• Tidak ada hasil yang ditemukan

TINJAUAN PUSTAKA

2.7 Patofisiologi Anemia pada Gagal Jantung .1 Kelainan Hematinik

Kadar serum vitamin B12 dan asam folat rendah pada sekelompok kecil pasien anemia dengan gagal jantung (Witte KK dkk, 2004; Crpmie N, Lee C, Struthers AD, 2002). Fungsi gastrointestinal sering terganggu pada pasien gagal jantung (Sandek A dkk, 2007) dan hal ini dapat mengakibatkan kelainan penyerapan mengakibatkan defisiensi zat besi dan nutrisi lainnya (Anker SD dkk, 1997). Terlebih lagi, perdarahan gastro intestinal yang diinduksi aspirin dapat juga mengakibatkan defisiensi zat besi. Penelitian yang rinci tentang hemostasis zat besi pada pasien anemia dengan gagal jantung tidak tersedia. Pada satu penelitian pasien anemia dengan gagal jantung, 43% memiliki serum zat besi yang rendah (<8 µmol/L) atau ferritin (<30 µmol/L), tetapi anemia mikrositik terlihat 6% dari subyek (de Silva R dkk, 2006). Sebaliknya, Nanas dkk menemukan habisnya zat besi yang tersimpan di dalam sumsum tulang dari 73% subyek meskipun serum zat besi, ferritin dan eritropoietin normal (Nanas JN dkk, 2006).

2.7.2 Penyakit Ginjal Kronik dan Gangguan Produksi Eritropoietin

Eritropoietin merupakan hormon glikoprotein yang mengatur proliferasi sel erithroid di dalam sumsum tulang sebagai respon terhadap hipoksia jaringan.

Eritropoietin diproduksi terutama di ginjal oleh peritubular fibroblast khusus yang terletak di dalam korteks dan medulla luar (Eckardt KU dkk, 1993). Rangsangan

utama untuk produksi eritropoietin adalah menurunnya tekanan oksigen (PO2) pada tingkat peritubular fibroblast yang terletak di dalam korteks dan medulla luar dimana sensing oksigen dianggap terjadi. Rendahnya PO2 mengaktivasi hypoxia-inducible factor-1 (HIF-1), yang kemudian menginduksi transkripsi gen eritropoietin (Mole DR, Ratcliffe PJ, 2008). Ginjal rentan terhadap hipoksia terlepas dari fakta bahwa ginjal menerima hampir 25% curah jantung dan menggunakan kurang dari 10% oksigen yang diberikan, disebabkan tekanan oksigen sangat tidak homogen di seluruh parenkim ginjal.

Untuk mempertahankan gradien osmotik yang dihasilkan oleh loop of henle, pembuluh darah arteri dan vena yang memasoknya berjalan berlawanan arah dan dalam kontak dekat. Hal ini menyebabkan adanya shunt difusi oksigen antara sirkulasi arteri dan vena, menyababkan gradien oksigen di seluruh parenkim ginjal (Bauer C, Kurtz A, 1989). Akibatnya, tekanan oksigen berkurang dengan bertambahnya jarak dari permukaan ginjal, mencapai sekitar 10 mmHg di ujung piramida kortikal dimana sel penginderaan oksigen dan sel penghasil eritropoietin berada. Hal tersebut membuat area ini sensitif terhadap perubahan kecil pada tekanan oksigen akibat ketidakseimbangan antara pengiriman dan pemanfaatan oksigen. Pengiriman oksigen ke area tersebut ditentukan oleh aliran darah ginjal, hematokrit, dan P50 dari kurva haemoglobin oxygen dissociation.

Sebaliknya konsumsi oksigen ditentukan oleh reabsorbsi natrium di proximal tubular, yang sangat bergantung pada glomerular filtration rate (GFR).

Meskipun ada bukti yang banyak untuk produksi eritropoietin yang tidak mencukupi pada PGK, mekanismenya masih belum jelas. Fibrosis tubulointerstitial, kehilangan tubular, dan kehilangan pembuluh darah mungkin merupakan faktor yang paling penting yang berkontribusi terhadap penurunan sel penghasil eritropoietin (Nangaku M, 2006). Pada gagal ginjal, aliran darah ginjal menurun dan hampir 50% pasien gagal jantung mengalami disfungsi ginjal (Anand IS, 2005). Temuan ini mengarahkan bahwa penurunan produksi eritropoietin ginjal adalah penyebab anemia pada HF. Dua studi kecil menemukan bahwa aliran darah ginjal merupakan faktor penentu independen sekresi eritropoietin (Pham I dkk,

2001), tetapi studi yang terbaru tidak dapat membenarkan hal tersebut pada kelompok paisen gagal ginjal yang lebih besar (Westenbrink BD dkk, 2007).

Belonje dkk baru ini melaporkan bahwa kadar eritropoietin pada 605 pasien gagal jantung yang diacak dalam studi koordinatif yang mengevaluasi hasil konsultasi dan konseling dalam penelitian gagal jantung. Mereka menemukan bahwa kadar eritropoietin lebih rendah dari yang diharapkan pada mayoritas pasien (79%), dimana 12% pasien memiliki kadar sesuai harapan dan 9% memiliki kadar lebih tinggi dari yang diharapkan. Hubungan antara aliran darah ginjal dan produksi eritropoietin lebih kompleks karena banyak factor yang mempengaruhi produksi eritropoietin pada gagal ginjal. Tingginya kadar angiotensin II terlihat pada gagal jantung dimana suplai oksigen menurun disebakan penurunan aliran darah ginjal.

Pda saat bersamaan, Ang II menyebabkan penurunan GFR menyebabkan peningkatan kebutuhan oksigen. Hal tersebut merangsang produksi eritropoietin dengan menurunkan pengiriman oksigen pada sel penghasil eritropoietin. Beberapa faktor menerangkan bahwa respon eritropoietin tumpul dan terjadi anemia pada gagal jantung.

Mungkin faktor yang paling penting adalah peranan inflamasi. Tumor necrosis factor-α (TNF-α), IL-6 dan beberapa sitokin proinflamasi lainnya (Opasich C, 2005); neutrophil sirkulsi, dan CRP meningkat pada pasien gagal jantung (Anand IS, Latini R, Florea VG dkk, 2005) dan berbanding terbalik terhadap Hb. IL-6 dan TNF-α menghambat produksi eritropoietin pada ginjal dengan mengaktivasi GATA-2 dan NF-kB. Oleh karena itu, kadar eritropoietin lebih rendah dari yang diperkirakan. Lagi pula, sitokin juga secara langsung menghambat differensiasi dan proliferasi dari sel progenitor eritroid di dalam sumsum tulang. Selain itu, IL-6 merangsang produksi protein fase akut hepcidin di hati yang menghambat absosbsi zat besi oleh usus. Selanjutnya, IL-6 menekan pelepasan feroportin, mencegah pelepasan zat besi dari tubuh. Dan juga, sitokin proinflamsi berkontribusi terhadap terjadinya anemia dengan beberapa mekanisme. Bagaimanapun, peningkatan kadar TNF-α dan IL-6 pada pasien anemia pada Vesnarinone Heart Failure trial menjelaskan hanya 5% variabilitas kadar haemoglobin pada pasien tersebut (Anand IS, Rector T, Deswal dkk, 2006).

2.7.3 Anemia dan Sistem Renin Angiotensin

Sistem renin angiotensin tampaknya terlibat erat dalam pengendalian eritropoiesis. Seperti disebutkan sebelumnya, angiotensin II menurunkan PO2

dengan mengurangi aliran darah ke ginjal dan meningkatkan kebutuhan oksigen, dan dengan demikian merangsang produksi eritropoietin. Angiotensin II juga secara langsung merangsang sel progenitor eritroid di dalam sumsum tulang. Penghambat angiotensin converting enzyme (ACE) dan angiotensin receptor blockers (ARB) menyebabkan penurunan Hb dengan menurunkan erythropoietin, dan dengan mencegah kerusakan pada penghambat hematopoiesis N-acetyl-seryl-aspartyl-lysyl-proline (AcSDKP) (van der Meer P, 2005).

2.7.4 Hemodilusi

Anemia dapat disebabkan oleh hemodilusi yang sering terlihat pada pasien gagal jantung. Androne dkk menemukan bahwa hampir setengah pasien dengan klinis euvolum dirujuk untuk transplantasi jantung memiliki pseudoanemia yang disebabkan hemodilusi. Bagaimanapun, yang lainnya telah menemukan bahwa pasien dengan klinis euvolum memiliki volume plasma normal. Pada kasus apapun, hal ini masih menjadi pertanyaan apakah pseudoanemia dapat diobati.

2.7.5 Anemia pada Penyakit Kronik

Meskipun beragam mekanisme dapat mengakibatkan anemia pada pasien gagal jantung, penyebab anemia yang dapat diobati sering tidak diidentifikasi pada mayoritas pasien. Dalam penelitian besar subyek dengan anemia dan gagal jantung, 58% subyek dilaporkan memiliki anemia akibat penyakit kronik, meskipun bukti yang mendukung adanya anemia pada penyakit kronik tidak tersedia dalam penelitian tersebut (Ezekowitz JA, McAlister FA, Armstrong PW, 2003). Opasich dkk memberikan bukti yang meyakinkan adanya anemia dari penyakit kronik pada gagal jantung. Penulis mempelajari 148 subyek dengan karakteristik gagal jantung stabil dan anemia. Penyebab khusus anemia termasuk di dalamnya penyakit ginjal kronik, defisiensi zat besi, asam folat, vitamin B12, dan β thalassemia dapat diidentifikasi hanya pada 43% kasus. Defisiensi zat besi dapat dilihat hanya pada 5% subyek. Sebagian besar subyek yang tersisa (57%), mereka menemukan

aktivasi sitokin proinflamasi, produksi eritropoietin tidak adekuat, atau pemanfaatan zat besi yang kurang baik meskipun zat besi yang tersedia mencukupi, memberi kesan anemia penyakit kronis (Weiss G, Goodnough LT, 2005). Oleh karena itu, anemia penyakit kronis tampaknya menjadi penyebab anemia yang paling sering pada gagal jantung dan pendekatan rasional untuk koreksi anemia pada gagal jantung melibatkan penggunaan agen perangsang eritropoiesis.

Gambar 2.4 Mekanisme terjadinya anemia pada gagal jantung (Anand IS, 2008)

Dokumen terkait