• Tidak ada hasil yang ditemukan

KAJIAN PUSTAKA

2.2 Nyeri Neuropati Diabetik

2.2.1 Patofisiologi Nyeri Neuropati Diabetik

Penyebab nyeri pada ND masih belum sepenuhnya dimengerti (Aslam dkk., 2014). Para ahli sudah berusaha mengidentifikasi kemungkinan abnormalitas struktural dan fungsional ataupun mekanisme terkait diabetes yang dapat membuat pasien cenderung mengalami NND (Haanpää dan Hietaharju, 2015). Mekanisme nyeri pada ND sangat kompleks. Walaupun terdapat kemajuan besar dalam memahami mekanisme patofisiologi timbulnya komplikasi diabetes, tetapi sampai saat ini belum terdapat hipotesis yang dapat menjelaskan kenapa ada penderita yang mengalami NND dan ada yang tidak (Schreiber dkk., 2015). Meski gangguan fungsi serabut saraf kecil dianggap sebagai prasyarat bagi terbentuknya NND, bukti ilmiah yang tersedia tidak mendukung adanya hubungan antara nyeri dan neuropati murni pada serabut kecil (Spallone dan Greco, 2013).

Kelainan pada sistem saraf pusat ataupun tepi dapat berhubungan dengan hiperglikemia, yang merupakan kunci abnormalitas metabolik dari diabetes (Aslam dkk., 2014). Beberapa teori diusulkan untuk menjelaskan nyeri terkait ND, seperti perubahan pembuluh darah yang menyuplai saraf perifer, gangguan metabolik dan autoimun disertai aktivasi sel glia, perubahan ekspresi saluran natrium dan kalsium, tingkat sitokin proinflamasi dan tumor necrosis factor-α (TNF-α), serta teori yang lebih baru yaitu mekanisme nyeri sentral, seperti peningkatan vaskularisasi talamus dan ketidakseimbangan jalur inhibisi desenden

10

(Purwata, 2011; Calvo dkk., 2012; Tesfaye dkk., 2013). Meskipun demikian, bukti-bukti yang sudah ada belum mampu memberikan kesimpulan pasti tentang mengenai inflamasi pada NND (Spallone dan Greco, 2013).

Hiperglikemia diperkirakan memiliki efek hiperalgesik langsung yang independen terhadap kerusakan struktural saraf (Haanpää dan Hietaharju, 2015), namun bukan berarti faktor selain hiperglikemia tidak berperan dalam patofisiologi NND (Schreiber dkk., 2015).

2.2.1.1 Impuls listrik ektopik

Diabetes akan menyebabkan disfungsi atau lesi pada serabut saraf tepi dan menyebabkan terjadinya remodeling dan hipereksitabilitas membran (Purwata, 2011). Sprouting adalah pertumbuhan cabang akson yang baru, berasal dari akson induk yang masih berhubungan dengan badan sel dan merupakan hubungan antara serabut saraf yang rusak dengan yang normal, serta merupakan tanda kerusakan akson (Mutiawati, 2015). Kerusakan saraf akibat hiperglikemia kronis dapat menyebabkan sprouting yang tidak terhubung dengan organ target, dan akhirnya membentuk benjolan pada ujung tunas yang disebut neuroma. Tumbuhnya saraf baru ke segala arah menyebabkan kerusakan kolateral pada saraf yang sehat dan memperluas wilayah yang tersensitisasi (Aslam dkk., 2014). Pada neuroma akan terjadi akumulasi saluran natrium yang menyebabkan peningkatan eksitabilitas ataupun hipersensitivitas, serta berperan sebagai generator ektopik yang menghasilkan impuls ektopik dan akhirnya mempengaruhi saraf aferen sekitarnya serta badan sel ganglion radiks dorsalis (GRD) (Meliala, 2008; Aslam dkk., 2014). Hal ini menyebabkan respon hipereksitasi abnormal, spontan, dan

11

berlebihan, bersamaan dengan adanya peningkatan sensitivitas terhadap stimulus yang diberikan, dikenal sebagai sensitisasi perifer. Impuls listrik dari akson berserabut kecil pada kornu dorsalis medulla spinalis akan meningkat, mengubah "gerbang" serta menyebabkan pelepasan substansi P dan glutamat, mengakibatkan penghantaran impuls ke traktus asenden, yang dipersepsi sebagai nyeri (Aslam dkk., 2014).

Gambar 2.2 Impuls Ektopik oleh Neuroma (Stahl, 2008) 2.2.1.2 Perubahan mikrovaskular

Perubahan mikrovaskular pada NND sering dikaitkan dengan kerusakan mikrovaskular. Pada studi klinis dan praklinis, didapatkan penurunan perfusi perifer, tidak hanya di jaringan saraf, namun juga di kulit, sehingga menjadi bukti

12

fisiologis penting dari perubahan mikrovaskular (Doupis dkk., 2009). Penebalan dinding dan hialinisasi dari lamina basalis pembuluh darah serta penyempitan lumen yang menyuplai saraf perifer yang terjadi bersamaan mengakibatkan iskemia pada saraf (Pavy-Le Traon dkk., 2010). Perubahan ini disebabkan oleh keluarnya protein plasma dari membran kapiler menuju endoneurium yang menyebabkan pembengkakan, ditambah tekanan interstisial dalam saraf, tekanan kapiler yang lebih tinggi, deposisi fibrin dan pembentukan trombus (Schreiber dkk., 2015).

Hiperglikemia dapat menimbulkan hipoksia saraf, terutama saraf sensorik, dan mengubah stabilitas listrik. Iskemia saraf dapat menyebabkan hilangnya saraf secara progresif pada segmen proksimal dan distal, sehingga kepadatan serabut saraf intraepidermal berkurang, mengakibatkan degenerasi dan regenerasi aksonal (Jelicic dkk., 2014; Schreiber dkk., 2015). Modifikasi struktural lain yang berhubungan dengan hiperglikemia adalah perubahan selubung mielin. Demielinisasi yang terjadi dikaitkan dengan perubahan kapasitas sel Schwann untuk mendukung selubung mielin yang normal.

Hal penting lain adalah terjadi perubahan fungsi endotel pada pasien NND. Seperti halnya ND, pada patofisiologi NND juga terlibat mekanisme yang serupa yaitu dengan berkurangnya vasodilatasi yang diinduksi asetilkolin serta terganggunya vasokonstriksi yang dimediasi oleh sistem saraf simpatis (Quattrini, 2007).

13

Berdasarkan penjelasan di atas, maka dapat disimpulkan bahwa salah satu kemungkinan penyebab perubahan mikrovaskular adalah suatu stres oksidatif, oleh karena pengobatan dengan agen antioksidan dapat mempertahankan perfusi normal, dan memulihkan transmisi sensorik dalam model diabetes tipe 1 (Inkster dkk., 2007).

2.2.1.3 Aktivasi mikroglia

Sel glia diketahui memiliki peran penting dalam patogenesis dari banyak penyakit sistem saraf, termasuk pada kondisi nyeri kronik. Sel glia meliputi makroglia (seperti astrosit, sel radial, dan oligodendrosit) serta sel mikroglia, yang bertanggung jawab untuk mempertahankan homeostasis, membentuk mielin, menyokong serta memberi perlindungan terhadap neuron pada sistem saraf pusat ataupun tepi (Mika dkk., 2013). Selama 10 tahun terakhir, para peneliti telah mengakui bahwa hubungan antara mikroglia, serta neuron berperan penting dalam berkembangnya nyeri neuropatik (Calvo dkk., 2012).

Normalnya, sel mikroglia menyusun kurang dari 20% sel glia medulla spinalis, namun saat terjadi cedera pada saraf di tingkat GRD dan medulla spinalis, maka sel mikroglia akan mengalami proliferasi hebat pada tingkat spinal (Kettenmann dan Verkhratsky, 2008). Aktivasi mikroglia terjadi sesaat setelah cedera saraf tepi, berlangsung kurang dari 3 bulan, serta bertanggung jawab terhadap produksi beberapa mediator inflamasi seperti sitokin, kemokin, dan subtans sitotoksik seperti oksida nitrit dan radikal bebas yang mendorong lingkungan pro inflamasi (Schreiber dkk., 2015). Beberapa penelitian menunjukkan bahwa mikroglia di medulla spinalis menjadi aktif dalam kondisi

14

hiperglikemia, dari 4 minggu sampai 8 bulan. Aktivasi mikroglia ini dikaitkan dengan peningkatan pelepasan sitokin proinflamasi, perubahan sensorik dan regulasi naik saluran natrium Nav1.3 pada GRD sehingga menimbulkan dan mempertahankan nyeri neuropatik (Cheng dkk., 2014; Haanpää dan Hietaharju, 2015). Sebaliknya, diabetes dihubungkan dengan berkurangnya sifat imunoreaktif protein asam glia di medulla spinalis yang dapat mempengaruhi dukungan fungsional dan peran dari sel astrosit pada jaringan saraf, seperti pembersihan neurotransmiter di dalam celah sinaps (Schreiber dkk., 2015).

2.2.1.4 Hiperaktivitas jalur poliol

Kelainan metabolik merupakan penyebab primer ND. Menurut Schreiber dkk. (2015), hiperglikemia yang ditimbulkan melalui penurunan sekresi insulin ataupun resistensi insulin, bertanggung jawab untuk meningkatnya aktivitas jalur poliol. Enzim awal untuk jalur ini, aldose reduktase mengkatalisasi pembentukan sorbitol dari glukosa, kemudian sorbitol dioksidasi menjadi fruktosa oleh sorbitol dehidrogenase (Oates, 2002). Selama kondisi hiperglikemia, afinitas aldose reduktase untuk glukosa menjadi lebih tinggi, membuat suatu keadaan stres osmotik intraselular akibat penumpukan sorbitol yang tidak dapat melewati membran sel. Menariknya, kerusakan saraf yang mengikuti kondisi diabetes nampaknya tidak disebabkan oleh stres osmotik ini karena terdapat laporan mengenai konsentrasi sorbitol yang tidak bermakna pada saraf pasien diabetes (Schreiber dkk., 2015).

Selain meningkatkan produksi sorbitol, aktivasi jalur poliol dapat menyebabkan kerusakan sel Schwann, dan defisiensi mio-inositol dalam saraf

15

(Oates, 2002; Zychowska dkk., 2013). Menurunnya konsentrasi mio-inositol menyebabkan disfungsi enzim ATP-ase Na+/ K+ renal yang diperlukan untuk depolarisasi saraf (Haanpää dan Hietaharju, 2015). Semua perubahan tersebut di atas dapat menyebabkan perubahan struktural dalam saraf, seperti degenerasi Wallerian dan demielinasi segmental, mengakibatkan kerusakan saraf dan hilangnya serabut saraf (Zychowska dkk., 2013).

Hipotesis yang diterima saat ini menyatakan bahwa hiperaktivitas jalur poliol merupakan suatu kelainan primer dengan meningkatnya perubahan kofaktor seperti nicotinamide adenine dinucleotide phosphate hydrogen (NADPH) dan nicotinamide adenine dinucleotide (NAD+), yang menyebabkan berkurangnya reduksi dan regenerasi glutation, begitu pula peningkatan produksi advanced glycation end products (AGEs) dan aktivasi diasilgliserol (DAG) serta protein kinase C (PKC) (Schreiber dkk., 2015). Deplesi glutation kemungkinan menjadi penyebab primer stres oksidatif dan berhubungan dengan akumulasi toksik (Oates, 2002).

2.2.1.5 Stres oksidatif

Hiperglikemia dapat menginduksi peningkatan produksi radikal bebas di mitokondria (Haanpää dan Hietaharju, 2015). Bersamaan dengan melemahnya pertahanan antioksidan, radikal bebas mengaktifkan jalur ataupun enzim perusak tambahan seperti jalur poliol, enzim poly(ADP-ribose) polymerase (PARP), dan glikasi non-enzimatik dari protein, menyebabkan peningkatan pembentukan AGEs yang terlibat dalam pembentukan radikal bebas (Zychowska dkk., 2013; Haanpää dan Hietaharju, 2015).

16

Seperti yang sudah dijelaskan sebelumnya, aktivasi jalur poliol merupakan penyebab primer stres oksidatif terkait diabetes. Stres oksidatif dapat memulai autooksidasi glukosa dan metabolitnya, meningkatkan pembentukan AGEs intraselular, meningkatkan ekspresi reseptor AGEs dan ligan yang mengaktifkannya, mengubah fungsi mitokondrial, aktivasi isoform PKC dan overaktivitas jalur heksosamin (Giacco dan Brownlee, 2010). Penelitian sebelumnya mendapatkan stres oksidatif disebabkan oleh pembentukan radikal bebas yang meningkat akibat metabolisme glukosa itu sendiri dan/atau defisit pada pertahanan antioksidan serta mungkin berperan penting pada mekanisme patogenik ND (Schreiber dkk., 2015).

2.2.1.6 Metilglioksal dan nyeri

Metilglioksal (MG) merupakan produk sampingan intraselular reaktif dari beberapa jalur metabolik, dengan sumber terpenting adalah glikolisis dan hiperglikemia, mampu mengaktifkan saraf tepi dan memodifikasi saluran natrium yang spesifik terhadap nosiseptor, yaitu Nav1.8 (Bierhaus dkk., 2012; Tesfaye dkk., 2013; Aslam dkk., 2014). Konsentrasi MG dalam plasma meningkat secara bermakna pada pasien NND dibandingkan kontrol orang sehat ataupun pasien diabetes tanpa nyeri (Bierhaus dkk., 2012). Sedangkan penelitian pada hewan menunjukkan bahwa MG dapat memperlambat konduksi saraf dan menyebabkan hiperalgesia termal dan mekanik. Hasil ini menunjukkan bahwa modifikasi MG pada Nav1.8 berperan dalam hiperalgesia terkait NND yang dihubungkan dengan peningkatan eksitabilitas listrik dan memfasilitasi firing neuron nosiseptif. (Bierhaus dkk., 2012; Spallone dan Greco, 2013; Tesfaye dkk., 2013).

17

2.2.1.7 Sensitisasi sentral

Nyeri neuropati diabetik merupakan konsekuensi perubahan sistem saraf pusat dan tepi. Selama terjadi NND, serabut aferen primer mengalami sensitisasi, menyebabkan hiperaktivitas kornu dorsalis dan perubahan neuroplastik pada neuron sensorik sentral (Schreiber dkk., 2015). Sensitisasi perifer dan impuls berlebih yang berkelanjutan di kornu dorsalis menyebabkan peningkatan respon terhadap rangsangan noksius maupun non noksius. Kejadian alodinia yang sering dialami pasien NND mendukung teori bahwa proses nyeri pada sistem saraf pusat mengalami perubahan, yang kemungkinan disebabkan oleh plastisitas struktural tunas serabut A-beta, yang mengarah ke pembentukan serabut kembali dari lamina kornu dorsalis dalam sistem saraf pusat (Aslam dkk., 2014).

Faktor yang dapat menyebabkan hiperaktivitas neuron spinal pada ND adalah peningkatan glutamat yang lepas dari aferen primer medulla spinalis (Wang dkk., 2007). Lebih jauh lagi, ekspresi reseptor N-methyl-D-aspartate (NMDA) spinal akan bertambah dalam kondisi ini, menyebabkan pelepasan glutamat dan eksitasi pascasinaps yang lebih sering dan meningkat (Wang dkk., 2007; Bai dkk., 2014). Sehingga dapat disimpulkan bahwa peningkatan ekspresi NMDA dan pelepasan glutamat dapat berkontribusi terhadap hiperaktivitas medulla spinalis.

Di sisi lain, reseptor GABA-B mengalami regulasi turun di medulla spinalis pada pasien ND (Bai dkk., 2014). Aktivasi reseptor GABA-B menyebabkan inhibisi aktivitas reseptor NMDA melalui inhibisi langsung saluran kalsium yang sensitif terhadap tegangan serta pembukaan saluran kalium, serta meregulasi turun

18

reseptor NMDA di tingkat spinal pada tikus diabetes (Bai dkk., 2014; Schreiber dkk., 2015).

2.2.1.8 Modulasi simpatis nyeri

Serabut nosiseptif A-delta dan C normalnya tidak langsung terhubung ke sistem saraf simpatis. Teori yang sudah diterima secara luas yaitu sistem saraf simpatis tidak mengaktifkan sistem saraf sensorik dalam kondisi normal (Aslam dkk. 2014).

Neuropati menyebabkan hipersensitivitas pada saraf sebagai akibat transmisi abnormal yang dimediasi oleh epinefrin dari satu akson yang lain, disebut dengan transmisi epaptik (Aslam dkk., 2014). Saraf yang rusak di perifer juga menyebabkan pembentukan keranjang, disebut sprout simpatik di GRD, yang menghasilkan pelepasan noradrenalin, dan pada akhirnya menyebabkan hubungan saraf simpatik-sensorik (Kanno dkk., 2010). Hal ini menyebabkan peningkatan ektopik dan firing spontan, disebut sebagai nyeri yang dipertahankan secara simpatik (symphatetically maintained pain) (Aslam dkk., 2014).

Dokumen terkait