• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB 2. TINJAUAN PUSTAKA

2.2. Penyakit Arteri Perifer (PAP)

2.2.4. Patofisiologi

PAP merupakan proses sistemik yang berpengaruh terhadap sirkulasi arteri multipel yang disebabkan oleh karena adanya aterosklerosis, penyakit degeneratif, kelainan displasia, inflamasi vaskular (arteritis), trombosis in situ, dan tromboemboli. Dari sekian proses patofisiologi yang mungkin terjadi, penyebab utama PAP yang paling banyak di dunia adalah aterosklerosis. Aterosklerosis biasanya didahului oleh adanya disfungsi endotel. Endotelium sehat, normalnya berfungsi untuk mempertahankan homeostasis pembuluh darah dengan menghambat kontraksi sel otot polos, proliferasi tunika intima, trombosis, dan adhesi monosit. Endotel memiliki peranan penting dalam meregulasi proses inflamasi dalam pembuluh darah yang normal, yakni menyediakan permukaan antitrombotik yang menghambat agregasi platelet dan memfasilitasi aliran darah.

Endotelium normal mengatur proses trombosis melalui pelepasan oksida nitrat, yakni NO, yang menghambat aktivasi trombosit, adhesi, dan agregasi, serta mediator lain dengan kegiatan antitrombotik. Zat yang diperdebatkan sebagai zat paling penting yang berperan dalam proses relaksasi pembuluh darah adalah Nitrat Oksida (NO). Aktivitas biologis NO ternyata terganggu pada pasien dengan penyakit vaskular aterosklerotik koroner dan pembuluh darah perifer.10-13 Proses terjadinya aterosklerosis dibagi menjadi beberapa tahap:13

1. Kerusakan Endotel

Ada dua faktor penyebab kerusakan pada endotel yaitu faktor kimia dan faktor fisik. Kerusakan akibat bahan kimia terutama disebabkan oleh penggunan tembakau, hiperkolesterolemia dan hipertrigliseridemia, sering terjadi pada penderita diabetes dengan kelainan metabolisme lemak dan

glukosa. Kerusakan fisik pada pembuluh darah lebih lanjut kemungkinan diakibatkan oleh pembentukan ateroma yang terbawa oleh aliran darah dan menimbulkan kerusakan pada dinding pembuluh darah, biasanya pada tempat percabangan (bifurkasio) arteri. Hipertensi juga berperan penting dalam menimbulkan penyakit arteri.

Gambar 2.2. Disfungsi endotel pada lesi aterosklerotik24

2. Deposisi Lemak

Kerusakan endotel yang terjadi menyebabkan peningkatan permeabilitas terhadap lemak dan sel-sel inflamasi yang akan dideposisi pada lapisan sub endotel. Pada tempat ini kemudian terbentuk suatu ateroma yang berbentuk datar dan berwarna kekuningan (fatty streak).

3. Infiltrasi Sel-Sel Inflamasi

Leukosit melekat pada bagian endotel yang rusak kemudian bermigrasi ke dalam lapisan sub endotel, mengikis lemak dan menjadi sel busa (foam cell), membebaskan radikal bebas dan protease yang dapat merusak dinding arteri. Sel-sel tadi juga membebaskan sitokin-sitokin yang akan merangsang leukosit-leukosit lain dan sel otot polos dari tunika media. Lapisan endotel sekarang

menjadi lebih “lengket“ dan akan memudahkan deposisi platelet dan terjadinya trombosis.

Gambar 2.3. Pembentukan fatty-streak pada proses aterosklerotik24

4. Sel Otot Polos

Sel-sel otot polos akan bermigrasi dari tunika media ke dalam ruangan sub endotel untuk kemudian berproliferasi. Sel otot polos ini akan menimbulkan pembentukan jaringan ikat dan penumpukan kolagen. Pada tempat ini, ateroma yang terbentuk akan sedikit terangkat dan mempersempit lumen arteri.

5. Pecahnya plak

Plak yang terbentuk mengandung lapisan tipis penutup endotel yang berisi masa lemak, sel-sel inflamasi dan otot polos. Plak ini akan melunak akibat infiltrasi pembuluh darah baru yang terjadi dalam plak (angiogenesis). Segala bentuk trauma kimia maupun fisik akan menyebabkan pecahnya plak dan akan mengakibatkan oklusi trombus akut pada arteri atau embolisasi pada tempat yang lebih distal.

Gambar 2.4. Pembentukan tahap akhir lesi aterosklerotik24

2.2.5. Dampak dan Faktor Risiko

Pasien dengan PAP kemungkinan mengalami banyak masalah, seperti klaudikasio intermiten, critical limb ischemia (CLI), ulserasi iskemik, rawat inap berulang, revaskularisasi, dan amputasi anggota tubuh. Hal ini menyebabkan kualitas hidup pasien menjadi buruk dan meningkatkan kejadian depresi pada pasien. Pasien dengan PAP juga memiliki kemungkinan lebih besar mengalami serangan jantung, stroke, dan kematian akibat penyakit jantung.10,12

Penyebab terbesar PAP adalah adanya aterosklerosis, sehingga dapat dikatakan bahwa faktor risiko aterosklerosis juga menjadi faktor risiko PAP.12 Faktor risiko klasik PAP adalah usia tua, hipertensi, dislipidemia, diabetes melitus, dan merokok. Jenis kelamin dan ras diketahui juga merupakan faktor risiko dari PAP. Faktor risiko potensial lainnya adalah merokok, peningkatan kadar c-reactive protein, fibrinogen, homosistein, apolipoprotein b, lipoprotein a dan viskositas plasma.3,11

2.3. Sindroma Metabolik dan PAP 2.3.1. Diabetes Melitus dan PAP

Diabetes meningkatkan risiko kejadian PAP simptomatik dan asimptomatik sebesar 1,5-4 kali lipat, dan mengarah pada peningkatan kejadian penyakit kardiovaskular dan kematian lebih dini. Risiko terjadinya PAP proporsional dengan keparahan dan durasi diabetes. Pasien diabetes dengan PAP memiliki kemungkinan 7-15 kali lipat lebih tinggi untuk mengalami amputasi dibanding pasien non diabetes dengan PAP. Diabetes melitus mengakselerasi perjalanan proses aterosklerosis, yang dapat menghasilkan insiden penyakit perifer, koroner, dan serebrovaskular yang lebih tinggi. Hubungan patofisiologis diabetes dalam menimbulkan PAP tidak diketahui dengan jelas, karena terdapat dua efek langsung, yakni dari hiperglikemia serta adanya hipertensi dan hiperlipidemia yang sering terjadi pada pasien dengan diabetes.14

Banyak bukti menunjukkan bahwa disfungsi endotel terlibat dalam patogenesis penyakit vaskular pada pasien diabetes. Disfungsi endotel pada DM tipe 1 terjadi karena berkurangnya sensitivitas sel-sel otot polos pembuluh darah terhadap NO. Pada individu dengan DM tipe 2, disfungsi endotel tampaknya didasarkan pada penurunan bioavailabilitas NO. Peningkatan produksi superoksida radikal tidak hanya menyebabkan peningkatan inaktivasi NO, tetapi juga meningkatkan sintesis prostanoid yang berfungsi sebagai vasokonstriktor dengan adanya pembentukan hidrogen peroksida (H202) dan radikal hidroksil.11

2.3.2. Hipertensi dan PAP

Hampir setiap studi menunjukkan adanya hubungan yang kuat antara hipertensi dan PAP, dan sebanyak 50% sampai 92% dari pasien dengan PAP memiliki riwayat hipertensi. Pada laki-laki dan wanita dengan hipertensi, risiko terjadinya klaudikasio juga meningkat 2,5 hingga 4 kali lipat. Systolic Hypertension in the Elderly Program (SHEP), dalam studinya menyatakan, 5,5%

dari peserta memiliki ankle brachial index (ABI) di bawah 0,90.14

Hipertensi menyebabkan perubahan yang kompleks dalam struktur dinding arteri.14 Pada penderita hipertensi, fungsi endotel mengalami gangguan,

jaringan elastin pada dinding arteri digantikan oleh jaringan kolagen, dan terdapat hipertrofi medial. Semua faktor ini berkontribusi terhadap penurunan komplians vaskular. Hipertensi menyebabkan terjadinya proses aterosklerosis yang lebih agresif yang terjadi di seluruh sirkulasi, dan merupakan faktor risiko penyakit serebrovaskular dan penyakit koroner. Hipertensi juga diakui sebagai faktor risiko utama untuk terjadinya PAP.11

Mekanisme hipertensi menyebabkan PAP belum sepenuhnya dimengerti.

Hipertensi dapat mempengaruhi kejadian PAP melalui perannya dalam proses terjadinya aterosklerosis. Hipertensi merupakan faktor risiko terjadinya aterosklerosis melalui berbagai mekanisme, antara lain disfungsi sel endotel, inflamasi, penurunan kadar NO dan abnormalitas faktor hemostasis yang dimediasi oleh peningkatan Angiotensin-II (ANG-II) serta Endothelin-1 (ET-1).

Tekanan darah yang tinggi menyebabkan arteri berdilatasi dan teregang berlebihan sehingga dapat mengakibatkan cedera pada endotel. Disfungsi endotel menyebabkan abnormalitas tonus otot polos pembuluh darah, proliferasi sel otot polos pembuluh darah, gangguan koagulasi dan fibrinolisis serta inflamasi persisten.10,11

Hipertensi terkait dengan ketidakseimbangan hemostasis. Pasien dengan hipertensi memiliki kadar fibrinogen, plasminogen activator inhibitor-1 (PAi-1), tissue plasminogen activator (TPA), fibrinogen dan trombomodulin yang lebih tinggi dibandingkan dengan individu normotensi. Oleh karena itu pasien dengan hipertensi lebih rentan terhadap proses aterotrombotik. Mekanisme gangguan hemostasis pada hipertensi belum sepenuhnya dimengerti. Namun demikian, ini diduga disebabkan oleh shear stress, disfungsi endotel dan aktivitas II. Ang-II menstimulasi ekspresi berlebihan dari PAi-1 yang menyebabkan gangguan fibrinolisis.10,11

Pada hipertensi, kadar dan aktivitas Ang-II serta ET-1 meningkat. Ang-II menyebabkan vasokonstriksi, retensi natrium, sekresi aldosteron, fibrosis, proliferasi selular, pembentukan superoksida, inflamasi dan trombosis. Ang-II menstimulasi konversi NADPH/NADH di endotel, sel otot polos dan adventisia pembuluh darah menjadi ROS. Peningkatan ROS mengakibatkan disfungsi

endotel, proliferasi dan inflamasi.15 ROS menyebabkan hambatan sintesis dan peningkatan degradasi NO yang dibutuhkan untuk vasodilatasi dan relaksasi dinding pembuluh darah. Reaksi ROS dan NO akan membentuk ONOO- yang merupakan metabolit toksik terhadap endotel. Ang-II memicu upregulasi ET-1, molekul adesi, nuclear factor-κB (NF-κB) dan mediator pro-inflamasi lainnya.

ET-1 juga memicu vasokonstriksi, proliferasi, inflamasi, pembentukan ROS dan aktivasi trombosit yang ikut menyumbang dalam proses aterosklerosis.16

2.3.3. Dislipidemia dan PAP

Dislipidemia mempengaruhi struktur endotel dinding arteri, yang dapat menyebabkan pembentukan lesi aterosklerotik. Kolesterol LDL merupakan salah satu penyebab utama dari disfungsi endotel dan cedera otot polos. Perubahan struktur endotel memungkinkan lipoprotein memasuki dinding arteri, menjadi teroksidasi, dan mendukung pembentukan fatty streak, yang merupakan lesi awal pada aterosklerosis. Hal ini akan berkembang menjadi lesi yang lebih kompleks yang menyebabkan stenosis atau oklusi arteri. Peningkatan kadar kolesterol LDL juga diketahui dapat meningkatkan risiko terkena penyakit kardiovaskular dan PAP.3,11

Sementara penurunan HDL-kolesterol dianggap meningkatkan risiko terjadinya penyakit kardiovaskular karena sedikitnya tiga alasan, yaitu HDL dinilai dapat mencegah terhadap aterogenesis, rendahnya kadar HDL menggambarkan adanya peningkatan lipoprotein yang mengandung apoB yang bersifat aterogenik, dan rendahnya HDL umumnya berkaitan dengan faktor risiko non-lipid dari sindrom metabolik.17

2.4. Faktor Risiko PAP lainnya 2.4.1. Usia

Menurut ACCF/AHA usia tua adalah faktor risiko utama menderita PAP.

Risiko PAP meningkat seiring dengan bertambahnya usia, dari 3% pada usia < 50 tahun hingga > 20% pada usia ≥ 70 tahun. Hubungan usia dan PAP mencerminkan lebih panjangnya lama paparan terhadap faktor-faktor aterogenik

disertai efek-efek kumulatif penuaan pada pembuluh darah. Proses penuaan secara alami menyebabkan pembuluh darah orang tua lebih rentan mengalami aterosklerosis.

Sel-sel radang, sel endotel dan sel otot polos pembuluh darah pada orang tua berbeda dibandingkan sel-sel pada orang dengan usia lebih muda. Penuaan menyebabkan perubahan dalam potensi proliferasi sel, proses apoptosis dan kerusakan DNA. Penurunan NO menyebabkan gangguan relaksasi pada pembuluh darah. Sel endotel dan sel otot pembuluh darah pada orang tua mensekresi sitokin proinflamasi yang menyebabkan inflamasi persisten pada pembuluh darah.

Lapisan intima dan media pembuluh darah pada proses penuaan terus mengalami remodeling berupa peningkatan deposisi kolagen dan degenerasi elastin sehingga pembuluh darah kehilangan elastisitasnya dan menjadi kaku.14,18

2.4.2. Ras dan Jenis Kelamin

The National Health and Nutrition Examination Survey, sebuah survei di Amerika Serikat pada hasil penelitiannya menemukan informasi bahwa ABI 0,90 umumnya lebih sering terdapat pada ras kulit hitam non-Hispanik 7,8%

dibandingkan dengan ras kulit putih 4,4 %.11

Hasil penelitian Egogrova dkk memperoleh rasio perempuan dan laki-laki yang menderita PAP adalah 46% berbanding 54% (p= 0.0001).19 Studi oleh Vavra dkk juga menyimpulkan prevalensi rata-rata PAP pada wanita adalah 13,4% dan lebih rendah dibandingkan pria yakni sebesar 15,6%.20 Pria lebih rentan mengalami proses aterosklerosis dibandingkan wanita. Hormon estrogen memilki properti vasoprotektif yang mencegah proses aterosklerosis pada wanita.

Mekanisme vasoproteksi estrogen belum sepenuhnya dimengerti dan diduga diperantarai oleh efek estrogen terhadap NO, profil lipid dan efek antiinflamasi.2

Wanita memilki respon relaksasi dan vasodilatasi pembuluh darah yang lebih baik dibandingkan pria. Estrogen meningkatkan kerja antioksidan, menurunkan kadar LDL dan meningkatkan kadar HDL, serta memiliki efek anti-inflamasi. Estrogen juga memacu pertumbuhan endotel baru, menghambat proliferasi sel otot polos pembuluh darah.22

2.4.3. Merokok

Merokok merupakan salah satu faktor risiko utama PAP, terutama pada penderita usia muda. Merokok dapat menyebabkan kerusakan pada endotel, mendorong terjadinya koagulasi, dan mempercepat terjadinya aterosklerosis.

Cardiovascular Health Study menyatakan, perokok memiliki risiko relatif sebesar 2,5 kali lebih besar untuk menderita PAP dibanding non perokok. Studi lain menyatakan bahwa mantan perokok memiliki risiko relatif tujuh kali lipat untuk menderita PAP dan perokok aktif sebesar 16 kali lipat bila dibandingkan dengan pasien non perokok.11,15

2.4.4. Kadar C-reactive Protein

Peningkatan kadar C-reactive protein merupakan penanda serologis peradangan sistemik yang berhubungan dengan PAP. Peneliti 'Health Study' menyatakan, orang yang memiliki konsentrasi C-reactive protein pada kuartil tertinggi memiliki peningkatan risiko 2,1 kali lipat menderita PAP dibanding orang yang sehat.11,16

2.4.5. Kadar Homosistein

Beberapa peneliti telah menguji pengaruh homosistein terhadap pertumbuhan sel-sel endotel pada jaringan yang dikultur. Hasil penelitian tersebut membuktikan bahwa homosistein dapat memberikan efek sitotoksis langsung terhadap endotel, sehingga terjadi kerusakan dan gangguan terhadap endotel.

Peningkatan kadar homosistein berhubungan dengan peningkatan risiko untuk terjadinya PAP sebesar 2 sampai 3 kali lipat.11,21

2.4.6. Viskositas Plasma dan Kadar Fibrinogen

Kondisi kadar hematokrit yang meningkat dan hiperviskositas dilaporkan terdapat pada pasien dengan PAP, kemungkinan sebagai konsekuensi dari merokok. Peningkatan kadar fibrinogen plasma, yang juga merupakan faktor risiko trombosis, dikaitkan dengan kejadian PAP pada beberapa penelitian.11

2.5. Tolak Ukur Penilaian status PAP 2.5.1. Diagnosis PAP

Diagnosis klinis PAP tergantung pada anamnesis, pemeriksaan fisik, dan penggunaan pemeriksaan pembuluh darah secara noninvasif dan invasif.14 Penilaian PAP perlu dimulai dengan anamnesis dan pemeriksaan fisik untuk dapat mengidentifikasi faktor risiko, adanya klaudikasio intermiten, nyeri saat istirahat, dan atau adanya suatu gangguan fungsi.11

2.5.2. Ankle Brachial Index

2.5.2.1. Definisi, Kelebihan dan Kekurangan ABI

Ankle Brachial Index (ABI) adalah tes skrining vaskular non-invasif untuk mengidentifikasi penyakit arteri perifer. ABI adalah rasio yang berasal dari tekanan darah sistolik pergelangan kaki (dorsalis pedis dan tibialis posterior) setiap kaki kanan dan kiri dibandingkan dengan lengan brachialis.23 ABI yang bernilai ≤ 0,9 menunjukkan adanya PAP.12 Walaupun masih dijumpai beberapa kontroversi yang memperdebatkan batas nilai ABI yang dapat digunakan untuk mendiagnosis PAP, namun nilai ABI ≤ 0,9 terbukti memiliki sensitivitas dan spesifisitas > 90% untuk mendiagnosis PAP dibandingkan dengan angiografi sehingga direkomendasikan oleh American Heart Association (AHA) untuk mendeteksi proses aterosklerosis pada pembuluh darah sistemik.24

ACC / AHA merekomendasikan bahwa pengukuran ABI sebaiknya dilakukan pada :11

1) Individu yang diduga menderita gangguan arteri perifer karena adanya gejala exertional leg atau luka yang tidak sembuh.

2) Usia ≥ 65 tahun.

3) Usia ≥ 50 yang mempunyai riwayat diabetes melitus atau merokok.

Sebagai tambahan, American Diabetes Associaton (ADA) menyarankan skrining ABI dilakukan pada penderita DM dengan usia < 50 tahun yang mempunyai faktor risiko penyakit arteri perifer seperti merokok, hipertensi, hiperlipidemia, dan lamanya menderita DM >10 tahun.Keterbatasan ABI :

1) ABI adalah pemeriksaan yang menyimpulkan lokasi anatomi dari oklusi atau stenosis secara tidak langsung. Lokasi pasti dari stenosis atau oklusi tidak bisa ditentukan hanya dengan menggunakan ABI.

2) ABI dapat meningkat (>1,4) karena adanya kalsifikasi arteri pada pergelangan kaki pasien yang memiliki penyakit diabetes, gagal ginjal dan rheumatoid arthritis; dan pada keadaan ini, tes vaskular lainnya seperti TBI (Toe Brachial Index) perlu dilakukan.

3) Studi yang melakukan evaluasi vaskular pada 1.762 subyek, melaporkan bahwa ABI meningkat pada 8,4% individu dan prevalensi PAP pada individu ini adalah 62,2%.

4) Beberapa individu dengan stenosis arteri dapat mengalami gejala klaudikasio saat beraktivitas namun memiliki tekanan pergelangan kaki yang normal saat istirahat, pada kasus ini diperlukan evaluasi vaskular lainya.11,12

2.5.2.2. ABI Sebagai Penanda Risiko Kardiovaskular

Pengukuran ABI dapat memberikan nilai yang melambangkan kejadian aterosklerosis sistemik dan dikaitkan dengan faktor-faktor risiko aterosklerosis dan prevalensi penyakit kardiovaskular pada bantalan pembuluh darah yang lain. Hubungan yang kuat dan konsisten antara nilai ABI yang rendah dengan prevalensi CAD dan cerebrovascular disease (CVD) telah dibuktikan pada beberapa populasi studi prospektif (cohort) yang melibatkan individu dengan keterlibatan penyakit kardiovaskular. Prevalensi kejadian CAD diantara pasien-pasien PAP berkisar antara 10,5 sampai 71%

dibandingkan dengan 5,3 sampai 45,4% pada populasi tanpa PAP.

Disamping korelasinya dengan nilai ABI yang rendah beberapa penelitian lain juga telah mengevaluasi hubungan antara nilai ABI yang tinggi, sebagai indikator kalsifikasi pembuluh darah, dengan faktor-faktor risiko tradisional kardiovaskular. Allison dan kawan-kawan membuktikan bahwa nilai ABI > 1,4 dihubungkan dengan kejadian stroke dan gagal jantung kongestif namun tidak dengan kejadian angina maupun serangan jantung.24

2.5.2.3. Cara-cara pengukuran ABI

ABI dapat dilakukan dengan menggunakan sebuah Doppler gelombang kontinu, tensimeter dan manset untuk mengukur tekanan darah brakialis dan pergelangan kaki. Pada pelayanan kesehatan primer, dimana alat doppler tidak selalu ada, ABI yang diukur dengan stetoskop merupakan pendekatan alternatif yang dapat dilakukan. Sebuah penelitian yang membandingkan ABI yang diukur dengan stetoskop dan ABI yang diukur dengan Doppler memberikan informasi bahwa nilai keduanya ternyata berkorelasi baik, sehingga pengukuran ABI dengan stetoskop dapat digunakan sebagai alat skrining PAP pada pelayanan kesehatan primer.11,23

Persiapan Pasien dan Lingkungan

1. Menanyakan kapan terakhir merokok, mengkonsumsi kafein ataupun alkohol; apakah ada aktivitas berat yang baru saja dilakukan sebelumnya, dan adanya nyeri. (Catatan: Jika memungkinkan, menyarankan pasien untuk menghindari stimulan atau latihan berat selama satu jam sebelum tes).

2. Melakukan pengukuran ABI di tempat yang tenang, lingkungan yang hangat untuk mencegah vasokonstriksi arteri (21-23 + 1 ° C).

3. Hasil ABI terbaik akan diperoleh ketika pasien santai, nyaman, dan dengan keadaan kandung kemih yang kosong.

4. Menjelaskan prosedur kepada pasien.

5. Melepaskan kaus kaki, sepatu, dan pakaian yang ketat untuk penempatan manset dan memberi akses ke daerah yang akan dipulsasi oleh Doppler.

6. Menempatkan pasien pada posisi terlentang, memberikan satu bantal kecil di belakang kepala pasien untuk kenyamanan pasien.

7. Menempatkan manset pada lengan sekitar 2-3 cm di atas fossa cubiti dan maleolus di pergelangan kaki.11

8. Sebuah alat handheld Doppler 8-10 MHz dihidupkan dan pada probe Doppler diberikan gel sebagai sensor.

9. Setelah alat Doppler diaktifkan, probe diletakkan pada daerah pulsasi dengan membentuk sudut kemiringan 45-600 terhadap permukaan kulit.

Probe dapat digerakkan di sekitar area pulsasi sampai bunyi sinyal yang paling jelas terdengar.

10. Manset dengan ukuran lebar 10-12 cm kemudian dikembangkan secara perlahan sampai 20 mmHg di atas batas aliran sinyal menghilang (tidak terdengar lagi) dan kemudian manset dikempeskan perlahan untuk mendeteksi tingkat tekanan dimana sinyal aliran muncul kembali.

11. Deteksi aliran darah brachial selama pengukuran tekanan sistolik di lengan juga harus menggunakan alat Doppler.

12. Urutan yang sama dalam pengukuran tekanan darah sistolik pada tiap anggota gerak harus diberlakukan dengan urutan yang dianjurkan adalah lengan kanan, arteri tibialis posterior kanan, arteri dorsalis pedis kanan, arteri tibialis posterior kiri, arteri dorsalis pedis kiri dan lengan kiri.

13. Tekanan darah sistolik tertinggi dari kedua lengan digunakan sebagai pembagi (denominator) sedangkan tekanan darah sistolik tertinggi antara tibialis posterior dan dorsalis pedis tiap ekstremitas bawah digunakan sebagai pembilang (numerator).

14. Nilai normal ABI berkisar pada 0,9 sampai 1,4 bila hasil pengukuran ABI berkisar ≤ 0,9 maka dapat dipertimbangkan sebagai penegakan diagnosis PAP.

15. Pasien dengan nilai ABI ≤ 0,9 atau ≥ 1,4 harus dipertimbangkan memiliki risiko kejadian dan mortalitas kardiovaskular walaupun tanpa adanya keluhan dan gejala PAP serta faktor risiko kardiovaskular.24

Tabel 2.2. Kriteria diagnosis PAP berdasarkan klasifikasi nilai ABI24

Kontraindikasi untuk ABI :11

1. Apabila terdapat rasa sakit luar biasa di kaki bagian bawah / kaki.

2. Pada kondisi terdapat trombosis vena dalam, yang dapat menyebabkan lepasnya trombus, sebaiknya dirujuk untuk dilakukan tes duplex ultrasound.

3. Nyeri berat terkait dengan luka pada ekstremitas bawah.

Gambar 2.5. Cara perhitungan ABI (Ankle Brachial Index)24

33 3.1. Kerangka Teori Penelitian

Keterangan :

PJK : Penyakit Jantung Koroner PAP : Penyakit Arteri Perifer ABI : Ankle Brachial Index

Gambar 3.1. Kerangka Teori Penelitian

PAP

Mikrovaskular Makrovaskular

Mata Ginjal Jantung Ekstremitas Serebral

PJK Stroke

ABI

Obesitas ↑ Trigliserida ↓ HDL-C Intoleransi Glukosa Hipertensi

Aterosklerosis Disfungsi Endotel

Hiperinsulinemia

Resistensi Insulin Sindrom Metabolik

3. 2. Kerangka Konsep Penelitian

Keterangan : L : Laki-laki P : Perempuan

KGD : Kadar Gula Darah TG : Trigliserida

HDL-C : High Density Lipoprotein Cholesterol

Gambar 3.2. Kerangka Konsep Penelitian

Keterangan Gambar 3.1 :

1. Variable yang diteliti

2. Variabel yang tidak diteliti Sindrom Metabolik (NCEP-ATP III)

Modifikasi Asia

1. Lingkar pinggang L > 90 cm dan P > 80 cm.

2. KGD puasa ≥ 110 mg/dL atau sebelumnya telah didiagnosis diabetes melitus.

3. Kadar TG dalam darah ≥ 150 mg/dL.

4. Kadar HDL-C L < 40 mg/dL dan P < 50 mg/dL.

5. Tekanan darah ≥ 130/85 mmHg atau sedang mendapat

pengobatan anti hipertensi.

PAP

a. Umur

b. Jenis kelamin c. Merokok

35

BAB 4

METODE PENELITIAN

4.1. Rancangan Penelitian 4.1.1. Jenis Penelitian

Jenis penelitian yang dilakukan bersifat deskriptif dengan pendekatan cross sectional study (studi potong lintang).

4.1.2. Waktu Penelitian

Penelitian dan pengumpulan data akan dilakukan selama bulan Juli hingga bulan Desember 2016. Pemilihan waktu penelitian dengan mempertimbangkan waktu dan sumber daya.

4.1.3. Tempat Penelitian

Penelitian ini dilaksanakan di Poliklinik rawat jalan SMF Penyakit Dalam RSUP Hj. Adam Malik Medan.

4.2. Populasi dan Sampel Penelitian 4.2.1. Populasi Penelitian

Pasien yang datang melakukan pemeriksaan kesehatan rawat jalan atau pemeriksaan kesehatan rutin di poli rawat jalan RSUP Hj. Adam Malik Medan yang memenuhi kriteria inklusi dan eksklusi.

4.2.2. Sampel Penelitian

Sampel penelitian dipilih dengan menggunakan metode Consecutive sampling dimana semua subjek yang datang dan memenuhi kriteria pemilihan dimasukkan dalam penelitian sampai besar sampel yang diperlukan terpenuhi.

4.2.3. Besar sampel Perkiraan besar sampel :

𝒏 =

(𝒁𝜶)𝟐𝑷𝑸

𝒅𝟐

Keterangan:

 n = besar sampel penelitian

 Zα = tingkat kemaknaan [ditetapkan] = 1,96

 P = perkiraan proporsi kejadian/outcome di antara pajanan yang diteliti pada populasi, (0,50).

 Q = 1-P = 0,50

 d = tingkat ketetapan absolut yang dikehendaki [ditetapkan] = 0,10

𝒏 =

(𝟏,𝟗𝟔)𝟐𝒙 𝟎,𝟓𝟎 𝒙 𝟎,𝟓𝟎

𝟎,𝟏𝟎𝟐

= 97

Berdasarkan rumus besar sampel diatas, maka seluruh sampel pada penelitian ini adalah 97 orang.

Adapun kriteria dalam pemilihan sampel pada penelitian ini terdiri dari:

Adapun kriteria dalam pemilihan sampel pada penelitian ini terdiri dari:

Dokumen terkait