• Tidak ada hasil yang ditemukan

Patogenesis Infeksi Virus Dengue

BAB I PENDAHULUAN

2.6 Patogenesis Infeksi Virus Dengue

Patogenesis infeksi virus dengue sangat sedikit dimengerti. Demam berdarah dengue yang disebabkan oleh infeksi dengue primer atau sekunder disebabkan oleh terjadinya abnormalitas respon imun melibatkan produksi sitokin dan kemokin, aktivasi limfosit T dan gangguan dari sistem hemostatik. Dari beberapa hipotesis yang diajukan untuk menjelaskan patogenesis infeksi dengue, dua teori yang banyak dianut adalah hipotesis infeksi sekunder (secondary heterologus infection) dan hipotesis immune enhancement atau antibody dependent enhancement (ADE) (Soegijanto, 2006).

Teori infeksi sekunder menyebutkan bahwa apabila seseorang mendapatkan infeksi primer dari serotipe dengue tertentu memberikan imunitas jangka panjang terhadap serotipe tersebut (imunitas homotipik) (Auyeung et al., 2003; Hemungkorn et al., 2007). Imunitas terhadap serotipe dengue yang berbeda (imunitas heterotipik) bertahan selama beberapa bulan, dan setelah itu pasien kembali rentan terhadap terjadinya infeksi heterotipik. Jadi apabila seseorang mendapatkan infeksi sekunder dengan jenis serotipe virus yang lain, maka akan terjadi infeksi yang berat. Hal ini dapat dijelaskan sebagai berikut: pada infeksi yang kedua, antibodi heterolog yang telah terbentuk dari infeksi yang primer akan membentuk kompleks dengan infeksi VD baru dari serotipe yang berbeda, namun virus baru tersebut tidak dapat dinetralisir dan bahkan membentuk kompleks yang infeksius. Akibat infeksi sekunder oleh virus yang heterolog tersebut dan karena terdapat antibodi non-neutralising maka partikel VD dan molekul antibodi IgG akan membentuk kompleks virus-antibodi. Kompleks virus-antibodi tersebut kemudian akan berikatan dengan sel makrofag melalui reseptor Fc dan menimbulkan peningkatan infeksi virus dengue. Kompleks virus-antibodi akan meliputi sel makrofag, dan bersifat opsonisasi dan internalisasi sehingga makrofag mudah terinfeksi. Setelah teraktivasi makrofag akan memproduksi sitokin-sitokin inflamasi

dan Platelet Activating Factor (PAF). Kompleks tersebut beserta sitokin yang dilepaskan juga akan merangsang aktivasi komplemen, melepaskan C3a dan C5a, yang juga akan menyebabkan peningkatan permeabilitas kapiler dan kebocoran plasma. Efek sinergistik dari IFN-γ, TNF-α dan komplemen yang teraktivasi memicu terjadinya kebocoran plasma infeksi VD sekunder (Huan-Yao Lei et al., 2008). Kebocoran plasma berkembang cepat dalam hitungan jam, dekat dengan atau saat akhir dari fase febris saat gejala klasik demam dengue menghilang. Telah diajukan bahwa terikatnya antibodi pada NS1 yang diekspresikan pada sel yang terinfeksi dapat menyebabkan aktivasi komplemen. Sebagai tambahan, NS1 yang dilepaskan dari sel terinfeksi dapat secara langsung mengaktivasi komplemen (Martina et al., 2009).

Teori ADE menyebutkan bahwa terbentuk antibodi dari infeksi dengue yang pertama yang tidak dapat menetralisir virus, namun malah meningkatkan infeksi pada infeksi yang kedua. Antibodi heterolog ini diduga meningkatkan uptake/ambilan virus dan replikasi dari sel yang membawa reseptor Fc (Permpalung, et al. 2009). Aktivitas enhancing pada umumnya dapat dilihat pada pengenceran yang cukup banyak sehingga antibodi di situ tidak mempunyai sifat netralisasi. Kejadian tersebut dapat diamati misalnya pada kera yang disuntik dengan antibodi terhadap dengue 2 yang telah diencerkan dibanding dengan kera yang tidak mendapatkan hal serupa. Setelah diinfeksi dengan dengue virus 2, ternyata titer viremia lebih tinggi pada kelompok yang pertama. Di dalam kultur sel mononuklear darah tepi terjadi juga kejadian serupa. Suatu kultur mononuklear sel yang diberi imunoglobulin non netralisasi dan yang tidak diberi apa-apa, ternyata titer viremianya lebih tinggi pada kelompok yang pertama. Teori ADE berdasarkan pada peran sel fagosit mononuklear dan terbentuknya antibodi non netralisasi. Virus mempunyai target serangan yaitu sel fagosit seperti makrofag, monosit, dan sel Kupfer. Menurut penelitian antigen dengue lebih banyak didapat pada sel makrofag yang beredar dibanding dengan sel makrofag yang tinggal menetap di jaringan. Kemungkinan antibodi non netralisasi itu yang berperan, yaitu melingkupi sel makrofag yang beredar dan tidak melingkupi sel makrofag yang menetap di jaringan (Sutaryo, 1999). Walaupun ADE dari infeksi virus dengue telah secara jelas terlihat secara in vitro, akan tetapi tidak terdapat bukti definitif bahwa mekanisme tersebut terjadi secara in vivo pada manusia (Juffrie et al., 2000). Bukti yang menunjang teori ADE ini adalah pada autopsi yang dilakukan pada penderita demam berdarah dengue, tidak dijumpai adanya virus dengue pada sel endotel kapiler. Pada percobaan kultur sel endotel secara invitro, didapatkan bahwa sel endotel akan teraktivasi jika terpapar dengan monosit yang terinfeksi virus dengue (Halstead, 1989). Diduga setelah virus dengue berikatan dengan antibodi maka kompleks ini akan menempel pada monosit

melalui Fc reseptornya. Kompleks virus antibodi melekat melalui bagian Fc gamma antibodi IgG pada sel yang mempunyai Fc gammaR, seperti monosit. Virus kemudian tidak dinetralkan karena antibodi bersifat heterolog sehingga virus bebas bereplikasi di dalam monosit. Mobilitas monosit menyebabkan infeksi menyebar ke bagian tubuh lainnya. Monosit yang terinfeksi tersebut kemudian menjadi target respon eliminasi imun, sebagian besar diperantarai limfosit T sitotoksik. Alternatif lain, monosit yang terinfeksi virus dengue bertindak sebagai antigen presenting cell (APC) menginduksi pelepasan sitokin dari sel T yang teraktivasi. Monosit yang terinfeksi menstimulasi limfosit sehingga teraktivasi menghasilkan sitokin yang berperan dalam peningkatan regulasi reseptor Fc gamma permukaan monosit, berakibat peningkatan jumlah sel yang terinfeksi dan menimbulkan keadaan sakit yang berat. Monosit akan menghasilkan sitokin dan akan mengaktivasi sel endotel. Sitokin yang dihasilkan akan menyebabkan perubahan pada fungsi sel endotel, yaitu peningkatan faktor von Willebrand, faktor jaringan, PAF, plasminogen activator inhibitor, prostasiklin dan nitrit oksida serta penurunan tPA dan trombomodulin. Karena itu, pada disfungsi endotel, terjadi peningkatan permeabilitas vaskular dan aktivasi kaskade koagulasi.

Teori lain yang mencoba menjelaskan mengenai patogenesis infeksi dengue adalah teori virulensi virus. Teori ini menekankan pada kemampuan atau kapasitas virus untuk menimbulkan penyakit pada pejamu. Perbedaan manifestasi pada DD, DBD, dan SSD dikatakan dapat disebabkan oleh varian dari virus dengue dengan derajat virulensi yang berbeda-beda (Hemungkorn et al. 2007). Risiko untuk terjadinya DBD/SSD lebih besar pada infeksi oleh virus dengue serotipe 2 dibandingkan dengan serotipe yang lainnya (Onlamoon et al., 2010). Lebih jauh lagi dikatakan bahwa titer viremia dengue yang tinggi berhubungan dengan peningkatan derajat penyakit. Titer virus dengue yang diperiksa pada pasien anak-anak di Thailand ditemukan 10 sampai 100 kali lebih tinggi pada infeksi DBD dibandingkan pada infeksi DD (Huan-Yao Lei et al., 2008). Namun, orang yang terinfeksi dengan virus dengue yang sama dapat memberikan manifestasi klinis yang berbeda, hal ini memberikan perkiraan bahwa faktor pejamu juga memiliki peran penting dalam perkembangan penyakit dengue.

Teori antigen-antibodi didasarkan pada menurunnya kadar komplemen terutama C3, C3 proaktivator, C4 dan C5. Semakin berat penyakit semakin rendah kadar komplemen tersebut. Secara radioaktif dibuktikan penurunan bukan disebabkan oleh produksi yang menurun atau ekstravasasi. Kadar anafilatoksin meningkat, lalu menurun pada masa penyembuhan. Dari kejadian itu diperkirakan ada suatu mekanisme sebagai berikut, virus dengue dianggap sebagai antigen yang akan bereaksi dengan antibodi, kemudian mengaktivasi komplemen, aktivasi ini akan menghasilkan anafilatoksin C3a dan C5a yang merupakan mediator kuat peningkatan permeabilitas vaskular, kemudian terjadi kebocoran plasma (Hemungkorn et al. 2007).

Teori mediator dikemukakan sebagai kelanjutan dari teori ADE. Makrofag yang terinfeksi virus mengeluarkan mediator atau sitokin, seperti interferon, IL-1, IL-6, IL-12,

TNFα, dan lain-lain. Diperkirakan mediator dan endotoksin bertanggung jawab atas terjadinya syok septik, demam dan peningkatan permeabilitas kapiler. Telah dibuktikan bahwa endotoksin dari bakteri Gram negatif berhubungan erat dengan kejadian syok pada DBD. Endotoksin tersebut akan mengaktivasi kaskade sitokin terutama IL-1 dan TNFα. TNFα meningkat sejak awal perjalanan penyakit dan akan turun setelah infeksi reda. Interleukin 6 juga ditemukan meningkat pada DBD dengan syok. Pada infeksi virus dengue, dapat terjadi infeksi di beberapa tempat, akan tetapi derajat kerusakan jaringan (tissue destruction) yang ditimbulkan tidak cukup untuk menyebabkan kematian melainkan lebih disebabkan oleh gangguan metabolik. Diketahui juga bahwa akibat replikasi virus di dalam sel, terjadi stres sampai kematian sel apoptotik, baik in vitro maupun in vivo. Mekanisme pertahanan tubuh melalui apoptosis dan aktivasi sel-sel fagosit dapat menimbulkan jejas jaringan lokal atau ketidakseimbangan homeostasis dan selanjutnya memicu efek yang lain.

Sebagai tambahan, Kurane dan Ennis juga mengajukan hipotesis bahwa aktivasi limfosit juga memegang peranan penting. Aktivasi sel T dan monosit menginduksi produksi sitokin dan mediator-mediator kimia. Peningkatan cepat dari kadar mediator potensial seperti TNF, IL-2, IL-6, IFN, PAF, C3a, dan C5a serta histamin dan efek sinergis dari mediator-mediator ini menginduksi malfungsi dari sel endotel vaskular, yang akhirnya mengarah pada kebocoran plasma, syok, dan kekacauan sistem koagulasi.

Teori trombosit endotel menyatakan bahwa trombosit dan endotel diduga mempunyai peran penting dalam patogenesis DBD, berdasarkan kenyataan bahwa pada DBD terjadi trombositopenia dan peningkatan permeabilitas kapiler yang berarti terdapat pengaruh terhadap integritas sel endotel. Dua komponen ini sudah diketahui sejak lama merupakan satu kesatuan fungsi dalam mempertahankan homeostasis, salah satu cedera akan berakibat pada yang lain. Trombosit dapat dipandang sebagai sel sekretorik yang

memiliki granula-granula yang mengandung berbagai mediator. Endotel mempunyai bermacam reseptor, disamping dapat mengeluarkan bahan-bahan vasoaktif kuat seperti prostasiklin, PAF, faktor plasminogen dan IL-1. Gangguan pada endotel akan menimbulkan agregasi trombosit serta aktivasi koagulasi (Sutaryo, 1999).

Teori apoptosis mengemukakan bahwa limfosit sitotoksik mengkode protease yang menginduksi apoptosis sel target. Selain itu limfosit yang teraktivasi guna merespon infeksi virus menunjukkan ekspresi Fas dalam kadar tinggi dan sangat rentan terhadap apoptosis. Pada kasus DBD yang berat terdapat kerusakan hepar, terdapat Councilman bodies, yang diduga merupakan proses apoptosis pada sel hepar. Saat terjadi apoptosis, virus dan sel yang berserakan dimakan oleh sel makrofag atau fagositosis. Jadi bukan virus yang bereplikasi di dalam sel makrofag (Sutaryo, 1999).

Imunopatogenesis alternatif untuk infeksi virus dengue yang menyebutkan bahwa terjadi respon imun aberan telah diajukan. Respon imun aberan ini tidak hanya mengganggu respon imun untuk membersihkan virus, menyebabkan overproduksi sitokin dan produksi abnormal dari autoantibodi. Pembentukan aberan dari antibodi anti-NS1 yang bereaksi silang dengan trombosit atau sel endotel menginisiasi berkembangnya infeksi dengue. Disebutkan juga keterlibatan dari autoantibodi anti-platelet dan anti-sel endotel dalam manifestasi disfungsi platelet dan sel endotel (Huan-Yao Lei et al., 2008). Penelitian saat terjadi wabah dengue di Thailand tahun 1998 menemukan bahwa, dari pemeriksaan imunofenotiping didapatkan aktivasi imatur dari CD69 yang tampak pada limfosit dan monosit 4 hari setelah onset demam dan menurun setelahnya. Analisis dari sel darah menunjukkan peningkatan netrofil imatur saat demam hari 5-6, monositosis pada hari 6-7, dan limfositosis atipikal pada 8-10 hari setelah onset demam.

Virus dengue dapat menginfeksi berbagai sel primer manusia termasuk monosit/makrofag, sel dendritik, sel B, hepatosit, sel Kupfer dan sel yang berasal dari endotel dan epitel (Huan-Yao Lei et al., 2008). Data in vitro dan studi dari autopsi menemukan 3 sistem organ utama yang memiliki peran penting dalam patogenesis DBD/SSD yaitu sistem imun, hepar dan sel endotel yang melapisi pembuluh darah (Martina et al, 2009). Monosit merupakan target utama dari infeksi virus dengue, namun mereka akan mengalami apoptosis untuk mencegah penyebaran virion, namun juga menurunkan inflamasi yang diinduksi virus karena sel apoptosis akan difagositosis oleh makrofag. Walaupun sel dendritik imatur dilaporkan 10 kali lipat lebih permisif untuk infeksi virus dengue dibandingkan monosit dan makrofag, namun tidak dijumpai peningkatan antibodi walaupun mereka mengekspresikan reseptor Fc (Huan-Yao Lei et al., 2008). Sel dendritik interstisial yang berlokasi di epitel dipercaya sebagai lini pertama dari imun pejamu dalam melawan invasi virus dengue setelah gigitan awal oleh nyamuk yang terinfeksi. Sel dendritik yang terinfeksi bermigrasi ke kelenjar limfe regional sejalan dengan proses maturasinya. Infeksi sel dendritik juga selain menstimulasi maturasinya juga merangsang produksi sitokin terutama TNF-α dan IFN-γ. Aktivasi awal dari sel NK dan imunitas-bergantung interferon tipe 1, penting dalam membatasi replikasi virus pada stadium awal infeksi dengue. Pada penelitian yang dilakukan oleh Departemen Imunologi Universitas Massachusett, ditemukan bahwa virus dengue menginfeksi dan bereplikasi di dalam sel dendritik imatur. Paparan terhadap virus dengue mengarah pada maturasi dan aktivasi sel terinfeksi dan sekelilingnya, sel dendritik yang tidak terinfeksi dan stimulasi produksi

dan IFN- .

Belum banyak yang diketahui mengenai patogenesis perdarahan pada DBD/SSD dan bila dianalogikan dengan sepsis, sangat menarik untuk dispekulasi bahwa sitokin

merupakan mediator kunci. Peningkatan jumlah monosit yang terinfeksi virus dengue dapat menyebabkan aktivasi sel limfosit T, dan aktivasi dari kedua jenis sel dapat menyebabkan peningkatan kadar sitokin yang telah disebutkan sebelumnya. Kadar dari aktivasi sel T pada infeksi dengue sekunder juga meningkat, terjadi sebagai fenomena yang disebut original antigenic sin, dan mengalami kematian sel terprogram. Banyak sel T spesifik dengue yang memiliki afinitas rendah terhadap virus yang menginfeksi, dan menunjukkan afinitas yang tinggi untuk yang lain, kemungkinan serotipe yang sebelumnya pernah dihadapi. Aktivasi dan kematian sel T selama infeksi dengue akut dapat menekan atau menunda eliminasi virus, menyebabkan viral load yang lebih tinggi dan ditemukannya peningkatan imunopatologi pada pasien dengan DBD (Chuansumrit dan Tangnararatchakit, 2006).

Penelitian yang dilakukan oleh Yu-Wen Lin et al di Cina berhasil mendemonstrasikan bahwa virus dengue secara aktif bereplikasi di dalam sel B. Hal tersebut didukung oleh beberapa data yang ditemukan antara lain: genom RNA strand negatif yang merupakan cetakan replikasi yang hanya ada selama replikasi virus; antigen virus, termasuk protein inti dan NS1 terdeteksi di dalam sel yang terinfeksi; jumlah virus yang terdeteksi di dalam sel yang terinfeksi meningkat sejalan dengan waktu; sitokin disekresi dari sel yang terinfeksi; dan antibodi heterolog mampu meningkatkan replikasi virus dengue dan sekresi sitokin dari sel yang terinfeksi. Dari penelitian tersebut juga didapatkan bahwa replikasi VD terjadi secara seimbang dalam sel B maupun dalam monosit (Yu-Wen et al., 2002). Antibodi heterolog ditemukan mampu meningkatkan replikasi virus dalam sel B primer maupun keturunannya. Antibodi ini dapat meningkatkan jumlah sel B yang terinfeksi. Hasil yang sama juga terlihat pada monosit. Replikasi virus juga terlihat meningkat oleh antibodi heterolog, yang dibuktikan dengan mengukur intensitas rata-rata fluoresensi dari ekspresi NS1. Efek peningkatan dari antibodi ini dapat merupakan akibat dari peningkatan masuknya

virus ke dalam sel atau transduksi sinyal untuk mengaktivasi sel B yang dipicu oleh antibodi. Karena sel B berada dalam sirkulasi antara jaringan limfe dan darah, sementara monosit berpindah dari sumsum tulang ke jaringan perifer, diperkirakan bahwa sel B yang terinfeksi merupakan sarana penyebaran virus yang lebih efisien dibandingkan monosit, yang merupakan dua tempat yang paling sering didapatkan virus pada pasien yang terinfeksi. Dari data-data ini dapat disimpulkan bahwa sel B memiliki peranan penting dalam amplifikasi virus dan penyebarannya selama infeksi berlangsung (Yu-Wen Lin et al., 2002). Ditemukan juga korelasi yang lebih bermakna antara virus dan produksi sitokin pada sel B dibandingkan dengan monosit. Hal ini memberikan perkiraan bahwa infeksi dengue dapat menginduksi sintesis sitokin pada sel B secara langsung. Dalam monosit, infeksi VD meningkatkan produksi IL-1. Interleukin 1 merupakan induktor untuk IL-6 dan TNF-α, dan dapat menstimulasi sintesis kedua sitokin ini. Sel B juga diketahui dapat memproduksi autoantibodi terhadap trombosit dan sel endotel yang memicu respon patologis selama infeksi. Mekanisme produksi virion, fenomena peningkatan antibodi dan pelepasan sitokin yang terjadi pada sel B menyerupai mekanisme yang terjadi pada monosit (Yu-Wen Lin et al., 2002).

Dokumen terkait