• Tidak ada hasil yang ditemukan

PREVALENSI PENYAKIT ARTERI PERIFER PADA PASIEN RAWAT JALAN DENGAN SINDROM METABOLIK DI RSUP HJ. ADAM MALIK MEDAN OLEH :

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2022

Membagikan "PREVALENSI PENYAKIT ARTERI PERIFER PADA PASIEN RAWAT JALAN DENGAN SINDROM METABOLIK DI RSUP HJ. ADAM MALIK MEDAN OLEH :"

Copied!
94
0
0

Teks penuh

(1)

OLEH :

YOHANDRI BLAST DOVA PURBA 130100166

FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

MEDAN 2017

(2)

SKRIPSI

Diajukan sebagai salah satu syarat untuk memperoleh kelulusan sarjana kedokteran

OLEH :

YOHANDRI BLAST DOVA PURBA 130100166

FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

MEDAN 2017

(3)

i

(4)

ii

ABSTRAK

Penyakit arteri perifer (PAP) merupakan gangguan pada arteri yang memperdarahi ekstremitas bawah. PAP dapat terjadi oleh karena adanya perubahan struktur ataupun fungsi dari pembuluh darah. Sindrom metabolik adalah suatu kondisi di mana terjadi penurunan sensitivitas jaringan terhadap kerja insulin sehingga terjadi peningkatan sekresi insulin sebagai bentuk kompensasi sel beta pankreas. Sindorm metabolik diketahui mempunyai kontribusi dalam menyebabkan kerusakan pada pembuluh darah .

Tujuan penelitian ini untuk menilai prevalensi penyakit arteri perifer pada pasien sindrom metabolik. Penelitian yang dilakukan bersifat deskriptif dengan pendekatan cross sectional study (studi potong lintang) pada 97 orang dengan sindrom metabolik yang melakukan pemeriksaan kesehatan rawat jalan di Poliklinik rawat jalan SMF Penyakit Dalam RSUP Haji Adam Malik Medan.

Diagnosa sindrom metabolik ditegakkan berdasarkan kriteria NCEP-ATP III 2001. Diagnosis PAP ditegakkan dengan mengukur Ankle-brachial index (ABI) menggunakan Handheld Doppler. Nilai ABI < 0,9 dianggap menderita PAP.

Terdapat 97 pasien dengan sindom metabolik yang ikut serta dalam penelitian ini. Diabetes dijumpai pada keseluruhan pasien (100%), hipetensi 61 orang (62,9%), obesitas 92 orang (94,8%), dislipidemia 69 orang (71,1%).

Prevalensi PAP dijumpai 10,3% dengan distribusi lebih banyak pada perempuan (60%) dengan rentang usia 56-60 tahun (80%) dan non perokok (60%).

PAP merupakan salah satu bentuk komplikasi gangguan pembuluh darah perifer yang dapat dijumpai pada pasien dengan sindrom metabolik. Prevalensinya dijumpai meningkat pada kelompok pasien usia lebih tua, perempuan dan non perokok.

Kata kunci : Penyakit Arteri Perifer (PAP), Prevalensi, Sindrom Metabolik.

(5)

iii ABSTRACT

Peripheral arterial disease (PAD) is a disorder in artery which supply blood to lower limb. PAD can occur due of the changes in the structure or function of blood vessels. Metabolic syndrome is a condition in which there is a decrease tissue sensitivity to the action of insulin resulting in increased secretion of insulin as a form of compensation pancreatic beta cells. Metabolic syndrome known to have contributed in causing damage to the blood vessels.

This research purposes to assess the prevalence of peripheral arterial disease in patients with metabolic syndrome. The study is descriptive cross sectional study (cross-sectional study) in 97 people with metabolic syndrome undergoing medical examination in Internal Medicine Polyclinic outpatient Hj.

Adam Malik Hospital in Medan. Diagnosis of metabolic syndrome is confirmed by NCEP-ATP III criteria 2001. PAP Diagnosis is made by measuring the Ankle- brachial index (ABI) using Handheld Doppler. Value ABI <0.9 are considered to suffer PAD.

There were 97 patients with metabolic syndrome who participated in this study. Diabetes was found in all patients (100%), hypertension found in 61 (62.9%), 92 people obesity (94.8%), 69 people dyslipidemia (71.1%). The prevalence of PAP was found 10.3% with the distribution is found more among women participants (60%) with an age range 56-60 years (80%) and non-smokers (60%).

PAP is a form of peripheral vascular complications of disorders that can be found in patients with the metabolic syndrome. The prevalence is found elevated in patients older age groups, women and non-smokers.

Keywords : Metabolic Syndrome, Peripheral Arterial Disease (PAD), Prevalence

(6)

iv

KATA PENGANTAR

Puji dan syukur penulis ucapkan ke hadirat Tuhan yang Maha Esa yang telah memberikan berkat dan rahmat-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi ini, sebagai salah satu syarat untuk memperoleh kelulusan Sarjana Kedokteran Program Studi Pendidikan Dokter Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara.

Adapun tujuan penulisan karya tulis ilmiah ini adalah untuk memaparkan landasan pemikiran dan segala konsep menyangkut penelitian yang akan dilaksanakan. Penelitian yang akan dilaksanakan ini berjudul “Prevalensi Penyakit Arteri Perifer pada Pasien Rawat Jalan dengan Sindrom Metabolik di RSUP Hj.

Adam Malik Medan tahun 2016”.

Dalam penyelesaian skripsi ini penulis banyak menerima bantuan dari berbagai pihak. Untuk itu penulis ingin menyampaikan ucapan terima kasih dan penghargaan setinggi-tingginya kepada:

1. Terima kasih dan cinta saya persembahkan kepada kedua orang tua saya, Ayah tercinta, Derusman Purba dan juga Ibu tercinta, Guna D Sidauruk, yang telah memberi dukungan penuh dan semangat tiada henti kepada saya dalam menyelesaikan tahap-tahap pendidikan, khususnya dalam penyelesaian skripsi ini.

2. Adik-adik saya, Anthony Vando Redzky Purba dan Jhon Martin Purba yang selalu mendukung dan menyemangati dalam proses pengerjaan skripsi ini.

3. Dr. dr. Aldy Safruddin Rambe, Sp.S. (K), selaku Dekan Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara.

4. dr. Naomi Niari Dalimunthe, M. Ked (PD), Sp. PD, selaku Dosen Pembimbing I yang telah memberi banyak arahan dan masukan kepada saya sehingga skripsi ini dapat terselesaikan dengan baik.

5. dr. Andrina Yunita Rambe, M. Ked (THT), Sp. THT-KL, selaku Dosen Pembimbing II yang telah memberi banyak masukan dan arahan kepada saya sehingga skripsi ini dapat terselesaikan dengan baik.

(7)

v

6. Prof. dr. M. Fauzi Sahil, Sp. OG (K), selaku Dosen Penguji I yang telah memberikan petunjuk-petunjuk serta nasihat-nasihat dalam penyempurnaan penulisan skripsi ini.

7. dr.Ricke Loesnihari, M. Ked (Cln Path), Sp. PK (K), selaku Dosen Penguji II yang telah memberikan petunjuk-petunjuk serta nasihat-nasihat dalam penyempurnaan penulisan skripsi ini.

8. Nur Arlina, selaku perawat penanggung jawab Poli Endokrin Rumah Sakit Hj.

Adam Malik Medan yang selalu memberikan saran, nasehat dan motivasi sampai penulis selesai dalam mengambil data penelitian.

9. Rekan satu tim bimbingan penelitian M. Chairul Akbar Nasution yang telah meluangkan waktu, tenaga, pikiran, saran, kritik, dukungan materi dan moril dalam menyelesaikan skripsi ini.

10. Teman-teman dan sahabat saya Grup Sembab, Diko, Erwin S, Erwin T, Glory, Hendri, Johannes, Kristian, Oky, Oscar, Peter, Stevanus, Sugama, Zuriel, yang selalu ada disaat saya membutuhkan dan selalu memberi dorongan dalam mengerjakan skripsi ini.

11. dr. Ali Nafiah Nasution, M. Ked (JP), Sp. JP, selaku Dosen Pembimbing Akademik yang telah membimbing selama menempuh pendidikan.

Penulis menyadari bahwa penulisan skripsi ini masih belum sempurna, baik dari segi materi maupun tata cara penulisannya. Oleh karena itu, dengan segala kerendahan hati, penulis mengharapkan kritik dan saran yang membangun demi perbaikan karya tulis hasil penelitian ini.

Medan, 16 Desember 2016 Hormat Saya,

Penulis

(8)

vi

DAFTAR ISI

HALAMAN PERSETUJUAN ... i

ABSTRAK... ii

ABSTRACT... iii

KATA PENGANTAR... . iv

DAFTAR ISI ... vi

DAFTAR TABEL... viii

DAFTAR GAMBAR ... ix

DAFTAR LAMPIRAN ... x

DAFTAR SINGKATAN ... xi

BAB 1. PENDAHULUAN ... 1

1.1. Latar Belakang ... 1

1.2. Rumusan Masalah ... 5

1.3. Tujuan Penelitian ... 5

1.4. Manfaat Penelitian ... 6

BAB 2. TINJAUAN PUSTAKA ... 7

2.1. Sindrom Metabolik ... 7

2.1.1. Defenisi ... 7

2.1.2. Epidemiologi ... 10

2.1.3. Etiologi ... 11

2.1.4. Patogenesis ... 11

2.1.4.1. Resistensi Insulin ... 13

2.1.4.2.Obesitas dan Peningkatan Lingkar Pinggang ... 14

2.1.4.3. Dislipidemia... 15

2.1.4.4. Intoleransi Glukosa ... 15

2.1.4.5.Hipertensi ... 16

2.1.4.6. Manifestasi lainnya ... 16

2.1.5. Komplikasi ... 16

2.2. Penyakit Arteri Perifer (PAP) ... 16

2.2.1. Defenisi ... 16

2.2.2. Gejala Klinis ... 17

2.2.3. Etiologi...17

2.2.4. Patofisiologi ... 18

2.2.5. Dampak dan Faktor Resiko ... 21

2.3. Sindrom Metabolik dan PAP ... 22

2.3.1. Diabetes Melitus dan PAP ... 22

2.3.2. Hipertensi dan PAP ... 22

2.3.3. Dislipidemia dan PAP ... 24

2.4. Faktor Risiko PAP lainnya ... 24

2.4.1. Usia... ... 24

2.4.2. Ras dan Jenis Kelamin ... 25

2.4.3. Merokok ... 26

2.4.4. Kadar C-reactive Protein ... 26

(9)

vii

2.4.5 Kadar Hemosistein. ... 26

2.4.6. Viskositas Plasma dan Kadar Fibrinogen... 26

2.5. Tolak Ukur Penilaian Status PAP... 27

2.5.1. Diagnosis PAP... 27

2.5.2. Ankle-Brachial Index... 27

2.5.2.1. Definisi, Kelebihan dan Kekurangan ABI... 27

2.5.2.2. ABI sebagai Penanda Risiko Kardiovaskular... 28

2.5.2.3. Cara-cara pengukuran ABI... 29

BAB 3. KERANGKA TEORI DAN KERANGKA KONSEP PENELITIAN .. 3.1. Kerangka Teori ... 33

3.2. Kerangka Konsep ... 34

BAB 4. METODE PENELITIAN ... 35

4.1. Rancangan Penelitian ... 35

4.1.1. Jenis Penelitian ... 35

4.1.2. Waktu Penelitian ... 35

4.1.3. Tempat Penelitian... 35

4.2. Populasi dan Sampel Penelitian ... 35

4.2.1. Populasi Penelitian ... 35

4.2.2. Sampel Penelitian ... 35

4.2.3. Besar Sampel Penelitian...35

4.3. Defenisi Operasional ... 36

4.4. Teknik Pengumpulan Data ... 42

4.4.1. Data Primer ... 42

4.4.2. Data Sekunder ... 42

4.4.3. Cara Penelitian... 42

4.5. Pengolahan dan Analisa Data ... 43

4.5.1. Pengolahan Data... 43

4.5.2. Analisa Data ... 43

4.6. Jadwal Penelitian ... 44

BAB 5. HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN ... 45

5.1. Hasil Penelitian ... 45

5.1.1. Deskripsi Lokasi Penelitian... 45

5.1.2. Deskripsi Karakteristik Subjek Penelitian ... 45

5.1.3. Prevalensi PAP pada Sindrom Metabolik... 47

5.2. Pembahasan ... 50

BAB 6. KESIMPULAN DAN SARAN ... 55

6.1. Kesimpulan ... 55

6.2. Saran. ... 55

DAFTAR PUSTAKA ... 57 LAMPIRAN

(10)

viii

DAFTAR TABEL

Tabel Halaman

Tabel 2.1. Kriteria Diagnosa dan Definisi Sindrom Metabolik ... 9 Tabel 2.2. Kriteria Diagnosa PAP Berdasarkan Klasifikasi Nilai ABI ... 31 Tabel 4.1. Jadwal Penelitian ... 44 Tabel 5.1. Distribusi Frekuensi Berdasarkan Usia, Jenis Kelamin

dan Status Merokok... 46 Tabel 5.2 Distribusi Frekuensi Berdasarkan Kriteria Diagnosis

Sindrom Metabolik... 47 Tabel 5.3. Distribusi Frekuensi PAP pada Sindrom Metabolik... 47 Tabel 5.4. Distribusi Frekuensi Penyakit Arteri Perifer Berdasarkan

Usia, Jenis Kelamin, Status Merokok dan Kriteria Diagnosis Sindrom Metabolik... 48

(11)

ix

DAFTAR GAMBAR

Gambar Halaman

Gambar 2.1. Proses disfungsi endotel dan aterosklerosis ... 13

Gambar 2.2. Disfungsi endotel pada lesi aterosklerotik ... 19

Gambar 2.3. Pembentukan fatty-streak pada proses aterosklerotik ... 20

Gambar 2.4. Pembentukan tahap akhir lesi aterosklerotik ... 21

Gambar 2.5. Cara perhitungan ABI (Ankle Brachial Index) ... 32

Gambar 3.2. Kerangka Teori Penelitian ... 33

Gambar 3.2. Kerangka Konsep Penelitian ... 34

(12)

x

DAFTAR LAMPIRAN

Lampiran 1 Daftar Riwayat Hidup

Lampiran 2 Lembar Penjelasan Kepada Calon Subjek Lampiran 3 Informed Consent Penelitian

Lampiran 4 Data Pasien Lampiran 5 Ethical Clearance Lampiran 6 Izin Penelitian Lampiran 7 Izin Penelitian Lampiran 8 Data Induk Lampiran 9 Data Output

(13)

xi

DAFTAR SINGKATAN

ABI : Ankle Brachial Index

ADA : American Diabetes Association

AHA : American Heart Association

ANG-II : Angiotensin-II

CLI : Critical Limb Ischemia

CVD : Cerebrovascular Disease

DM : Diabetes Melitus

ET-1 : Endothelin-1

FFA : Free Fatty Acids

GLUT-4 : Glucose Transporter-4

HISOBI : Himpunan Studi Obesitas Indonesia HDL-C : High Density Lipoprotein Cholesterol

IDF : International Diabetes Federation

IMT : Indeks Massa Tubuh

LDL : Low Density Lipoprotein

NCEP-ATP III : National Cholesterol Education Programme Adult Treatment Panel III

NO : Nitric Oxide

NF-κB : Nuclear Factor-κB

PAP : Penyakit Arteri Perifer

PAI-1 : Plasminogen Activator Inhibitor-1

ROS : Reactive Oxygen Species

SHEP : Systolic Hypertension in the Elderly Program SPSS : Statistical Product and Service Solution

TBI : Toe Brachial Index

TG : Trigliserida

TPA : Tissue Plasminogen Activator

WHO : World Health Organiation

(14)

1 1.1. Latar belakang

Kebutuhan hidup manusia di era modern saat ini yang semakin konsumtif menuntut manusia untuk dapat melakukan aktifitas apapun secara instan. Hal ini dibuktikan dengan berkembangnya pola hidup “Westernized” atau kebarat-baratan yang semakin populer di Indonesia. Adanya perubahan aktifitas fisik yang cenderung berkurang dan terdapat perubahan pola makan menjadi cepat saji, yang mempunyai kalori dan lemak tinggi serta rendah serat merupakan kondisi yang mengarah pada meningkatnya kejadian obesitas. Menurut data World Health Organization (WHO), lebih dari 1,4 miliar orang dewasa memiliki berat badan berlebih dan 2,8 juta orang dewasa meninggal tiap tahun karena obesitas dan berat badan berlebih yang menyebabkan munculnya berbagai penyakit kronis seperti diabetes dan penyakit jantung.1,2

Mengutip data Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) Kementrian Kesehatan Republik Indonesia pada tahun 2013, secara nasional masalah obesitas pada anak usia 5-12 tahun masih tinggi, yakni 18,8%. Prevalensi obesitas pada remaja usia 13-15 tahun sebesar 10,8%.2 Peningkatan prevalensi obesitas diseluruh dunia kemungkinan adalah penyebab meningkatnya kejadian resistensi insulin, diabetes melitus tipe 2, hiperkolesterolemia dan hipertensi yang dikenal dengan sindrom metabolik.3 Beberapa hasil penelitian empiris memperkirakan sindrom metabolik ditemukan 22% pada orang yang mengalami overweight dan 60% pada orang yang obesitas.4

Sindrom metabolik atau yang juga disebut sindrom resisten insulin atau sindrom X merupakan sekumpulan kelainan metabolisme yang terjadi secara bersamaan pada seorang individu, antara lain dengan adanya suatu gangguan toleransi glukosa, resistensi insulin, obesitas abdominal/sentral, hipertensi dan hiperkolesterolemia berupa kadar trigleserida yang tinggi dan kadar high density lipoprotein (HDL) yang rendah serta faktor risiko lainnya yang sangat berperan

(15)

penting yaitu merokok. Semua faktor komorbiditas diatas secara sinergis dapat menyebabkan aterosklerosis lebih dini, sehingga individu tersebut memiliki risiko tinggi untuk mengalami penyakit kardiovaskular, serebrovaskular aterosklerotik, penyakit arteri perifer dan diabetes melitus.4,5

Sindrom metabolik merupakan masalah kesehatan masyarakat dengan morbiditas dan mortalitas yang bermakna. Beberapa tahun terakhir sindrom metabolik telah mendapat perhatian yang semakin besar sebagai masalah kesehatan yang serius. Mereka dengan sindrom metabolik berisiko terkena serangan jantung atau stroke tiga kali lebih sering dibanding mereka yang tanpa sindrom metabolik. Data epidemiologi menyebutkan prevalensi sindrom metabolik dunia adalah 20-25% pada populasi dewasa dunia.4,6

Hasil penelitian Framingham Offspring Study menemukan bahwa pada responden berusia 26-68 tahun terdapat 29,4% pria dan 23,1% wanita menderita sindrom metabolik.7 WHO memperkirakan sindrom metabolik banyak ditemukan pada kelompok etnis tertentu termasuk beberapa etnis di Asia-Pasifik, seperti India, Cina, Aborigin, Polinesia, dan Milenesia. Penelitian WHO di Perancis menemukan bahwa prevalensi lebih besar pada populasi pria 23% dibandingkan dengan populasi wanita 21%, sedangkan menurut kelompok usia, prevalensi terbanyak ditemukan pada kelompok usia antara 55-64 tahun yaitu pria 34% dan wanita 21%.1 Prevalensi sindrom metabolik meningkat dengan bertambahnya usia sekitar 10% pada penduduk usia 20 tahun dan mencapai 40% pada usia 60 tahun.

Hasil penelitian di Singapura, dengan menggunakan kriteria NCEP-ATP III, Tan dan kawan-kawan melaporkan prevalensi sindrom metabolik sebesar 17,9%.6,8

Penelitian mengenai sindrom metabolik di Indonesia yang dilakukan oleh Suastika dkk yang mengambil 501 subjek di masyarakat pedesaan Bali menemukan angka yang tidak jauh berbeda yaitu 17,2%. Penelitian di Makassar yang melibatkan 330 orang pria berusia antara 30-65 tahun menemukan prevalensi sindrom metabolik sebesar 33,9%. Data dari Himpunan Studi Obesitas Indonesia (HISOBI) menunjukkan prevalensi sindrom metabolik sebesar 13,13%.5 Menurut riskesdas tahun 2013 menunjukkan prevalensi komponen sindrom metabolik seperti obesitas sentral 18,8%, obesitas 19,1%, hipertensi

(16)

31,7%, sedangkan diabetes melitus 5,7%, dan sedenterial 48,2%. Menurut tipe daerah tampak lebih tinggi di daerah perkotaan 23,6% dibandingkan daerah perdesaan 15,7%.2 Prevalensi sindrom metabolik dapat dipastikan cenderung meningkat oleh karena meningkatnya obesitas maupun obesitas sentral.

Peningkatan tersebut menyangkut banyak aspek termasuk morbiditas dan mortalitas yang berkaitan dengan komplikasi penyakit baik mikrovaskular dan makrovaskular.9

Penyakit arteri perifer (PAP) merupakan salah satu komplikasi yang sangat sering dari makrovaskular dimana terjadi pada pasien yang menderita sindrom metabolik akibat proses aterosklerosis atau proses inflamasi pembuluh darah yang menyebabkan lumen arteri menyempit (stenosis) atau pembentukan trombus. Hal di atas menyebabkan peningkatan resistensi pembuluh darah yang dapat menimbulkan penurunan tekanan perfusi ke area distal. Mekanisme dan proses hemodinamik yang terjadi pada penyakit arteri perifer sangat mirip dengan yang terjadi pada penyakit arteri koroner. Tempat tersering terjadinya penyakit arteri perifer adalah daerah tungkai bawah dan jarang ditemukan pada jari tangan.10

Banyak faktor risiko independen yang menyebabkan perkembangan dari penyakit arteri perifer seperti usia, diabetes melitus, hipertensi, obesitas, hiperkolesterolemia, resistensi insulin dan merokok. Hipertensi merupakan salah satu komponen dari sindrom metabolik yang telah terbukti sebagai faktor risiko terjadinya penyakait arteri perifer yang patogenesisnya terkait dengan aterosklerosis. Hipertensi berhubungan dengan penyakit arteri perifer berdasarkan nilai Ankle Brachial Index. Sebanyak 50% sampai 92% pasien dengan PAP memiliki riwayat hipertensi. Faktor risiko penyakit arteri perifer lainnya adalah diabetes. Diabetes meningkatkan risiko kejadian penyakit arteri perifer simptomatik dan asimptomatik sebesar 1,5-4 kali lipat. Diabetes juga mengarah pada peningkatan kejadian penyakit kardiovaskular dan kematian lebih dini.

Risiko terjadinya penyakit arteri perifer meningkat seiring dengan keparahan dan durasi diabetes.11

(17)

Dengan usia > 60 tahun manusia berisiko mendapat penyakit arteri perifer sebanyak 4,1 kali lipat, demikian dengan adanya penyakit serebrovaskular, penyakit koroner 3,6 kali, diabetes melitus 3,5 kali, dan hiperkolesterolemia 2,5 kali. Cardiovascular Health Study menyatakan, perokok memiliki risiko relatif sebesar 2,5 kali lebih besar untuk menderita penyakit arteri perifer dibanding non perokok. Penyakit arteri perifer membawa masalah besar karena prevalensinya yang tinggi dengan risiko dua hingga lima kali lebih besar mengalami kesakitan dan kematian akibat penyakit jantung dan dihubungkan dengan tingginya amputasi pada diabetes melitus dibanding mereka yang tidak terkena penyakit arteri perifer.11,12

Saat ini, diperkirakan lebih dari 202 juta orang di dunia menderita penyakit arteri perifer.11 Sebuah penelitian di Amerika Serikat menunjukkan bahwa aterosklerosis yang merupakan faktor utama gangguan sistem sirkulasi darah kira-kira mengenai 10% populasi dunia barat yang berumur 65 tahun, frekuensi meningkat menjadi kira-kira 20% pada usia lanjut > 75 tahun. Insidensi aterosklerosis mencapai 1,7 kasus per 10.000 populasi setiap tahun. Dari sekitar 27 juta orang di Amerika Selatan yang menderita penyakit arteri perifer, kira-kira 10,5 juta (38,9%) menunjukkan gejala (simptomatik) dan 16,5 juta (61,1%) asimptomatik. Keadaan ini memungkinkan terjadinya kasus yang tidak terdiagnosis.13 Sementara di Indonesia prevalensi penyakit arteri perifer adalah 9,7%. Hasil ini didapatkan dari penelitian AGATHA oleh American Society of Cardiology tahun 2006, dimana Indonesia ikut disertakan sebagai subjek penelitian diantara 24 negara. Data prevalensi penyakit arteri perifer lainnya didapat dari sebuah penelitian multi negara oleh PAD-SEARCH, dimana Indonesia juga menjadi salah satu subjek penelitian. Setiap satu juta orang Indonesia, 13.807 diantaranya menderita penyakit arteri perifer.6,11

Walaupun telah ada kemajuan dalam berbagai terapi medis untuk kasus- kasus tersebut, angka morbiditas dan mortalitasnya tetap tinggi dengan angka mortalitas sekitar 25% dan pasien yang mengalami amputasi sekitar 20% dari 3000 kasus terutama setelah dilakukan Baloon Thrombo-embolectomy Catheter.13 Salah satu cara mendeteksi penyakit arteri perifer secara dini dapat dilakukan

(18)

dengan pemeriksaan sirkulasi melalui perhitungan nilai Ankle Brachial Index (ABI). ABI ialah rasio tekanan darah sistolik pada ekstremitas bawah dan ekstremitas atas. Sebagai alat diagnostik, ABI merefleksikan keparahan penyakit arteri perifer, sehingga sering digunakan sebagai marker timbul dan progresivitas penyakit arteri perifer. Lebih dari itu, ABI merupakan suatu marker independen terhadap morbiditas dan mortalitas kardiovaskular.12,14 Berdasarkan hal tersebut, peneliti tertarik untuk menilai prevalensi penyakit arteri perifer pada pasien sindrom metabolik yang melakukan pemeriksaan kesehatan rawat jalan di RSUP Hj. Adam Malik Medan.

1.2. Rumusan masalah

Berdasarkan uraian dalam latar belakang, rumusan masalah yang didapat adalah “Berapakah prevalensi penyakit arteri perifer pada pasien sindrom metabolik yang melakukan pemeriksaan kesehatan rawat jalan di RSUP Hj. Adam Malik Medan?”

1.3. Tujuan penelitian 1.3.1. Tujuan umum

Untuk mengetahui prevalensi penyakit arteri perifer pada pasien sindrom metabolik yang melakukan pemeriksaan kesehatan rawat jalan di RSUP Hj. Adam Malik Medan.

1.3.2. Tujuan khusus

1. Mengetahui prevalensi hipertensi pada pasien sindrom metabolik di RSUP Hj. Adam Malik Medan.

2. Mengetahui prevalensi diabetes melitus pada pasien sindrom metabolik di RSUP Hj. Adam Malik Medan.

3. Mengetahui prevalensi obesitas pada pasien sindrom metabolik di RSUP Hj. Adam Malik Medan.

4. Mengetahui prevalensi dislipidemia pada pasien sindrom metabolik di RSUP Hj. Adam Malik Medan.

(19)

5. Mengetahui prevalensi penyakit arteri perifer pada pasien sindrom metabolik berdasarkan umur di RSUP Hj. Adam Malik Medan.

6. Mengetahui prevalensi penyakit arteri perifer pada pasien sindrom metabolik berdasarkan jenis kelamin di RSUP Hj. Adam Malik Medan.

7. Mengetahui prevalensi penyakit arteri perifer pada pasien sindrom metabolik berdasarkan status merokok di RSUP Hj. Adam Malik Medan.

1.4. Manfaat penelitian 1.4.1. Bagi Tenaga Kesehatan

Untuk memberikan prevalensi penyakit arteri perifer pada pasien sindrom metabolik di RSUP Hj. Adam Malik Medan kepada berbagai pihak, baik dari pihak instansi kesehatan, pihak pendidikan, perawat, dan tenaga medis lainnya.

Penelitian ini juga diharapkan menjadi bahan pertimbangan bagi instansi RSUP Hj. Adam Malik Medan dalam menetapkan kebijakan dan dapat menambah data nasional.

1.4.2. Bagi Peneliti

Dapat memberikan informasi ilmiah, mengembangkan kemampuan di bidang penelitian dan menambah kemampuan menganalisis suatu penelitian serta meningkatkan kemampuan menulis skripsi.

1.4.3. Bagi Fakultas

Sebagai salah satu referensi kepustakaan di perpustakaan Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara bagi penelitian-penelitian di masa yang akan datang.

(20)

7 2.1. Sindrom metabolik

2.1.1. Defenisi

Sindrom metabolik adalah suatu kondisi di mana terjadi penurunan sensitivitas jaringan terhadap kerja insulin sehingga terjadi peningkatan sekresi insulin sebagai bentuk kompensasi sel beta pankreas. Gejala klinis umumnya berupa toleransi glukosa terganggu atau diabetes melitus, dislipidemia, obesitas sentral, dan hipertensi.2

Konsep dari sindrom metabolik telah ada sejak ± 80 tahun yang lalu, pada tahun 1923, Kylin, seorang dokter Swedia, merupakan orang pertama yang menggambarkan sekumpulan dari gangguan metabolik, yang dapat menyebabkan risiko penyakit kardiovaskular aterosklerosis yaitu hipertensi, hiperglikemi dan gout. Pada tahun 1998, Dr Gerald Reaven mengemukakan tentang the role of insulin resistance in human disease yang meliputi topik utama yaitu adanya sejumlah tanda-tanda dan gejala sehingga muncul sindrom yang disebut “Sindrom X”, dan menghubungkan sindrom ini dengan resistensi insulin. Dia juga membuat hipotesa bahwa resistensi insulin dapat menjadi penyebab awal faktor risiko terjadinya sindrom metabolik.4,8

Tahun 1991, Zimmet mengemukakan obesitas sentral masuk dalam sindrom X dan mengubah nama sindrom X menjadi sindrom resistensi insulin atau sindrom metabolik.4 Pada tahun 1998 oleh World Health Organization memakai istilah “Sindrom Metabolik” yang banyak dipakai sampai sekarang ini.1 Terdapat beberapa kriteria sindrom metabolik yang digunakan yaitu : (tabel 2.1)

1. World Health Organization (WHO 1999).

2. European Group for the study of Insulin Resistance Definition (EGIR 1999).

3. National Cholesterol Education Programme Adult Treatment Panel III (NCEP-ATP III 2001).

(21)

4. American College of Endocrinology (ACE 2003).

5. American Heart Association / National Heart, Lung and Blood Institute (AHA/NHLBI 2005).

6. International Diabetes Federation (IDF 2005).

Kriteria WHO 1999 menekankan adanya toleransi glukosa terganggu atau diabetes melitus, dan atau resistensi insulin yang disertai sedikitnya dua faktor risiko lain yaitu hipertensi, dislipidemia, obesitas sentral dan mikroalbuminuria.1 Sedangkan menurut National Cholesterol Education Program Expert Panel on Detection, Evaluation and Treatment of High Blood Cholesterol in Adults Treatment Panel II (NCEP ATP III) tahun 2001, sindrom metabolik adalah sekelompok kelainan metabolik baik lipid maupun non lipid yang memenuhi 3 dari 5 kriteria berikut yaitu obesitas sentral, dislipidemia aterogenik (peningkatan kadar trigliserida dan penurunan kadar High Density Lipoprotein), hipertensi dan kelainan kadar gula darah plasma.4

Komponen utama dari sindrom metabolik meliputi : 1. Resistensi insulin

2. Obesitas abdominal/sentral 3. Hipertensi

4. Dislipidemia :

a. Peningkatan kadar trigliserida b. Penurunan kadar HDL kolesterol

(22)

Tabel 2.1. Kriteria Diagnosa dan Definisi Sindrom Metabolik5 Komponen

sindrom metabolik

WHO NCEP-ATP III

&

AHA

EGIR ACE IDF

Hipertensi -Pengobatan anti hipertensi

atau -TD ≥ 140/90

mmHg

-Pengobatan anti hipertensi

atau -TD ≥ 130/85

mmHg

TDS ≥ 140 mmHg dan atau TDD ≥ 90

mmHg

TD >

130/85 mmHg

↑ TDS ≥ 130 mmHg atau TDD

≥ 85 mmHg atau pengobatan anti

hipertensi Dislipidemia -Plasma TG ≥

1,7 mmol/L (150 mg/dL)

dan/atau -HDL-C L < 35 mg/dL P < 40 mg/dL

-Plasma TG ≥ 150 mg/dL -HDL-C L < 40 mg/dL P < 50 mg/dL

-Plasma TG > 2.0 mmol/L (180 mg/dL) - HDL-C < 1.0

mmol/L (40 mg/dL) dan/atau terapi dislipidemia

-Plasma TG >

150 mg/dL -HDL-C

L < 40 mg/dL P < 50 mg/dL

↑ TG level > 150 mg/dL (1,7 mmol/L), atau

terapi khusus gangguan lipid

↓ HDL-C L < 40 mg/dL

(0,9 mmol/L) P < 50 mg/dL (1,1

mmol/L), atau terapi khusus gangguan lipid Obesitas IMT > 30

kg/m2 dan/atau rasio perut-

pinggul L > 0,90 P > 0,85

Lingkar pinggang L > 102 cm

P > 88 cm

Lingkar pinggang L > 94 cm P > 80 cm

Obesitas sentral lingkar pinggang*

Asia : L ≥ 90 cm P ≥ 80 cm (nilai tergantung etnis) Gangguan

Metabolisme Glukosa

-DM tipe 2 -TGT

GD puasa ≥ 110 mg/dL

*GD Puasa ≥ 100 mg/dL (AHA)

GD puasa ≥ 6,1 mmol/L ( 110 mg/dL)

-GD puasa 110-125

mg/dL 2 HPP 140-200

mg/dL

↑GD puasa ≥ 100 mg/dL (5,6 mmol/L), atau didiagnosis

DM tipe 2

Lain-lain Mikroalbumin uria ≥ 20

µg/min (rasio albumin

: kreatinin

≥ 30)

Hiperinsulinemia (konsentrasi insulin puasa >

kuartil atas populasi non

diabetes) Kriteria

diagnosis

-DM Tipe 2 atau TGT dan

2 kriteria di atas -Jika glukosa

normal, diperlukan 3

kriteria

Minimal 3 kriteria -DM tipe 2 atau TGT dan 2 kriteria

di atas -Jika toleransi glukosa normal,

diperlukan 3 kriteria

Obesitas sentral + 2 kriteria di atas

(23)

Keterangan: TD = Tekanan Darah; L = Laki-laki; P = Perempuan; TG = Trigliserida;

HDL-C = Kolesterol HDL; IMT = Indeks Massa Tubuh; DM = Diabetes Melitus; TGT = Toleransi Glukosa Terganggu; GD = Gula Darah; TDS = Tekanan Darah Sistolik; TDD = Tekanan Darah Diastolik; 2 HPP = 2 Hour Post-Prandial. *bila IMT > 30 kg/m2, obesitas abdominal dapat dipastikan dan tidak perlu dilakukan pengukuran lingkar pinggang.

2.1.2. Epidemiologi

Prevalensi sindrom metabolik bervariasi di tiap negara. Penelitian yang dilakukan oleh Cameron et al menunjukkan prevalensi sindrom metabolik di seluruh dunia sebesar 15-30%, dimana sebagian prevalensi lebih banyak terdapat pada negara berkembang.4 Prevalensi sindrom metabolik sangat bervariasi dikarenakan oleh beberapa hal seperti ketidakseragaman kriteria yang digunakan, perbedaan ras/etnis, jenis kelamin, dan umur. Prevalensi sindrom metabolik dapat dipastikan cenderung meningkat bersamaan dengan peningkatan prevalensi obesitas maupun obesitas sentral.6

Tercatat prevalensi tertinggi sindrom metabolik di dunia adalah penduduk asli Amerika, sekitar 60% pada wanita berusia 45-49 tahun dan 45% pada laki- laki berusia 45-49 tahun dengan memakai kriteria NCEP-ATP III. Sementara di Prancis, sindrom metabolik pada usia 30-64 tahun <10% pada pria dan wanita, sedangkan pada umur 60-64 tahun sekitar 17,5%.6,8 Prevalensi sindroma metabolik di kawasan Asia bervariasi di tiap negara berturut-turut adalah 13,3% di China, Taiwan 15,1%, Palestina dan Oman Masing-masing 17%, Vietnam 18,5%, Hongkong 22%, India 25,8%, Korea 28%, Iran 30%. Hasil penelitian terhadap orang dewasa Korea Selatan diperoleh bahwa prevalensi sindrom metabolik meningkat sesuai dengan perkembangan umur dimana pada perempuan prevalensinya meningkat pada umur 50 tahun. Menopause merupakan faktor yang berkontribusi pada peningkatan ini.7,8

Data dari Himpunan Studi Obesitas Indonesia (HISOBI) menunjukkan prevalensi sindrom metabolik sebesar 13,13%. Penelitian di Makassar yang melibatkan 330 orang pria berusia antara 30-65 tahun dan menggunakan kriteria NCEP-ATP III dengan ukuran lingkar pinggang yang disesuaikan untuk orang Asia (menurut klasifikasi usulan WHO untuk orang dewasa, yaitu ≥ 90 cm untuk

(24)

pria dan ≥ 80 cm untuk wanita) ditemukan prevalensi sebesar 33,9%. Prevalensi lebih tinggi yaitu sebesar 62,0%, ditemukan pada subjek dengan obesitas sentral.5

Data prevalensi sindroma metabolik di negara-negara yang berbeda dan dalam kelompok-kelompok etnis yang berbeda jelas menunjukkan bahwa sindroma metabolik merupakan suatu masalah besar di negara maupun di dunia dan bahwa jumlah mereka yang mengalaminya akan terus meningkat. Pasien sindrom metabolik berisiko tinggi menderita penyakit kardiovaskular dan atau diabetes melitus tipe 2.25

2.1.3. Etiologi

Etiologi sindrom metabolik belum dapat diketahui secara pasti. Suatu hipotesis menyatakan bahwa penyebab primer dari sindrom metabolik adalah resistensi insulin. Resistensi insulin mempunyai korelasi dengan timbunan lemak visceral yang dapat ditentukan dengan pengukuran lingkar pinggang. Hubungan antara resistensi insulin dan penyakit kardiovaskular diduga dimediasi oleh terjadinya stres oksidatif yang menimbulkan disfungsi endotel yang akan menyebabkan kerusakan vaskular dan pembentukan ateroma.

Hipotesis lain menyatakan bahwa terjadi perubahan hormonal yang mendasari terjadinya obesitas abdominal. Suatu studi membuktikan bahwa pada individu yang mengalami peningkatan kadar kortisol didalam serum (yang disebabkan oleh stres berkepanjangan) mengalami obesitas abdominal, resistensi insulin dan dislipidemia. Para peneliti juga mendapatkan bahwa ketidakseimbangan aksis hipotalamus-hipofisis-adrenal yang terjadi akibat stres akan menyebabkan terbentuknya hubungan antara gangguan psikososial dan serangan jantung.7

2.1.4. Patogenesis

Insulin merupakan hormon anabolik tubuh yang prinsipil, yang mengatur perkembangan dan pertumbuhan yang sesuai dan juga sebagai maintenance dari sistem homeostasis glukosa di seluruh tubuh. Hormon insulin disekresi oleh sel β

(25)

pulau Langerhans dari organ pankreas. Insulin berperan dalam menurunkan kadar gula darah melalui beberapa cara :

1). supressi hepatic glucose output (melalui penurunan glukoneogenesis dan glikogenolisis),

2). merangsang penyimpanan terutama ke otot dan jaringan lemak melalui glucose transporter yaitu Glucose Transporter-4 (GLUT-4).

Reseptor insulin terdistribusi secara luas di sistem saraf pusat, terutama di daerah hipotalamus dan pituitary. Aksi Insulin di sistem saraf pusat memberikan negatif feedback bagi inhibisi postprandial dari asupan makanan dan berperan sebagai pusat pengaturan berat badan. Kemampuan insulin dalam efek antioksidan didukung dengan kemampuannya untuk menekan reactive oxygen species (ROS).

Patogenesis sindrom metabolik masih tidak jelas, tetapi kelainan dasarnya adalah resistensi insulin. Resistensi insulin ini sering mendahului onset dari diabetes tipe 2 dan mempunyai kontribusi dalam perkembangan terjadinya keadaan hiperglikemi. Resistensi insulin dan hipertensi sistolik merupakan faktor yang menentukan terjadinya disfungsi endotel. Resistensi insulin menyebabkan menurunnya produksi Nitric Oxide (NO) yang dihasilkan oleh sel-sel endotel, sedangkan hipertensi menyebabkan disfungsi endotel melalui beberapa cara seperti; secara kerusakan mekanis, peningkatan sel-sel endotel dalam bentuk radikal bebas, pengurangan bioavailabilitas NO atau melalui efek proinflamasi pada sel-sel otot polos vaskular. Disfungsi endotel ini berhubungan dengan stres oksidatif dan menyebabkan penyakit kardiovaskular.2 Proses-proses seluler yang penting yang berkenaan dengan disfungsi endotel ini dapat dilihat pada gambar 2.1.

(26)

Gambar 2.1. Proses seluler yang berkenaan dengan disfungsi endotel yang menyebabkan vascular injury dan aterosklerosis26

Keterangan: Ang-II, angiotensin-II; ET-1, endothelin-1; FFA, free fatty acids; FGF, fibroblast growth factor; ICAM, intracellular cell adhesion molecule; NO, nitric oxide;

PAI-1, plasminogen activator inhibitor-1; PDGF, platelet-derived growth factor; RAGEs, receptor for advanced glycation end products (promotes inflammation and oxidation, particularly in cells involved in atherogenesis); VCAM-1, vascular cell adhesion molecule-1.

2.1.4.1. Resistensi insulin

Hipotesis yang paling dapat diterima untuk menggambarkan patofisiologi dari sindrom metabolik adalah resistensi Insulin. Itulah kenapa sindrom metabolik juga sering disebut sebagai resistensi insulin. Resistensi insulin didefinisikan sebagai suatu kondisi dijumpainya produksi insulin yang normal namun telah terjadi penurunan sensitivitas jaringan terhadap kerja insulin, sehingga terjadi peningkatan sekresi insulin sebagai bentuk kompensasi sel Beta. Hal terbesar yang berkostribusi untuk terjadinya resistensi insulin adalah adanya asam lemak disirkulasi yang sangat banyak, hasil dari rilis massa jaringan lemak yang luas.

Free Fatty Acid (FFA) mengurangi sensitifitas insulin diotot dengan menghambat insulin mediated glucose uptake. Peningkatan dari kadar glukosa di sirkulasi

(27)

meningkatkan sekresi insulin di pankreas dengan hasil hiperinsulinemia. Sel lemak juga mengeluarkan sitokin seperti angiotensin, TNF α, resistin dan leptin yang berhubungan dengan penurunan resistensi terhadap insulin. TNF α menyebabkan resistensi dengan cara menghambat aktifitas tirosin kinase pada reseptor insulin dan menurunkan ekspresi glucose transporter-4 (GLUT-4) di sel lemak dan otot. Sementara adiponektin yang dapat menurunkan resistensi terhadap insulin kadarnya menurun pada sindrom metabolik. Akibatnya perubahan glukosa ke glikogen menurun dan meningkatnya akumulasi lemak pada trigliserida (TG).

Insulin adalah hormon antilipolitik yang sangat penting. Pada kasus resistensi Insulin, peningkatan jumlah dari lipolisis dari molekul TG yang tersimpan pada jaringan lemak akan menghasilkan lebih banyak asam lemak, dimana lebih lanjut akan menghambat efek antilipolitik dari insulin dan menghasilkan lipolisis tambahan.8,9

2.1.4.2. Obesitas dan peningkatan lingkar pinggang

Definisi sindrom metabolik oleh WHO dan NCEP-ATP III, keduanya memasukkan obesitas abdominal dalam definisinya, tapi IDF mengharuskan adanya obesitas abdominal dalam definisinya. Obesitas yang diikuti dengan meningkatnya metabolisme lemak akan menyebabkan produksi Reactive Oxygen Species (ROS) meningkat baik disirkulasi maupun sel adiposa. Meningkatnya ROS didalam sel adiposa dapat menyebabkan keseimbangan reaksi reduksi oksidasi terganggu, sehingga enzim antioksidan menurun di dalam sirkulasi.

Keadaan disebut dengan stres oksidatif. Meningkatnya stres oksidatif menyebabkan disregulasi jaringan adiposa dan merupakan awal patofisiologi terjadinya sindroma metabolik, hipertensi dan aterosklerosis.

Menurut beberapa teori, meningkatnya jaringan lemak visceral, menyebabkan terjadinya peningkatan kecepatan aliran dari jaringan lemak yang berasal dari asam lemak bebas ke hati sampai ke sirkulasi splanik, dimana peningkatan dari lemak abdominal subkutaneus akan mengeluarkan produk lipolisis ke sirkulasi sistemik.2,9

(28)

2.1.4.3. Dislipidemia

Pada keadaan resistensi insulin, peningkatan aliran asam lemak bebas ke hati akan meningkatkan sintesis trigleserida hati. Aktifitas enzim hepatik lipase juga ikut meningkat dan akan menghidrolisis trigliserida yang dikandung LDL sehingga menghasilkan LDL yang kecil dan padat. LDL tersebut sangat mudah teroksidasi dan lebih mudah menempel pada dinding pembuluh darah dan bersifat aterogenik.

Salah satu gangguan lipoprotein mayor pada sindrom metabolik adalah berkurangnya HDL kolesterol. Pada keadaan hipertrigliseridemia, penurunan jumlah HDL kolesterol merupakan hasil dari penurunan dari jumlah cholesteryl ester dari inti lipoprotein dengan perubahan peningkatan trigliserida.

Hal ini diperparah oleh adanya komponen apo-B yang membuat partikel LDL tertahan lebih lama di lapisan dalam dinding pembuluh darah lapisan intima yang menyebabkan terjadinya oxidative stress. Oxidative stress menyebabkan terjadinya disfungsi endotel. Disfungsi endotel ini menyebabkan terjadinya vasokonstriksi pada dinding pembuluh darah dan bila berlangsung lama dapat menyebabkan terjadinya aterosklerosis.3,9

2.1.4.4. Intoleransi glukosa

Cacat pada kerja insulin pada metabolisme glukosa termasuk gagal untuk menekan glukoneogenesis di hati dan mediasi glukosa uptake pada insulin sensitive tissue (misalnya otot dan jaringan lemak). Untuk mengkompensasi cacat pada kerja insulin maka sekresi insulin harus ditingkatkan untuk mempertahankan kondisi euglikemia. Jika kompensasi ini gagal, maka cacat pada sekresi insulin lebih berpengaruh dan akan terjadi hiperglikemia.

Walaupun asam lemak bebas dapat menstimulasi sekresi insulin, paparan terdapat konsentrasi FFA yang lama dan berlebihan akan membuat berkurangnya sekresi insulin. Mekanisme dari perubahan ini dianggap disebabkan oleh lipotoksisitas.2,9

(29)

2.1.4.5. Hipertensi

Insulin merupakan venodilator jika diberikan secara intravena pada orang dengan berat badan normal, dengan efek sekunder pada reabsobsi natrium pada ginjal. Pada keadaan resistensi insulin, efek vasodilator pada insulin hilang, tapi efek ginjal untuk reabsobsi natrium tetap ada. Asam lemak sendiri bisa memediasi vasokonstriksi relatif. Hiperinsulinemia mungkin akan menghasilkan peningkatan aktifitas sistem saraf simpatik dan berkonstribusi untuk terjadinya hipertensi.7,9

2.1.4.6. Manifestasi lainnya

Resistensi insulin ditandai banyak perubahan yang tidak termasuk dalam kriteria diagnostik sindrom metabolik. Peningkatan pada apo B dan C-III, asam urat, faktor protrombotik (fibrinogen, plasminogen activator inhibitor 1), viskositas serum, asimetris dimethylarginin, homosistein, jumlah sel darah putih, sitokin pro inflamasi, adanya mikroalbuminuria, non-alcoholic fatty liver disease, sleep apneu obstruktif dan penyakit polikistik ovarium, semua berhubungan dengan resistensi insulin.7,9

2.1.5. Komplikasi

Kadar gula darah, kadar kolesterol dan tekanan darah yang tinggi dapat berkontribusi pada penumpukan plak di arteri. Plak ini dapat menyebabkan arteri mengeras dan sempit, yang dapat mengakibatkan komplikasi. Komplikasi yang terjadi dapat berupa komplikasi akut dan kronis. Salah satu komplikasi kronis yaitu komplikasi kardiovaskular yang terdiri dari komplikasi mikrovaskular yang dapat mengenai mata dan ginjal, serta komplikasi makrovaskular yang mengenai pembuluh darah jantung, otak, dan pembuluh darah tungkai bawah.5,25

2.2. Penyakit Arteri Perifer (PAP) 2.2.1. Definisi

Penyakit arteri perifer (PAP) adalah semua penyakit yang terjadi pada pembuluh darah non sindrom koroner akut setelah keluar dari jantung dan aortailiaka, sehingga pembuluh yang dapat menjadi lokasi terjadinya PAP adalah

(30)

pembuluh pada keempat ekstremitas, arteri karotis, arteri renalis, arteri mesenterika, aorta abdominalis, dan semua pembuluh cabang yang keluar dari aortailiaka. Namun demikian, secara klinis PAP merupakan gangguan pada arteri yang memperdarahi ekstremitas bawah. PAP dapat terjadi oleh karena adanya perubahan struktur ataupun fungsi dari pembuluh darah. PAP sering kali merupakan bagian dari proses penyakit sistemik yang berpengaruh terhadap kelainan arteri multipel.10

2.2.2. Gejala Klinis

Keluhan PAP yang paling umum adalah sensasi sakit pada kaki saat sedang berolahraga/aktivitas fisik, ini dikenal sebagai klaudikasio intermiten.

Sensasi sakit, sensasi terbakar, sensasi berat, atau sesak pada otot-otot kaki ini biasanya dimulai setelah berjalan pada jarak tertentu, berjalan menaiki bukit, atau menaiki tangga, dan akan hilang setelah beristirahat selama beberapa menit.

Pasien dengan klaudikasio intermiten memiliki aliran darah yang normal pada saat istirahat, oleh karena itu, tidak ada gejala nyeri/sakit pada kaki saat istirahat.10,11

Pasien dengan PAP yang parah dapat mengalami klaudikasio setelah berjalan walaupun hanya dalam jarak yang pendek, atau mengalami sensasi sakit di kaki ketika istirahat atau ketika berbaring di tempat tidur di malam hari. Pada kasus yang parah, pasien juga dapat mengalami ulkus yang tidak dapat sembuh dengan sendirinya atau kulit yang menghitam (gangren) pada kaki atau jari kaki.12

2.2.3. Etiologi

Terdapat dua sebab yang dapat menyebabkan gangguan pada arteri perifer, yaitu sebab sebab aterosklerotik dan sebab-sebab non aterosklerotik atau pembagian sebagai tipe organik dan tipe fungsional:10,13

1. Sebab-Sebab Aterosklerotik ( tipe obstruktif)

Aterosklerosis adalah gangguan yang paling sering menyerang sistem pembuluh darah nadi. Aterosklerosis mula-mula ditandai oleh deposisi lemak pada tunika intima arteri, selanjutnya dapat terjadi kalsifikasi, fibrosis, trombosis dan perdarahan. Proses-proses tersebut menyebabkan

(31)

terbentuknya suatu plak aterosklerosis atau ateroma yang kompleks sampai kepada penyempitan lumen atau oklusi pembuluh darah.

2. Sebab-Sebab Non Aterosklerotik ( tipe vasospastik) / tipe fungsional Sebab-sebab primer non aterosklerotik penyakit arteri adalah nekrosis media kistik, peradangan arteri, dan kondisi-kondisi vasospastik. Contoh:

Raynaud’s disease.

2.2.4. Patofisiologi

PAP merupakan proses sistemik yang berpengaruh terhadap sirkulasi arteri multipel yang disebabkan oleh karena adanya aterosklerosis, penyakit degeneratif, kelainan displasia, inflamasi vaskular (arteritis), trombosis in situ, dan tromboemboli. Dari sekian proses patofisiologi yang mungkin terjadi, penyebab utama PAP yang paling banyak di dunia adalah aterosklerosis. Aterosklerosis biasanya didahului oleh adanya disfungsi endotel. Endotelium sehat, normalnya berfungsi untuk mempertahankan homeostasis pembuluh darah dengan menghambat kontraksi sel otot polos, proliferasi tunika intima, trombosis, dan adhesi monosit. Endotel memiliki peranan penting dalam meregulasi proses inflamasi dalam pembuluh darah yang normal, yakni menyediakan permukaan antitrombotik yang menghambat agregasi platelet dan memfasilitasi aliran darah.

Endotelium normal mengatur proses trombosis melalui pelepasan oksida nitrat, yakni NO, yang menghambat aktivasi trombosit, adhesi, dan agregasi, serta mediator lain dengan kegiatan antitrombotik. Zat yang diperdebatkan sebagai zat paling penting yang berperan dalam proses relaksasi pembuluh darah adalah Nitrat Oksida (NO). Aktivitas biologis NO ternyata terganggu pada pasien dengan penyakit vaskular aterosklerotik koroner dan pembuluh darah perifer.10-13 Proses terjadinya aterosklerosis dibagi menjadi beberapa tahap:13

1. Kerusakan Endotel

Ada dua faktor penyebab kerusakan pada endotel yaitu faktor kimia dan faktor fisik. Kerusakan akibat bahan kimia terutama disebabkan oleh penggunan tembakau, hiperkolesterolemia dan hipertrigliseridemia, sering terjadi pada penderita diabetes dengan kelainan metabolisme lemak dan

(32)

glukosa. Kerusakan fisik pada pembuluh darah lebih lanjut kemungkinan diakibatkan oleh pembentukan ateroma yang terbawa oleh aliran darah dan menimbulkan kerusakan pada dinding pembuluh darah, biasanya pada tempat percabangan (bifurkasio) arteri. Hipertensi juga berperan penting dalam menimbulkan penyakit arteri.

Gambar 2.2. Disfungsi endotel pada lesi aterosklerotik24

2. Deposisi Lemak

Kerusakan endotel yang terjadi menyebabkan peningkatan permeabilitas terhadap lemak dan sel-sel inflamasi yang akan dideposisi pada lapisan sub endotel. Pada tempat ini kemudian terbentuk suatu ateroma yang berbentuk datar dan berwarna kekuningan (fatty streak).

3. Infiltrasi Sel-Sel Inflamasi

Leukosit melekat pada bagian endotel yang rusak kemudian bermigrasi ke dalam lapisan sub endotel, mengikis lemak dan menjadi sel busa (foam cell), membebaskan radikal bebas dan protease yang dapat merusak dinding arteri. Sel- sel tadi juga membebaskan sitokin-sitokin yang akan merangsang leukosit- leukosit lain dan sel otot polos dari tunika media. Lapisan endotel sekarang

(33)

menjadi lebih “lengket“ dan akan memudahkan deposisi platelet dan terjadinya trombosis.

Gambar 2.3. Pembentukan fatty-streak pada proses aterosklerotik24

4. Sel Otot Polos

Sel-sel otot polos akan bermigrasi dari tunika media ke dalam ruangan sub endotel untuk kemudian berproliferasi. Sel otot polos ini akan menimbulkan pembentukan jaringan ikat dan penumpukan kolagen. Pada tempat ini, ateroma yang terbentuk akan sedikit terangkat dan mempersempit lumen arteri.

5. Pecahnya plak

Plak yang terbentuk mengandung lapisan tipis penutup endotel yang berisi masa lemak, sel-sel inflamasi dan otot polos. Plak ini akan melunak akibat infiltrasi pembuluh darah baru yang terjadi dalam plak (angiogenesis). Segala bentuk trauma kimia maupun fisik akan menyebabkan pecahnya plak dan akan mengakibatkan oklusi trombus akut pada arteri atau embolisasi pada tempat yang lebih distal.

(34)

Gambar 2.4. Pembentukan tahap akhir lesi aterosklerotik24

2.2.5. Dampak dan Faktor Risiko

Pasien dengan PAP kemungkinan mengalami banyak masalah, seperti klaudikasio intermiten, critical limb ischemia (CLI), ulserasi iskemik, rawat inap berulang, revaskularisasi, dan amputasi anggota tubuh. Hal ini menyebabkan kualitas hidup pasien menjadi buruk dan meningkatkan kejadian depresi pada pasien. Pasien dengan PAP juga memiliki kemungkinan lebih besar mengalami serangan jantung, stroke, dan kematian akibat penyakit jantung.10,12

Penyebab terbesar PAP adalah adanya aterosklerosis, sehingga dapat dikatakan bahwa faktor risiko aterosklerosis juga menjadi faktor risiko PAP.12 Faktor risiko klasik PAP adalah usia tua, hipertensi, dislipidemia, diabetes melitus, dan merokok. Jenis kelamin dan ras diketahui juga merupakan faktor risiko dari PAP. Faktor risiko potensial lainnya adalah merokok, peningkatan kadar c-reactive protein, fibrinogen, homosistein, apolipoprotein b, lipoprotein a dan viskositas plasma.3,11

(35)

2.3. Sindroma Metabolik dan PAP 2.3.1. Diabetes Melitus dan PAP

Diabetes meningkatkan risiko kejadian PAP simptomatik dan asimptomatik sebesar 1,5-4 kali lipat, dan mengarah pada peningkatan kejadian penyakit kardiovaskular dan kematian lebih dini. Risiko terjadinya PAP proporsional dengan keparahan dan durasi diabetes. Pasien diabetes dengan PAP memiliki kemungkinan 7-15 kali lipat lebih tinggi untuk mengalami amputasi dibanding pasien non diabetes dengan PAP. Diabetes melitus mengakselerasi perjalanan proses aterosklerosis, yang dapat menghasilkan insiden penyakit perifer, koroner, dan serebrovaskular yang lebih tinggi. Hubungan patofisiologis diabetes dalam menimbulkan PAP tidak diketahui dengan jelas, karena terdapat dua efek langsung, yakni dari hiperglikemia serta adanya hipertensi dan hiperlipidemia yang sering terjadi pada pasien dengan diabetes.14

Banyak bukti menunjukkan bahwa disfungsi endotel terlibat dalam patogenesis penyakit vaskular pada pasien diabetes. Disfungsi endotel pada DM tipe 1 terjadi karena berkurangnya sensitivitas sel-sel otot polos pembuluh darah terhadap NO. Pada individu dengan DM tipe 2, disfungsi endotel tampaknya didasarkan pada penurunan bioavailabilitas NO. Peningkatan produksi superoksida radikal tidak hanya menyebabkan peningkatan inaktivasi NO, tetapi juga meningkatkan sintesis prostanoid yang berfungsi sebagai vasokonstriktor dengan adanya pembentukan hidrogen peroksida (H202) dan radikal hidroksil.11

2.3.2. Hipertensi dan PAP

Hampir setiap studi menunjukkan adanya hubungan yang kuat antara hipertensi dan PAP, dan sebanyak 50% sampai 92% dari pasien dengan PAP memiliki riwayat hipertensi. Pada laki-laki dan wanita dengan hipertensi, risiko terjadinya klaudikasio juga meningkat 2,5 hingga 4 kali lipat. Systolic Hypertension in the Elderly Program (SHEP), dalam studinya menyatakan, 5,5%

dari peserta memiliki ankle brachial index (ABI) di bawah 0,90.14

Hipertensi menyebabkan perubahan yang kompleks dalam struktur dinding arteri.14 Pada penderita hipertensi, fungsi endotel mengalami gangguan,

(36)

jaringan elastin pada dinding arteri digantikan oleh jaringan kolagen, dan terdapat hipertrofi medial. Semua faktor ini berkontribusi terhadap penurunan komplians vaskular. Hipertensi menyebabkan terjadinya proses aterosklerosis yang lebih agresif yang terjadi di seluruh sirkulasi, dan merupakan faktor risiko penyakit serebrovaskular dan penyakit koroner. Hipertensi juga diakui sebagai faktor risiko utama untuk terjadinya PAP.11

Mekanisme hipertensi menyebabkan PAP belum sepenuhnya dimengerti.

Hipertensi dapat mempengaruhi kejadian PAP melalui perannya dalam proses terjadinya aterosklerosis. Hipertensi merupakan faktor risiko terjadinya aterosklerosis melalui berbagai mekanisme, antara lain disfungsi sel endotel, inflamasi, penurunan kadar NO dan abnormalitas faktor hemostasis yang dimediasi oleh peningkatan Angiotensin-II (ANG-II) serta Endothelin-1 (ET-1).

Tekanan darah yang tinggi menyebabkan arteri berdilatasi dan teregang berlebihan sehingga dapat mengakibatkan cedera pada endotel. Disfungsi endotel menyebabkan abnormalitas tonus otot polos pembuluh darah, proliferasi sel otot polos pembuluh darah, gangguan koagulasi dan fibrinolisis serta inflamasi persisten.10,11

Hipertensi terkait dengan ketidakseimbangan hemostasis. Pasien dengan hipertensi memiliki kadar fibrinogen, plasminogen activator inhibitor-1 (PAi-1), tissue plasminogen activator (TPA), fibrinogen dan trombomodulin yang lebih tinggi dibandingkan dengan individu normotensi. Oleh karena itu pasien dengan hipertensi lebih rentan terhadap proses aterotrombotik. Mekanisme gangguan hemostasis pada hipertensi belum sepenuhnya dimengerti. Namun demikian, ini diduga disebabkan oleh shear stress, disfungsi endotel dan aktivitas Ang-II. Ang- II menstimulasi ekspresi berlebihan dari PAi-1 yang menyebabkan gangguan fibrinolisis.10,11

Pada hipertensi, kadar dan aktivitas Ang-II serta ET-1 meningkat. Ang-II menyebabkan vasokonstriksi, retensi natrium, sekresi aldosteron, fibrosis, proliferasi selular, pembentukan superoksida, inflamasi dan trombosis. Ang-II menstimulasi konversi NADPH/NADH di endotel, sel otot polos dan adventisia pembuluh darah menjadi ROS. Peningkatan ROS mengakibatkan disfungsi

(37)

endotel, proliferasi dan inflamasi.15 ROS menyebabkan hambatan sintesis dan peningkatan degradasi NO yang dibutuhkan untuk vasodilatasi dan relaksasi dinding pembuluh darah. Reaksi ROS dan NO akan membentuk ONOO- yang merupakan metabolit toksik terhadap endotel. Ang-II memicu upregulasi ET-1, molekul adesi, nuclear factor-κB (NF-κB) dan mediator pro-inflamasi lainnya.

ET-1 juga memicu vasokonstriksi, proliferasi, inflamasi, pembentukan ROS dan aktivasi trombosit yang ikut menyumbang dalam proses aterosklerosis.16

2.3.3. Dislipidemia dan PAP

Dislipidemia mempengaruhi struktur endotel dinding arteri, yang dapat menyebabkan pembentukan lesi aterosklerotik. Kolesterol LDL merupakan salah satu penyebab utama dari disfungsi endotel dan cedera otot polos. Perubahan struktur endotel memungkinkan lipoprotein memasuki dinding arteri, menjadi teroksidasi, dan mendukung pembentukan fatty streak, yang merupakan lesi awal pada aterosklerosis. Hal ini akan berkembang menjadi lesi yang lebih kompleks yang menyebabkan stenosis atau oklusi arteri. Peningkatan kadar kolesterol LDL juga diketahui dapat meningkatkan risiko terkena penyakit kardiovaskular dan PAP.3,11

Sementara penurunan HDL-kolesterol dianggap meningkatkan risiko terjadinya penyakit kardiovaskular karena sedikitnya tiga alasan, yaitu HDL dinilai dapat mencegah terhadap aterogenesis, rendahnya kadar HDL menggambarkan adanya peningkatan lipoprotein yang mengandung apoB yang bersifat aterogenik, dan rendahnya HDL umumnya berkaitan dengan faktor risiko non-lipid dari sindrom metabolik.17

2.4. Faktor Risiko PAP lainnya 2.4.1. Usia

Menurut ACCF/AHA usia tua adalah faktor risiko utama menderita PAP.

Risiko PAP meningkat seiring dengan bertambahnya usia, dari 3% pada usia < 50 tahun hingga > 20% pada usia ≥ 70 tahun. Hubungan usia dan PAP mencerminkan lebih panjangnya lama paparan terhadap faktor-faktor aterogenik

(38)

disertai efek-efek kumulatif penuaan pada pembuluh darah. Proses penuaan secara alami menyebabkan pembuluh darah orang tua lebih rentan mengalami aterosklerosis.

Sel-sel radang, sel endotel dan sel otot polos pembuluh darah pada orang tua berbeda dibandingkan sel-sel pada orang dengan usia lebih muda. Penuaan menyebabkan perubahan dalam potensi proliferasi sel, proses apoptosis dan kerusakan DNA. Penurunan NO menyebabkan gangguan relaksasi pada pembuluh darah. Sel endotel dan sel otot pembuluh darah pada orang tua mensekresi sitokin proinflamasi yang menyebabkan inflamasi persisten pada pembuluh darah.

Lapisan intima dan media pembuluh darah pada proses penuaan terus mengalami remodeling berupa peningkatan deposisi kolagen dan degenerasi elastin sehingga pembuluh darah kehilangan elastisitasnya dan menjadi kaku.14,18

2.4.2. Ras dan Jenis Kelamin

The National Health and Nutrition Examination Survey, sebuah survei di Amerika Serikat pada hasil penelitiannya menemukan informasi bahwa ABI 0,90 umumnya lebih sering terdapat pada ras kulit hitam non-Hispanik 7,8%

dibandingkan dengan ras kulit putih 4,4 %.11

Hasil penelitian Egogrova dkk memperoleh rasio perempuan dan laki-laki yang menderita PAP adalah 46% berbanding 54% (p= 0.0001).19 Studi oleh Vavra dkk juga menyimpulkan prevalensi rata-rata PAP pada wanita adalah 13,4% dan lebih rendah dibandingkan pria yakni sebesar 15,6%.20 Pria lebih rentan mengalami proses aterosklerosis dibandingkan wanita. Hormon estrogen memilki properti vasoprotektif yang mencegah proses aterosklerosis pada wanita.

Mekanisme vasoproteksi estrogen belum sepenuhnya dimengerti dan diduga diperantarai oleh efek estrogen terhadap NO, profil lipid dan efek antiinflamasi.2

Wanita memilki respon relaksasi dan vasodilatasi pembuluh darah yang lebih baik dibandingkan pria. Estrogen meningkatkan kerja antioksidan, menurunkan kadar LDL dan meningkatkan kadar HDL, serta memiliki efek anti- inflamasi. Estrogen juga memacu pertumbuhan endotel baru, menghambat proliferasi sel otot polos pembuluh darah.22

(39)

2.4.3. Merokok

Merokok merupakan salah satu faktor risiko utama PAP, terutama pada penderita usia muda. Merokok dapat menyebabkan kerusakan pada endotel, mendorong terjadinya koagulasi, dan mempercepat terjadinya aterosklerosis.

Cardiovascular Health Study menyatakan, perokok memiliki risiko relatif sebesar 2,5 kali lebih besar untuk menderita PAP dibanding non perokok. Studi lain menyatakan bahwa mantan perokok memiliki risiko relatif tujuh kali lipat untuk menderita PAP dan perokok aktif sebesar 16 kali lipat bila dibandingkan dengan pasien non perokok.11,15

2.4.4. Kadar C-reactive Protein

Peningkatan kadar C-reactive protein merupakan penanda serologis peradangan sistemik yang berhubungan dengan PAP. Peneliti 'Health Study' menyatakan, orang yang memiliki konsentrasi C-reactive protein pada kuartil tertinggi memiliki peningkatan risiko 2,1 kali lipat menderita PAP dibanding orang yang sehat.11,16

2.4.5. Kadar Homosistein

Beberapa peneliti telah menguji pengaruh homosistein terhadap pertumbuhan sel-sel endotel pada jaringan yang dikultur. Hasil penelitian tersebut membuktikan bahwa homosistein dapat memberikan efek sitotoksis langsung terhadap endotel, sehingga terjadi kerusakan dan gangguan terhadap endotel.

Peningkatan kadar homosistein berhubungan dengan peningkatan risiko untuk terjadinya PAP sebesar 2 sampai 3 kali lipat.11,21

2.4.6. Viskositas Plasma dan Kadar Fibrinogen

Kondisi kadar hematokrit yang meningkat dan hiperviskositas dilaporkan terdapat pada pasien dengan PAP, kemungkinan sebagai konsekuensi dari merokok. Peningkatan kadar fibrinogen plasma, yang juga merupakan faktor risiko trombosis, dikaitkan dengan kejadian PAP pada beberapa penelitian.11

(40)

2.5. Tolak Ukur Penilaian status PAP 2.5.1. Diagnosis PAP

Diagnosis klinis PAP tergantung pada anamnesis, pemeriksaan fisik, dan penggunaan pemeriksaan pembuluh darah secara noninvasif dan invasif.14 Penilaian PAP perlu dimulai dengan anamnesis dan pemeriksaan fisik untuk dapat mengidentifikasi faktor risiko, adanya klaudikasio intermiten, nyeri saat istirahat, dan atau adanya suatu gangguan fungsi.11

2.5.2. Ankle Brachial Index

2.5.2.1. Definisi, Kelebihan dan Kekurangan ABI

Ankle Brachial Index (ABI) adalah tes skrining vaskular non-invasif untuk mengidentifikasi penyakit arteri perifer. ABI adalah rasio yang berasal dari tekanan darah sistolik pergelangan kaki (dorsalis pedis dan tibialis posterior) setiap kaki kanan dan kiri dibandingkan dengan lengan brachialis.23 ABI yang bernilai ≤ 0,9 menunjukkan adanya PAP.12 Walaupun masih dijumpai beberapa kontroversi yang memperdebatkan batas nilai ABI yang dapat digunakan untuk mendiagnosis PAP, namun nilai ABI ≤ 0,9 terbukti memiliki sensitivitas dan spesifisitas > 90% untuk mendiagnosis PAP dibandingkan dengan angiografi sehingga direkomendasikan oleh American Heart Association (AHA) untuk mendeteksi proses aterosklerosis pada pembuluh darah sistemik.24

ACC / AHA merekomendasikan bahwa pengukuran ABI sebaiknya dilakukan pada :11

1) Individu yang diduga menderita gangguan arteri perifer karena adanya gejala exertional leg atau luka yang tidak sembuh.

2) Usia ≥ 65 tahun.

3) Usia ≥ 50 yang mempunyai riwayat diabetes melitus atau merokok.

Sebagai tambahan, American Diabetes Associaton (ADA) menyarankan skrining ABI dilakukan pada penderita DM dengan usia < 50 tahun yang mempunyai faktor risiko penyakit arteri perifer seperti merokok, hipertensi, hiperlipidemia, dan lamanya menderita DM >10 tahun.Keterbatasan ABI :

Referensi

Garis besar

Dokumen terkait

ASUHAN KEPERAWATAN PEMENUHAN KEBUTUHAN RASA AMAN NYAMAN DAN PERLINDUNGAN TERMOREGULASI ( HIPOTERMI ) PADA BAYI NY.. Kematian perinatal dihubungkan dengan kelahiran bayi berat

Penyediaan fasiliti yang mesra OKU dapat memberikan keselesaan kepada pelajar OKU dan dengan itu pelajar OKU tersebut dapat tinggal dan belajar dengan selesa

Mapping Mencari hubungan yang sama antara soal sebelah kiri (masalah sumber) dengan soal sebelah kanan (masalah target) atau membangun kesimpulan dari kesamaan hubungan

Dengan demikian penyampaian / sosialisasi program raskin telah diketahui oleh sebagian besar responden, sehingga responden menjadi lebih tahu dan jelas bahwa program

Berdasarkan latar belakang yang telah dikemukakan peneliti di atas, maka penulis tertarik untuk meneliti kehidupan politik yang dilakukan oleh masyarakat Desa Karangrejo, dan

Faktor pendukung dan penghambat dalam pembentukan karakter kewirausahaan peserta didik melalui Kegiatan Ekstrakurikuler kepramukaan di gugusdepan 09-04-051/09-04-052

Literatur kedua yang digunakan penulis untuk rumusan masalah kedua diambil dari buku karangan Zacky Anwar Makarim yang berjudul Hari-hari Terakhir Timor Timur Sebuah Kesaksian

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui bagaimanakah pengaruh model pembelajaran Concept Sentence terhadap keterampilan menulis karangan narasi peserta didik kelas