• Tidak ada hasil yang ditemukan

TESIS PROFESI. Oleh EFRIDA HASIBUAN NIM : PEMBIMBING: 1. Prof. dr. Sutomo Kasiman, SpPD, SpJP (K) 2. DR. dr. Zulfikri Mukhtar, SpJP (K)

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2022

Membagikan "TESIS PROFESI. Oleh EFRIDA HASIBUAN NIM : PEMBIMBING: 1. Prof. dr. Sutomo Kasiman, SpPD, SpJP (K) 2. DR. dr. Zulfikri Mukhtar, SpJP (K)"

Copied!
75
0
0

Teks penuh

(1)

ANEMIA SEBAGAI PREDIKTOR KEJADIAN

KARDIOVASKULAR MAYOR SELAMA PERAWATAN DI RUMAH SAKIT PADA PENDERITA GAGAL JANTUNG AKUT

DI RUMAH SAKIT HAJI ADAM MALIK MEDAN

TESIS PROFESI

Oleh

EFRIDA HASIBUAN NIM : 117115014

PEMBIMBING:

1. Prof. dr. Sutomo Kasiman, SpPD, SpJP (K) 2. DR. dr. Zulfikri Mukhtar, SpJP (K)

DEPARTEMEN KARDIOLOGI DAN KEDOKTERAN VASKULAR FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

MEDAN

2017

(2)

ANEMIA SEBAGAI PREDIKTOR KEJADIAN KARDIOVASKULAR MAYOR SELAMA PERAWATAN DI RUMAH SAKIT PADA PENDERITA GAGAL

JANTUNG AKUT DI RUMAH SAKIT HAJI ADAM MALIK MEDAN

TESIS

Diajukan sebagai salah satu syarat untuk memperoleh Gelar Spesialis Jantung dan Pembuluh Darah dalam Program Studi Ilmu Penyakit Jantung dan Pembuluh Darah

Pada Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara

Oleh

EFRIDA HASIBUAN NIM : 117115014

DEPARTEMEN KARDIOLOGI DAN KEDOKTERAN VASKULAR FAKULTAS KEDOKTERAN

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA MEDAN

2017

(3)

Judul Tesis : Anemia Sebagai Prediktor Kejadian Kardiovaskular Mayor Selama Perawatan Di Rumah Sakit Pada Penderita Gagal Jantung Akut Di Rumah Sakit Haji Adam Malik Medan Nama Mahasiswa : Efrida Hasibuan

Nomor Registrasi : 117115014

Program Studi : Kardiologi dan Kedokteran Vaskuler

Menyetujui

Pembimbing I Pembimbing II

Prof. dr. Sutomo Kasiman, SpPD, Sp.JP(K) DR. dr. Zulfikri Mukhtar, Sp.JP(K) NIP. 194604301973021001 NIP. 195610261983121001

Mengetahui / Mengesahkan

Ketua Program Studi/ Ketua Departemen/

SMF Ilmu Penyakit Jantung SMF Ilmu PenyakitJantung

FK-USU / RSUP HAM Medan FK-USU/RSUP HAM Medan

dr. Ali Nafiah Nst, SpJP(K) Prof.dr. Harris Hasan, Sp.PD, Sp.JP(K) NIP. 198104142006041002 NIP. 195604051983031004

(4)

HALAMAN PERNYATAAN ORISINALITAS

Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis ini adalah hasil karya penulis sendiri, dan sepanjang pengetahuan saya tidak terdapat karya atau pendapat yang pernah dituliskan atau diterbitkan oleh orang lain, kecuali yang digunakan sebagai acuan referensi dan telah

disebutkan dalam daftar pustaka dan semua sumber baik yang dikutip maupun dirujuk telah penulis nyatakan dengan benar

Medan, Oktober 2017

Efrida Hasibuan

(5)

UCAPAN TERIMA KASIH

Dengan memanjatkan puji dan syukur kehadirat Allah SWT, Tuhan Yang Maha Esa yang telah memberikan berkat dan rahmatNya sehingga penulis dapat menyelesaikan tesis ini. Tesis ini dibuat untuk memenuhi syarat kelulusan dalam Program Studi Kardiologi dan Kedokteran Vaskular di Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara.

Pada kesempatan ini perkenankanlah penulis menyatakan penghargaan dan ucapan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada :

1. Rektor Universitas Sumatera Utara, Dekan Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara, dan Ketua TKP PPDS I Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara yang telah memberikan penulis kesempatan untuk mengikuti Program Pendidikan Profesi Ilmu Penyakit Jantung dan Pembuluh Darah di Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara.

2. Prof. dr. Harris Hasan, Sp.PD, SpJP(K) dan dr. Cut Arifa Andra, SpJP(K) selaku Ketua dan Sekretaris Departemen Ilmu Penyakit Jantung dan Pembuluh Darah Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara/RSUP Haji Adam Malik Medan di saat penulis melakukan penelitian yang telah memberikan penulis kesempatan untuk mengikuti Program Pendidikan Spesialis Ilmu Penyakit Jantung dan Pembuluh Darah di Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara.

3. dr. Ali Nafiah Nasution, SpJP(K) dan dr. Yuke Sarastri, M.Ked(Card)SpJP selaku Ketua dan Sekretaris Program Studi PPDS Ilmu Penyakit Jantung dan Pembuluh Darah Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara yang telah memberikan kritikan dan saran yang begitu berharga sehingga penulis dapat menyelesaikan tesis Profesi ini.

4. Prof. dr, Sutomo Kasiman, SpPD, SpJP(K) dan DR. dr. Zulfikri Mukhtar, SpJP(K) selaku pembimbing tesis yang dengan penuh kesabaran membimbing, mengoreksi, dan memberikan masukan-masukan berharga kepada penulis sehingga tulisan ini dapat diselesaikan.

5. Prof. dr. Harris Hasan, SpPD, SpJP(K), dr. Andika Sitepu, SpJP(K) dan dr. Ali Nafiah Nasution, SpJP(K) selaku penguji dalam proposal tesis yang telah memberikan ide dan arahan serta membuka cakrawala berpikir sehingga dapat

(6)

6. Guru-guru penulis : Prof.dr.T.Bahri Anwar, SpJP(K); Prof.dr.Sutomo Kasiman, SpPD, SpJP(K); Prof.dr.Abdullah Afif Siregar, SpA(K), SpJP(K); Prof.dr.Harris Hasan, SpPD, SpJP(K); Alm. dr. Maruli T Simanjuntak SpJP(K); dr.Nora C Hutajulu SpJP(K); Dr. dr. Zulfikri Mukhtar SpJP(K); dr.Isfanuddin Nyak Kaoy, SpJP(K);

dr.P. Manik, SpJP(K); dr.Refli Hasan, SpPD, SpJP(K); dr.Amran Lubis, SpJP(K);

dr.Nizam Zikri Akbar, SpJP(K); dr.Zainal Safri, SpPD, SpJP; dr.Andre Pasha Ketaren, SpJP(K); dr.Andika Sitepu SpJP(K); dr.Anggia Chairudin Lubis, M.Ked(Card), SpJP; dr.Ali Nafiah Nasution, M.Ked(Card), SpJP(K); dr.Cut Aryfa Andra, M.Ked(Card) SpJP(K); dr. Hilfan Ade Putra Lubis, M.Ked(Card), SpJP, dr.

Andi Khairul, M.Ked(Card), SpJP; dr. Abdul Halim Raynaldo, M.Ked(Card), SpJP(K); dr. Yuke Sarastri, M.Ked(Card), SpJP; dr. Teuku Bob Haykal, M.Ked(Card) SpJP serta guru lainnya yang tidak dapat penulis sebutkan satu persatu, yang telah banyak memberikan masukan dan dorongan selama mengikuti Program Pendidikan Spesialis ini.

7. Direktur Rumah Sakit Umum Pusat Haji Adam Malik Medan yang telah memberikan kesempatan, fasilitas dan suasana kerja yang baik sehingga penulis dapat mengikuti Program Pendidikan Spesialis Ilmu Penyakit Jantung dan Pembuluh Darah.

8. Teristimewa untuk kedua orang tua yang sangat penulis hormati dan sayangi, yakni Ayahanda H. Hasbullah Hasibuan dan ibunda Hj. Rismaini Daulay yang telah memberi kasih sayang dan motivasi untuk dapat menyelesaikan pendidikan sampai selesai.

9. Khusus untuk suami tercinta Heri Zulwansyah Pulungan yang selalu menjadi suami yang selalu setia mendampingi suka dan duka selama menempuh pendidikan serta memberikan semangat untuk menyelesaikan tesis ini. Terima kasih buat segala pengorbananmu dalam mendampingi dan mengisi segala kekuranganku. Serta anak, Ahmad Ziqra Zailani Pulungan yang menjadi inspirasi untuk terus belajar dan berkarya.

10. Ibu mertua Dahlia Nst yang memberikan doa dan nasihat yang tulus agar penulis tetap semangat, sabar dan tegar dalam mengikuti pendidikan sampai selesai.

11. Saudara kandung penulis, kakak: Irma Hsb, Yosmalia Hsb, Hodna Sari Hsb, Amrizal Hsb; adik-adik: Putra Hsb, Nelli Rosa Hsb, dan Ella Sabrina Hsb yang terus memberikan doa dan bantuan untuk kelancaran pendidikan serta seluruh

(7)

memberikan dukungan doa, moril dan materi sehingga penulis dapat menyelesaikan pendidikan.

12. Keempat sahabat seperjuangan penulis kelompok “sepersepuluh”, dr. Zunaidi Syahputra dr. Dika Ashrinda, dr. Komaria dan dr. Mustika Fadhilah Sarahazti yang telah banyak memberikan bantuan moril, tenaga dan senantiasa mendoakan kemudahan dalam pengerjaan tesis ini.

13. Rekan-rekan sahabat Kelakar Medan yang telah memberikan waktu dan tenaga dalam membantu pengambilan sampel penelitian. Serta anggota Kelakar Medan lainnya yang telah memberikan masukkan dan doa serta bahu membahu dalam mengikuti program pendidikan profesi ini.

15. Para perawat CVCU, RIC, kateterisasi, instalasi laboratorium darah serta staf administrasi kardiologi FK USU Ahmad Syafi’i, Zulkarnaen dan Husna yang telah membantu terselenggaranya penelitian ini.

Semoga Allah SWT membalas semua jasa dan budi baik mereka yang telah membantu penulis dalam menyelesaikan penelitian dan tulisan ini. Akhirnya penulis mengharapkan agar penelitian dan tulisan ini kiranya dapat bermanfaat bagi kita semua.

Aamiin Ya Rabbal Alamin.

Medan, Oktober 2017

Efrida Hasibuan

(8)

Abstrak

Latar belakang : Anemia berkaitan dengan prognosis yang buruk pada pasien yang dirawat dengan diagnosis gagal jantung akut. Mekanisme yang menghubungkan anemia dengan peningkatan kesakitan dan kematian merupakan hal yang kompleks dan dan multi faktor.

Peningkatan beban kerja miokard sebagai kompensasi terhadap penurunan hantaran oksigen ke jaringan dan kelebihan volume dapat mengakibatkan remodeling ventrikel kiri dengan hipertropi dan dilatasi ventrikel kiri yang turut serta terhadap hasil luaran selanjutnya. Tujuan penelitian adalah untuk menyelidiki peran prognostik anemia pada pasien yang dirawat di rumah sakit untuk gagal jantung akut (GJA). Penelitian ini meninjau semua pasien dengan diagnosis utama GJA.

Metode : Penelitian ini merupakan studi retrospektif dilakukan pada 107 pasien dengan IMAEST, yang masuk pada Agustus 2015- Desember 2016 di Rumah Sakit Umum Haji Adam Malik. Data klinis dan laboratorium dikumpulkan, termasuk kadar hemoglobin saat masuk, kemudian pasien dikelompokkan berdasarkan kadar hemoglobin menjadi dua kelompok dengan anemia dan tanpa anemia. Kemudian dibandingkan terhadap kejadian kardiovaskular mayor (KKvM) yaitu kematian kardiovaskular atau aritmia ventrikel selama perawatan di rumah sakit. Uji Chi-square, Fisher, Mann-Whitney, Kruskal-Wallis dan regresi logistik dilakukan dalam menilai hubungan antara dua atau lebih variabel untuk mendapatkan nilai rasio odds (OR), nilai p<0.05 dianggap bermakna secara statistik. Anemia didefinisikan sebagai hemoglobin12 / 13 g / dL saat masuk pada pasien wanita / pria.

Hasil : 107 pasien termasuk (81,32% pria), dengan usia rata-rata 58,32 ± 11 tahun. Anemia hadir pada 29,99% pasien saat masuk, dengan Hb 11,4 (7,6-12,8) g / dL. Pada angka mortalitas di rumah sakit lebih tinggi untuk penderita anemia dibandingkan pasien tanpa anemia (53,7%

vs 46,3%, p=<0,001). Angka kejadian kardiovaskular mayor (KKvM) selama perawatan lebih tinggi untuk pasien anemia dibandingkan tanpa anemia (51,1% vs 48,9%, p = <0,001). Dalam analisis multivariat, anemia dengan Hb <13 mg / dL (OR 5.724, 95% IK 2.156-15.196, p=<0,001) dapat memprediksi KKvM secara signifikan selama perawatan pada pasien gagal jantung akut. Analisis multivariat menunjukkan hubungan antara adanya anemia (OR 5.724, 95% IK 2.156-15.196, p =<0.001), tekanan darah sistolik saat masuk (OR 3.009, 95% IK 1.236-7.324, p=0.015) dan usia ≥ 65 tahun (OR 2.659, 95% IK 0.981-7.208, p=<0,055) terhadap KKvM.

Kesimpulan : Penelitian ini menegaskan bahwa keberadaan anemia adalah faktor independen dari KKvM selama perawatan pada pasien yang masuk karena GJA.

Kata Kunci : Anemia, Gagal jantung akut, Morbiditas, Mortalitas

(9)

Abstract

Background : Anemia is associated with a poor prognosis in patients treated with a diagnosis of acute heart failure. The mechanisms linking anemia with increased morbidity and mortality are complex and multi-factor. Increased myocardial workload as a compensation for decreased oxygen delivery to the tissues and excess volume may result in left ventricular remodeling with hypertrophy and left ventricular dilatation that contribute to subsequent outcomes. The aim of the study was to investigate the prognostic role of anemia in hospitalized patients for acute heart failure (GJA). The study looked at all patients with a major GJA diagnosis.

Methods : This study was a retrospective study conducted on 107 patients with IMAEST, who entered in August 2015- December 2016 at Haji Adam Malik General Hospital. Clinical and laboratory data were collected, including hemoglobin (Hb) levels at admission, then the patients were grouped based on Hb levels into two groups with anemia and without anemia.

Then compared against major cardiovascular events (MACE) ie cardiovascular death or ventricular arrhythmias during hospitalization. Chi-square, Fisher, Mann-Whitney, Kruskal- Wallis and logistic regression tests were performed in assessing the relationship between two or more variables to obtain an odds ratio (OR), p<0.05 was considered statistically significant.

Anemia is defined as hemoglobin12 / 13 g / dL upon admission in female / male patients.

Results : 107 patients included (81.32% of men), with an average age of 58.32 ± 11 years.

Anemia was present in 29.99% of patients at admission, with Hb 11.4 (7.6-12.8) g / dL. At the hospital mortality rate was higher for anemic patients than patients without anemia (53.7% vs 46.3%, p = <0.001). MACE during treatment were higher for anemic patients than without anemia (51.1% vs 48.9%, p=<0.001). In a multivariate analysis, anemia with Hb <13 mg / dL (OR 5.724, 95% CI 2,156-15,196, p=<0.001) could predict MACE significantly during treatment in acute heart failure patients. Multivariate analysis showed an association between anemia (OR 5.724, 95% CI 2.156-15.196, p=<0.001), systolic blood pressure at admission (OR 3.009, 95% CI 1.236-7.324, p=0.015) and age ≥ 65 years OR 2.659, 95% CI 0.981-7.208, p=<0.055) to the MACE.

Conclusions : This study confirms that the presence of anemia is an independent factor of MACE during treatment in patients admitted to AHF.

Keywords : Anemia, Acute Heart Failure, Morbidity, Mortality

(10)

DAFTAR ISI

Halaman

Lembar Pengesahan ... i

Lembar Pernyataan Orisinalitas ... ii

Ucapan Terima Kasih ... iii

Abstrak ... vi

Abstract ... vii

Daftar Isi ... viii

Daftar Gambar ... xi

Daftar Tabel ... xii

Daftar Singkatan dan Lambang ... xiii

BAB I PENDAHULUAN ... 1

1.1 Latar Belakang ... 1

1.2 Pertanyaan Penelitian ... 3

1.3 Hipotesis ... 3

1.4 Tujuan Penelitian ... 3

1.5 Manfaat Penelitian ... 3

BAB II TINJAUAN PUSTAKA ... 5

2.1 Definisi Gagal Jantung Akut ... 5

2.2 Klassifikasi Gagal Jantung Akut ... 6

2.3 Patofisiologi Gagal Jantung Akut ... 9

2.3.1 Adaptasi dan Kelebihan Beban Hemodinamik ………... 9

2.3.2 Kongesti Sistemik ... 10

2.3.3 Sistem Neurohormonal dan Natriuretic Peptides ... 12

2.3.4 Kerusakan Inflamasi dan Stress Oksidatif ... 13

2.3.5 Remodeling Patologi ... 13

(11)

2.4 Diagnosis Gagal Jantung Akut ... ... 14

2.4.1 Evaluasi Klinis ………. 14

2.4.2 Pemeriksaan Tambahan ……… 15

2.5 Prediktor Mortalitas Gagal Jantung Akut ... 16

2.6 Definisi Anemia ... 16

2.7 Patofisiologi Anemi pada Gagal Jantung ... 17

2.7.1 Kelainan Hematinik ... 17

2.7.2 Penyakit Ginjal Kronik dan Gangguan Produksi Eritropoietin ... 17

2.7.3 Anemia dan Sistem Renin Angiotensin ... 20

2.7.4 Hemodilusi ... 20

2.7.5 Anemia pada Penyakit Kronik ... 20

2.8 Mekanisme Kompensasi dan Patofisiologi Akibat Anemia ... 21

2.9 Mekanisme Non Hemodinamik untuk Mempertahankan Penghantaran Oksigen pada Anemia ... 22

2.10 Mekanisme Hemodinamik untuk Mempertahankan Penghantaran Oksigen pada Anemia ... 23

2.11 Anemia Berkaitan dengan Hasil Luaran yang Jelek pada Gagal Jantung Akut . ... 24

2.12 Kerangka Teori ……… 27

2.13 Kerangka Konsep ... 28

BAB III METODE PENELITIAN ... 29

3.1 Desain ... 29

3.2 Tempat dan Waktu ... 29

3.3 Populasi dan Sampel ... 29

3.4 Besar Sampel ... 29

3.5 Kriteria Inklusi dan Eksklusi ... 30

3.6 Definisi Operasional ... 30

3.7 Identifikasi Variabel ... 33

3.8 Alur Penelitian ... 33

3.9 Pengolahan dan Analisa Data ... 34

3.10 Etika Penelitian ... 35

(12)

3.11 Perkiraan Biaya ... 35

BAB IV HASIL PENELITIAN ... 36

4.1 Karakteristik Penelitian ... 36

4.2 Karakteristik Subjek Penelitian ... 36

4.3 Analisis Bivariat Variabel Determinan Terhadap KKvM ... 40

4.4 Analisis Multivariat dengan Metode Backward Stepwise untuk Memperoleh Variabel Yang Mempengaruhi KKvM ... 41

BAB V PEMBAHASAN ... 44

BAB VI KESIMPULAN DAN SARAN... 47

6.1 Kesimpulan ... 47

6.2 Saran ... 47

DAFTAR PUSTAKA ... 48

Lampiran ... 56

Registri Data Penelitian ... 56

Daftar riwayat hidup ... 57

Persetujuan Komite Etik ... 59

(13)

DAFTAR GAMBAR

No. Judul Halaman

2.1 Stratifikasi pasien yang masuk berdasarkan presentasi klinis awal ... 7

2.2 Gangguan hemodinak dari disfungsi ventrikel kanan akut... ... 10

2.3 Kongesti dan disfungsi ginjal ... 11

2.4 Mekanisme terjadinya anemia pada gagal jantung ... 21

2.5 kurva haemoglobin-oxygen dissociation ... 23

2.6 Hal yang dapat terjadi pada patogenesis anemia dan gagal jantung ... 24

2.7 Ketahanan hidup selama follow up. Kurva Kaplan-Meier untuk pasien dengan gagal jantung akut berdasarkan ada atau tidaknya anemia ... 25

2.8 Ketahanan hidup selama follow up. Kurva Kaplan-Meier unuk pasien tanpa anemia atau anemia ringan (Hb ≥ 12 pada laki-laki dan ≥11 g/dl pada wanita) versus pasien dengan anemia sedang sampai berat (Hb < 12 pada laki-laki dan <11 g/dl pada wanita. ... 26

2.9 Diagram Kerangka Teori ... 27

2.10 Diagram Kerangka Konsep ... 28

4.1 Presentasi klinis pasien gagal jantung akut (persentase) ... 37

4.2 Grafik penyebab yang mendasari gagal jantung akut ... 37

4.3 Grafik Kadar Hemoglobin Saat Masuk pada Gagal Jantung Akut ………….. 38

(14)

DAFTAR TABEL

No Judul Halaman

2.1 Kadar hemoglobin untuk diagnosa anemi ……….. 17

4.1 Demografi dan Karakteristik Klinis Subjek Penelitian ……….. 39

4.2 Analisa Bivariat antara Variabel Prognostik dengan KKvM ………. 40

4.3 Hasil Analisa Multivariat ………... 41

(15)

DAFTAR SINGKATAN DAN LAMBANG

SINGKATAN NAMA

AHEAD : Acute Heart Failure Database

ADHERE : Acute Decompensated Heart Failure National Registry

ADHF : Acute Decompensated Heart Failure

ADCHF : Acute Decompensated Chronic Heart Failure

AHF : Acute Heart Failure

AHFI : Acute Heart Failure Index

AUC : Area Under The Curve

BUN : Blood Urea Nitrogen

CRT : Cardiac Resynchronization Therapy

CVP : Central Venous Pressure

DM : Diabetes Mellitus

EKG : Elektrokardiografi

ESC : European Society Cardiology

ESCAPE : Evaluation Study of Congestive Heart Failure and Pulmonary Artery Catheterization Effectiveness

GJA : Gagal Jantung Akut

HDL : High Density Lipoprotein

Hb : Haemoglobin

(16)

ICD : Implantable Cardioverter Defibrillator

IMANEST : Infark Miokard Akut Non Elevasi segmen ST IMAEST : Infark Miokard Akut Elevasi segmen ST

KGD : Kadar Glukosa Darah

KKvM : Kejadian Kardiovaskular Mayor

LBBB : Left Bundle Branch Block

LDL : Low Density Lipoprotein

LV : Left Ventricle

LVEF : Left Ventricle Ejection Fraction

NO : Nitrit Oxide

OPTIMIZE-HF : Organizing Program to Initiate Lifesaving Treatment in Hospitalized Patients with Heart Failure

PCWP : Pulmonary Capillary Wedge Pressure

PG12 : Prostasiklin

PJK : Penyakit Jantung Koroner

RSHAM : Rumah Sakit Haji Adam Malik

SKA : Sindroma Koroner Akut

TGF : Transforming Growth Factor

TNF : Tumor Necroting Factor

WHO : Word Health Organization

(17)

LAMBANG

n : jumlah subyek penelitian p : tingkat kemaknaan α : alpha

β : beta

< : lebih kecil

> : lebih besar zα : deviat baku alpha zβ : deviat baku beta

S : simpang baku gabungan

X1 – X2: selisih rerata minimal yang dianggap bermakna

% : persentase

(18)

BAB I PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Gagal jantung akut (GJA) merupakan masalah kesehatan di masyarakat yang mengakibatkan besarnya angka perawatan di rumah sakit pada penderita berusia 65 tahun atau lebih (Townsend N, Nichols M, Scarborough P, Rayner M, 2015). Meskipun terdapat kemajuan pengobatan pada gagal jantung kronis selama dekade terakhir, yang mengakibatkan peningkatan pada angka ketahanan hidup jangka panjang, hasil luaran pada gagal jantung akut masih buruk dengan angka perawatan berulang dalam 90 hari dan kematian dalam 1 tahun mencapai 10-30%

(Ambrosy AP, 2014). Meskipun kurang memiliki bukti dari efek yang menguntungkan pada hasil luaran, pengobatan akut pada GJA masih terdiri dari ventilasi non invasif pada kasus edema paru, diuretik intravena dan/atau vasodilator (Mebazaa A dkk, 2015; Mebazaa A dkk, 2016; Ponikowski P dkk, 2016).

Beberapa tahun terakhir telah melihat kemajuan yang signifikan dalam diagnosis dini dan dalam pengobatan gagal jantung akut dan kronis. Dengan kelangsungan hidup rata-rata 1,7 tahun pada pria dan 3,2 tahun pada wanita setelah diagnosis awal gagal jantung kronis, prognosis pasien yang terkena dampaknya tetap buruk. Yang penting, pasien dengan gagal jantung kronis dapat mengalami dekompensasi kapan saja. Gagal jantung akut, apakah de novo atau gagal jantung kronis dekompensata menimbulkan tantangan besar di gawat darurat. Prognosis pasien yang terkena bahkan lebih buruk daripada pasien dengan penyakit kronis.

Untuk memperbaiki morbiditas dan mortalitas pasien, penting untuk mengidentifikasi pasien yang berisiko tinggi terkena efek samping. Penilaian biomarker dari sirkulasi serta identifikasi komorbid adalah tugas penting dalam hal ini, terutama dalam keadaan darurat. Memang, komorbid seperti diabetes mellitus, gagal ginjal, atau cachexia jantung adalah pertimbangan penting dalam penilaian

(19)

pasien, karena semuanya diketahui memiliki efek yang tidak menguntungkan pada morbiditas dan mortalitas (Stephan VH dkk, 2010).

Anemia merupakan faktor risiko yang berkaitan dengan angka morbiditas dan mortalitas pada penderita gagal jantung kronis. Anemia sering dijumpai pada penderita gagal jantung kronis diseluruh spektrum fraksi ejeksi dan merupakan prediktor yang kuat untuk kejadian perawatan berulang dan kematian. Diperkirakan angka kejadian sangat tinggi sesuai dengan tingkat keparahan gagal jantung, mulai dari <10% pada penderita dengan gejala ringan sampai >50% pada penderita dengan penyakit lanjut. Etiologi gagal jantung terkait anemia merupakan hal yang multi faktor, dengan efek dilusi dari kelebihan volume, disertai disfungsi ginjal dan gangguan produksi eritropoetin, kekurangan zat besi, inflamasi atau aktivasi sitokin, malnutrisi dan terapi dengan obat-obatan (seperti aspirin, angiotensin- converting enzyme inhibitors) (Akshay SD, 2013).

Anemia sebagai komorbid pada gagal jantung baru-baru ini mulai diteliti secara sistematis. Studi epidemiologi telah menunjukkan variasi yang luas dalam prevalensi anemia di antara pasien dengan gagal jantung kronis. Memang, tergantung pada kriteria yang digunakan untuk mendiagnosis anemia, prevalensinya diperkirakan antara 16 dan 48%. Beberapa penelitian telah menyelidiki dampak anemia terhadap morbiditas dan mortalitas pada pasien dengan gagal jantung akut. Penelitian yang dilakukan oleh Sanchez L dkk, 2006, anemia (Hb<13g/dL) berkaitan dengan kelangsungan hidup jangka pendek yang lebih buruk pada pasien dengan gagal jantung akut. Anemia sedang hingga berat merupakan prediktor independen terhadap kematian pada pasien gagal jantung akut (Stephan VH dkk, 2010).

Terlepas dari penyebab tertentu, penurunan 1% hematokrit berkaitan dengan 3% peningkatan risiko kematian. Perubahan nilai haemoglobin (Hb) sepanjang waktu memberikan tambahan informasi prognostik, dengan peningkatan risiko kardiovaskular berkaitan dengan anemia yang menetap atau mengalami perburukan selama pengamatan pada populasi gagal jantung (Anand IS dkk, 2005;

Tang WH, Tong W, Jain A, Francis GS, Harris CM, Young JB, 2008).

(20)

Berdasarkan latar belakang di atas, penelitian ini bermaksud mencari hubungan antara anemia dengan kejadian kardiovaskular mayor pada penderita gagal jantung akut.

1.2 Pertanyaan Penelitian

Berdasarkan uraian dalam latar belakang di atas, maka pertanyaan penelitian ini adalah:

Apakah anemia dapat menjadi prediktor kejadian kardiovaskular mayor selama perawatan di rumah sakit pada penderita gagal jantung akut di RS Haji Adam Malik Medan?

1.3 Hipotesis Penelitian

Hipotesis pada penelitian ini adalah:

Anemia dapat menjadi prediktor kejadian kardiovaskular mayor selama perawatan di rumah sakit pada penderita gagal jantung akut di RS Haji Adam Malik Medan.

1.4 Tujuan Penelitian

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui hubungan anemia dengan kejadian kardiovaskular mayor selama perawatan di rumah sakit pada penderita gagal jantung akut.

1.5 Manfaat Penelitian

1.5.1 Kepentingan akademik

Penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat ilmiah tentang pentingnya penilaian anemia pada penderita gagal jantung akut dalam stratifikasi

(21)

risiko dan memprediksi komplikasi selama perawatan di rumah sakit, serta dapat dijadikan sebagai pedoman dalam penatalaksanaan pasien gagal jantung akut yang lebih optimal selama perawatan di rumah sakit.

1.5.2 Kepentingan masyarakat

Penelitian ini diharapkan dapat memberikan suatu penanda yang lebih mudah dan didapatkan dari pemeriksaan laboratorium rutin yang dapat digunakan untuk stratifikasi risiko pasien-pasien gagal jantung akut.

(22)

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Definisi Gagal Jantung Akut

Gagal jantung akut (GJA) diartikan sebagai onset baru atau perburukan dari gejala dan tanda gagal jantung (Ponikowski P, 2016), yang sering membutuhkan peningkatan terapi yang cepat dan perawatan rumah sakit. Keadaan klinis tipikal dari GJA termasuk gejala dan tanda yang berkaitan dengan kongesti dan kelebihan volume dari pada keadaan hipoperfusi (Costanzo MR, Jessup M, 2012). Karena kongesti merupakan peranan utama untuk sebagian besar kasus GJA, pemahaman tentang mekanisme patofisiologis yang mendasar terkait kongesti sangat penting untuk mengobati pasien GJA. Lebih penting lagi, tingkat kongesti dan jumlah organ yang mengalami kongesti memiliki keterkaitan prognostik pada pasien gagal jantung (Gheorghiade M, 2010).

Penyebab gagal jantung akut diidentifikasi antara lain sindroma koroner akut, hipertensi emergensi, gagal jantung kanan akut, syok dan dekompensata pada pasien yang telah diketahui menderita gagal jantung kronis (Marteles MS dkk, 2015). Menurut Poole-wilson, gagal jantung akut merupakan suatu sindroma klinis disebabkan oleh disfungsi ventrikel sebagai akibat abnormal kondisi jantung yang diikuti dengan respon ginjal, neural dan hormonal (Kruger W, 2009). Menurut the European Society of Cardiology, gagal jantung akut didefinisikan sebagai kumpulan tanda dan gejala dengan onset cepat sebagai akibat gangguan fungsi jantung. Ini dapat terjadi dengan atau tanpa penyakit jantung sebelumnya.

Gangguan jantung dapat berupa disfungsi sistolik dan diastolik, abnormalitas irama atau ketidakseimbangan antara preload dan afterload. Hal ini mengancam jiwa dan memerlukan penangan segera (Nieminen SM dkk, 2005).

(23)

2.2 Klassifikasi Gagal Jantung Akut

Panduan terdahulu dari European Society of Cardiology (ESC) mengelompokkan pasien menjadi enam kelompok berdasarkan karakteristik klinis dan hemodinamik (Nieminen MS, 2005).

1. Gagal jantung akut dekompensata

Terdapat tanda dan gejala gagal jantung akut yang ringan dan tidak memenuhi kriteria untuk syok kardiogenik, edema pulmoner, atau krisis hipertensi.

2. Gagal jantung akut hipertensi

Terdapat tanda dan gejala gagal jantung terkait dengan tekanan darah tinggi dan fungsi ventrikel kiri yang masih baik disertai gambaran edema pulmoner akut pada foto thoraks.

3. Gagal jantung akut dengan edema paru

Terdapat distress pernafasan yang berat, ronkhi kasar di seluruh lapangan paru, orthopnea, saturasi oksigen <90% pada udara kamar sebelum terapi.

4. Syok kardiogenik

Keadaan dimana dijumpai tanda hipoperfusi jaringan akibat gagal jantung setelah koreksi preload. Parameter hemodinamik syok kardiogenik antara lain penurunan tekanan darah (tekanan darah sistolik < 90 mmHg atau turunnya tekanan arteri rerata (mean arterial pressure) > 30 mmHg dengan atau tanpa penurunan diuresis (<0.5 cc/kb/jam), dengan laju nadi lebih dari 60 denyut per menit dengan atau tanpa bukti kongesti organ.

5. Gagal jantung akut high output

Biasanya dijumpai denyut nadi yang cepat (disebabkan oleh aritmia, tirotoksikosis, anemia, penyakit paget, iatrogenic atau mekanisme lainnya) dengan kondisi perifer yang hangat, kongesti pulmonal, dan terkadang dengan tekanan darah yang rendah.

(24)

6. Gagal jantung kanan akut

Ditandai dengan sindroma output rendah dengan peningkatan vena jugular, hepatomegali dan hipotensi.

Gagal jantung akut berdasarkan profil hemodinamik dan tanda klinis (Felker GM, 2015)

1. Kelas I: hangat dan kering, dimana tidak dijumpai hipoperfusi dan kongesti pulmonal. Mortalitas 2.2%.

2. Kelas II: hangat dan basah, dimana tidak dijumpai hipoperfusi, tetapi dijumpai kongesti pulmonal. Mortalitas mencapai 10.1%.

3. Kelas III: dingin dan kering, dimana dijumpai hipoperfusi, tetapi tidak dijumpai kongesti pulmonal. Mortalitas mencapai 22.4%.

4. Kelas IV: dingin dan basah, dimana dijumpai hipoperfusi dan kongesti pulmonal. Mortalitas sekitar 55.5%.

Gambar 2.1 Stratifikasi pasien yang masuk berdasarkan presentasi klinis awal (Ponikowski P dkk, 2016).

(25)

Gagal jantung akut berdasarkan severitas klinis

Klasifikasi ini sama dengan klasifikasi pada pembagian gagal jantung akut pada tipe hemodinamik, dengan menggunakan sirkulasi perifer dan auskultasi paru.

Klasifikasi ini telah divalidasi secara prognostik pada penanganan pasien kardiomiopati dan dapat diterapkan pada pasien gagal jantung baik pada waktu rawatan ataupun setelah pulang (Niemen MS, 2005).

Gagal jantung akut berdasarkan tekanan darah sistolik (Lucas, 2007).

Pembagian gagal jantung akut dalam konteks ini bertujuan untuk menghindari tumpang tindih berdasarkan tekanan darah sistolik pada saat masuk.

1. Gagal jantung akut hipertensi (tekanan darah sistolik >140mmHg), 40-50%

kasus gagal jantung akut; kondisi ini biasanya meliputi wanita dengan usia tua dengan fungsi sistolik yang baik, angka kematian di rumah sakit <5%

(Adams dkk, 2005).

2. Gagal jantung akut normotensi (tekanan darah sistolik 90-140mmHg), 40%

dari hampir semua kasus gagal jantung akut; biasanya meliputi pasien- pasien dengan perburukan gagal jantung kronik dan relatif dengan ejection fraction yang rendah. Kematian di rumah sakit berkisar 8-10% (Tavazzi dkk, 2006).

3. Gagal jantung akut hipotensif (tekanan darah sistolik < 90mmHg), meliputi 5% dari kasus gagal jantung akut termasuk syok kardiogenik, dengan angka mortalitas di rumah sakit >15% (Alla dkk, 2007).

Gagal jantung akut berdasarkan ada tidaknya riwayat gagal jantung (Felker GM, 2015).

1. Gagal jantung akut de novo, merupakan gagal jantung yang pertama kali dialami seseorang. Berkisar 20% pasien gagal jantung akut karena tipe gagal jantung ini, biasanya disebabkan oleh sindroma coroner akut.

2. Gagal jantung akut dekompensata, merupakan gagal jantung akut diakibatkan oleh perburukan klinis yang terjadi akibat penyakit jantung

(26)

sebelumnya. Biasanya gagal jantung akut tipe ini telah menggunakan beberapa obat sebelumnya, kemungkinan resistensi cukup tinggi.

2.3 Patofisiologi Gagal Jantung Akut

2.3.1 Adaptasi dan Kelebihan Beban Hemodinamik

Prinsip klasik dan pandangan awal dari gagal jantung berdasarkan kebutuhan tubuh untuk mempertahankan curah jantung yang adekuat yang dapat memenuhi kebutuhan metabolisme jaringan. Pada kondisi defisit miokard (kehilangan kontraktilitas, masalah di dalam miokardium dan gangguan katup), ada nya penurunan fraksi ejeksi dan peningkatan volume akhir diastolik dan tekanan akhir diastolik pada ventrikel kiri, mengakibatkan peningkatan kontraksi atrium untuk memanfaatkan cadangan jantung. Selain itu, mekanisme Frank-Starling dimulai dalam beberapa saat, bersama dengan aktivasi sistem simpatis, mengakibatkan peningkatan kontraktilitas, yang pada akhirnya menyebabkan perbaikan segera (Mc Murray J, 2010; Mc Murray J, Komadja M, Anker S, Gardner R, 2006). Ketika kondisi ini menetap, respon adaptif menjadi merugikan dan mengakibatkan perubahan bentuk dan fungsi ventrikel kiri, suatu fenomena yang dikenal sebagai remodelling ventrikel. Remodeling mengubah konduksi listrik dan fungsi ventrikel dan akhirnya mengakibatkan terjadinya gagal jantung (Mc Murray J, 2010).

Penjelasan hemodinamik ini sangat jelas dan berguna, namun terutama terkait dengan disfungsi ventrikel dan sangat sederhana. Miokardium dan kedua ventrikel berinteraksi dan harus dianggap satu kesatuan dimana disfungsi dan kelebihan dari satu elemen akan mempengaruhi yang lain. Struktur ventrikel kanan berbeda dengan ventrikel kiri dalam beberapa hal. Dinding ventrikel kanan lebih tipis (2-3mm) dari ventrikel kiri (8-11mm). Secara struktural, ada proporsi yang berbeda dari myosin alpha pada miofibril, dan respon terhadap rangsangan adrenergik dan aliran koroner yang berbeda. Hal ini memberikan kapasitas yang cukup besar bagi ventrikel kanan untuk menjadi “shock absorber” akibat perubahan volume dan aliran balik vena, dimana perubahan ini disebabkan oleh perubahan

(27)

tekanan darah dan postur, volume vaskular yang penuh, respirasi dan maneuver valsava (Greyson CR, 2008). Beban yang berlebih pada ventrikel kanan secara akut (tamponade, trombo emboli paru, penyakit jantung katup akut) menghalangi pengisian ventrikel kiri, yang akan akan menyebabkan penurunan curah jantung.

Hal ini menyebabkan hipoksemia dan perfusi ventrikel kanan yang jelek, meningkatkan disfungsi dan menghasilkan siklus patologis yang dapat dengan cepat mengakibatkan kematian. (Gambar 2.2) (Greyson CR, 2008).

Peran regulasi ventrikel kanan bersifat signifikan. Bahkan disfungsi ventrikel kanan telah terbukti menjadi kunci patofisiologi dan faktor prognostik, terutama pada pasien dengan gagal jantung fraksi ejeksi normal. Di samping kesulitan menilai fungsi ventrikel kanan, telah banyak data signifikan, baik dari studi populasi ataupun kohort pada pasien tertentu, yang menunjukkan nilai prognosisnya. Sebuah contoh kasus studi kontrol pada pasien gagal jantung dengan fraksi ejeksi normal, menunjukkan peningkatan tekanan, disfungsi dan perubahan dimensi ventrikel kanan berhubungan langsung dengan mortalitas (Marteles MS, Gracia JR, Lopez IG, 2015)

Gambar 2.2 Gangguan hemodinamik dari disfungsi ventrikel kanan akut (Marteles MS, Gracia JR, Lopez IG, 2015)

2.3.2 Kongesti Sistemik

Adanya tanda dan gejala seperti sesak nafas, orthopnoe, edema, distensi vena jugularis, ascites, hepatomegali dan ronkhi basah paru selama episode gagal

(28)

jantung akut merupakan tanda adanya kongesti. Kongesti menggambarkan adanya peningkatan tekanan vena sentral dan volume sirkulasi, dimana reservoir yang paling penting, yaitu sirkulasi vena splanknik (Husain Syed F dkk, 2015; Wattad M dkk, 2015; Verbrugge FH dkk, 2013).

Ada dua teori dasar yang menerangkan terjadinya kongesti pada GJA. Teori klasik menerangkan kongesti disebabkan oleh retensi natrium dan air, yang menyebabkan akumulasi cairan ekstra selluler, dan peningkatan berat badan dan volume peredaran darah yang efektif, disertai disfungsi ginjal (Ponikowski P, Jankowska EA, 2015). Teori kedua lebih menjelaskan kongesti sebagai akibat dari pemindahan tiba-tiba dari sirkulasi splanknik ke sirkulasi sistemik, oleh akrena peningkatan rangsangan simpatis akibat dekompensasi jantung. Rangsangan menetap dari sistem saraf simpatis, yang disebabkan hipoperfusi jaringan, disertai dengan penurunan atau menghilangnya respon penghambatan pada baroreflex karotis. Dalam konteks ini, peningkatan sedikit tonus simpatis pada awal dekompensasi jantung akan memindahkan darah dengan volume cukup besar dari sirkulasi splanknik menuju sirkulasi sistemik, yang mana keadaan ini menjelaskan gejala kelebihan cairan dan kongesti. Berdasarkan teori kedua, tidak ada retensi cairan dari luar ataupun penambahan berat badan sebelum kondisi dekompensasi (Marteles MS, Gracia JR, Lopez IG, 2015; Husain Syed F dkk, 2015).

Gambar 2.3. Kongesti dan disfungsi ginjal (Marteles MS, Gracia JR, Lopez IG, 2015)

(29)

2.3.3 Sistem Neurohormonal dan Natriuretic Peptides

Sebagai tambahan terhadap perubahan tekanan dan kontraktilitas, stress miokard mengaktifkan berbagai jalur neurohormonal untuk mengatasi kongesti dan hipoperfusi yang disebabkan disfungsi miokard (Mc Murray J, Pfeffer MA, 2005).

Aktivasi sistem saraf simpatis membantu meningkatkan kontraktilitas, detak jantung dan vasokonstriksi melalui pelepasan norepinephrin dan juga mendorong pelepasan renin. Bagaimanapun, konsentrasi yang tinggi dan menetap dari norepinephrine berkaitan dengan prognosis yang jelek dan meningkatkan kematian.

(Mc Murray J, Komajda M, Anker S, Gardner R, 2006). Sistem respon yang sangat penting lainnya adalah renin angiotensin aldosterone system. Sistem tersebut diaktivasi terhadap respon hipoperfusi ginjal, menyebabkan peningkatan renin dan kemudian angiotensin II, dengan vasokonstriksi arteriolar efferent, yang meningkatkan fraksi filtrasi dan mempertahankan glomerular filtration rate (GFR) minimal. Bersamaan dengan meningkatnya konsentrasi aldosterone, yang berarti retensi cairan dan natrium. Sistem tersebut, walaupun efektif pada jangka pendek, akan meningkatkan disfungsi miokard dan kematian jika berkepanjangan.

Aldosteron memiliki peranan diluar retensi cairan, dengan aksi penting pada metalloproteinase dan akhirnya fibrosis dan remodeling ventrikel. Vasopressin dan hormon anti diuretik juga dilepaskan pada GJA. Peningkatan osmolaritas yang disebabkan dari absorbsi natrium yang dihasilkan oleh aldosteron secara langsung menyebabkan pelepasan hormon anti diuretik. Hormon anti diuretik adalah peptida neurohypophyseal yang turut dalam penyerapan air, sehingga mengendalikan volume dan tekanan darah. Terakhir, natriuretic peptide memiliki peran mendasar dalam jaringan neurohormonal yang kompleks ini. Terdapat 5 sub tipe natriuretic peptide, yaitu atrial natriuretic peptide (tipe A), brain natriuretic peptide (BNP atau tipe B) dan tipe C, D dan V. Tipe natriuretic peptide yang paling dikenal adalah atrial natriuretic peptide dan BNP. Keduanya dilepaskan saat dinding atrium dan ventrikel mengalami tekanan, baik dipicu oleh kelebihan cairan dan iskemia.

(30)

2.3.4 Kerusakan Inflamasi dan Stress Oksidatif

Gangguan hemodinamik (hipoperfusi dan kongesti) dianggap sebagai akibat utama dari gagal jantung, diikuti oleh gangguan neurohormonal. Kronisitas gagal jantung dan keterlibatan organ lain secara simultan mencetuskan inflamasi, stress oksidatif dan disfungsi endotel. Keadaan ini berperan dalam patofisiologi gagal jantung.

C-reactive protein (CRP) merupakan molekul inflamasi pertama yang berhubungan dengan gagal jantung, dimana prognosis lebih burukpada pasien yang menunjukkan kadar CRP tinggi dan menetap. Molekul inflamasi lainnya seperti tumor necrosis factor α (TNF-α) dan interleukin (IL) (terutama IL-1, IL-6 dan IL- 18) mengaktivasi apoptosis dan nekrosis miosit jantung. Endotel memiliki peran utama dalam respon inflamasi; respon terhadap kongesti berupa produksi radikal bebas (stress oksidatif) dan pelepasan faktor proinflamasi dan peptide vasoaktif.

Inflamasi sistemik yang laten diikuti oleh peningkatan stress oksidatif.

Peningkatan reactive oxygen species (ROS) dan penurunan sistem eliminasi radikal bebas menyebabkan produksi stress oksidatif. Status inflamasi yang lama menurunkan bioavaibilitas vasodilator kuat nitric oxide (NO). ROS yang berlebih dan NO yang menurun mempermudah kejadian inflamasi dan fenotipe profibrotik, sehingga nekrosis miokard dan remodelling terjadi lebih cepat. Akibatnya adalah siklus yang memperberat gangguan hemodinamik dan neurohormonal, dengan efek buruk terhadap jantung dan progresi ke arah gagal jantung.

2.3.5 Remodeling Patologi

Kelainan struktur miokard pada gagal jantung telah dipahami. Remodelling jantung merupakan proses perubahan morfologi dan struktural yang disertai oleh gangguan fungsi. Hipertensi arteri menyebabkan hipertrofi ventrikel kiri, dan lesi iskemik akut yang menyebabkan nekrosis dan fibrosis posterior diikuti oleh penipisan dinding ventrikel, yang akhirnya mengakibatkan kardiomiopati dilatasi (Mc Murray J, 2010; Ponikowski P, Jankowska EA, 2015; Mc Murray J, Komadja M, Anker S, Gardner R, 2006). Tipe remodeling bergantung pada produksi matriks

(31)

ekstraseluler, molekul regulator, miosit, myofibril, protein pengatur dan genetika, sehingga menjadi target penelitian dan terapi masa depan bagi pasien gagal jantung.

Hasil studi-studi biopsi miokard menunjukkan peningkatan aktivitas metalloproteinase akan menyebabkan degradasi matriks ekstraselluler yang lebih luas, dengan remodeling ventrikel yang berujung pada dilatasi ruang jantung dan disfungsi sistolik.

2.4 Diagnosis Gagal Jantung Akut

Penanganan dini dari GJA harus terdiri dari tiga tahap: triase, diagnosa dan pengobatan awal, dan penilaian kembali. Karena GJA merupakan kondisi yang mengancam jiwa, panduan terbaru untuk penanganan GJA merekomendasikan bahwa diagnosis dan pengobatan awal harus dilakukan sesegera mungkin, yang terbaik dalam 30-60 menit pertama setelah perawatan rumah sakit.

2.4.1 Evaluasi Klinis

Evaluasi klinis awal dari pasien sesak nafas harus menilai tingkat keparahan GJA, mengkonfirmasi diagnosis GJA dan mengidentifikasi faktor pencetus GJA.

Karena kongesti merupakan gambaran khusus GJA, riwayat dan pemeriksaan fisik pasien harus terutama fokus terhadap adanya kongesti yang akan mendukung diagnosis GJA. Kongesti sisi kiri dapat menyebabkan sesak nafas, orthopnoea, paroxysmal nocturnal dyspnoea, batuk, tachypnoea, auskultasi paru yang patologis ( rokhi basah, ronkhi kering, wheezing) dan hipoksia (Gheorghiade M dkk, 2010).

Tidak adanya ronkhi basah dan foto thoraks yang normal tidak mengeksklusikan adanya kongesti sisi kiri. Sesungguhnya, 40-50% pasien dengan peningkatan tekanan di arteri paru dapat memiliki gambaran radiologi dada yang normal (Chakko dkk, 1991). Kongesti sisi kanan dapat meningkatkan berat badan, edema perifer kedua sisi, penurunan produksi urin, nyeri perut, mual dan muntah, distensi vena jugularis atau dijumpai hepato jugular reflux, ascites, hepatomegali, ikterus (Gheorghiade M dkk, 2010).

Gejala dan tanda hipoperfusi mengindikasikan keparahan dan dapat dijumpai hipotensi, tachycardia, denyut nadi yang lemah, cemas, lelah, ekstremitas

(32)

berkeringat dingin, penurunan produksi urin dan angina akibat iskemia miokard.

Adanya isi sekuncup yang tidak tepat dan tanda klinis dan biologis dari hipoperfusi pada GJA diartikan sebagai syok kardiogenik, bentuk disfungsi jantung yang paling berat (Nohria A dkk, 2003). Syok kardiogenik paling sering berkaitan dengan infark miokard akut dan kejadian kurang dari 10% kasus GJA tetapi berkaitan dengan 40- 50% kematian selama perawatan (Rudiger A dkk, 2005; Nieminen MS dkk, 2006).

Namun, mengingat sensitivitas dan spesifisitas gejala dan tanda GJA yang terbatas, evaluasi klinis harus digabungkan dengan tes tambahan. Berdasarkan adanya gejala dan tanda dari kongesti organ (basah vs kering) dan / atau hipoperfusi perifer (dingin vs. Hangat), pasien dapat dikelompokkan didalam empat kelompok (Nohria A dkk, 2003; Nohria A, Lewis E, Stevenson LW, 2002). Sekitar dua per tiga pasien GJA dikelompokkan basah dan hangat (kongesti tetapi perfusi baik), satu per empat basah dan dingin (kongesti dan hipoperfusi), dan hanya sedikit kering dan dingin (tidak kongesti dan hipoperfusi). Kelompok keempat dengan keadaan kering dan hangat menggambarkan kompensasi (dekongesti dan perfusi baik). Pengelompokan ini dapat membantu panduan terapi awal dan memberikan informasi prognostik (Drazner MH dkk, 2008).

2.4.2 Pemeriksaan Tambahan

Pemeriksaan laboratorium tambahan berguna untuk menilai pasien GJA.

Natriuretic paptides, termasuk B-type NP(BNP), amino terminal pro-B-type NP (NT-proBNP) dan pro-atrial NPs (MR-proANP) memperlihatkan akurasi yang tinggi dan angka prediksi negatif yang baik untuk membedakan sesak nafas akut akibat dari GJA atau bukan jantung (Peacock WF dkk, 2008). Rendahnya NPs di sirkulasi (BNP < 100 pg/ml, NT-pro BNP < 300 pg/ml, MR-proANP < 120 pmol/L) membuat diagnosa GJA tersingkirkan. Penelitian meta-analisis terbaru mengindikasikan bahwa BNP dan NT-proBNP memiliki sensitivitas 0.95 dan 0.99 dan angka prediksi negatif 0.94 dan 0.98 untuk diagnosa GJA. MR-proANP memiliki sensitivitas mulai 0.95 sampai 0.97 dan angka prediksi negatif mulai dari 0.90 sampai 0.97 (Peacock WF dkk, 2008).

(33)

2.5 Prediktor Mortalitas Gagal Jantung Akut

Mortalitas gagal jantung akut cukup tinggi, baik pada jangka pendek di rumah sakit ataupun jangka panjang setelah 6 sampai 12 bulan. Beberapa penelitian dan studi besar telah banyak mengungkapkan beberapa prediktor kematian pada pasien gagal jantung akut (Kruger W, 2009). Salah satu studi yang terbesar Acute Heart Failure Database (AHEAD) registry. Pada studi ini diperlihatkan beberapa prediktor yang potensial secara statistik berhubungan dengan kejadian kematian kardiovaskular di rumah sakit (Spinar J dkk, 2011; Breidthardt T dkk, 2011).

The Japanese Cardiac Registry of Heart Failure in Cardiology (JCARECARD), sebuah registry dari Jepang menyatakan insiden dan prediktor- prediktor kematian dan rehospitalisasi pada pasien gagal jantung akut. Banyak prediktor gagal jantung akut antara lain, umur yang lebih tua, denyut jantung, diabetes mellitus dan beberapa prediktor lain menyebabkan kematian di rumah sakit (Kaneko H, 2015; Jumean MF, 2014). Penelitian yang dilakukan oleh Sanchez L dkk, 2006, anemia (Hb<13g/dL) berkaitan dengan kelangsungan hidup jangka pendek yang lebih buruk pada pasien dengan gagal jantung akut.

2.6 Definisi Anemia

Anemia merupakan suatu kondisi dimana sel darah merah tidak mencukupi untuk memenuhi kebutuhan fisiologis tubuh. Kebutuhan fisiologis spesifik berbeda sesuai dengan usia, jenis kelamin, ketinggian tempat tinggal di atas permukaan laut (ketinggian), perilaku merokok dan berbagai tahap kehamilan. Kekurangan zat besi diperkirakan menjadi penyebab paling umum anemia secara global, tapi kekurangan nutrisi lainnya (termasuk asam folat, vitamin B12 dan vitamin A), inflamasi akut dan kronik, infeksi parasit, dan kelainan bawaan atau didapat yang mempengaruhi sintesis hemoglobin (Hb), produksi sel darah merah atau kelangsungan hidup sel darah merah, semuanya bisa menyebabkan anemia.

(34)

Tabel 2.1. Kadar hemoglobin untuk diagnosa anemia (WHO, 2011)

2.7 Patofisiologi Anemia pada Gagal Jantung 2.7.1 Kelainan Hematinik

Kadar serum vitamin B12 dan asam folat rendah pada sekelompok kecil pasien anemia dengan gagal jantung (Witte KK dkk, 2004; Crpmie N, Lee C, Struthers AD, 2002). Fungsi gastrointestinal sering terganggu pada pasien gagal jantung (Sandek A dkk, 2007) dan hal ini dapat mengakibatkan kelainan penyerapan mengakibatkan defisiensi zat besi dan nutrisi lainnya (Anker SD dkk, 1997). Terlebih lagi, perdarahan gastro intestinal yang diinduksi aspirin dapat juga mengakibatkan defisiensi zat besi. Penelitian yang rinci tentang hemostasis zat besi pada pasien anemia dengan gagal jantung tidak tersedia. Pada satu penelitian pasien anemia dengan gagal jantung, 43% memiliki serum zat besi yang rendah (<8 µmol/L) atau ferritin (<30 µmol/L), tetapi anemia mikrositik terlihat 6% dari subyek (de Silva R dkk, 2006). Sebaliknya, Nanas dkk menemukan habisnya zat besi yang tersimpan di dalam sumsum tulang dari 73% subyek meskipun serum zat besi, ferritin dan eritropoietin normal (Nanas JN dkk, 2006).

2.7.2 Penyakit Ginjal Kronik dan Gangguan Produksi Eritropoietin

Eritropoietin merupakan hormon glikoprotein yang mengatur proliferasi sel erithroid di dalam sumsum tulang sebagai respon terhadap hipoksia jaringan.

Eritropoietin diproduksi terutama di ginjal oleh peritubular fibroblast khusus yang terletak di dalam korteks dan medulla luar (Eckardt KU dkk, 1993). Rangsangan

(35)

utama untuk produksi eritropoietin adalah menurunnya tekanan oksigen (PO2) pada tingkat peritubular fibroblast yang terletak di dalam korteks dan medulla luar dimana sensing oksigen dianggap terjadi. Rendahnya PO2 mengaktivasi hypoxia- inducible factor-1 (HIF-1), yang kemudian menginduksi transkripsi gen eritropoietin (Mole DR, Ratcliffe PJ, 2008). Ginjal rentan terhadap hipoksia terlepas dari fakta bahwa ginjal menerima hampir 25% curah jantung dan menggunakan kurang dari 10% oksigen yang diberikan, disebabkan tekanan oksigen sangat tidak homogen di seluruh parenkim ginjal.

Untuk mempertahankan gradien osmotik yang dihasilkan oleh loop of henle, pembuluh darah arteri dan vena yang memasoknya berjalan berlawanan arah dan dalam kontak dekat. Hal ini menyebabkan adanya shunt difusi oksigen antara sirkulasi arteri dan vena, menyababkan gradien oksigen di seluruh parenkim ginjal (Bauer C, Kurtz A, 1989). Akibatnya, tekanan oksigen berkurang dengan bertambahnya jarak dari permukaan ginjal, mencapai sekitar 10 mmHg di ujung piramida kortikal dimana sel penginderaan oksigen dan sel penghasil eritropoietin berada. Hal tersebut membuat area ini sensitif terhadap perubahan kecil pada tekanan oksigen akibat ketidakseimbangan antara pengiriman dan pemanfaatan oksigen. Pengiriman oksigen ke area tersebut ditentukan oleh aliran darah ginjal, hematokrit, dan P50 dari kurva haemoglobin oxygen dissociation.

Sebaliknya konsumsi oksigen ditentukan oleh reabsorbsi natrium di proximal tubular, yang sangat bergantung pada glomerular filtration rate (GFR).

Meskipun ada bukti yang banyak untuk produksi eritropoietin yang tidak mencukupi pada PGK, mekanismenya masih belum jelas. Fibrosis tubulointerstitial, kehilangan tubular, dan kehilangan pembuluh darah mungkin merupakan faktor yang paling penting yang berkontribusi terhadap penurunan sel penghasil eritropoietin (Nangaku M, 2006). Pada gagal ginjal, aliran darah ginjal menurun dan hampir 50% pasien gagal jantung mengalami disfungsi ginjal (Anand IS, 2005). Temuan ini mengarahkan bahwa penurunan produksi eritropoietin ginjal adalah penyebab anemia pada HF. Dua studi kecil menemukan bahwa aliran darah ginjal merupakan faktor penentu independen sekresi eritropoietin (Pham I dkk,

(36)

2001), tetapi studi yang terbaru tidak dapat membenarkan hal tersebut pada kelompok paisen gagal ginjal yang lebih besar (Westenbrink BD dkk, 2007).

Belonje dkk baru ini melaporkan bahwa kadar eritropoietin pada 605 pasien gagal jantung yang diacak dalam studi koordinatif yang mengevaluasi hasil konsultasi dan konseling dalam penelitian gagal jantung. Mereka menemukan bahwa kadar eritropoietin lebih rendah dari yang diharapkan pada mayoritas pasien (79%), dimana 12% pasien memiliki kadar sesuai harapan dan 9% memiliki kadar lebih tinggi dari yang diharapkan. Hubungan antara aliran darah ginjal dan produksi eritropoietin lebih kompleks karena banyak factor yang mempengaruhi produksi eritropoietin pada gagal ginjal. Tingginya kadar angiotensin II terlihat pada gagal jantung dimana suplai oksigen menurun disebakan penurunan aliran darah ginjal.

Pda saat bersamaan, Ang II menyebabkan penurunan GFR menyebabkan peningkatan kebutuhan oksigen. Hal tersebut merangsang produksi eritropoietin dengan menurunkan pengiriman oksigen pada sel penghasil eritropoietin. Beberapa faktor menerangkan bahwa respon eritropoietin tumpul dan terjadi anemia pada gagal jantung.

Mungkin faktor yang paling penting adalah peranan inflamasi. Tumor necrosis factor-α (TNF-α), IL-6 dan beberapa sitokin proinflamasi lainnya (Opasich C, 2005); neutrophil sirkulsi, dan CRP meningkat pada pasien gagal jantung (Anand IS, Latini R, Florea VG dkk, 2005) dan berbanding terbalik terhadap Hb. IL-6 dan TNF-α menghambat produksi eritropoietin pada ginjal dengan mengaktivasi GATA-2 dan NF-kB. Oleh karena itu, kadar eritropoietin lebih rendah dari yang diperkirakan. Lagi pula, sitokin juga secara langsung menghambat differensiasi dan proliferasi dari sel progenitor eritroid di dalam sumsum tulang. Selain itu, IL-6 merangsang produksi protein fase akut hepcidin di hati yang menghambat absosbsi zat besi oleh usus. Selanjutnya, IL-6 menekan pelepasan feroportin, mencegah pelepasan zat besi dari tubuh. Dan juga, sitokin proinflamsi berkontribusi terhadap terjadinya anemia dengan beberapa mekanisme. Bagaimanapun, peningkatan kadar TNF-α dan IL-6 pada pasien anemia pada Vesnarinone Heart Failure trial menjelaskan hanya 5% variabilitas kadar haemoglobin pada pasien tersebut (Anand IS, Rector T, Deswal dkk, 2006).

(37)

2.7.3 Anemia dan Sistem Renin Angiotensin

Sistem renin angiotensin tampaknya terlibat erat dalam pengendalian eritropoiesis. Seperti disebutkan sebelumnya, angiotensin II menurunkan PO2

dengan mengurangi aliran darah ke ginjal dan meningkatkan kebutuhan oksigen, dan dengan demikian merangsang produksi eritropoietin. Angiotensin II juga secara langsung merangsang sel progenitor eritroid di dalam sumsum tulang. Penghambat angiotensin converting enzyme (ACE) dan angiotensin receptor blockers (ARB) menyebabkan penurunan Hb dengan menurunkan erythropoietin, dan dengan mencegah kerusakan pada penghambat hematopoiesis N-acetyl-seryl-aspartyl- lysyl-proline (AcSDKP) (van der Meer P, 2005).

2.7.4 Hemodilusi

Anemia dapat disebabkan oleh hemodilusi yang sering terlihat pada pasien gagal jantung. Androne dkk menemukan bahwa hampir setengah pasien dengan klinis euvolum dirujuk untuk transplantasi jantung memiliki pseudoanemia yang disebabkan hemodilusi. Bagaimanapun, yang lainnya telah menemukan bahwa pasien dengan klinis euvolum memiliki volume plasma normal. Pada kasus apapun, hal ini masih menjadi pertanyaan apakah pseudoanemia dapat diobati.

2.7.5 Anemia pada Penyakit Kronik

Meskipun beragam mekanisme dapat mengakibatkan anemia pada pasien gagal jantung, penyebab anemia yang dapat diobati sering tidak diidentifikasi pada mayoritas pasien. Dalam penelitian besar subyek dengan anemia dan gagal jantung, 58% subyek dilaporkan memiliki anemia akibat penyakit kronik, meskipun bukti yang mendukung adanya anemia pada penyakit kronik tidak tersedia dalam penelitian tersebut (Ezekowitz JA, McAlister FA, Armstrong PW, 2003). Opasich dkk memberikan bukti yang meyakinkan adanya anemia dari penyakit kronik pada gagal jantung. Penulis mempelajari 148 subyek dengan karakteristik gagal jantung stabil dan anemia. Penyebab khusus anemia termasuk di dalamnya penyakit ginjal kronik, defisiensi zat besi, asam folat, vitamin B12, dan β thalassemia dapat diidentifikasi hanya pada 43% kasus. Defisiensi zat besi dapat dilihat hanya pada 5% subyek. Sebagian besar subyek yang tersisa (57%), mereka menemukan

(38)

aktivasi sitokin proinflamasi, produksi eritropoietin tidak adekuat, atau pemanfaatan zat besi yang kurang baik meskipun zat besi yang tersedia mencukupi, memberi kesan anemia penyakit kronis (Weiss G, Goodnough LT, 2005). Oleh karena itu, anemia penyakit kronis tampaknya menjadi penyebab anemia yang paling sering pada gagal jantung dan pendekatan rasional untuk koreksi anemia pada gagal jantung melibatkan penggunaan agen perangsang eritropoiesis.

Gambar 2.4 Mekanisme terjadinya anemia pada gagal jantung (Anand IS, 2008)

2.8 Mekanisme Kompensasi dan Patofisiologi Akibat Anemia

Penurunan oksigenasi jaringan disebabkan anemia kronis mengakibatkan respon kompensasi hemodinamik dan non hemodinamik. Respon non hemodinamik terhadap hipoksia termasuk peningkatan eritropoiesis untuk meningkatkan kapasitas pembawa oksigen, seperti perubahan pada kurva Hgb- oxygen dissociation, dimana penurunan ikatan hemoglobin untuk pengiriman

(39)

oksigen yang lebih besar ke jaringan perifer. Respon hemodinamik lebih kompleks dan melibatkan vasodilatasi, keadaan high-output dengan aktivasi neurohormonal (Anand IS, Chandrashekkhar Y dkk, 1993). Keadaan high-output awalnya membantu meningkatkan transportasi oksigen. Bagaimanapun, perubahan hemodinamik dan neurohormonal dapat mengakibatkan perburukan jangka panjang dan turut serta dalam peranan anemia sebagai faktor risiko independen untuk hasil luaran yang jelek (Anand IS, Kuskowski MA, Rector TS dkk, 2005; Anand IS, McMurray J, Whitmore J dkk, 2004; O’Meara E, Clayton T dkk, 2006).

2.9 Mekanisme Non Hemodinamik untuk Mempertahankan Penghantaran Oksigen pada Anemia

Kurva Hgb-oxygen dissociation

Perubahan afinitas dari Hb terhadap oksigen merupakan proses yang cepat dan reversibel mengikuti ikatan oksigen dan pelepasan oksigen di perifer. Hgb- oxygen dissociation dipengaruhi oleh beberapa faktor. pH yang rendah dan tingginya konsentrasi 2,3-diphosphoglycerate (2,3-DPG) menggeser kurva Hgb- oxygen dissociation ke kanan, dimana terjadi peningkatan P50, penurunan afinitas Hgb terhadap oksigen, dan memperbaiki penghantaran oksigen ke jaringan. Pada anemia kronis, konsentrasi sel darah merah pada 2,3-DPG meningkat dan kurva Hgb-oxygen dissociation bergeser ke kanan (Metivier F, Marchais SJ, Guerin AP, 2000). Kurva yang bergeser ke kanan merupakan mekanisme pemakaian energi yang paling sedikit untuk meningkatkan penghantaran oksigen ke jaringan tanpa peningkatan curah jantung yang bermakna. 2,3-DPG merupakan metabolit dari glikolisis RBC dan merupakan phospat organic yang paling penting untuk mengatur afinitas oksigen terhadap eritrosit (Brewer GJ, 1974).

(40)

Gambar 2.5 Kurva haemoglobin-oxygen dissociation

2.10 Mekanisme Hemodinamik untuk Mempertahankan Penghantaran Oksigen pada Anemia

Respon hemodinamik awal terhadap anemia adalah penurunan resistensi vaskular sistemik, dimana sebagian disebabkan penurunan viskositas darah dan sebagian lagi, disebabkan peningkatan vasodilatasi diperantarai nitric oxide.

Penurunan resistensi vaskular sistemik menurunkan tekanan darah dan mengakibatkan aktivasi neurohormonal diperantarai oleh baroreseptor, khususnya terdapat pada pasien dengan gagal jantung low output (Anand IS, Ferrari R, Kalra GS dkk, 1991). Peningkatan aktivitas simpatis dan renin-angiotensin-aldosterone mengakibatkan vasokonstriksi perifer dan penurunan aliran darah ginjal dan GFR, menyebabkan retensi garam dan air oleh ginjal menyebabkan peningkatan ekstra seluler dan volume plasma dan menimbulkan sindroma klinis gagal jantung.

Kombinasi efek dari perluasan volume dan vasodilatasi mengakibatkan peningkatan curah jantung yang bermakna (Anand IS, Chandrashekkhar Y, Ferrari R dkk, 1993).

(41)

Gambar 2.6 Hal yang dapat terjadi pada patogenesis anemia dan gagal jantung (Anand IS, 2008)

2.11 Anemia Berkaitan dengan Hasil Luaran yang Jelek pada Gagal Jantung Akut

Anemia telah memperlihatkan keterkaitan independen dengan peningkatan risiko kematian pada penderita gagal jantung akut dan kronis pada dua kelompok dengan fungsi ventrikel kiri terganggu maupun baik (O’Meara E dkk, 2006; Go AS dkk, 2006). Anemia meningkatkan risiko kematian 20-50% pada penelitian- penelitian tersebut. Mekanisme yang menghubungkan anemia dengan peningkatan kesakitan dan kematian belum begitu jelas tetapi merupakan hal yang kompleks dan dan multi faktor. Peningkatan beban kerja miokard sebagai kompensasi terhadap penurunan hantaran oksigen ke jaringan dan kelebihan volume dapat mengakibatkan remodeling ventrikel kiri dengan hipertropi dan dilatasi ventrikel kiri yang turut serta terhadap hasil luaran selanjutnya (Lauer MS, Evans JC, Levy D, 1992).

Walaupun hipertropi ventrikel kiri sering dijumpai pada penderita gagal ginjal kronis dengan anemia, hal tersebut belum jelas apakah berkaitan dengan anemia atau hipertensi (Levin A, 2002). Pengobatan anemia dengan agen perangsang eritropoeisis, bagaimanapun, tidak memperlihatkan penurunan hipertropi ventrikel kiri pada beberapa percobaan klinis, hal ini mungkin berkaitan dengan terjadinya fibrosis miokard irreversible (Mall G dkk, 1990). Tidak ada data

(42)

klinis menghubungkan hipertropi ventrikel kiri dan anemia pada gagal jantung, dan tidak diketahui apakah koreksi anemia dapat melawan hipertropi ventrikel kiri.

Bagaimanapun, pada satu anak penelitian tentang pasien gagal jantung yang diikutkan dalam percobaan RENIASSIANCE, peningkatan Hb 1 g/dl dalam 24 minggu berkaitan dengan penurunan massa ventrikel kiri 4,1 g/m2. Seperti yang diterangkan sebelumnya, pasien dengan kadar Hb yang lebih rendah (Anand IS dkk, 2004).

Penyakit ginjal kronis (PGK) merupakan komorbid yang sering dijumpai pada gagal jantung, dan penderita anemia lebih sering memiliki PGK (Anand IS, 2005; McCullough PA, Lepor NE, 2005). Sejumlah penelitian telah memperlihatkan bahwa anemia dan gangguan ginjal merupakan prediktor independen dari hasil luaran pada model multivariate (O’Meara dkk, 2006; Anand IS dkk, 2005). Risiko relatif kematian pada 2 tahun meningkat 1,6 kali pada penderita anemia dengan gagal jantung yang juga memiliki PGK pada data dasar Medicare yang besar (Collins AJ, 2003). Sebagai tambahan, anemia sering merupakan suatu marker status nutrisi yang jelek dan berkaitan dengan albumin yang rendah (O’Meara E dkk, 2006; Anand IS, 2005) dan cachexia (Anker SD, Coats AJ; 1999), dimana keduanya berkaitan dengan hasil luaran yang lebih jelek.

Akhirnya, penderita anemia lebih sering memiliki profil neurohormonal dan sitokin proinflamasi yang lebih jelek yang juga turut serta terhadap hasil luaran yang buruk (Anand IS, Rector T, Deswal A dkk, 2006; Rauchhaus M dkk, 2000). Oleh karenanya, anemia dapat berkaitan dengan prognosis yang lebih jelek melalui mekanisme yang beragam dan tumpang tindih.

Gambar 2.7 Ketahanan hidup selama follow up. Kurva Kaplan-Meier untuk pasien dengan gagal jantung akut berdasarkan ada atau tidaknya anemia.

(43)

Gambar 2.8 Ketahanan hidup selama follow up. Kurva Kaplan-Meier unuk pasien tanpa anemia atau anemia ringan (Hb ≥ 12 pada laki-laki dan ≥11 g/dl pada wanita) versus pasien dengan anemia sedang sampai berat (Hb < 12 pada laki-laki dan <11 g/dl pada wanita.

(44)

2.12 Kerangka Teori

Gagal Jantung Akut

Gambar 2.9 Diagram Kerangka Teori KKVM meningkat di rumah sakit

Kegagalan ventrikel  aliran arteri

Aktivasi RAS Renal oxygen

uptake

Aktivasi sitokin inflamasi (IL- 6, TNF-α)

Produksi EPO

Avaibilitas zat besi Resisten

terhadap EPO

Retensi natrium dan air Volume

ekstraselular Plasma volume Beban kerja

Massa ventrikel kiri Remodelling ventrikel kiri

Disfungsi ventrikel kiri

Perburukan gagal jantung

Supresi eritropoiesis sumsum tulang

Produksi sel darah merah

Anemia Volume plasma

Vasodilatasi perifer Tekanan darah

Neurohormones

 Cathecolamin

 RAA

 Natriuretic peptide

 AVP

Aliran darah ke ginjal Hipoksia

peritubular

(45)

2.13 Kerangka konsep

Gambar 2.10 Diagram Kerangka Konsep

Pasien gagal jantung akut

KKVM + Anemia +

KKVM - Anemia -

KKVM-

KKVM +

Syok kecuali syok kardiogenik

Malignansi Data RM tidak

lengkap

(46)

BAB III

METODOLOGI PENELITIAN

3.1 Desain Penelitian

Penelitian ini merupakan studi retrospektif yang menguji anemia dalam memprediksi kematian kardiovaskular di rumah sakit pada pasien-pasien gagal jantung akut.

3.2 Tempat dan Waktu

Penelitian dilakukan dengan mengambil data pasien-pasien gagal jantung akut dari Rekam Medik RSHAM Medan mulai dari Agustus 2015 sampai Desember 2016.

3.3 Populasi dan Sampel

Populasi target adalah pasien-pasien dengan diagnosis gagal jantung akut yang menajalani perawatan di rumah sakit. Populasi terjangkau adalah pasien- pasien dengan diagnosis gagal jantung akut yang menjalani perawatan di RSHAM.

Sampel adalah populasi terjangkau yang memenuhi kriteria inklusi dan ekslusi.

3.4 Besar Sampel

Perkiraan besar sampel dihitung menggunakan rumus besar sampel uji analitik komparatif tidak berpasangan, yaitu:

√2𝑝𝑞 + Zβ √𝑝1𝑞1 + p2q2 p1 – p2

n1 = n2 =

2

(47)

Dimana: n 1= jumlah subjek dengan anemia n 2= jumlah subjek tanpa anemia

Zα: Deviat baku alfa untuk α = 0,05  α = 1,96 Zβ: Deviat baku β untuk β = 0,20  β = 0,84 p1: proporsi kematian pada kelompok 1 (0,8) p2: proporsi kematian pada kelompok 2 (0,5) P: (p1=p2)/2 = 0,65

Q: 1-p = 0,35 q1: 1 – p1 q2: 1 – p2

dengan menggunakan rumus tersebut di atas, maka didapat jumlah sampel minimal untuk penelitian ini adalah 30 sampel pada masing-masing kelompok.

3.5 Kriteria Inklusi dan Eksklusi 3.5.1 Kriteria Inklusi

1. Pasien dengan diagnosa gagal jantung akut berdasarkan ESC guidelines acute heart failure 2005 yang dirawat di RSUP H. Adam Malik Medan.

3.5.2 Kriteria Ekslusi

1. Penderita gagal jantung akut dengan komorbid syok kecuali syok kardiogenik

2. Penderita gagal jantung akut diketahui dengan malignansi stadium lanjut.

3. Penderita gagal ginjal kronis dengan hemodialisa reguler 4. Data rekam medis pasien gagal jantung yang tidak lengkap.

3.6 Definisi Operasional

1. Gagal jantung akut adalah kumpulan tanda dan gejala yang onset cepat sebagai akibat gangguan fungsi jantung. Ini dapat terjadi dengan atau tanpa penyakit jantung sebelumnya. Gangguan jantung dapat berupa disfungsi sistolik dan diastolik, abnormalitas irama atau ketidakseimbangan antara

Gambar

Gambar 2.1 Stratifikasi pasien yang masuk berdasarkan presentasi klinis  awal (Ponikowski P dkk, 2016)
Gambar  2.2  Gangguan  hemodinamik  dari  disfungsi  ventrikel  kanan  akut  (Marteles MS, Gracia JR, Lopez IG, 2015)
Gambar 2.3. Kongesti dan disfungsi ginjal (Marteles MS, Gracia JR, Lopez IG,  2015)
Tabel 2.1. Kadar hemoglobin untuk diagnosa anemia (WHO, 2011)
+7

Referensi

Dokumen terkait

Hasil dari riset ini juga selaras dengan teori yang mendasari penelitian yaitu teori atribusi dimana teori ini menjelaskan mengenai hubungan antara sebab dan

Serta basis lemak (vaselin kuning) mempunyai daya hambat antijamur Candida albicansyang lebih besar dibandingkan dengan basis larut air (PEG 4000), hal ini

Dengan adanya komitmen organisasi tersebut diharapkan karyawan akan secara langsung bertanggung jawab pada pekerjaannya dan menaati seluruh peraturan yang ditetapkan oleh

$dakah kita merasakan hati $llah akan mereka' Dengan pedoman teladan $llah, kita dapat menjadikan natal ini sebagai momen untuk  membagikan kasih $llah kepada

Adapun manfa’at dari penelitian ini adalah adanya implementasi dukungan sosial yang diperoleh santri dalam lingkungan pesantren diharapkan mampu menunjang peningkatan self

Teori belajar sosiokultur memiliki prinsip-prinsip yaitu pengetahuan dibangun oleh siswa secara aktif, tekanan proses belajar mengajar terletak pada siswa, mengajar

Memperbaiki pengelolaan pelaksanaan pembangunan yang dapat menjaga keseimbangan antara pemanfaatan, keberlanjutan, keberadaan, dan kegunaan sumber daya alam dan

Manajemen pengendalian penyakit lingkungan berbasis wilayah merupakan upaya tatalaksana pengendalian penyakit dengan cara mengendalikan berbagai faktor risiko penyakit