• Tidak ada hasil yang ditemukan

METILKOBALAMIN SEBAGAI ANALGESIK AJUVAN MENURUNKAN SKALA NYERI NEUROPATI DIABETIK PADA PENDERITA DIABETES MELITUS TIPE 2.

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "METILKOBALAMIN SEBAGAI ANALGESIK AJUVAN MENURUNKAN SKALA NYERI NEUROPATI DIABETIK PADA PENDERITA DIABETES MELITUS TIPE 2."

Copied!
47
0
0

Teks penuh

(1)

TESIS

METILKOBALAMIN SEBAGAI ANALGESIK

AJUVAN MENURUNKAN SKALA NYERI

NEUROPATI DIABETIK PADA PENDERITA

DIABETES MELITUS TIPE 2

MADE RUDY

PROGRAM PASCASARJANA

UNIVERSITAS UDAYANA

(2)

TESIS

METILKOBALAMIN SEBAGAI ANALGESIK

AJUVAN MENURUNKAN SKALA NYERI

NEUROPATI DIABETIK PADA PENDERITA

DIABETES MELITUS TIPE 2

MADE RUDY NIM 1114068104

PROGRAM MAGISTER

PROGRAM STUDI ILMU BIOMEDIK

PROGRAM PASCASARJANA

UNIVERSITAS UDAYANA

DENPASAR

(3)

ii

METILKOBALAMIN SEBAGAI ANALGESIK

AJUVAN MENURUNKAN SKALA NYERI

NEUROPATI DIABETIK PADA PENDERITA

DIABETES MELITUS TIPE 2

Tesis untuk Memperoleh Gelar Magister

Pada Program Magister, Program Studi Ilmu Biomedik

Program Pascasarjana Universitas Udayana

MADE RUDY NIM 1114068104

PROGRAM MAGISTER

PROGRAM STUDI ILMU BIOMEDIK

PROGRAM PASCASARJANA

UNIVERSITAS UDAYANA

DENPASAR

(4)
(5)

iv

Tesis Ini Telah Diuji pada Tanggal 31 Mei 2016

Panitia Penguji Tesis Berdasarkan SK Rektor

Universitas Udayana, No : 2390/UN14.4/HK/2016 Tertanggal : 26 Mei 2016

Ketua : Dr. dr. Thomas Eko Purwata, Sp.S(K), FAAN Sekretaris : dr. I.G.N. Purna Putra, Sp.S(K)

Anggota :

1. dr. A.A.B.N. Nuartha, Sp.S(K)

(6)
(7)

vi

UCAPAN TERIMA KASIH

Pertama-tama perkenankanlah penulis memanjatkan puji syukur ke hadapan Tuhan Yang Maha Esa, karena hanya atas berkat dan karunia-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan karya akhir ini sebagai persyaratan mendapatkan tanda keahlian di bidang Neurologi dan Magister Ilmu Biomedik.

Pada kesempatan ini penulis ingin mengucapkan terima kasih yang tak terhingga kepada berbagai pihak yang telah berperan sehingga penulis dapat menempuh Pendidikan Dokter Spesialis I sampai tersusunnya karya akhir ini, terutama kepada Dr. dr. Thomas Eko Purwata, Sp.S(K), FAAN selaku pembimbing utama serta kepada dr. I Gusti Ngurah Purna Putra, Sp.S(K) selaku pembimbing akademik dan pembimbing II karya akhir ini yang dengan penuh perhatian dan kesabaran memberikan bimbingan, saran, serta dorongan semangat kepada penulis selama penulis mengikuti pendidikan, khususnya dalam menyelesaikan karya akhir ini. Ucapan terima kasih sebesar-besarnya juga penulis sampaikan kepada dr. I Made Oka Adnyana, Sp.S(K) selaku Ketua Program Studi Pendidikan Dokter Spesialis I Neurologi FK UNUD/RSUP Sanglah saat penulis diterima sebagai peserta PPDS-1 dan kepada Dr. dr. A.A.A. Putri Laksmidewi, Sp.S(K), selaku Plt. Ketua Program Studi Pendidikan Dokter Spesialis I Neurologi FK UNUD/RSUP Sanglah atas kesempatan dan fasilitas yang diberikan kepada penulis untuk mengikuti dan menyelesaikan Pendidikan Dokter Spesialis I Neurologi FK UNUD/RSUP Sanglah.

Ungkapan terima kasih penulis ucapkan kepada Rektor Universitas Udayana Prof. Dr. dr. Ketut Suastika, Sp.PD-KEMD, dan kepada Dekan Fakultas Kedokteran Universitas Udayana Prof. Dr. dr. Ketut Astawa, Sp.OT(K), M.Kes, atas ijin, kesempatan dan fasilitas yang diberikan kepada penulis untuk mengikuti dan menyelesaikan Pendidikan Dokter Spesialis I FK UNUD/RSUP Sanglah. Terima kasih kepada Prof. Dr. dr. A.A. Raka Sudewi, Sp.S(K) selaku Direktur Program Pascasarjana Universitas Udayana dan Dr. dr. Gde Ngurah Indraguna Pinatih, M.Sc, Sp.GK selaku Ketua Program Studi Magister Ilmu Biomedik Program Pascasarjana Universitas Udayana, atas kesempatan dan fasilitas yang diberikan kepada penulis untuk mengikuti dan menyelesaikan pendidikan Magister Ilmu Biomedik Program Pascasarjana Universitas Udayana. Terima kasih juga penulis sampaikan kepada dr. Anak Ayu Sri Saraswati, M.Kes., dan dr. I Wayan Sutarga, MPHM, selaku Direktur Utama RSUP Sanglah Denpasar saat penulis menjalani pendidikan sebagai peserta PPDS-1 Neurologi, atas kesempatan dan fasilitas yang telah diberikan.

(8)

vii

Fakultas Kedokteran Universitas Udayana/RSUP Sanglah saat penulis diterima sebagai peserta PPDS-1 dan dr. I Nyoman Semadi, Sp.B, Sp.BTKV, selaku Ketua TKP PPDS-1 Fakultas Kedokteran Universitas Udayana/RSUP Sanglah saat ini. Terima kasih kepada Prof. Dr. dr. Ketut Suastika, SpPD-KEMD selaku Kepala Divisi Endokrin dan Penyakit Metabolik Bagian/SMF Ilmu Penyakit Dalam FK UNUD/RSUP Sanglah yang telah memberikan ijin dan kesempatan untuk dilaksakannya penelitian ini, serta seluruh staf medis Divisi Endokrin dan Penyakit Metabolik Bagian/SMF Ilmu Penyakit Dalam FK UNUD/RSUP yang tidak dapat penulis sebutkan satu persatu.

Kepada seluruh supervisor di Bagian/SMF Neurologi FK UNUD/RSUP Utami, Sp.S, dr. I Putu Eka Widyadharma, M.Sc, Sp.S(K), dr. Kumara Tini, Sp.S, FINS, dr. I.A. Sri Wijayanti, M. Biomed, Sp.S, dr. Ketut Widyastuti, Sp.S, dr. Ni Made Susilawathi, Sp.S, dr. I.A. Sri Indrayani, Sp.S, dr. Ni Putu Witari, Sp.S, dr. Sri Yenni Trisnawati GS, M. Biomed, Sp.S, dr. I Wayan Widyantara, M. Biomed, Sp.S, dr. A.A.A. Suryapraba, M.Sc, Sp.S, penulis mengucapkan terima kasih yang tak terhingga atas segala bimbingan dan saran selama penulis mengikuti pendidikan.

Terima kasih saya ucapkan kepada dr. Deddy Andaka, M.Biomed, Sp.S, dr. Yoanes Gondowardaja, M.Biomed, Sp.S, dr. Ernesta P. Ginting, M.Biomed, Sp.S, dr. Hadi Widjaja, M.Biomed, Sp.S, dr. Ni Putu Sukarini, dr. Priska Widiastuti, dr. Gracia Meliana Tanoyo, dr. Octavianus Darmawan, dr. Agus Suryawan, dr. I Made Mahardika Yasa, dr. Ni Putu Ayu Putri Mahadewi, dan dr. Widyawati Suhendro khususnya, serta seluruh teman sejawat lainnya, peserta PPDS I Neurologi FK UNUD/RSUP Sanglah yang telah memberikan inspirasi, dorongan, segala bantuan dan kebersamaan selama penulis menjalani pendidikan dan menyelesaikan karya akhir ini. Terima kasih kepada tenaga administrasi Bagian/SMF Neurologi Ni Putu Oka Swardani, I Wayan Shika Priantha, Kadek Ferbiyanti, S.E., Kadek Arie Ardhiani, Amd.Akun, Ni Wayan Ayu Sukyartini, S.E. serta para perawat, paramedis, dan dokter muda yang juga telah memberikan bantuan, semangat, dan inspirasi selama penulis menjalani pendidikan.

Pada kesempatan ini penulis juga ingin menyampaikan ucapan terima kasih kepada seluruh pasien DM yang telah berkenan menjadi subyek penelitian serta kepada anggota keluarga pasien atas bantuan dan kerjasamanya selama pelaksanaan penelitian ini.

(9)

viii

terkasih dr. Putu Ayu Elvina, Kevindrata Tjandra, Clara Valentina, S.Ked, dan Jennifer Louisa, begitupula keluarga besar penulis yang sudah memberikan dukungan doa, semangat, kasih sayang, dan segala bantuan dalam menyelesaikan penulisan karya akhir ini.

Penghargaan dan terima kasih tak terhingga kepada istri tercinta, dr. Putu Marcelina Nagariani Hartono atas segala kasih sayang, pengertian, kesabaran, pengorbanan, dorongan semangat, bantuan, dan doanya selama penulis menjalani pendidikan terutama saat menyelesaikan karya akhir ini.

Penulis telah berusaha membuat tesis ini dengan sebaik-baiknya namun tetap menyadari bahwa masih terdapat banyak kekurangan baik dari aspek materi dan penyajiannya. Penulis sangat mengharapkan kritik dan saran yang konstruktif demi perbaikan tesis ini.

Akhirnya, penulis tidak lupa memohon maaf sebesar-besarnya kepada semua pihak, apabila dalam proses pelaksanaan penelitian dan selama penyusunan karya akhir ini, maupun dalam pergaulan sehari-hari ada tutur kata dan sikap yang kurang berkenan. Semoga Tuhan Yang Maha Pengasih dan Penyayang selalu melimpahkan berkat dan karunia-Nya kepada semua pihak yang telah membantu pelaksanaan dan penyelesaian tesis ini. Amin.

Denpasar, Mei 2016

(10)

ix ABSTRAK

METILKOBALAMIN SEBAGAI ANALGESIK AJUVAN MENURUNKAN SKALA NYERI NEUROPATI DIABETIK PADA PENDERITA

DIABETES MELITUS TIPE 2

Nyeri neuropati diabetik (NND) merupakan salah satu komplikasi tersering dari diabetes melitus (DM) pada saraf tepi. Sampai saat ini pengobatan NND sebagian besar hanya bersifat simtomatis dengan hasil yang jauh dari memuaskan. Metilkobalamin (Mekbl) selain mempunyai sifat sebagai analgesik ajuvan juga memiliki efek neuroproteksi dan neuroregenerasi sehingga memberikan harapan baru dalam terapi jangka panjang NND. Tujuan penelitian ini untuk membuktikan Mekbl dapat menurunkan skala nyeri pada penderita DM tipe 2.

Penelitian dengan rancangan uji klinis acak buta tunggal dilakukan pada 28 subyek penderita DM tipe 2 yang rawat jalan di poliklinik Saraf dan Diabetic Center RSUP Sanglah periode Februari hingga April 2016. Subyek penelitian dibagi menjadi 2 kelompok, yaitu kelompok intervensi (menggunakan terapi amitriptilin dan Mekbl) dan kontrol (menggunakan amitriptilin dan aquabides), masing-masing 14 subyek. Dosis obat yang diberikan yaitu amitriptilin 12,5 mg dua kali sehari selama 10 hari, dan Mekbl intravena 500 µ g setiap 2 hari selama 5 kali. Dilakukan pengukuran skala nyeri Numeric Pain Rating Scale (NPRS) pada awal dan akhir penelitian.

Pada uji student t test berpasangan didapatkan penurunan NPRS pada kelompok intervensi (5,14 ± 1,79) lebih besar secara bermakna dibandingkan kelompok kontrol (2,64 ± 0,84) dengan persentase penurunan NPRS 79% berbanding 48%, p=0,001 (p<0,01).

Disimpulkan bahwa Mekbl sebagai analgesik ajuvan menurunkan skala NND pada penderita DM tipe 2. Perlu dipertimbangkan untuk memberikan Mekbl sebagai analgesik ajuvan pada penderita NND.

(11)

x ABSTRACT

METHYLCOBALAMIN AS ADJUVANT ANALGESIC REDUCED PAIN SCALE IN PAINFUL DIABETIC NEUROPATHY IN TYPE 2 DIABETES

MELLITUS PATIENTS

Painful diabetic neuropathy (PDN) is common complication of diabetes mellitus (DM) in peripheral nerves. Most PDN treatment only reduce pain with unsatisfying outcome. Methylcobalamin (MeCbl) has analgesic, neuroprotective, and neuroregeneration effects, giving a new hope in long term therapy of PDN. The purpose of this study is to prove that MeCbl can reduce pain scale in type 2 DM (T2DM) patients.

We conducted a single blind randomized controlled trial on 28 T2DM outpatients in neurology and diabetes clinic of Sanglah General Hospital from February until April 2016. Subjects were divided into 2 groups, intervention (oral amitryptiline and MeCbl) and control group (oral amitryptiline and aquabidest). We use oral amitryptiline 12,5 mg twice daily for 10 days and intravenous MeCbl 500 µg every 2 days for 5 times. Pain intensity was measured with Numeric Pain Rating Scale (NPRS) at the beginning and end of study.

We compared the mean of NPRS reduction between 2 groups with paired student t test. At end of study, there was a significant difference of NPRS reduction between intervention (5,14+ 1,79; 79% reduced compare than beginning of study) and control group (2,64 + 0,84; 48% reduced) (p<0,01).

Conclusion: MeCbl as adjuvant analgesic reduced pain scale of PDN in T2DM patients. It should be considered to give MeCbl as adjuvant analgesic in PDN patient.

(12)

xi

SURAT PERNYATAAN BEBAS PLAGIAT………... v

UCAPAN TERIMA KASIH... vi

2.1.1 Definisi Diabetes Melitus ……….……….... 5

2.1.2 Epidemiologi Diabetes Melitus ……….………… 5

2.1.3 Klasifikasi Diabetes Melitus ……… 5

2.1.4 Diagnosis Diabetes Melitus ……….. 6

2.1.5 Penatalaksanaan Diabetes Melitus ……… 7

2.1.6 Penyulit Diabetes Melitus ………. 7

2.2 Nyeri Neuropati Diabetik ………...…... 8

2.2.1 Patofisiologi Nyeri Neuropati Diabetik ………. 9

2.2.1.1 Impuls listrik ektopik ……… 10

2.2.1.2 Perubahan mikrovaskuler ………... 11

2.2.1.3 Aktivasi mikroglia ………. 13

2.2.1.4 Hiperaktivitas jalur poliol ………. 14

2.2.1.5 Stres oksidatif ……….. 15

2.2.1.6 Metilglioksal dan nyeri ………. 16

2.2.1.7 Sensitisasi sentral ………. 17

2.2.1.8 Modulasi simpatis nyeri ……… 18

2.2.2 Diagnosis Nyeri Neuropati Diabetik ………. 18

2.2.3 Penatalaksanaan Nyeri Neuropati Diabetik... 20

2.3 Metilkobalamin …………...…..…………...……….…... 23

2.3.1 Farmakokinetik Metilkobalamin ... 24

(13)

xii

2.3.3 Dosis Metilkobalamin ……….. 27

2.3.4 Efek Samping Metilkobalamin ………. 27

2.4 Metilkobalamin sebagai Analgesik Ajuvan pada Nyeri Neuropati Diabetik ... 27

BAB III KERANGKA BERPIKIR, KONSEP, DAN HIPOTESIS PENELITIAN... 30

3.1 Kerangka Berpikir ... 30

3.2 Kerangka Konsep ... 32

3.3 Hipotesis Penelitian ... 33

BAB IV METODE PENELITIAN... 34

4.1 Rancangan Penelitian ... 34

4.2 Tempat dan Waktu Penelitian ... 35

4.3 Ruang Lingkup Penelitian ... 35

4.4 Populasi dan Sampel Penelitian ... 35

4.4.1 Populasi Target ... 35

4.4.2 Populasi Terjangkau ... 35

4.4.3 Kriteria Sampel ... 35

4.4.3.1 Kriteria inklusi ………... 35

4.4.3.2 Kriteria eksklusi ...…...………... 36

4.4.3.3 Kriteria drop out... 37

4.4.4 Besar Sampel ... 37

4.4.5 Teknik Pengambilan Sampel ... 38

4.5 Variabel Penelitian... 38

4.6 Definisi Operasional Variabel... 39

4.7 Alat Pengumpul Data ... 45

4.8 Prosedur Penelitian ... 46

4.9 Pengolahan dan Analisis Data ... 48

BAB V HASIL PENELITIAN... 49

5.1 Karakteristik Dasar Subyek Penelitian... 49

5.2 Efek Pemberian Metilkobalamin dengan Penurunan Skala Nyeri pada Penderita Nyeri Neuropati Diabetik... 51

5.3 Efek Samping Pemberian Terapi pada Subyek Penelitian... 52

BAB VI PEMBAHASAN... 54

6.1 Karakteristik Dasar Subyek Penelitian... 54

6.2 Efek Pemberian Metilkobalamin dengan Penurunan Skala Nyeri pada Penderita Nyeri Neuropati Diabetik... 56

6.3 Efek Samping Pemberian Terapi pada Subyek Penelitian... 58

BAB VII SIMPULAN DAN SARAN... 60

7.1 Simpulan... 60

7.2 Saran... 60

DAFTAR PUSTAKA ... 62

(14)

xiii

DAFTAR GAMBAR

Gambar 2.2 Gambar 2.3a Gambar 2.3b Gambar 3.1 Gambar 3.2 Gambar 4.1 Gambar 4.8

Impuls Ektopik oleh Neuroma... Struktur Kimia Metilkobalamin... Reaksi Metilasi, Pembentukan Timin dan Lesitin... Kerangka Berpikir... Kerangka Konsep... Bagan Rancangan Penelitian... Bagan Alur Penelitian...

(15)

xiv

DAFTAR TABEL

Tabel 2.2 Perbandingan rekomendasi pedoman klinis obat NND... 22 Tabel 5.1 Karakteristik dasar subyek penelitian... 50 Tabel 5.2 Analisis bivariat uji student t berpasangan rerata penurunan

NPRS kelompok intervensi dan kontrol... 51 Tabel 5.3 Analisis bivariat uji McNemar efek samping terapi kelompok

(16)

xv

DAFTAR SINGKATAN

Adokbl : Adenosilkobalamin

AGEs : Advanced Glycation End Products BDI : Beck Depression Inventory

CBT : Cognitive Behavioral Therapy CTS : Carpal Tunnel Syndrome CRS : Cervical Root Syndrome DAG : Diasilgliserol

DM : Diabetes Melitus

DN4 : Douleur Neuropathique en 4 Questions DNA : Deoxyribonucleic Acid

GABA : Gamma-Aminobutyric Acid GRD : Ganglion Radiks Dorsalis HbA1c : Hemoglobin A1c

HIV : Human Immunodeficiency Virus

IASP : International Association for the Study of Pain IDF : International Diabetes Federation

IK : Interval Kepercayaan

IM : Intramuskular

IMT : Indeks Massa Tubuh

IV : Intravena

Hkbl : Hidroksokobalamin

HPLC : High-Performance Liquid Chromatography

LANSS : Leeds Assessment of Neuropathic Symptoms and Signs MAO : Monoamine Oxidase

(17)

xvi MG : Metilglioksal

NAD+ : Nicotinamide Adenine Dinucleotide

NADPH : Nicotinamide Adenine Dinucleotide Phosphate Hydrogen ND : Neuropati Diabetik

NeuPSIG : Special Interest Group on Neuropathic Pain

NGSP : National Glycohaemoglobin Standarization Program NMDA : N-Methyl-D-Aspartate

NND : Nyeri Neuropati Diabetik NPRS : Numeric Pain Rating Scale PARP : Poly(ADP-Ribose) Polymerase PDS : Polineuropati Distal Simetris PD-Q : Pain Disability Quetionnaire PKC : Protein Kinase C

Snkbl : Sianokobalamin

SSRI : Selective Serotonin Reuptake Inhibitor

SNRI : Serotonin and Norepinephrine Reuptake Inhibitor TCA : Tricyclic Antidepressant

TTGO : Tes Toleransi Glukosa Oral TNF-α : Tumor Necrosis Factor-α VAS : Visual Analog Scale

(18)

xvii

DAFTAR LAMPIRAN

Lampiran 1 Keterangan Kelaikan Etik. ... 69

Lampiran 2 Surat Ijin Penelitian dari RSUP Sanglah... 70

Lampiran 3 Penjelasan dan Form Persetujuan Penelitian... 71

Lampiran 4 Lembar Pengumpulan Data... 74

Lampiran 5 Kuesioner untuk Mendiagnosis Nyeri Neuropati... 76

Lampiran 6 Beck Depression Inventory... 77

Lampiran 7 Data Subyek Penelitian... 81

(19)

1 BAB I PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Diabetes melitus merupakan salah satu penyakit metabolik menahun yang banyak diderita di dunia, dengan kecenderungan yang semakin meningkat bersamaan dengan epidemi obesitas global. Penyakit ini mengakibatkan angka morbiditas dan mortalitas yang tinggi, baik sebagai akibat langsung ataupun karena komplikasi. Mengenal diabetes berarti mengenal komplikasinya. Nyeri neuropati diabetik (NND) merupakan komplikasi diabetes yang sering terjadi, mengganggu kualitas hidup, dan menambah beban finansial penderita. Selama ini NND sering dianggap remeh para klinisi dan tidak terdiagnosis, sehingga penatalaksanaannya tidaklah optimal, yang akhirnya menimbulkan morbiditas jangka panjang serta penurunan kualitas hidup penderitanya.

Diabetes diderita oleh 382 juta orang di seluruh dunia, dan akan semakin meningkat tiap tahunnya, dengan perkiraan penderitanya sebanyak 592 juta orang pada tahun 2035 (IDF, 2013). World Health Organization memprediksi kenaikan jumlah penyandang diabetes melitus (DM) tipe 2 di Indonesia dari 8,4 juta pada tahun 2000 menjadi sekitar 21,3 juta pada tahun 2030 (PERKENI, 2015).

(20)

2

insiden berkisar dari 15.3 sampai 72.3 per 100.000 orang per tahun (Dieleman dkk., 2008; Hall dkk., 2008; Hecke dkk., 2014). Biaya perawatan neuropati diabetik di Amerika kira-kira sebesar 10,9 miliar dolar, sedangkan pada pasien dengan nyeri hebat menggunakan biaya 80% lebih besar (DiBonaventura dkk., 2011).

Terdapat berbagai macam agen terapi untuk mengatasi nyeri neuropatik yang sudah terbukti secara klinis dan dijadikan pedoman (guideline), seperti kelompok analog asam gamma-aminobutirik (GABA), antidepresan trisiklik, penghambat reuptake serotonin norepinefrin (SNRI), opioid, ataupun agen topikal dengan mekanisme kerja dan efek samping yang spesifik untuk masing-masing terapi (Javed dkk., 2015). Penggunaan agen terapi tersebut bertujuan untuk mengurangi keluhan nyeri yang terjadi, tanpa memberikan proteksi ataupun regenerasi terhadap saraf. Dalam praktek klinis, penanganan NND masih menjadi suatu tantangan. Tidak semua agen yang telah disebutkan mampu menghilangkan gejala-gejala ini seperti penelitian dasarnya (Zhang dkk., 2013).

(21)

3

analgesik (Zhang dkk., 2013). Metilkobalamin juga dapat meningkatkan konduksi saraf dan menghambat cetusan ektopik spontan neuron sensorik primer yang cedera. Efek samping terapi Mekbl tidak terlalu banyak dibandingkan agen terapi nyeri neuropatik lainnya, dengan yang paling serius terjadi adalah reaksi anafilaktoid (insiden kurang dari 0,1%) (Meliala dan Barus, 2008).

Berdasarkan penelitian terbaru mengenai efek analgesik Mekbl, baik sebagai obat tunggal ataupun kombinasi, disebutkan bahwa secara klinis dan eksperimental Mekbl memiliki efek menguntungkan pada beberapa jenis nyeri, seperti nyeri pinggang, nyeri leher, neuralgia trigeminal, neuralgia pascaherpetik, ataupun NND (Zhang dkk., 2013). Metilkobalamin menunjukkan efek terapeutik pada NND, diduga melalui mekanisme kerja neurosintesis dan neuroprotektif (Sun dkk., 2005). Bukti morfologi dan histologi mengkonfirmasi bahwa pemberian Mekbl jangka panjang merangsang terjadinya sintesis dan regenerasi mielin dan dapat meningkatkan kecepatan konduksi saraf dan fungsi neuronal pada neuropati perifer (Okada dkk., 2010).

(22)

4

1.2 Rumusan Masalah

Berdasarkan uraian pada latar belakang, maka dirumuskan masalah sebagai berikut : Apakah Mekbl sebagai analgesik ajuvan menurunkan skala NND pada penderita DM tipe 2?

1.3 Tujuan Penelitian

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui pemberian Mekbl sebagai analgesik ajuvan menurunkan skala NND pada penderita DM tipe 2.

1.4Manfaat Penelitian 1.4.1 Manfaat Ilmiah

Penelitian ini diharapkan dapat membuktikan bahwa pemberian Mekbl sebagai analgesik ajuvan dapat menurunkan skala NND pada penderita DM tipe 2 sehingga dapat digunakan untuk pengembangan penelitian di masa yang akan datang tentang peran Mekbl sebagai analgesik dalam NND, serta untuk menguatkan penelitian yang sudah ada.

1.4.2 Manfaat Praktis

(23)

5 BAB II

KAJIAN PUSTAKA

2.1 Diabetes Melitus

2.1.1 Definisi Diabetes Melitus

Diabetes melitus adalah suatu penyakit metabolik dengan karakteristik hiperglikemia yang terjadi karena kelainan sekresi insulin, kerja insulin, atau kedua-duanya (PERKENI, 2015).

2.1.2 Epidemiologi Diabetes Melitus

Menurut International Diabetes Federation (2013), sekitar 382 juta orang di seluruh dunia menderita diabetes dengan kecenderungan yang makin meningkat tiap tahunnya, dan diperkirakan dalam 20 tahun mendatang jumlah penderitanya mencapai 592 juta orang. Sedangkan di Indonesia pada tahun 2003 diperkirakan terdapat 13,7 juta penderita diabetes dengan perkiraan akan meningkat sebanyak 20,1 juta orang pada tahun 2030 (PERKENI, 2015).

2.1.3 Klasifikasi Diabetes Melitus

(24)

6

imunologi, dan tipe yang diinduksi oleh obat maupun zat kimia (Smith dan Singleton, 2012; PERKENI, 2015).

2.1.4 Diagnosis Diabetes Melitus

Kecurigaan adanya DM perlu dipikirkan bila terdapat keluhan klasik seperti poliuria, polidipsia, polifagia, serta penurunan berat badan yang tidak dapat dijelaskan sebabnya, dapat disertai dengan keluhan lain berupa lemah badan, kesemutan, gatal, mata kabur, disfungsi ereksi pada pria, serta pruritus vulva pada wanita (PERKENI, 2015). Diagnosis DM secara sederhana ditentukan oleh pemeriksaan glukosa darah puasa dan uji toleransi glukosa oral, meskipun kriteria terbaru juga menggunakan pengukuran hemoglobin A1c (HbA1c) (Smith dan Singleton, 2012).

Kriteria diagnosis DM yaitu (PERKENI, 2015):

1. Pemeriksaan glukosa plasma puasa ≥126 mg/dL. Puasa adalah kondisi tidak ada asupan kalori minimal 8 jam, atau

2. Pemeriksaan glukosa plasma ≥200 mg/dL 2 jam setelah tes toleransi glukosa oral (TTGO) dengan beban 75 gram, atau

3. Pemeriksaan glukosa plasma sewaktu >200 mg/dL dengan keluhan klasik, atau 4. Pemeriksaan HbA1c >6,5 mg/dL dengan menggunakan metode

(25)

7

2.1.5 Penatalaksanaan Diabetes Melitus

Tujuan penatalaksanaan DM secara umum adalah meningkatkan kualitas hidup penyandang, dapat dibagi 2 yaitu jangka pendek dan jangka panjang. 1. Tujuan jangka pendek: menghilangkan keluhan dan tanda DM,

mempertahankan rasa nyaman, dan mencapai target pengendalian glukosa darah.

2. Tujuan jangka panjang: mencegah dan menghambat progresivitas penyulit mikroangiopati, makroangiopati, dan neuropati.

Tujuan tersebut di atas memiliki tujuan akhir pengelolaan berupa turunnya morbiditas dan mortalitas DM (PERKENI, 2015).

Berdasarkan PERKENI (2015), terdapat 4 pilar penatalaksanaan DM, yaitu edukasi, terapi gizi medis, latihan jasmani, serta intervensi farmakologis yang semuanya dilakukan bersamaan untuk mencapai tujuan penatalaksanaan yang sudah dijabarkan di atas.

2.1.6 Penyulit Diabetes Melitus

(26)

8

2.2 Nyeri Neuropati Diabetik

Neuropati diabetik (ND) merupakan gangguan saraf berkaitan dengan diabetes, disebabkan oleh kerusakan serabut saraf di seluruh tubuh (Yagihasi dkk., 2011). Diabetes merupakan penyebab neuropati perifer tersering dengan sekitar 50% penderita menderita neuropati, dan 20% mengalami nyeri hebat, dikenal sebagai NND, yang seringkali tidak dilaporkan (12.5%) dan lebih sering lagi tidak diobati (39%) (Smith dan Singleton, 2012; Javed dkk., 2015). Prevalensi populasi dengan NND diperkirakan sekitar 0.8% dengan insiden berkisar dari 15.3 sampai 72.3 per 100.000 orang per tahun (Dieleman dkk., 2008; Hall dkk., 2008; Hecke dkk., 2014).

Polineuropati distal simetris (PDS) merupakan bentuk klinis ND tersering yang mengenai 90% penderita (Tesfaye dkk., 2013). Secara umum, PDS mengenai ujung-ujung jari kaki tetapi akan berkembang perlahan ke arah proksimal sampai ke tungkai dengan distribusi seperti stocking (Aslam dkk., 2014; Schreiber dkk., 2015). Ulkus pedis dan NND merupakan konsekuensi klinis utama PDS yang dikaitkan dengan morbiditas serta mortalitas yang lebih tinggi (Schreiber dkk., 2015).

(27)

9

bersifat konstan, disertai alodinia kutaneus, berintensitas sedang sampai berat, sering memburuk saat malam hari dan menganggu tidur, menyebabkan depresi sehingga menurunkan kualitas hidup penderita (Schreiber dkk., 2015).

2.2.1 Patofisiologi Nyeri Neuropati Diabetik

Penyebab nyeri pada ND masih belum sepenuhnya dimengerti (Aslam dkk., 2014). Para ahli sudah berusaha mengidentifikasi kemungkinan abnormalitas struktural dan fungsional ataupun mekanisme terkait diabetes yang dapat membuat pasien cenderung mengalami NND (Haanpää dan Hietaharju, 2015). Mekanisme nyeri pada ND sangat kompleks. Walaupun terdapat kemajuan besar dalam memahami mekanisme patofisiologi timbulnya komplikasi diabetes, tetapi sampai saat ini belum terdapat hipotesis yang dapat menjelaskan kenapa ada penderita yang mengalami NND dan ada yang tidak (Schreiber dkk., 2015). Meski gangguan fungsi serabut saraf kecil dianggap sebagai prasyarat bagi terbentuknya NND, bukti ilmiah yang tersedia tidak mendukung adanya hubungan antara nyeri dan neuropati murni pada serabut kecil (Spallone dan Greco, 2013).

(28)

10

(Purwata, 2011; Calvo dkk., 2012; Tesfaye dkk., 2013). Meskipun demikian, bukti-bukti yang sudah ada belum mampu memberikan kesimpulan pasti tentang mengenai inflamasi pada NND (Spallone dan Greco, 2013).

Hiperglikemia diperkirakan memiliki efek hiperalgesik langsung yang independen terhadap kerusakan struktural saraf (Haanpää dan Hietaharju, 2015), namun bukan berarti faktor selain hiperglikemia tidak berperan dalam patofisiologi NND (Schreiber dkk., 2015).

2.2.1.1 Impuls listrik ektopik

(29)

11

berlebihan, bersamaan dengan adanya peningkatan sensitivitas terhadap stimulus yang diberikan, dikenal sebagai sensitisasi perifer. Impuls listrik dari akson berserabut kecil pada kornu dorsalis medulla spinalis akan meningkat, mengubah "gerbang" serta menyebabkan pelepasan substansi P dan glutamat, mengakibatkan penghantaran impuls ke traktus asenden, yang dipersepsi sebagai nyeri (Aslam dkk., 2014).

Gambar 2.2 Impuls Ektopik oleh Neuroma (Stahl, 2008) 2.2.1.2 Perubahan mikrovaskular

(30)

12

fisiologis penting dari perubahan mikrovaskular (Doupis dkk., 2009). Penebalan dinding dan hialinisasi dari lamina basalis pembuluh darah serta penyempitan lumen yang menyuplai saraf perifer yang terjadi bersamaan mengakibatkan iskemia pada saraf (Pavy-Le Traon dkk., 2010). Perubahan ini disebabkan oleh keluarnya protein plasma dari membran kapiler menuju endoneurium yang menyebabkan pembengkakan, ditambah tekanan interstisial dalam saraf, tekanan kapiler yang lebih tinggi, deposisi fibrin dan pembentukan trombus (Schreiber dkk., 2015).

Hiperglikemia dapat menimbulkan hipoksia saraf, terutama saraf sensorik, dan mengubah stabilitas listrik. Iskemia saraf dapat menyebabkan hilangnya saraf secara progresif pada segmen proksimal dan distal, sehingga kepadatan serabut saraf intraepidermal berkurang, mengakibatkan degenerasi dan regenerasi aksonal (Jelicic dkk., 2014; Schreiber dkk., 2015). Modifikasi struktural lain yang berhubungan dengan hiperglikemia adalah perubahan selubung mielin. Demielinisasi yang terjadi dikaitkan dengan perubahan kapasitas sel Schwann untuk mendukung selubung mielin yang normal.

(31)

13

Berdasarkan penjelasan di atas, maka dapat disimpulkan bahwa salah satu kemungkinan penyebab perubahan mikrovaskular adalah suatu stres oksidatif, oleh karena pengobatan dengan agen antioksidan dapat mempertahankan perfusi normal, dan memulihkan transmisi sensorik dalam model diabetes tipe 1 (Inkster dkk., 2007).

2.2.1.3 Aktivasi mikroglia

Sel glia diketahui memiliki peran penting dalam patogenesis dari banyak penyakit sistem saraf, termasuk pada kondisi nyeri kronik. Sel glia meliputi makroglia (seperti astrosit, sel radial, dan oligodendrosit) serta sel mikroglia, yang bertanggung jawab untuk mempertahankan homeostasis, membentuk mielin, menyokong serta memberi perlindungan terhadap neuron pada sistem saraf pusat ataupun tepi (Mika dkk., 2013). Selama 10 tahun terakhir, para peneliti telah mengakui bahwa hubungan antara mikroglia, serta neuron berperan penting dalam berkembangnya nyeri neuropatik (Calvo dkk., 2012).

(32)

14

hiperglikemia, dari 4 minggu sampai 8 bulan. Aktivasi mikroglia ini dikaitkan dengan peningkatan pelepasan sitokin proinflamasi, perubahan sensorik dan regulasi naik saluran natrium Nav1.3 pada GRD sehingga menimbulkan dan mempertahankan nyeri neuropatik (Cheng dkk., 2014; Haanpää dan Hietaharju, 2015). Sebaliknya, diabetes dihubungkan dengan berkurangnya sifat imunoreaktif protein asam glia di medulla spinalis yang dapat mempengaruhi dukungan fungsional dan peran dari sel astrosit pada jaringan saraf, seperti pembersihan neurotransmiter di dalam celah sinaps (Schreiber dkk., 2015).

2.2.1.4 Hiperaktivitas jalur poliol

Kelainan metabolik merupakan penyebab primer ND. Menurut Schreiber dkk. (2015), hiperglikemia yang ditimbulkan melalui penurunan sekresi insulin ataupun resistensi insulin, bertanggung jawab untuk meningkatnya aktivitas jalur poliol. Enzim awal untuk jalur ini, aldose reduktase mengkatalisasi pembentukan sorbitol dari glukosa, kemudian sorbitol dioksidasi menjadi fruktosa oleh sorbitol dehidrogenase (Oates, 2002). Selama kondisi hiperglikemia, afinitas aldose reduktase untuk glukosa menjadi lebih tinggi, membuat suatu keadaan stres osmotik intraselular akibat penumpukan sorbitol yang tidak dapat melewati membran sel. Menariknya, kerusakan saraf yang mengikuti kondisi diabetes nampaknya tidak disebabkan oleh stres osmotik ini karena terdapat laporan mengenai konsentrasi sorbitol yang tidak bermakna pada saraf pasien diabetes (Schreiber dkk., 2015).

(33)

15

(Oates, 2002; Zychowska dkk., 2013). Menurunnya konsentrasi mio-inositol menyebabkan disfungsi enzim ATP-ase Na+/ K+ renal yang diperlukan untuk depolarisasi saraf (Haanpää dan Hietaharju, 2015). Semua perubahan tersebut di atas dapat menyebabkan perubahan struktural dalam saraf, seperti degenerasi Wallerian dan demielinasi segmental, mengakibatkan kerusakan saraf dan hilangnya serabut saraf (Zychowska dkk., 2013).

Hipotesis yang diterima saat ini menyatakan bahwa hiperaktivitas jalur poliol merupakan suatu kelainan primer dengan meningkatnya perubahan kofaktor seperti nicotinamide adenine dinucleotide phosphate hydrogen (NADPH) dan nicotinamide adenine dinucleotide (NAD+), yang menyebabkan berkurangnya

reduksi dan regenerasi glutation, begitu pula peningkatan produksi advanced glycation end products (AGEs) dan aktivasi diasilgliserol (DAG) serta protein kinase C (PKC) (Schreiber dkk., 2015). Deplesi glutation kemungkinan menjadi penyebab primer stres oksidatif dan berhubungan dengan akumulasi toksik (Oates, 2002).

2.2.1.5 Stres oksidatif

(34)

16

Seperti yang sudah dijelaskan sebelumnya, aktivasi jalur poliol merupakan penyebab primer stres oksidatif terkait diabetes. Stres oksidatif dapat memulai autooksidasi glukosa dan metabolitnya, meningkatkan pembentukan AGEs intraselular, meningkatkan ekspresi reseptor AGEs dan ligan yang mengaktifkannya, mengubah fungsi mitokondrial, aktivasi isoform PKC dan overaktivitas jalur heksosamin (Giacco dan Brownlee, 2010). Penelitian sebelumnya mendapatkan stres oksidatif disebabkan oleh pembentukan radikal bebas yang meningkat akibat metabolisme glukosa itu sendiri dan/atau defisit pada pertahanan antioksidan serta mungkin berperan penting pada mekanisme patogenik ND (Schreiber dkk., 2015).

2.2.1.6 Metilglioksal dan nyeri

(35)

17

2.2.1.7 Sensitisasi sentral

Nyeri neuropati diabetik merupakan konsekuensi perubahan sistem saraf pusat dan tepi. Selama terjadi NND, serabut aferen primer mengalami sensitisasi, menyebabkan hiperaktivitas kornu dorsalis dan perubahan neuroplastik pada neuron sensorik sentral (Schreiber dkk., 2015). Sensitisasi perifer dan impuls berlebih yang berkelanjutan di kornu dorsalis menyebabkan peningkatan respon terhadap rangsangan noksius maupun non noksius. Kejadian alodinia yang sering dialami pasien NND mendukung teori bahwa proses nyeri pada sistem saraf pusat mengalami perubahan, yang kemungkinan disebabkan oleh plastisitas struktural tunas serabut A-beta, yang mengarah ke pembentukan serabut kembali dari lamina kornu dorsalis dalam sistem saraf pusat (Aslam dkk., 2014).

Faktor yang dapat menyebabkan hiperaktivitas neuron spinal pada ND adalah peningkatan glutamat yang lepas dari aferen primer medulla spinalis (Wang dkk., 2007). Lebih jauh lagi, ekspresi reseptor N-methyl-D-aspartate (NMDA) spinal akan bertambah dalam kondisi ini, menyebabkan pelepasan glutamat dan eksitasi pascasinaps yang lebih sering dan meningkat (Wang dkk., 2007; Bai dkk., 2014). Sehingga dapat disimpulkan bahwa peningkatan ekspresi NMDA dan pelepasan glutamat dapat berkontribusi terhadap hiperaktivitas medulla spinalis.

(36)

18

reseptor NMDA di tingkat spinal pada tikus diabetes (Bai dkk., 2014; Schreiber dkk., 2015).

2.2.1.8 Modulasi simpatis nyeri

Serabut nosiseptif A-delta dan C normalnya tidak langsung terhubung ke sistem saraf simpatis. Teori yang sudah diterima secara luas yaitu sistem saraf simpatis tidak mengaktifkan sistem saraf sensorik dalam kondisi normal (Aslam dkk. 2014).

Neuropati menyebabkan hipersensitivitas pada saraf sebagai akibat transmisi abnormal yang dimediasi oleh epinefrin dari satu akson yang lain, disebut dengan transmisi epaptik (Aslam dkk., 2014). Saraf yang rusak di perifer juga menyebabkan pembentukan keranjang, disebut sprout simpatik di GRD, yang menghasilkan pelepasan noradrenalin, dan pada akhirnya menyebabkan hubungan saraf simpatik-sensorik (Kanno dkk., 2010). Hal ini menyebabkan peningkatan ektopik dan firing spontan, disebut sebagai nyeri yang dipertahankan secara simpatik (symphatetically maintained pain) (Aslam dkk., 2014).

2.2.2 Diagnosis Nyeri Neuropati Diabetik

(37)

19

penilaian numerik sederhana dapat digunakan untuk menilai frekuensi dan derajat nyeri. Derajat nyeri dapat dinilai dengan skala analog visual (VAS) ataupun skala penilaian nyeri numerik (NPRS) yang sudah banyak digunakan pada penelitian-penelitian mengenai nyeri. Sedangkan untuk menilai nyeri neuropatik, terdapat beberapa alat penapis yang dapat digunakan dengan mayoritas penelitian menggunakan Douleur Neuropathique en 4 Questions (DN4), Leeds Assessment of Neuropathic Symptoms and Signs (LANSS), dan Pain Disability Quetionnaire

(PD-Q). Setiap alat penapis memiliki kelebihan dan kekurangannya sendiri-sendiri. Berdasarkan suatu ulasan oleh CDTH (2015) dari 14 penelitian mengenai akurasi diagnostik alat penapis, DN4 merupakan alat penapis yang paling baik dengan sensitivitas 76 sampai 100% dan spesifisitas 45 sampai 92% pada semua pasien dewasa dengan nyeri, lebih unggul dari LANSS, PD-Q, dan Neuropathic Pain Quetionnaire dalam mendeteksi suatu nyeri neuropatik.

(38)

20

2.2.3 Penatalaksanaan Nyeri Neuropati Diabetik

Penatalaksanaan NND didasarkan pada tiga pendekatan utama: kontrol glikemik intensif dan manajemen faktor risiko, pengobatan berdasarkan mekanisme patogenesis, dan terapi nyeri (Javed dkk., 2015). Memaksimalkan kontrol glukosa adalah tujuan utama pada pasien yang sudah menderita NND dan pada mereka yang memiliki risiko terkena NND (Haanpää dan Hietaharju, 2015). Meskipun bukti uji coba terkontrol masih kurang, beberapa penelitian observasional menunjukkan bahwa gejala neuropati membaik tidak hanya dengan kontrol glukosa optimal, tetapi juga dengan menghindari fluktuasi glukosa darah yang ekstrim (American Diabetes Association, 2012). Selain kontrol glukosa darah yang ketat, modifikasi gaya hidup dan penanganan faktor risiko kardiovaskular adalah cara penting untuk mencegah perkembangan NND (Haanpää dan Hietaharju, 2015).

Pengobatan berdasarkan patogenesis yang diusulkan meliputi asam α-lipoic (mencegah pembentukan spesies oksigen reaktif), benfotiamin (mencegah kerusakan vaskular pada diabetes) dan penghambat aldose reduktase (mengurangi fluks melalui jalur poliol) (Tesfaye dkk., 2013; Javed dkk., 2015; Schreiber dkk., 2015). Obat-obat tersebut masih dalam penelitian dan belum dijadikan sebagai acuan terapi dalam pedoman klinis untuk penanganan NND.

(39)

21

pasien mengalami perbaikan nyeri sebesar 50% (Schreiber dkk., 2015). Berbagai jenis obat, baik yang digunakan secara tunggal ataupun kombinasi menunjukkan perbaikan terhadap NND secara bermakna pada banyak uji klinis acak terkontrol, namun perbaikan nyeri tetap tidak memuaskan bagi sebagian besar pasien. Sejumlah pedoman klinis telah berkembang untuk menentukan perawatan yang paling efektif pada pasien NND. Keamanan dan efikasi obat NND biasanya dibandingkan melalui NNT (number needed to treat, jumlah yang dibutuhkan untuk mengobati) dan NNH (number needed to harm, jumlah yang dibutuhkan untuk menimbulkan efek buruk) untuk mencapai perbaikan nyeri. Pemilihan agen lini pertama dan kedua berbeda antar pedoman karena perbedaan metodologi intrinsik dalam kriteria yang digunakan untuk menentukan efikasi (Javed dkk., 2015). Sebagian besar pedoman menyarankan penggunaan agen TCA, SNRI, ataupun analog GABA (gabapentin atau pregabalin) sebagai agen lini pertama diikuti oleh opioid dan obat topikal.

Sebuah tinjauan sistematis dan meta-analisis yang dihasilkan oleh Special Interest Group on Neuropathic Pain (NeuPSIG) IASP menyimpulkan bukti

(40)

22

penghambat reuptake serotonin seletif (SSRI, selective serotonin reuptake inhibitor), antagonis NMDA, dan terapi kombinasi belum dapat disimpulkan,

terutama karena hasil temuan yang berbeda-beda (Finnerup dkk., 2015). Tabel 2.2 menunjukkan perbandingan rekomendasi pedoman klinis obat-obat yang digunakan mengatasi NND. Walaupun demikian, tidak semua agen yang telah disebutkan di atas mampu menghilangkan gejala NND seperti penelitian dasarnya (Zhang dkk., 2013).

Tabel 2.2

Perbandingan rekomendasi pedoman klinis obat NND (Javed dkk., 2015)

Selain farmakoterapi, pilihan pengobatan nonfarmakologi juga harus dipertimbangkan untuk mengatasi NND. Terapi kognitif-perilaku (CBT, cognitive behavioral therapy) mengurangi keparahan nyeri dan gangguan pada pasien

(41)

23

2.3 Metilkobalamin

Vitamin B12 merupakan vitamin yang terlibat dalam beberapa metabolisme seperti sintesis dan regulasi DNA, sintesis asam lemak, dan produksi energi (Zhang dkk., 2013). Vitamin B12 memiliki beberapa analog, tergantung gugus yang terikat dengan molekul utamanya, meliputi sianokobalamin (Snkbl), metilkobalamin (Mekbl), hidroksokobalamin (Hkbl), dan adenosilkobalamin (Adokbl) (McDowell, 2008; Mutiawati, 2012; Zhang dkk., 2013). Sianokobalamin dan hidroksokobalamin merupakan bentuk inaktif sehingga tidak dapat digunakan secara langsung dalam tubuh manusia dan harus diubah menjadi bentuk aktif seperti Mekbl atau Adokbl (Zhang dkk., 2013).

Gambar 2.3a Struktur Kimia Metilkobalamin (Zhang dkk., 2013)

(42)

24

kelompok metil (McDowell, 2008). Dibandingkan dengan analog lainnya, Mekbl adalah bentuk paling efektif yang diserap oleh organel subselular neuron, sehingga dapat menyediakan pengobatan yang lebih baik untuk gangguan saraf melalui efek sistemik ataupun lokal (Zhang dkk., 2013).

Sebagai agen tambahan, Mekbl telah digunakan untuk menangani banyak penyakit seperti defisiensi B12 dan penyakit Alzheimer (McCaddon dan Hudson, 2010). Metilkobalamin juga memiliki proteksi neuronal antara lain mendorong terjadinya regenerasi dan pemeliharaan fungsi saraf yang cedera sehingga dapat mengurangi impuls ektopik (Zhang dan Ning, 2008). Beberapa penelitian menunjukkan bahwa Mekbl dapat memperbaiki keluhan neuropati perifer, mengurangi nyeri neuropati pada penderita DM, meningkatkan konduksi saraf tanpa disertai adanya efek samping yang berarti pada penderita (Hai-yan dkk., 2005; Thanon dkk., 2005; Dongre dan Swami, 2013; Mutiawati dkk., 2015). 2.3.1 Farmakokinetik Metilkobalamin

(43)

25

Pada orang normal, sebagian besar (90%) vitamin B12 disimpan pada hepar dengan jumlah rata-rata 1,5 mg, sedangkan pada ginjal, jantung, lien, dan otak masing-masing mengandung sekitar 20-30 mcg (McDowell, 2008; Kaushansky dan Kipps, 2011). Penyimpanan vitamin B12 di dalam tubuh dapat melebihi seribu kali lipat dari kebutuhan harian (McDowell, 2008).

Ekskresi vitamin B12 yang berkisar antara 2 sampai 5 mcg per hari sebagian besar melalui empedu dan feses, dan sedikit melalui urin (McDowell, 2008; Kaushansky dan Kipps, 2011).

2.3.2 Farmakodinamik Metilkobalamin

(44)

26

akhirnya mengaktifkan transpor aksonal dalam saraf serta mempercepat regenerasi selubung mielin (Meliala dan Barus, 2008; Mizukami dkk., 2011).

Gambar 2.3b Reaksi Metilasi, Pembentukan Timin dan Lesitin (Meliala dan Barus, 2008 dengan beberapa penyesuaian)

Sebagai koenzim dari metionin sintase, Mekbl diperlukan untuk pembentukan metionin dari homosistein dalam siklus metilasi yang meliputi metilasi DNA atau protein (Toohey, 2006; Mutiawati, 2012). Pada kondisi keseimbangan negatif metionin, homosistein diubah menjadi metionin dengan menerima gugus metil dari 5-metiltetrahidrofolat melalui kerja dari metionin sintase, menghasilkan timin, asam nukleat untuk sintesis protein yang dibutuhkan dalam pembentukan protein struktural neuron pada proses regenerasi saraf (Gambar 2.3b) (Zhang dan Ning, 2008).

Timin, protein DNA

Metionin Homosistein

Metilkobalamin

5-metil

tetrahidrofolat Tetrahidrofolat

S-adenosil-homosistein

S-adenosil metionin

(45)

27

2.3.3 Dosis Metilkobalamin

Dosis Mekbl untuk orang dewasa adalah 500 mcg setiap hari secara IM atau 3 kali seminggu secara IV dan 1500 mcg secara oral terbagi dalam 3 dosis, dapat disesuaikan tergantung pada usia dan gejala pasien (Eisai Co., Ltd., 2005; Andradi dkk., 2011).

2.3.4 Efek Samping Metilkobalamin

Metilkobalamin ditoleransi oleh tubuh dengan baik, dengan kejadian efek samping yang pernah dilaporkan pada sekitar 0,45% pasien yang mendapatkan injeksi Mekbl (Eisai Co. Ltd., 2005). Efek samping termasuk nyeri kepala dan sensasi rasa panas (kurang dari 1%), gejala saluran cerna seperti anoreksia, mual atau muntah, dan diare (kurang dari 1%), serta reaksi anafilaksis dan ruam hipersensitivitas (kurang dari 0,1%) (Meliala dan Barus, 2008).

2.4 Metilkobalamin sebagai Analgesik Ajuvan pada Nyeri Neuropati Diabetik

(46)

28

Zhang dkk., 2013). Suatu metaanalisis oleh Sun dkk. (2005) melaporkan bahwa pemberian Mekbl pada kasus ND memberikan efek yang menguntungkan berupa penurunan intensitas nyeri, perbaikan gejala otonom, serta perbaikan kecepatan hantar saraf pada pemeriksaan elektrofisiologi.

Beberapa kemungkinan mekanisme analgesik Mekbl telah diperkirakan oleh para ahli, seperti meningkatkan kecepatan konduksi saraf, mendorong regenerasi saraf yang cedera, dan menghambat cetusan ektopik spontan (Andradi dkk., 2011; Zhang dkk., 2013). Selain itu, Mekbl juga diketahui dapat meningkatkan availabilitas dan efektivitas noradrenalin dan 5-hidroksitriptamin pada sistem inhibisi nosiseptif desenden (Zhang dkk., 2013). Walaupun demikian, mekanisme pasti efek analgesik preparat tersebut masih tetap sulit dipahami sepenuhnya sampai saat ini.

Terdapat bukti penelitian yang menunjukkan bahwa pemberian Mekbl dosis tinggi meningkatkan konduksi saraf pada pasien dengan ND. Bukti morfologi dan histologi mengkonfirmasi bahwa pemberian Mekbl jangka panjang mendorong terjadinya sintesis dan regenerasi mielin (Okada dkk., 2010). Perbaikan morfologi dan histologi mielin dapat meningkatkan kecepatan konduksi saraf dan fungsi neuronal pada neuropati perifer.

(47)

29

2008; Zhang dan Ning, 2008; Andradi dkk., 2011; Mizukami dkk., 2011). Penelitian oleh Mutiawati dkk. (2015) juga menunjukkan bahwa terapi Mekbl berhasil menurunkan sprouting, menunjukkan bahwa terdapat proses regenerasi sel saraf pada tikus coba yang diberikan Mekbl.

Gambar

Gambar 2.2 Impuls Ektopik oleh Neuroma (Stahl, 2008)
Tabel 2.2
Gambar 2.3a Struktur Kimia Metilkobalamin (Zhang dkk., 2013)
Gambar 2.3b Reaksi Metilasi, Pembentukan Timin dan Lesitin (Meliala dan Barus, 2008 dengan beberapa penyesuaian)

Referensi

Dokumen terkait

Seperti telah diutarakan, novel ini adalah novel biasa tentang obsesi, ambisi, harta dan cinta --- dengan kata lain, tema yang diusung oleh pengarang novel ini adalah

babinskin. Masalah : Yaitu keadaan yang menyertai saat bayi baru lahir.. Kebutuhan : Pada kasus BBLR terdapat kebutuhan yang sesui. yaitu menjega suhu bayi tetap hangat

PEMANFAATAN SEBAGAI AGEN HAYATI Pemanfaatan spesies lain sebagai pengendalian hayati juga sudah dilakukan antara lain seperti parasit cacing hati unggas, sehingga

Musyarakah.. Dana yang diajukan oleh nasabah hanya dipakai selama 2 bulan saja dengan pengembalian pokok dan bagi hasil langsung diberikan kepada pihak BPRS investama

“ Motivasi belajar mahasiswa akan meningktat setelah mengikuti acara dari sng motivator Mario Teguh.. Buat kesimpulan dari

pengembangan senjata nuklir oleh Korea Utara yang dilakuakan secara secara

Perbedaan dengan penelitian sebelumnya yaitu pengujian dilakukan lebih dalam untuk mengetahui hubungan waktu encode dengan resolusi citra dan banyaknya karakter

Conney dalam Risnawati berpendapat bahwa “mengajarkan penyelesaian masalah kepada peserta didik, memungkinkan peserta didik itu lebih analitik dalam mengambil