermudah terjadinya luka dekubitus (Morison, 2003).

Perawatan di Rumah Sakit yang lama biasanya dihubungkan dengan pasien-pasien imobilisasi dan pasien yang memerlukan perawatan tirah baring yang lama seperti pasien dengan penurunan kesadaran dan pasien dengan keterbatasan aktifitas. Pasien dengan kelemahan fisik dan penurunan kesadaran akan menjalani perawatan tirah baring yang lama. Pasien dengan penurunan kesadaran akan menjalani perawatan intensif di ruang ICU. Lamanya perawatan pasien tersebut tergantung kondisi dan jenis penyakit yan diderita pasien. Penelitian Suheri (2009), menyatakan pasien dengan hari perawatan yang lama mempunyai resiko tinggi mengalami dekubitus.

Dekubitus dapat terjadi pada pasien dengan gangguan mobilitas seperti stroke, fraktur tulang belakang atau penyakit degenerative. Dekubitus juga dapat terjadi pada pasien dengan gangguan neurologis karena imobilisasi yang lama, dan berkurangnya kemampuan sensorik. William (2010), menyatakan kondisi pasien yang beresiko tinggi mengalami luka dekubitus diantaranya:

2.2.2.1 Pasien yang tidak dapat bergerak (misalnya lumpuh, sangat lemah, dipasung).

2.2.2.2 Pasien yang tidak mampu merasakan nyeri, karena nyeri merupakan suatu tanda yang secara normal mendorong seseorang untuk bergerak.

(7)

2.2.2.4 Pasien yang mengalami kekurangan gizi (malnutrisi) tidak memiliki lapisan lemak sebagai pelindung dan kulitnya tidak mengalami pemulihan sempurna karena kekurangan zat-zat gizi yang penting.

2.2.2.5 Gesekan dan kerusakan lainnya pada lapisan kulit pasien paling luar bisa menyebabkan terbentuknya ulkus.

2.2.2.6 Baju pasien yang terlalu besar atau terlalu kecil, kerutan pada seprei atau sepatu yang bergesekan dengan kulit bisa menyebabkan cedera pada kulit.

2.2.2.7 Pemaparan pada pasien oleh kelembaban dalam jangka panjang (karena berkeringat, air kemih atau tinja) bisa merusak permukaan kulit dan memungkinkan terjadinya dekubitus.

Gangguan intregitas kulit yang terjadi pada dekubitus merupakan akibat tekanan, tetapi ada faktor-faktor tambahan yang dapat meningkatkan resiko terjadi luka dekubitus yang lebih lanjut pada pasien. Menurut Potter & Perry (2010), ada 10 faktor predisposisi atau faktor yang dapat mempengaruhi pembentukan luka dekubitus di antaranya gaya gesek, friksi, kelembaban, nutrisi buruk, anemia, infeksi, demam, gangguan sirkulasi perifer, obsitas, kekeksia, dan usia.

2.2.2.1 Gaya gesek

(8)

2.2.2.2 Friksi

Friksi merupakan gaya mekanika yang diberikan saat kulit digeser pada permukaan kasar seperti alat tenun tempat tidur. Tidak seperti cedera akibat gaya gesek, cedera akibat friksi mempengaruhi epidermis atau lapisan kulit bagian atas, yang terkelupas ketika pasien mengubah posisinya. Seringkali terlihat cedera abrasi pada siku atau tumit. Karena cara terjadinya luka seperti ini, maka perawat sering menyebut luka bakar seprei “sheet burns”. Cedera ini dapat terjadi pada pasien gelisah, pasien yang gerakannya tidak terkontrol seperti kondisi kejang.

2.2.2.3 Kelembaban

Kelembaban kulit yang berlebihan umumnya disebabkan oleh keringat, urine, feces atau drainase luka. Penyebab menurunnya toleransi jaringan paling sering adalah kelembaban oleh urine dan feses pada pasien inkontinensia. Urine dan feses bersifat iritatif pada kulit sehingga mudah menyebabkan kerusakan jaringan, jika dikombinasi dengan tekanan dan faktor lain maka kondisi kelembaban yang berlebihan mempercepat terbentuknya luka dekubitus.

2.2.2.4 Nutrisi buruk

(9)

perpindahan volume cairan ekstra sel kedalam jaringan sehingga terjadi edema. Edema jaringan dapat meningkatkan resiko terjadinya dekubitus terutama di tempat dimana bagian tubuh yang sering mengalami terjadinya dekubitus.

2.2.2.5 Anemia

Penurunan level hemoglobin mengurangi kapasitas darah membawa nutrisi dan oksigen serta mengurangi jumlah oksigen yang tersedia untuk jaringan sehingga jaringan yang sebelumnya sudah kekurangan oksigen akibat tekanan akan lebih cepat terjadinya iskemi jaringan.

2.2.2.6 Kakesia

Kakesia merupakan penyakit kesehatan dan malnutrisi umum yang ditandai kelemahan dan kurus. Kakeksia biasanya berhubungan dengan penyakit yang berat seperti kanker dan penyakit kardiopulmonal tahap akhir. Pada dasarnya pasien kakeksia mengalami kehilangan jaringan adipose yang berguna untuk melindungi tonjolan tulang dari tekanan.

2.2.2.7 Obesitas

Jaringan adipose pada jumlah kecil berguna sebagai bantalan tonjolan tulang sehingga dapat melindungi kulit dari tekanan.Pada obesitas sedang ke berat, jaringan adipose memperoleh vaskularisasi yang buruk, sehingga jaringan adipose dan jaringan lain yang berada dibawahnya semakin rentan mengalami kerusakan akibat iskemi yang disebabkan oleh tekanan yang lama.

2.2.2.8 Demam

(10)

iskemi. Selain itu demam menyebabkan diaporesis (keringatan) dan meningkatkan kelembaban kulit.

2.2.2.9 Gangguan sirkulasi perifer

Penurunan sirkulasi menyebabkan jaringan hipoksia, oksigen dijaringan akan kurang dan lebih rentan mengalami kerusakan iskemia. Ganguan sirkulasi terutama terdapat pada pasien-pasien yang menderita penyakit vaskuler, pasien-pasien syok, atau yang mendapatkan pengobatan sejenis vasopresor.

2.2.2.10Usia

Lansia, bayi dan neonatal adalah kelompok umur yang beresiko tinggi terhadap kejadian dekubitus. Usia lanjut dihubungkan dengan perubahan-perubahan seperti menipisnya kulit, berkurangnya elastisitas kulit, kehilangan jaringan lemak subkutan yang berfungsi sebagai bantalan tulang, dan menurunnya fungsi persepsi sensori terhadap rangsangan nyeri. Kondisi tersebut mengakibatkan berkurangnya kemampuan jaringan lunak untuk mendistribusikan beban mekanis yang timbul akibat tekanan. Kombinasi perubahan karena proses menua dan faktor lain seperti nutrisi yang buruk menyebabkan kulit mudah rusak jika mengalami tekanan. Kejadian dekubitus 60-90% dialami oleh pasien usia 65 tahun keatas (Boynton et al,1999 dalam Potter & Perry, 2010). Struktur kulit bayi dan neonatal yang lebih renggang dan tipis serta zat imunitas pada kulit belum kuat menyebabkan kulitnya sangat rentan terhadap iritasi, infeksi dan alergi.

2.2.3 Patofisiologi dekubitus

(11)

nekrosis. Tekanan yang normal pada kapiler adalah 32 mmHg. Apabila tekanan kapiler melebihi dari tekanan darah dan struktur pembuluh darah pada kulit, maka akan terjadi kolaps. Terjadinya kolaps akan menghalangi oksigenisasi dan nutrisi ke jaringan, selain itu area yang tertekan menyebabkan terhambatnya aliran darah. Adanya peningkatan tekanan arteri kapiler maka akan terjadi perpindahan cairan ke kapiler, ini akan menyokong untuk terjadi edema dan konsekuensinya terjadi autolysis. Hal lain juga bahwa aliran limpatik menurun, ini juga menyokong terjadinya edema dan mengkontribusi untuk terjadi nekrosis pada jaringan.

2.2.3 Manifestasi klinis dekubitus

National Pressure Ulcer Advisory Panel (NPUAP) dalam Blaney (2010), membagi manifestasi klinis luka dekubitus menjadi empat derajat dengan karakteristik perubahan pada kulit dan jaringan sebagai berikut :

2.2.4.1 Derajat 1

Kulit berwarna kemerahan, pucat pada kulit putih, biru, merah atau ungu pada kulit hitam. Bila ditekan dengan jari, tanda kemerahan tersebut tidak kembali putih. Temperatur kulit berubah hangat atau dingin, bentuk perubahan menetap dan ada sensasi gatal atau nyeri.

2.2.4.2 Derajat 2

Hilangnya sebagian lapisan kulit namun tidak lebih dalam dari dermis, terjadi abrasi, lepuhan, luka membentuk lubang yang dangkal dan superfisial.

2.2.4.3 Derajat 3

(12)

2.2.4.4 Derajat 4

Kehilangan lapisan kulit secara lengkap hingga tampak tendon, tulang, ruang sendi. Berpotensi untuk terjadi destruksi dan resiko osteomyelitis.

2.2.5 Tempat dan waktu terjadinya luka dekubitus

Semua bagian tubuh beresiko mengalami dekubitus, tetapi bagian bawah dari tubuhlah yang terutama beresiko tinggi dan membutuhkan perhatian khusus. Area yang biasa terjadi dekubitus adalah tempat diatas tonjolan tulang dan tidak dilindungi oleh cukup dengan lemak subkutan. Beberapa tempat yang paling sering terjadi dekubitus adalah daerah sakrum, daerah trokanter mayor dan spina ischiadica superior anterior, daerah tumit dan siku. Tempat-tempat lain yang beresiko terjadinya luka dekubitus dikarenakan posisi pasien di tempat tidur yaitu:

2.2.5.1 Pada pasien dengan tirah baring posisi telentang, tempat terjadinya luka dekubitus pada daerah belakang kepala, daerah tulang belikat, daerah bokong dan tumit.

2.2.5.2 Pada penderita dengan posisi miring, tempat terjadinya luka dekubitus pada daerah pinggir kepala (terutama daun telinga), bahu, siku, daerah pangkal paha, kulit pergelangan kaki, dan bagian atas jari-jari kaki.

2.2.5.3 Pada penderita dengan posisi tengkurap, tempat terjadinya luka dekubitus pada daerah dahi, lengan atas, tulang iga, dan lutut.

(13)

tumit mencapai 30-45 mmHg. Keadaan ini dapat menimbulkan perubahan degeneratif secara mikroskopik pada semua lapisan jaringan mulai dari kulit sampai tulang. Tekanan akan menimbulkan daerah iskemik dan bila berlanjut terjadi nekrosis jaringan kulit.

Sabandar (2008), mengatakan tanda-tanda luka dekubitus terjadi akibat posisi pasien yang tidak berubah (imobilisasi) dalam jangka waktu lebih dari 6 jam. Menurut Yuniarti (2007) dalam Suheri (2009), jika aliran darah, nutrisi dan oksigenasi terhambat lebih dari 2-3 jam, maka kulit akan mati yang dimulai pada lapisan kulit paling atas. Secara umum, pasien yang masuk rumah sakit dan menunjukan gejala infeksi nasokomial (dekubitus) setelah 72 jam pasien berada di Rumah sakit (Depkes, 2005).

Wim de Jong (2004) dalam Suheri (2009), menyatakan mula-mula kulit tampak kemerahan yang tidak hilang setelah tekanan dihilangkan. Pada tahap dini ini, tidak terlihat nekrosis karena permukaan kulit masih utuh. Iskemia dan nekrosis sudah terjadi pada lapisan subkutis, tetapi baru terlihat setelah beberapa hari berupa kulit yang kemerahan dan mengelupas sedikit, kemudian terlihat suatu defek kulit. Terjadi gangguan mikrosirkulasi jaringan lokal dan mengakibatkan hipoksia. Setelah satu minggu atau >10 hari, luas nekrosisi ini mencapai tulang atau fasia di dasarnya. Nekrosis sudah terjadi pada hari pertama, hanya batas kulit pada waktu itu belum jelas, umumnya luas nekrosis di lapisan subkutis lebih luas daripada permukaan kulit.

(14)

dekubitus derajat I berupa kemerahan pada kulit setempat dan adanya hiperemis reaktif, sedangkan pada pasien yang sudah pernah menjalani perawatan di rumah seringkali ditemukan tanda-tanda dekubitus derajat II dan bahkan sering ditemukan sudah sampai pada dekubitus derajat III dan IV (Dokumentasi Keperawatan ICU, 2012).

2.2.6 Diagnosis dekubitus

Diagnosis luka dekubitus biasanya tidak sulit dan diagnosis dapat ditegakkan dengan anamnesis dan pemeriksaan fisik pada area atau tempat terjadinya luka dekubitus. Beberapa pemeriksaan diagnosis yang penting untuk membantu dalam menegakkan diagnosis dan penatalaksanaan luka dekubitus adalah:

2.2.6.1 Kultur dan analisis urin

Kultur urin dibutuhakan pada keadaan inkontinensia untuk melihat apakah ada masalah pada ginjal atau infeksi saluran kencing terutama pada pasien trauma medula spinalis.

2.2.6.2 Kultur tinja

Pemeriksaan ini perlu pada keadaan inkontinesia alvi untuk melihat leukosit dan toksin Clostridium difficile ketika terjadi pseudomembranous colitis.

2.2.6.3 Biopsi

Biopsi penting pada keadaan luka yang tidak mengalami perbaikan dengan pengobatan yang intensif atau pada luka dekubitus kronik untuk melihat apakah terjadi proses yang mengarah pada keganasan. Biopsi juga bertujuan untuk melihat jenis bakteri yang menginfeksi luka dekubitus. Biopsi tulang perlu dilakukan bila dicurigai atau terjadi komplikasi osteomyelitis.

2.2.6.4 Pemeriksaan darah

(15)

dan sangat dibutuhkan untuk mengetahui apakah sudah terjadi bakteremia dan sepsis.

2.2.6.5 Keadaan nutrisi

Pemeriksaan nutrisi pada pasien penting untuk proses penyembuhan luka dekubitus. Hal yang perlu diperiksa yaitu albumin level, prealbumin level, transferrin level, dan serum protein level. Level albumin serum <3 g/100 ml dihubungkan dengan lambatnya penyembuhan luka.

2.2.6.6 Radiologis

Pemeriksaan radiologi untuk melihat adanya kerusakan tulang akibat osteomyelitis. Pemeriksaan dapat dilakukan dengan sinar-X, scan tulang atau MRI.

2.2.7 Pencegahan dan penatalaksanaan dekubitus

Tujuan utama dalam pencegahan dekubitus yaitu mengurangi masa perawatan pasien dan mengurangi beban biaya perawatan Rumah Sakit serta mencegah terjadinya komplikasi dekubitus yang lebih parah seperti sepsis dan kematian. Perlu diingat pentingnya tindakan pencegahan karena pada dasarnya luka dekubitus dapat dicegah. Prevalensi dekubitus dapat menjadi parameter yang baik terhadap kualitas pelayanan keperawatan dan pengobatan, sehingga dapat diasumsikan bahwa kejadian dekubitus di ruang perawatan Rumah Sakit berawal dari buruknya pelayanan keperawatan dan pengobatan yang diberikan (Yusuf, 2011).

(16)

kejelian dan Ketelitian dari perawat terhadap kondisi pasien dan mempertimbangkan kemungkinan resiko yang dapat mengkontribusi terjadinya dekubitus (Morison, 2003).

Dekubitus pada dasarnya dapat dicegah dan mencegah dekubitus lebih mudah daripada mengobatinya. Tetapi dekubitus tidak selalu dapat dicegah pada kondisi-kondisi tertentu pada pasien seperti lansia, pasien dengan ketidakstabilan hemodinamik yang menghalangi untuk mobilitas pasien dan pasien yang tidak kooperatif dan menolak untuk bekerja sama dalam upaya pencegahan. NPUAP (2010), dalam Wallis (2010), menyatakan bahwa kejadian dekubitus tidak selalu mencerminkan perawatan yang buruk karena beberapa situasi pada pasien membuat dekubitus tidak dapat dihindari. Contohnya termasuk pasien yang menolak untuk bekerja sama dan mereka dengan ketidakstabilan hemodinamik yang menghalangi pasien berubah posisi.

Potter & Perry (2010), menyatakan tahap pertama pencegahan adalah mengkaji faktor-faktor resiko pasien, kemudian perawat mengurangi faktor-faktor lingkungan yang mempercepat terjadinya dekubitus, seperti suhu ruangan panas (penyebab diaporesis), kelembaban, atau linen dan alas tempat tidur yang berkerut. Identifikasi awal dalam pengkajian pada pasien beresiko dan faktor-faktor resikonya membantu perawat mencegah terjadinya dekubitus. Pencegahan meminimalkan atau menghilangkan akibat dari faktor-faktor resiko atau faktor yang memberi kontribusi terjadinya dekubitus.

(17)

terjadinya dekubitus dan segera melakukan tindakan pencegahan agar tidak terjadi dekubitus di kemudian hari sesuai tingkatan resiko.

2.2.7.1 Skala Braden

Skala Braden menurut kalangan profesional Keperawatan memiliki efektifitas tinggi dalam menentukan resiko terjadinya dekubitus. Nilai total pada pada skala Braden ini berada pada rentang 6-23, tergantung pada hasil penilaian perawat tersebut. Total nilai rendah menunjukkan resiko tinggi dekubitus, sehingga perlu pencegahan segera. Klien dewasa di rumah sakit dengan nilai 16 atau kurang dan klien lansia dengan 17 ataupun 18 dianggap beresiko. Berikut tingkat resiko terjadinya luka dekubitus berdasarkan skor pada Skala Braden: a. Skor : 20-23 point: resiko rendah

b. Skor : 15-19 point: resiko sedang c. Skor : 11-14 point: resiko tinggi d. Skor : 6-10 point: resiko sangat tinggi

Berikut ini adalah kriteria penilaian tingkat resiko terjadinya luka dekubitus dan skor pada Skala Braden dalam tabel 2.1 dibawah ini:

Tabel 2.1: Skala Braden

Faktor Deskripsi Skor

Persepsi Sensorik 1. Keterbatasan penuh

Tidak adanya respon pada stimulus nyeri akibat kesadaran yang menurun ataupun karena pemberian obat-obat sedasi atau keterbatasan kemampuan untuk merasakan nyeri pada sebagian besar permukaan tubuh.

2. Sangat terbatas

Hanya berespon pada stimulus nyeri. Tidak dapat mengkomunikasinya ketidaknyamanan, kecuali dengan merintih dan/atau gelisah. Atau mempunyai gangguan sensorik yang membatasi kemampuan untuk merasakan nyeri atau ketidaknyamanan pada separuh permukaan tubuh.

3. Keterbatasan ringan

(18)

nyeri atau ketidaknyamanan pada 1 atau 2 ektrimitas.

4. Tidak ada gangguan

Berespon pada perintah verbal dengan baik. Tidak ada penrunan sendorik yang akan membatasi kemampuan untuk

merasakan atau mengungkapkan nyeri atau

ketidaknyamanan.

Kelembapan 1. Selalu lembab

Saat kulit selalu lembab karena perspirasi, urine dsb. Kelembapan diketahui saat klien bergerak, membalik tubuh atau dengan dibantu perawat.

2. Umumnya lembab

Saat kelembaban sering terjadi tetapi tidak selalu lembab. Idealnya alat tenun dalam keadaan ini harus diganti setiap pergantian jaga.

3. Kadang-kadang lembab

Pada waktu tertentu saja terjadi kelembaban. Dalam keadaan ini, idealnya alat tenun diganti dengan 1 kali pertambahan ekstra (2 x sehari).

4. Jarang lembab

Pada saat keadaan kulit biasanya selalu kering, alat tenun hanya perlu diganti sesuai jadwal (1 x sehari).

Aktivitas

.

1. Total di tempat tidur

Beraktifitas terbatas di atas tempat tidur saja.

2. Dapat duduk

Dapat bergerak (berjalan) dengan keterbatasan yang tinggi atau tidak mampu berjalan. Tidak dapat menopang berat badannya sendiri dan / atau harus dibantu pindah ke atas kursi atau kursi roda.

3. Berjalan kadang-kadang

Dapat berjalan sendiri pada siang hari, tapi hanya dalam jarak pendek/dekat, dengan atau tanpa bantuan. Sebagian besar waktu dihabiskan di atas tempat tidur atau kursi.

4. Dapat berjalan

dapat sering berjalan ke luar kamar sedikitnya 2 kali sehari dan di dalam kamar sedikitnya 1 kali tiap 2 jam selama terjaga.

Mobilitas 1. Tidak mampu bergerak sama sekali

Tidak dapat melakukan perbuahan posisi tubuh atau ekstrimitas tanpa bantuan, walaupun hanya sedikit.

2. Sangat terbatas

Klien dengan kadang-kadang melakukan perubahan kecil pada posisi tubuh dan ekstrimitas, tapi tidak mampu melakukan perubahan yang sering dan berarti secara mandiri.

3. Tidak ada masalah

Klien yang dapat dengan sering melakukan perubahan kecil pada posisi tubuh dan ekstrimitas secara mandiri.

4. Tanpa keterbatasan

(19)

Nutrisi 1. Nutrisi Sangat buruk

Klien dengan keadaan asupan gizi yang sangat buruk, yaitu klien dengan keadaan tidak pernah makan makanan lengkap. jarang makan lebih dari 1/3 porsi makanan yang diberikan. Tiap hari asupan protein (daging / susu) 2 x atau kurang. Kurang minum. Tidak makan suplemen makanan cair. Atau Puasa dan/atau minum air bening atau mendapat infus > 5 hari.

2. Kurang mencukupi

Klien dengan keadaan mungkin kurang asupan nutrisi, yaitu klien dengan jarang makan makanan lengkap dan umumnya makan kira-kira hanya 1/2 porsi makanan yang diberikan. Asupan protein, daging dan susu hanya 3 kali sehari. Kadang-kadang mau makan makanan suplemen. Atau menerima kurang dari jumlah optimum makanan cair dari sonde (NGT).

3. Mencukupi

Klien dengan keadaan cukup asupan nutrisi, yaitu klien dengan keadaan makan makanan > 1/2 porsi makanan yang diberikan. Makan protein daging sebanyak 4 kali sehari. Kadang-kadang menolak makan, tapi biasa mau makan suplemen yang diberikan. Atau diberikan melalui sonde (NGT) atau regimen nutrisi parenteral yang mungkin dapat memenuhi sebagian besar kebutuhan nutrisi.

4. Sangat baik

Klien dengan keadaan makan makanan yang diberikan. Tidak pernah menolak makan. Biasa makan 4 kali atau lebih dengan protein (daging/susu). Kadang-kadang makan di antara jam makan. Tidak memerlukan suplemen.

Pergeseran dan

pergerakan

1. Bermasalah

Klien yang memerlukan bantuan sedang sampai maksimum untuk bergerak. Tidak mampu mengangkat tanpa terjatuh. Seringkali terjatuh ke atas tempat tidur atau kursi, sering membutuhkan maksimum untuk posisi kembali Kejang, kontraktur atau agitasi menyebabkan friksi terus menerus.

2. Potensial bermasalah

Klien yang bergerak dengan lemah dan membutuhkan bantuan minimum. Selama bergerak kulit mungkin akan menyentuh alas tidur, kursi, alat pengikat atau alat lain. Sebagian besar mampu mempertahankan posisi yang relatif baik diatas kursi atau tempat tidur, tapi kadang-kadang jatuh ke bawah.

3. Keterbatasan ringan

Sering merubah posisi badan atau ekstremitas secara mandiri meskipun hanya dengan gerakan ringan

4. Tanpa keterbatasan

Klien yang bergerak di atas tempat tidur maupun kursi dengan mandiri dan mempunyai otot yang cukup kuat untuk

mengangkat sesuatu sambil bergerak. Mampu

mempertahankan posisi yang baik di atas tempat tidur atau kursi.

(20)

2.2.7.2 Skala Norton

Kriteria penilaian resiko terjadinya luka dekubitus dengan skala Norton adalah sebagai berikut:

a. Skor <14 : resiko tinggi terjadi luka dekubitus b. Skor <12 : peningkatan resiko luka dekubitus 50 x c. Skor 12-13 : resiko sedang

d. Skor ≥14 : resiko sangat kecil

Berikut adalah Skala Norton untuk mengukur resiko luka dekubitus seperti pada tabel 2.2 dibawah ini:

Tabel 2.2: Skala Norton

Kondisi Klien Skor

(21)

Suriadi (2004), menyatakan intervensi keperawatan yang dilakukan untuk mencegah terjadinya dekubitus yaitu:

2.2.7.1 Lakukan pengkajian pada pasien tentang riwayat kesehatan atau penyakit.

2.2.7.2 Lakukan penilaian resiko terjadinya dekubitus dengan menggunakan skala Braden atau skala Norton pada pasien yang mengalami gangguan mobilisasi atau terbatas kemampuan untuk bergerak.

2.2.7.3 Kaji penggunaan matras atau posisi pasien apakah cenderung terjadi pergesekan atau pergeseran di atas tempat tidur. Pergesekan dan pergeseran akan sering terjadi apabila posisi kepala pasien lebih tinggi atau posisi setengah duduk.

2.2.7.4 Hindari pasien dari dampak tekanan yang berlebihan di atas tempat tidur atau kursi, tidur dengan miring kiri-kanan secara bergantian paling kurang setiap 1 jam, setelah miring kiri-kanan kemudian telentang, posisi badan miring kira-kira 30 derajat.

2.2.7.5 Hindari tekanan yang berlebihan dengan menggunakan matras khusus bila ada seperti matras udara, air, atau lainnya yang dapat mengurangi tekanan pada area permukaan tulang yang menonjol.

2.2.7.6 Sokong daerah lutut dan siku dengan bantal atau busa pada saat baring.

2.2.7.7 Pertahankan daerah kepala tidak terlalu tinggi yang dapat menyebabkan terjadinya pergeseran dan pergesekan kecuali ada pembatasan lain.

(22)

2.2.7.9 Gunakan kream kulit setelah mandi untuk mencegah kulit dari kekeringan karena dapat mengkontribusi mudah terjadinya pergesekan dan pergeseran .

2.2.7.10 Bila pasien dapat duduk di kursi, perlu diperhatikan postur tubuh, keseimbangan, stabilitas dan tekanan.

2.2.7.11 Berikan pemasukan nutrisi yang mencukupi: 30-35 kalori/kg BB.

2.2.7.12 Kaji serum albumin pada pasien yang malnutrisi.

Blaney (2010), menyatakan bahwa langkah-langkah untuk mencegah terjadinya dekubitus yaitu:

2.2.7.1 Langkah 1: Mengidentifikasi dan mengevaluasi faktor resiko a. Kaji kulit pasien dari kepala sampai kaki.

b. Kaji riwayat pasien yang berhubungan dengan dekubitus. c. Lakukan penilaian resiko terjadinya dekubitus

d. Dokumentasi hasil penilaian

e. Menilai kembali integritas kulit dan tingkat resiko 2.2.7.1 Langkah 2: pencegahan langsung kepada pasien

a Meminimalkan tekanan b Menjaga nutrisi yang cukup

c Minimalkan dan mengelola kelembaban d Meminimalkan gesekan

e Mendidik pasien dan keluarga

f Berkomunikasi dengan rekan-rekan di unit keperawatan

Morison (2003), menyatakan sampai saat ini tidak ada pengobatan dekubitus yang definitif, tetapi prinsip umum tentang penatalaksanaannya adalah:

(23)

seperti tekanan yang terus menerus, kekuatan gesekan dan kekuatan friksi.

2.2.7.2 Mengurangi pengaruh faktor eksaserbasi intrinsik yang dapat menambah kerusakan jaringan seperti malnutrisi, inkontenensia, dan penyakit yang terjadi bersamaan.

2.2.7.3 Menyediakan lingkungan lokal yang optimum untuk penyembuhan daerah luka.

Penatalaksanaan pasien dekubitus memerlukan pendekatan holistik atau menyeluruh yang menggunakan keahlian pelaksana yang berasal dari beberapa disiplin ilmu kesehatan. Selain perawat, keahlian pelaksana termasuk dokter, ahli fisiotrapi, ahli terapi okupasi, ahli gizi, dan ahli farmasi. Beberapa aspek dalam penatalaksanaan dekubitus antara lain pengobatan dan perawatan luka secara lokal dan tindakan pendukung seperti gizi yang adekuat dan cara penghilang tekanan (Potter & Perry, 2010).

2.2.7.1 Penatalaksanaan medik

(24)

diberikan antibiotik jangka panjang karena osteomielitis sulit disembuhkan dan bisa menyebar melalui aliran darah.

2.2.7.2 Penataksanaan keperawatan

Selama penyembuhan dekubitus, maka luka harus dikaji untuk lokasi, tahap, ukuran, traktusinus, kerusakan luka, kedalaman luka, adanya eksudat, jaringang nekrotik, dan keberadaan atau tidak adanya jaringan granulasi maupun epitelialisasi, hal ini penting dalam penentuan perawatan luka dekubitus. Dekubitus harus dikaji ulang minimal 1 kali dalam sehari. Pada perawatan rumah, banyak pengkajian dimodifikasi oleh perawat dan harus konsisten karena pengkajian mingguan tidak mungkin dilakukan oleh pemberi perawatan. Dekubitus yang bersih harus menunjukkan proses penyembuhan dalam waktu 2 sampai 4 minggu (Potter & Perry, 2010). Ada beberapa hal yang perlu diperhatikan dalam perawatan luka dekubitus, antara lain:

a. Mengurangi tekanan lebih lanjut pada daerah luka. Secara umum sama dengan tindakan pencegahan yang sudah disebutkan diatas. Pengurangan tekanan sangat penting karena luka tidak akan sembuh selama masih ada tekanan yang berlebihan dan terus menerus.

b. Mempertahankan keadaan bersih pada luka dan sekitarnya. Keadaan tersebut akan menyebabkan proses penyembuhan luka lebih cepat dan baik. Untuk hal tersebut dapat dilakukan kompres, pencucian, pembilasan, pengeringan dan pemberian bahan-bahan topikal seperti larutan NaC10,9%, larutan H2O2 3% dan NaC10,9%, larutan plasma dan larutan Burowi serta larutan antiseptik lainnya. c. Mengangkat jaringan nekrotik. Adanya jaringan nekrotik

(25)

jaringan granulasi dan epitelisasi. Oleh karena itu pengangkatan jaringan nekrotik akan mempercepat proses penyembuhan luka.

2.2.7.3 Penatalaksanaan gizi

Dukungan nutrisi yang baik sangat diperlukan untuk membantu mempercepat proses penyembuhan luka dekubitus. Nutrisi yang adekuat sangat diperlukan pada pasien yang dilakukan pencangkokan kulit. Pemberian diet tinggi kalori, protein dan vitamin dengan tujuan untuk mempertahankan balans nitrogen tetap positif dan dengan meningkatkan kadar protein serum hingga 6 mg/100 ml atau lebih. Konsultasikan dengan ahli gizi tentang pengaturan jenis diet, yang sesuai dengan kondisi pasien dan jenis penyakitnya serta pengaturan jadwal pemberian diet khusus bagi pasien yang tidak sadar.

2.2.8 Komplikasi dekubitus

Dekubitus jika tidak ditangani dengan baik maka dekubitus dapat meningkat dari iritasi yang kecil tanpa disertai dengan robeknya kulit sampai tahap yang dapat mengancam jiwa pasien, baik oleh luasnya kerusakan kulit maupun infeksi. Bagi beberapa pasien, dekubitus menyebabkan peningkatan nyeri, penurunan kualitas hidup, infeksi, dan peningkatan morbiditas bahkan mortalitas. Dekubitus dapat membuat frustasi perawat dan pasien, dan yang terpenting adalah dekubitus akan meningkatkan biaya perawatan dan lama hari rawat (Yusuf, 2011).

Menurut Sabandar (2008), komplikasi sering terjadi pada luka dekubitus derajat III dan IV, walaupun dapat juga terjadi pada luka yang superfisial. Komplikasi yang dapat terjadi antara lain:

(26)

2.2.8.2 Sepsis, terjadi ketika bakteri memasuki aliran darah melalui kulit yang rusak dan menyebar ke seluruh tubuh dengan cepat berkembang dan mengancam kehidupan. kondisi ini dapat menyebabkan kegagalan organ.

2.2.8.3 Selulitis, merupakan infeksi akut jaringan ikat kulit yang menyebabkan rasa sakit, kemerahan dan pembengkakan, yang dapat parah. Selulitis juga dapat menyebabkan komplikasi yang mengancam jiwa, termasuk sepsis dan meningitis.

2.2.8.4 Infeksi tulang dan sendi, terjadi ketika infeksi dari luka sampai ke dalam sendi dan tulang. Infeksi sendi (arthritis septik atau infeksi) dan tulang infeksi (osteomielitis) dapat mengurangi fungsi sendi dan anggota badan.

2.2.8.5 Kanker, jenis karsinoma sel skuamosa yang berkembang di luka yang kronis, luka nonhealing (Marjolin luka). Kanker jenis ini adalah agresif dan memerlukan perawatan bedah. 2.2.8.6 Kematian, komplikasi terburuk dari dekubitus adalah

kematian. Angka mortalitas pasien meningkat jika dampak dari semua komplikasi sepsis tidak segara ditangani.

2.3 Pasien yang Dirawat di Ruang ICU (Intensive Care Unit)

(27)

kasus-kasus yang menimbulkan konflik untuk menentukan kriteria masuk dan keluar ICU, maka pimpinan atau staf medis ICU menentukan prioritas ICU. 2.3.1 Indikasi pasien masuk ruang perawatan ICU

Pasien yang memerlukan perawatan di ICU adalah pasien dengan krisis atau kegagalan pada sistem pernapasan, sistem hemodinamik, sistem syaraf pusat, sistem endokrin dan metabolik, overdosis obat, reaksi obat dan keracunan, sistem pembekuan darah, infeksi berat (sepsis). Indikasi masuk ICU juga ada karena indikasi sosial yaitu masuknya pasien ke ICU karena ada pertimbangan sosial. Indikasi pasien masuk ICU dapat dibagi menjadi 3 prioritas, yaitu :

2.3.1.1 Prioritas I

Pasien kritis, pasien tidak stabil yang memerlukan tindakan terapi intensif dan agresif untuk mengatasinya, seperti bantuan ventilasi, infus obat-obat vasoaktif dan lain-lain. Pada pasien seperti ini terapi tidak dibatasi ( do everything), Contoh: edema paru, status convulsivus ,septic shock, gagal nafas.

2.3.1.2 Prioritas II

Pasien golongan ini pada saat masuk tidak dalam keadaan kritis tetapi kondisi klinisnya membutuhkan pemantauan intensif baik secara invansif maupun non invasif atau keadaan-keadaan yang dapat menimbulkan ancaman gangguan pada sistem organ vital. Pasien dengan bantuan alat ventilasi, monitoring, dan obat-obatan vasoakif kontinyu. Pada pasien seperti ini terapi juga tidak dibatasi. Misalnya: pasca bedah ekstensif, pasca henti jantung dalam keadaan tidak stabil, pasca bedah jantung dan pasca bedah dengan penyakit jantung. 2.3.1.3 Prioritas III

(28)

something). Misalnya: pasien dengan metastase keganasan, penyakit jantung dan paru terminal dengan komplikasi akut.

2.3.2 Pasien kritis yang tidak memerlukan perawatan ICU

Pasien kritis yang tidak memerlukan perawatan di ICU adalah pasien yang dengan terapi atau pemantauan intensif tidak diharapkan atau tidak memberikan hasil, sedangkan pasien pada waktu itu tidak menggunakan alat bantu mekanis (ventilator), yaitu:

2.3.2.1 Pasien mati batang otak (MBO), kecuali donor organ. 2.3.2.2 Pasien koma dengan keadaan vegetatif yang permanen.

2.3.2.3 Pasien dalam stadium akhir/terminal (end-stage) dari suatu penyakit.

2.3.2.4 Pasien yang menolak pemberian terapi bantuan hidup. 2.3.2.5 Pasien ARDS stadium akhir.

2.3.2.6 Pasien yang secara fisologis stabil, secara statistik resikonya rendah untuk memerlukan terapi ICU, contoh:

a. Pasien pasca bedah vaskuler yang stabil b. Pasien diabetic ketoasidosis tanpa komplikasi c. Keracunan obat, terapi sadar

d. Pasien yang lebih disukai dimasukkan kesuatu unit intermediate untuk terapi definitif dan atau observasi

2.3.3 Indikasi pasien keluar perawatan ruang

2.3.3.1 Pasien prioritas I dipindahkan keluar ICU jika tidak membutuhkan lagi terapi yang intensif atau terapi mengalami kegagalan sehingga prognosis buruk dan terdapat sedikit kemungkinan untuk pulih kembali.

(29)

2.3.3.3 Pasien prioritas III dipindahkan jika terapi intensif tidak dibutuhkan lagi, dan dapat dipindahkan lebih awal jika diketahui kemungkinan untuk pulih kembali sangat kecil atau keuntungan terapi sangat sedikit.

2.3.3.4 Pasien-pasien yang tidak banyak memperoleh keuntungan terapi intensif, antara lain :

a. Pasien tua dengan kegagalan 3 sistem organ yang tidak memberi respon dalam 72 jam setelah terapi intensif. b. Pasien mati batang otak atau koma non traumatik yang

menyebabkan keadaan vegetatif menetap.

c. Pasien penyakit paru menahun stadium lanjut, penyakit jantung terminal, atau metastase luas dari keganasan yang tidak respon terhadap terapi intensif dan tidak terdapat terapi lain.

2.3.3.5 Pasien atau keluarga menolak untuk dirawat lebih lanjut di ICU atau pulang paksa.

2.3.3.6 Penyakit atau keadaan pasien telah membaik dan cukup stabil. 2.3.3.7 Pasien yang meninggal dunia.

2.3.4 Kontra indikasi pasien masuk ruang perawatan ICU

Pada prinsipnya pasien yang masuk ICU tidak boleh ada yang mempunyai riwayat penyakit menular. Pasien dengan penyakit yang sangat menular mutlak tidak boleh masuk ICU, misalnya gas gangren.

2.3.5 Lama hari rawat pasien ICU

(30)

pasien/keluarga menolak untuk dirawat lebih lanjut di ICU (keluar paksa). Lama hari perawatan pasien ICU RSUD dr.H.Soemarno Sosroatmodjo Kuala Kapuas tempat dilakukannya penelitian ini disesuaikan dengan indikasi pasien masuk ICU atau tingkat kebutuhan perawatan pasien kritis dan kebijakan penetapan lama hari rawat ruang ICU. Secara umum nilai rata-rata lama hari rawat pasien yang ideal adalah antara 6-9 hari (Depkes, 2005). Nursalam (2011), menyatakan rata-rata lama hari rawat pasien secara umum adalah 7 sampai 10 hari

2.3.6 Pasien ICU yang beresiko mengalami dekubitus

Blaney (2010), menyatakan jenis penyakit atau kondisi pasien yang dapat meningkatkan resiko terjadinya dekubitus yaitu penyakit vaskular perifer, infark miokard, stroke, beberapa trauma, gangguan otot atau patah tulang, gastrointestinal perdarahan, cedera sumsum tulang belakang, gangguan saraf, seperti sindrom guillain-barré atau multiple sclerosis, kondisi medis tidak stabil atau kronis seperti diabetes, penyakit ginjal, kanker, penyakit paru obstruktif kronik, gagal jantung, dan demensia, riwayat ulkus tekanan sebelumnya. Berdasarkan data rekam medik (2012), ada 10 diagnosis penyakit pasien yang paling sering dirawat di ruang ICU RSUD dr.H.Soemarno Sosroatmodjo Kuala Kapuas tempat dilakukannya penelitian ini diantaranya adalah stroke, hipertensi krisis, infark miokard akut, sepsis, gagal jantung kongestif, gagal ginjal akut, edema paru, gagal nafas, ketoasidosis diabetik, dan malaria serebral.

2.3.6.1 Stroke

(31)

sedangkan stroke non hemorhagik terjadi akibat tersumbatnya pembuluh darah yang menuju ke otak.

Gejala klinis diantaranya:

a. Perubahan dan penurunan kesadaran, hal ini disebabkan karena perdarahan intraserebral akibat pecahnya pembuluh darah di otak.

b. Gangguan sensorik diantaranya:

1) Hemihipestesia (kurangnya sensitifitas pada 1 sisi) 2) Hemiparestesia (kesemutan 1 sisi)

3) Kesemutan sekitar mulut, gangguan pengecapan atau lidah, nyeri pada satu sisi tubuh.

c. Gangguan motorik diantaranya

1) Hemiparesis (lemah sebelah badan, tangan kaki kanan atau kiri saja)

2) Quadriparesis (lemah keempat anggota badan, tangan kaki kanan dan kiri)

3) Paraparesis (lemah kedua kaki)

4) Gangguan gerak otot wajah, biasanya ditandai dengan bentuk bibir yang tiba-tiba miring, gangguan gerak bola mata (oftalmoplegia)

5) Gangguan menelan (disfagia)

6) Afasia/disafasia yaitu tiba-tiba tidak mengerti bahasa yang biasa digunakannya sehari-hari, dysartria atau gangguan berbicara, muka tidak simetris, gangguan gerak tangkas atau gerak tidak terkoordinasi

2.3.6.2 Hipertensi krisis

(32)

tekanan darah dengan segera untuk mencegah atau membatasi kerusakan organ. Penatalaksanaan dengan obat penurun tekanan darah secara intravena dan observasi ketat tanda vital dan memonitor EKG pasien harus segera dilakukan.

Gejala klinis:

a. Neurologi: sakit kepala, kejang, gangguan kesadaran, hilangnya/kabur penglihatan

b. Oftalmologi: funduskopi perdarahan retina, eksudat, edema pupil

c. Kardiovaskuler: nyeri dada, edema paru d. Ginjal: azotemia, proteinuria, oligouria

e. Obstetri: preekslamsi dengan gejala-gejala gangguan penglihatan, sakit kepala hebat, gagal jantung kongestif, gangguan serebrovaskuler

2.3.6.3 Infark miokard akut

Infark miokard akut adalah kematian otot jantung karena penyumbatan atau penyempitan pada arteri koroner. Otot-otot jantung yang tidak tersuplai darah akan mengalami kerusakan atau kematian mendadak. Pasien dengan infark miokard akut diharuskan istirahat penuh dan pembatasan aktifitas. Aktifitas pasien yang penting harus disesuaikan dengan kondisi pasien. Observasi dan tanda-tanda vital dan terapi oksigen harus diberikan terutama sebelum, selama dan sesudah ada aktifitas selama perawatan.

Gejala klinis:

a. Keluhan khas nyeri dada retrosternal seperti diremas-remas, ditekan, ditusuk, panas, dan ditindih barang berat.

(33)

c. Nyeri dada dapat berlangsung lebih lama dari angina pektoris disertai perasaan mual, muntah, berkeringat dingin, pusing, berdebar-debar atau sinkope

2.3.6.4 Sepsis

Sepsis didefinisikan sebagai kehadiran banyak bakteri di dalam darah. Sepsis dapat terjadi ketika seluruh tubuh bereaksi terhadap infeksi. Reaksi ini mengarah ke overdrive serius dari sistem kekebalan tubuh dan menyebabkan serangkaian reaksi yang dapat menyebabkan peradangan luas dan pembekuan darah. Gejala klinis diantaranya demam tinggi dengan suhu 100.4°F atau 38°C, menggigil dan menggigil, nafas cepat, detak jantung cepat, kebingungan dan disorientasi, pusing, mual dan muntah. Sepsis parah dan mengalami septic shock adalah darurat medis yang harus masuk di unit perawatan intensif. Organ tubuh dan tekanan darah, dan pernapasan mungkin perlu dukungan peralatan medis di ICU. Resiko kematian dalam kasus yang parah setinggi 30 sampai 50%. 2.3.6.5 Gagal jantung kongestif

(34)

kondisi dan penyakit yang diderita pasien. Observasi ketat dan monitor harus dilakukan terutama pada pasien yang mendapatkan terapi dieuretik untuk mencegah gangguan keseimbangan cairan dan elektrolit.

2.3.6.6 Gagal ginjal akut

Gagal ginjal akut dapat didefinisikan sebagai sindrom klinis akibat kerusakan metabolik atau patologik pada ginjal yang ditandai dengan penurunan fungsi yang nyata dan cepat serta terjadinya azotemia. Biasanya penyakit ini disertai oliguria (urin out put < 400 ml/ hari). Tiga kategori utama kondisi penyebab gagal ginjal akut adalah kondisi prerenal

(hipoperfusi ginjal), intrarenal (kerusakan aktual jaringan

ginjal), dan pasca renal yang biasanya akibat dari obstruksi di

bagian distal ginjal.

Gejala klinis:

a. Perubahan haluran urin, sedikit dapat mengandung darah, dan gravitas spesifiknya rendah (0,010 sedangkan nilai normalnya 0,015-0,025)

b. Peningkatan BUN dan kadar kreatinin

c. Hiperkalemia, asidosis metabolik, abnormalitas Ca++ dan PO4- dan anemia

Penatalaksanaan sangat dipengaruhi oleh penyebab atau penyakit primer. Penyebab prerenal perlu sekali dievaluasi, misalnya dehidrasi, penurunan tekanan darah, CVP < 3cm, syok, KU jelek. Perawatan intensif dan pemantauan ketat pada cairan, fase oliguria, hyperkalemia dan monitor EKG mengharuskan pasien dirawat di ICU.

2.3.6.7 Edema paru

(35)

Gejala-gejala umum lain mungkin termasuk mudah lelah, lebih cepat mengembangkan sesak napas daripada normal dengan aktivitas yang biasa (dyspnea on exertion), napas yang cepat (tachypnea), kepeningan, atau kelemahan. Tingkat oksigen darah yang rendah (hypoxia) mungkin terdeteksi pada pasien dengan pulmonary edema. Jika memburuk (pasien makin sesak, takipneu, ronchi bertambah, PaO2 tidak bisa dipertahankan > 60 mmHg dengan O2 konsentrasi dan aliran tinggi, retensi CO2, hipoventilasi, atau tidak mampu mengurangi cairan edema secara adekuat), maka dilakukan intubasi endotrakeal, suction, dan ventilator. Pemasangan ventilator dilakukan pada pasien dengan hipoksia berat, asidosis atau tidak berhasil dengan oksigen Pasien edema paru yang mendapakan terapi deuretik harus dimonitor keseimbangan cairan dan elektrolitnya dan tanda-tanda vital. 2.3.6.8 Gagal nafas

Gagal nafas adalah ketidakmampuan tubuh dalam mempertahankan tekanan parsial normal O2 dan atau CO2 didalam darah. Gagal nafas merupakan suatu kegawatan yang disebabkan oleh gangguan pertukaran oksigen dan karbondioksida, sehingga sistem pernafasan tidak mampu memenuhi metabolisme tubuh.

Penyebab gagal nafas:

a. Penyebab sentral diantaranya trauma kepala (contusion serebri), radang otak (encephalitis), gangguan vaskuler (perdarahan otak, infark otak), obat-obatan (narkotika, anestesi).

(36)

(fraktur costa, pneumothorak, haemothorak), kelainan jantung (gagal jantung kiri).

Gejala klinis:

a. Umum: kelelahan, berkeringat

b. Respirasi: wheezing, merintih, menurun/menghilangnya suara nafas, cuping Hidung retraksi, takipnea, bradipnea atau apnea, sianosis.

c. Kardiovaskuler: bradikardia atau takikardia hebat, hipotensi/hipertensi, pulsus Paroksus 12 mmHg, henti jantung.

d. Serebral: gelisah, iritabilitas, sakit kepala, kekacauan mental, kesadaran Menurun, kejang, koma.

Penatalaksanaan mulai dari terapi oksigen nasal atau masker sampai pemasangan ventilator mekanik, pemberian inhalasi, dan pemantauan hemodinamik, semuanya memerlukan pengawasan monitoring yang intensif di ruang ICU.

2.3.6.9 Ketoasidosis diabetik

(37)

jumlah kencing, monitor kesadaran dan pemberian insulin dan jangan lupa mencari pencetus dari keto asidosis yakni fokus infeksi seperti infeksi gigi, saluran kencing, saluran pernafasan, infeksi jaringan kulit (bisul).

2.3.6.10Malaria serebral

Malaria serebral adalah suatu akut ensefalopati yang menurut WHO definisi malaria serebral memenuhi 3 kriteria yaitu koma yang tidak dapat dibangunkan atau koma yang menetap lebih dari 30 menit setelah kejang disertai adanya plasmodium falsiparum yang dapat ditunjukkan dan penyebab lain dari akut ensefalopati telah disingkirkan.

Gejala klinis penderita malaria falsiparum yang non imun bila diagnosa terlambat, penundaan terapi, absorbsi gagal karena muntah-muntah, resisten OAM, dalam 3-7 hari setelah panas, dapat mengarah cepat pada keadaan koma. Keadaan akan memburuk cepat dengan nyeri kepala yang bertambah dan penurunan derajat kesadaran dari letargi, sopor sampai koma. Sebelum diagnosis dapat dipastikan melalui pemeriksaan darah malaria, beberapa tindakan perlu dilakukan pada penderita dengan dugaan malaria berat berupa tindakan perawatan di ICU yaitu

a. Pertahankan fungsi vital, sirkulasi, kebutuhan oksigen, cairan dan nutrisi

b. Hindarkan trauma, dekubitus, jatuh dari tempat tidur

c. Monitoring, temperatur, nadi, tensi, dan respirasi tiap ½ jam dan baringkan/posisi tidur sesuai dengan kebutuhan

(38)

2.4 Kerangka Konsep Penelitian

Berdasarkan pada kajian teoritis yang telah diuraikan diatas, maka kerangka konsep dalam penelitian ini terdiri dari variabel independen, variabel dependen dan variabel perancu. Variabel independen (bebas) adalah variabel yang mempengaruhi atau yang menjadi sebab perubahannya atau timbulnya variabel dependen (terikat). Variabel dependen merupakan variabel yang dipengaruhi atau yang menjadi akibat karena adanya variabel independen. Variabel perancu (kontrol) adalah variabel yang dikendalikan atau dibuat konstan sehingga hubungan variabel bebas terhadap variabel terikat tidak dipengaruhi oleh faktor luar yang tidak diteliti. Hubungan antara variabel tersebut dapat digambarkan seperti pada skema 2.1 dibawah ini:

Keterangan:

: diteliti : tidak diteliti

: hubungan yang mempengaruhi

Skema 2.1: Kerangka konsep penelitian hubungan antara lama hari rawat dengan terjadinya dekubitus pada pasien yang dirawat di ruang ICU RSUD dr.H.Soemarno Sosroatmodjo Kuala Kapuas. LAMA HARI RAWAT

- 1-6 hari - 7-12 hari - >12 hari

TERJADINYA DEKUBITUS

- Terjadi selama dirawat - Tidak terjadi selama dirawat

FAKTOR YANG MEMPENGARUHI

- Jenis penyakit - Kelemahan fisik

-Penurunan kesadaran

- Asuhan keperawatan

Variabel Independen Variabel Dependen

(39)

Berdasarkan kajian teoritis dan kerangka konsep diatas, pasien yang masuk ruang perawatan ICU akan menjalani hari rawat antara 1 hari sampai lebih dari 12 hari tergantung jenis penyakit yang diderita pasien dan faktor lainnya yang mempengaruhi lamanya dirawat di ICU. Pasien tersebut sangat beresiko mengalami dekubitus apabila terdapat faktor-faktor yang mempengaruhinya. Faktor-faktor yang mempengaruhi lama hari rawat dan terjadinya dekubitus diantaranya penurunan kesadaran, kelemahan fisik, dan asuhan keperawatan yang diberikan. Dekubitus tidak akan terjadi atau dapat dicegah pada pasien selama dirawat apabila faktor-faktor yang mempengaruhinya dapat dihindari atau diminimalisir dengan cara diberikan asuhan keperawatan pencegahan dekubitus secara terencana dan konsisten khususnya pada pasien yang beresiko.

2.5 Hipotesis

Gambar

Tabel 2.1: Skala Braden
Tabel 2.2: Skala Norton

Referensi

Dokumen terkait

Berdasarkan beberapa pengertian tersebut, dapat disimpulkan struktur modal merupakan susunan modal kerja yang digunakan perusahaan dalam pembiayaannya yang dilihat

Sementara untuk tujuan makalah ini adalah merancang Sinkronisasi dan CS pada audio watermarking, menganalisis kualitas audio yang sudah disisipkan watermark dibandingkan

Atas dasar penelitian dan pemeriksaan lanjutan secara seksama terhadap berkas yang diterima Mahkamah Pelayaran dalam Berita Acara Pemeriksaan Pendahuluan (BAPP)

Setelah 4-5 jam dalam pelayarannya kapal mengalami cuaca buruk dan ombak besar, Saksi melaporkan kepada Tersangkut Nakhoda bahwa kapal bocor dan diperintahkan

Kondisi lain yang ada adalah masyarakat yang bertanggungjawab mengelola kampung budaya ini belum paham apa yang harus disiapkan untuk memberikan kepuasan kepada

Dimana apabila menunjukan status tersedia dari sebuah sarana pada suatu tanggal tertentu itu artinya sarana tersebut masih bisa untuk dilakukan pemesanan karena

Peraturan Mahkamah Agung Nomor 2 Tahun 2009 Tentang Biaya Proses Penyelesaian Perkara dan Pengelolaannya pada Mahkamah Agung dan Badan Peradilan yang berada

Good comparison testing is the key to a good translation. The purpose of this test is to see whether or not the translation is understood correctly by