Teknologi Nuklir dan Pengembangannya di Bidang Militer
Studi kasus : Krisis Nuklir Korea Utara
Essay ini disusun dalam rangka memenuhi tugas akhir Mata Kuliah
Isu-Isu Global
Oleh:
Ciptahadi Nugraha
10/296341/SP/23828
JURUSAN ILMU HUBUNGAN INTERNASIONAL FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK
UNIVERSITAS GADJAH MADA YOGYAKARTA
Ciptahadi Nugraha 10/296341/SP/23828
Teknologi Nuklir dan Pengembangannya di Bidang Militer
Studi kasus : Krisis Nuklir Korea Utara
Isu Proliferasi senjata nuklir merupakan salah satu dari isu yang sangat menonjol
dalam globalisasi politik dunia. Pengembangan dan persebaran senjata-senjata nuklir (baik
secara kualitas maupun kualitas) dan kemampuannya sebagai alat penghancur massal, baik
untuk memusnahkan seluruh kota dan negara, maupun penduduk bumi, membuat isu
proliferasi senjata nuklir menjadi fokus perhatian dalam agenda keamanan global.1
Bicara mengenai kemanan, baik itu di tingkat intern suatu negara, maupun di tingkat
regional dan internasional tidak dapat terpisahkan lagi dengan masalah persenjataan. Secara
general, studi mengenai isu-isu keamanan dalam studi hubungan internasional selalu
dikaitkan dengan konflik bersenjata, yang menekankan bahwa pihak militer sebagai pihak
yang memonopoli kepemilikan dan penggunaan senjata dalam skala yang besar.2
Bila kita lihat pada masa perang dingin, isu senjata ini cenderung mendapatkan
perhatian yang lebih besar daripada isu-isu yang lainnya, hal ini wajar mengingat pada masa
perang dingin, blok barat yang dipimpin oleh Amerika Serikat dan blok timur yang dipimpin
oleh Uni-sovyet tengah berlomba-lomba mengembangkan teknologi nuklir mereka. Sehingga
pada masa itu dunia mengalami ketakutan akan adanya kemungkinan pecahnya perang nuklir
yang efeknya tentu lebih dahsyat daripada perang dunia kedua.3
Pada era pasca perang dingin pun isu mengenai pengembangan senjata nuklir ini
masih menjadi sorotan berbagai pihak, baik negara, maupun aktor-aktor non-negara.
Penggunaan kekuatan militer dalam hubungan antar negara pun kelihatannya tidak
sepenuhnya terhenti pasca perang dingin. Hal ini dapat kita lihat dengan menegok bagaimana
1
B. Winarno, Isu-Isu Global Kontemporer, CAPS, Yogyakarta, 2011, p. 240.
2
IR Theory, IR Paradigsm, Aproaches, and Theories (online), 2012, <http://www.irtheory.com/know.htm>, diakses pada tanggal 10 Januari 2012, pukul 08.06
3
Nobelprize, The Development and Proliferation of Nuclear Weapons (online), 2003,
Amerika Serikat melancarkan invasi militernya ke Irak pada tahun 2003 yang lalu yang
berlatar belakang mengenai adanya dugaan Irak dibawah pemerintahan Saddam Hussein
mengembangkan senjata pemusnah massal, yang diduga merupakan senjata nuklir.4
Isu penggunaan senjata nuklir sebagai salah satu upanya memperkuat pertahanan
suatu negara ini kembali muncul ke permukaan, meskipun sebelumnya isu mengenai
penggunaan nuklir dalam militer ini sempat tenggelam pasca perang dingin. Hal ini dapat kita
lihat dari memanasnya isu pengembangan nuklir di Korea Utara dan juga Iran, yang sempat
menjadi isu yang cukup serius dalam hubungan internasional, dan dianggap membahayakan
keberlangsungan keamanan dan perdamaian dunia.5
Isu nuklir Korea Utara yang dimaksud disini ialah kegiatan proyek untuk
pengembangan senjata nuklir oleh Korea Utara yang dilakuakan secara secara rahasia. Pada
awal tahun 90an, kenyataan bahwa Korea Utara mengembangkan senjata nuklir terbongkar
(krisis nuklir Korea Utara putaran pertama).
Pada tahun 1993, di tengah kecurigaan bahwa Pyongyang mencoba mengembangkan
senjata nuklir, Korea Utara menarik diri dari perjanjian non-proliferasi nuklir, NPT(Nuclear
Nonproliferation Treaty)6, hingga menimbulkan krisis nuklir Korea Utara putaran pertama.7
Krisis itu, setelah hampir mendekati ambang pintu pecahnya perang pada Juni 1994, berakhir
setelah Kesepakatan Jenewa pada bulan Oktober 1994 diumumkan oleh Korea Utara dan
AS.8
Korea Utara menandatangani perjanjian dengan IAEA untuk melaporkan keadaan
program nuklirnya secara wajib dengan IAEA pada Januari 1992.9 Sesuai dengan perjanjian
itu, IAEA melakukan 6 kali inspeksi di Korea Utara dan menemukan bukti jejak bahwa
beberapa kilogram plutonium yang bisa membuat senjata nuklir pernah diekstraksi, berbeda
jauh laporan Korea Utara yang mengatakan kepada IAEA bahwa mereka hanya mengekstrasi
4
BBC, US Reveals Iraq Nuclear Weapon (online), 2004,
<http://news.bbc.co.uk/2/hi/middle_east/3872201.stm>, diakses pada tanggal 10 Januari 2012, pukul 09.49
5
KBS World, Ada Kecurigaan Koneksi Nuklir Antara Iran dan Korut (online), 2011,
<http://world.kbs.co.kr/indonesian/news/news_hotissue_detail.htm?No=32415>, diakses pada tanggal 10 Januari 2012, pukul 15.00
6
United Nations, Non-Proliferation of Nuclear Weapon (online), 2005,
<http://www.un.org/en/conf/npt/2005/npttreaty.html>, diakses pada tanggal 10 Januari 2012, pukul 17.09
7
BBC, Q&A: North Korean Nuclear Talks (online), 2011, < http://www.bbc.co.uk/news/world-asia-pacific-11813699>, diakses pada tanggal 10 Januari, pukul 18.00
8
Ibid.
9
IAEA, Agreement of 30 January 1992.... (online), 1992,
90 gram bahan nuklir dari fasilitas nuklirnya.10 Dengan hasil inspeksi itu, pihak IAEA
meminta pemeriksaan khusus, dan Korea Utara menolaknya dan kemudian menarik diri dari
NPT sebagai aksi protes.
Mengenai masalah itu, hampir sepanjang tahun dilakukan negosiasi, tetapi gagal
untuk menemukan titik temu, sehingga krisis itu hampir mendekati perang pada Juni 1994.
Ketegangan mendapat jalan keluar dengan kunjungan dramatis oleh mantan presiden AS,
Carter, yang mengadakan pertemuan dengan pemimpin Korea Utara, Kim Il-sung. Negosiasi
AS dan Korea Utara itu kemudian menghasilkan Kesepakatan Jenewa pada Oktober 1994
yang dinegosiasi oleh duta besar AS urusan nuklir, Robert Gallucci dan wakil menlu Korea
Utara, Kang Suk-ju. Kedua belah pihak sepakat dalam negosiasi itu bahwa Korea Utara
menghentikan program nuklirnya dan sebagai imbalannya akan menerima reaktor air ringan
dan minyak berat, hingga bisa mencapai konklusi tetang krisis nuklir Korea Utara putaran
pertama.11
Pada 1995, Korea Utara setuju, setelah setahun negosiasi dengan AS untuk
menghentikan pengembangan senjata nuklirnya dan akan mendapatkan reaktor air ringan
untuk menuntaskan masalah energinya sebagai imbalan, hingga krisis nuklir putaran pertama
berakhir.12
Namun, Korea Utara melakukan kembali proyek program pengembangan nuklir
secara rahasia, sampai hal itu ditemukan kembali oleh AS, sehingga memicu krisis nuklir
Korea Utara putaran kedua. Masalah itu muncul setelah asisten menteri luar negeri AS, James
Kelly mengunjungi Pyongyang pada Oktober 2002, dan mitranya dari Korea Utara secara
pribadi mengakui mereka memiliki progam nuklir. Korea Utara mengklaim bahwa AS telah
melanggar perjanjian Jenewa dengan penundaan konstruksi reaktor air ringan, sedangkan AS
menuduh Korea Utara terus melanjutkan program nuklirnya bahkan setelah menyetujui
perjanjian internasional.13
10
Sciencemag, North Korea’s Nuclear Shell Game (online),2004,
<http://www.sciencemag.org/content/303/5657/452.citation>, diakses pada tanggal 10 Januari 2012, pukul 21.00
11
US Government Info, The North Korean Nuclear Situation (online),
<http://usgovinfo.about.com/library/weekly/aankorea.htm>, diakses pada tanggal 11 Januari 2012, pukul 19.48
12
Ibid.
13
VoA, US Again Says N. Korea Admitted to Enriching Uranium (online), 2007,
Krisis nuklir Korea Utara putaran kedua berarti kasus pembatalan persetujuan Jenewa
akibat pengakuan Korea Utara tentang kepemilikan program nuklir rahasianya, sehingga
pembahasan isu senjata nuklir Korea Utara kembali ke poin awal. Korea Utara dicurigai
sudah lama mengerjakan program nuklir rahasia. Inspeksi di tempat yang diadakan oleh AS
di Kumchangri, dimana fasilitas nuklir dibawah tanah dicurigai terdapat, terbukti tempat itu
bukan fasilitas nuklir. Tetapi dalam kunjungan ke Pyongyang, asisten menteri luar negeri AS,
James Kelly pada tahun 2002 mendesak Korea Utara untuk menjawab kecurigaan tentang
adanya program nuklir rahasia mereka dan pihak Pyonyang mengakuinya.
Sehingga program nuklir Korea Utara sekali lagi menjadi isu utama di masyarakat
internasional. 14
Krisis itu semakin memburuk dengan tindakan keras satu sama lain, termasuk
penghentian pengiriman minyak oleh KEDO dan pencabutan batang bahan bakar nuklir oleh
Korea Utara maka akhirnya Pyongyang mengumumkan penarikan diri dari NPT 10 Januari
2003.15
Untuk mengatasi krisis itu, pertemuan segi 6 (Korsel, Korut , AS, Jepang, RRC,
Rusia) setuju dibentuk sebagai kerangka, dan pertemuan putaran pertama, Pertemuan segi-6
diadakan antara 27 dan 29 Agustus 2003 di Beijing.16
Pertemuan segi 6 sendiri adalah kerangka negosiasi multilateral, yang bertujuan untuk
menuntaskan krisis nuklir Korea Utara putaran kedua. Kerangka multilateral itu sangat
kontras dengan keadaan pertemuan bilateral Korea Utara dan AS yang mencapai konklusi
krisis nuklir Korea Utara putaran pertama.
Dalam krisis kedua, Korea Utara bersikokoh agar dilakukan pertemuan bilateral,
tetapi AS tidak bersedia untuk negosiasi langsung dengan Korea Utara, karena tidak percaya
kepada Korea Utara yang terus melanjutkan program nuklir rahasia bahkan setelah
mengumumkan persetujuan Jenewa. Oleh karena itu, pembangunan kerangka pembahasan
multilateral dirancang sebagai sebuah alternatif. Walaupun ada faktor positif bagi AS, Korea
Utara dan 4 negara lain untuk bekerja sama untuk mengatasi masalah kepercayaan Korea
14
BBC, Timeline : N Korea Nuclear Stand-off (online), 2007, < http://news.bbc.co.uk/2/hi/asia-pacific/2604437.stm>, diakses pada tanggal 11 Januari, pukul 23.00
15
Guardian, North Korea Withdraws from Nuclear Treaty (online), 2003,
<http://www.guardian.co.uk/world/2003/jan/10/northkorea1>, diakses pada tanggal 12 Januari, pukul 20.45
16
NTI, North Korea’s Nuclear Weeapons Program and the Six-party Talks (online), 2006,
Utara, namun, pertemuan segi 6 dikritik sangat lemah karena sulit memproduksi hasil konkrit
melalui negosiasi secara intensif.
Di era globalisasi sekarang ini, persoalan proliferasi nuklir memang menjadi semakin
kompleks, dan karenanya tidak bisa didekati dengan menggunakan perspektif rezim
proliferasi semata, atau membiarkan penyebaran nuklir berlangsung begitu saja. Sebagaimana
dikemukakan oleh banyak analisis, “perlu mempertimbangkan sejumlah faktor yang
mempengaruhi kepemilikan senjata nuklir. Yang mungkin saja mencakup : faktor-faktor
teknologi tradisional, tersedianya teknologi dan para ilmuwan yang terlatih baik yang
mendorong kepemilikan nuklir, politik domestik, diplomatic bergaining, bahwa kepemilikan nuklir bisa digunakan untuk mempengaruhi atau melakukan bargaining secara politik atau ekonomi dengan sekutu atau musuh-musuhnya, dan non-intervention, dengan memiliki
teknologi nuklir, bisa menghalangi atau mencegah intervensi oleh negara lain.”17
Namun dilain pihak pengembangan teknologi nuklir sendiri berkembang amat pesat di
negara-negara yang berkonsentrasi untuk membuat nuklir menjadi suatu hal yang lebih
berguna daripada senjata, misalnya sebagai sumber enegi. Namun memang tidak dapat
dipungkiri, setelah suksesnya Amerika menghantam Jepang lewat dijatuhkannya dua buah
bom atom di Hiroshima dan Nagasaki pada saat Perang Dunia II, kekuatan penghancur
senjata yang dikembangkan atas dasar teknologi nuklir tidak perlu diragukan lagi, serta
mendorong negara lain untuk mengembangkan hal serupa untuk menjaga keamanan negara
mereka masing-masing, juga nilai tambah senjata nuklir dapat digunakan sebagai show off
power yang membuat negara lain segan, dan memberikan keuntungan bergaining power pada negara pemilik nuklir tersebut, sehingga tidak heran walaupun dunia internasional mengecam
penggunaan senjata nuklir, masih ada negara-negara yang dengan serius menggarap proyek
pengembangan senjata nuklir demi kepentingan mereka.
17