• Tidak ada hasil yang ditemukan

HUBUNGAN ANTARA KADAR D-DIMER DAN DERAJAT INFEKSI VIRUS DENGUE

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "HUBUNGAN ANTARA KADAR D-DIMER DAN DERAJAT INFEKSI VIRUS DENGUE"

Copied!
106
0
0

Teks penuh

(1)

TESIS

HUBUNGAN ANTARA KADAR D-DIMER

DAN DERAJAT INFEKSI VIRUS DENGUE

SABRINA CHARMAINE SMIT NIM 0914048105

PROGRAM MAGISTER

PROGRAM STUDI ILMU BIOMEDIK

PROGRAM PASCASARJANA

UNIVERSITAS UDAYANA

DENPASAR

(2)

HUBUNGAN ANTARA KADAR D-DIMER

DAN DERAJAT INFEKSI VIRUS DENGUE

Tesis untuk Memperoleh Gelar Magister

pada Program Magister, Program Studi Biomedik,

Program Pascasarjana Universitas Udayana

SABRINA C. SMIT NIM 0914048105

PROGRAM MAGISTER

PROGRAM STUDI ILMU BIOMEDIK

PROGRAM PASCASARJANA

UNIVERSITAS UDAYANA

DENPASAR

(3)

Lembar Pengesahan TESIS INI TELAH DISETUJUI PADA TANGGAL 4 Desember 2013

Pembimbing I, Pembimbing II,

Prof. Dr. dr. Tuti Parwati M, SpPD-KPTI Dr. dr. Ketut Suega, SpPD-KHOM NIP : 19481228 197903 2 001 NIP : 19570406 198312 1 001

Mengetahui

Ketua Program Studi Ilmu Biomedik Direktur Program Pascasarjana Program Pascasarjana Universitas Udayana Universitas Udayana

Prof. Dr. dr. Wimpie Pangkahila, Sp. And. FAACS Prof. Dr. dr. A. A. Raka Sudewi, SpS(K)

(4)

Tesis Ini Telah Diuji pada Tanggal 4 Desember 2013

Panitia Penguji Tesis Berdasarkan SK Nomor: 3194/UN14.4/HK/2013

Tanggal 15 November 2013

Ketua : Prof. Dr. dr. Tuti Parwati Merati, SpPD-KPTI

Anggota :

1. Dr. dr. Ketut Suega, SpPD-KHOM

2. Dr. Tjok Gede Dharmayuda, SpPD-KHOM 3. Prof. Dr. dr. Nyoman Adiputra, MOH 4. Prof.dr. N. Tigeh Suryadhi, MPH, Ph.D

(5)

UCAPAN TERIMA KASIH

Puji dan syukur saya panjatkan ke hadapan Tuhan Yang Maha Esa karena atas berkat, rahmat dan karunia-Nya karya tulis ini dapat saya selesaikan. Karya tulis ini merupakan tugas akhir yang dibuat sebagai salah satu syarat menyelesaikan Program Magister pada Program Magister, Program Studi Bio-Medik, Kekhususan Kedokteran Klinik (Combined Degree) Program Pascasarjana Universitas Udayana Denpasar.

Saya menyadari sepenuhnya bahwa penelitian karya akhir ini terlaksana dengan baik berkat adanya bimbingan, arahan, dorongan semangat, sumbangan pikiran serta bantuan lain yang sangat berharga dari semua pihak. Oleh karena itu pada kesempatan ini saya menyampaikan rasa hormat dan penghargaan yang setinggi-tingginya serta terima kasih yang setulus-tulusnya kepada :

1. Prof Dr.dr. Wimpie Pangkahila, SpAnd, FAACS selaku ketua Program Studi Ilmu Kedokteran Biomedik Universitas Udayana yang telah memberikan banyak masukan

2. Prof. Dr. dr. Tuti Parwati Merati, SpPD-KPTI selaku pembimbing I, yang dengan penuh kesabaran telah begitu banyak memberikan bimbingan serta dorongan moril yang sangat berharga

3. Dr. dr. Ketut Suega, SpPD-KHOM selaku pembimbing II, yang telah memberikan bimbingan kepada penulis

4. Prof. Dr. dr. I Gede Raka Widiana, SpPD-KGH, yang telah memberikan bimbingan statistik kepada penulis

(6)

5. Prof. Dr. dr. Ketut Suastika, SpPD-KEMD, selaku Rektor Universitas Udayana yang telah memberikan kesempatan kepada saya untuk mengikuti pendidikan di Universitas Udayana

6. Prof. Dr. dr. Putu Astawa, SpOT(K) M.Kes, selaku Dekan Fakultas Kedokteran Universitas Udayana yang telah memberikan kesempatan kepada saya untuk mengikuti pendidikan PPDS-I Ilmu Penyakit Dalam di FK Universitas Udayana.

7. Prof. Dr. dr. Tjokorda Raka Putra, SpPD-KR, selaku Kepala Bagian/SMF Ilmu Penyakit Dalam FK Unud/RSUP Sanglah yang telah memberikan kesempatan, bimbingan dan arahan sejak awal pendidikan

8. dr. Wayan Sutarga, MPHM selaku Direktur RSUP Sanglah Denpasar yang telah memberikan kesempatan kepada penulis untuk belajar dan bekerja di RSUP Sanglah Denpasar.

9. Prof. Dr. dr N. Adiputra, MOH, selaku penguji yang telah memberikan masukan dan saran yang sangat berguna bagi penyusunan tesis ini

10. Prof. Dr. dr. N. Tigeh Suryadhi, MPH, Ph. D , selaku penguji yang telah memberikan masukan dan saran yang berguna bagi penyusunan tesis ini 11. Dr. Tjok Gede Dharmayuda, SpPD-KHOM, selaku penguji yang telah

memberikan masukan dan saran yang berguna bagi penyusunan tesis ini 12. Prof. Dr.dr. Alex Pangkahila, M.Sc, SpAnd selaku dosen metodologi

penelitian yang telah memberikan ilmu yang sangat berguna bagi penyusunan tesis ini

(7)

13. Prof. Dr.dr. Ketut Suwitra, SpPD-KGH, selaku Ketua Program Studi PPDS I Ilmu Penyakit Dalam FK Unud/RSUP Sanglah yang telah memberikan petunjuk, bimbingan dan arahan sejak awal pendidikan

14. Dr. Susila Utama, SpPD-KPTI, dr. Agus Somia, SpPD-KPTI, dr. AAA Yuli Gayatri, SpPD dan dr. Dewi Dian Sukmawati, SpPD selaku staf divisi tropik infeksi, atas bimbingan dan dorongan yang diberikan pada penulis

15. Dr. IGNB Artana, SpPD atas masukan, dorongan semangat dan kebaikan yang diberikan kepada penulis

16. Suami tersayang dr. Basilius Beni, atas semua pengorbanan dan pengertian selama penulis menjalani pendidikan

17. dr. Wayan Nariata, SpPD, dr. Siswadi Semadi, dr. Linda FDPH, dr. Putu Prathiwi, SpPD, dan dr. Bayu Setia yang telah memberikan bantuan, kesabaran dan dorongan semangat dalam penyusunan tesis ini; serta sejawat peserta PPDS Ilmu Penyakit Dalam atas semua bantuan kepada penulis 18. Teman-teman dan semua pihak yang namanya tidak dapat disebutkan satu

persatu yang telah membantu penyelesaian tesis ini, penulis mengucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya.

Akhir kata, semoga penelitian ini dapat bermanfaat bagi perkembangan ilmu pengetahuan dan bagi umat manusia secara keseluruhan.

Denpasar, Desember 2014

Penulis,

(8)

HUBUNGAN ANTARA KADAR D-DIMER DAN DERAJAT INFEKSI VIRUS DENGUE

ABSTRAK

Infeksi virus dengue merupakan masalah kesehatan masyarakat dengan jumlah kasus meningkat dan daerah penyebaran bertambah luas. Peningkatan kadar D-dimer pada fase awal infeksi VD mengindikasikan bahwa aktivasi sistem fibrinolisis terjadi lebih awal pada pasien-pasien dengan infeksi ringan secara kinis. Penelitian ini bertujuan mencari hubungan antara kadar d-dimer dan derajat infeksi dengue, sehingga diharapkan d-dimer dapat dijadikan sebagai indikator yang berguna dalam meningkatkan kewaspadaan terhadap luaran buruk pada infeksi dengue.

Rancangan potong lintang analitik dilakukan terhadap penderita infeksi VD yang dirawat di Bagian Ilmu Penyakit Dalam RSUP Sanglah Denpasar bulan Agustus 2011-April 2013. Diagnosis berdasarkan kriteria WHO 2009, dikonfirmasi serologi dengue. Sampel dipilih dengan metode konsekutif. Darah lengkap dan d-dimer diperiksa hari ke-tiga, empat atau lima demam saat MRS, serologi dengue hari ke-tujuh demam.

Dari 89 sampel didapatkan rerata umur 26,6 ± 10,05 tahun, mayoritas laki-laki 58 orang (65,2%). Didapatkan 67 orang (75,3%) dengan IgG positif, 46 orang (51,7%) IgM positif, 56 orang (62,9%) dengan IgG dan IgM positif. Menurut derajatnya didapatkan dengue without warning sign 59 orang (66,3%), dengue with warning sign 24 orang (27%), severe dengue 6 orang (6,7%). Rerata d-dimer 0,99 ± 0,93 µg/ml, d-dimer rendah (<0,5 µg/ml) 31 orang (34,8%), d-dimer sedang 53 orang (59,6%), dan d-dimer tinggi (>4 µg/ml) 5 orang (5,6%). Analisis bivariat Spearman menunjukkan hubungan bermakna antara kadar d-dimer dan derajat infeksi VD (p=0,007, r=0,284). Analisis regresi multinominal menunjukkan bahwa pada kelompok dengue without warning sign, untuk kategori d-dimer rendah, didapatkan OR=50, p=0,014 (95% CI 2,2-1136,4); untuk kategori d-dimer sedang didapatkan OR=22, p=0,024 (95% CI 1,5-319,5). Severe dengue sebagai kategori pembanding. Pada kelompok dengue with warning sign, untuk kategori d-dimer rendah didapatkan p=0,27 (95% CI 0,27-91,5); untuk kategori d-dimer sedang p=0,14 (95% CI 0.56-57,2).

Hasil analisis mengindikasikan hubungan antara kadar d-dimer dengan derajat infeksi dengue. Apabila didapatkan kadar d-dimer rendah kemungkinan infeksi dengue ringan, apabila kadar d-dimer tinggi dapat diperkirakan infeksi dengue akan menjadi berat. Perbedaan tidak bermakna antara d-dimer pada dengue with warning sign dengan severe dengue menunjukkan aktivasi koagulasi dan fibrinolisis yang tidak berbeda bermakna. Oleh karena itu warning sign penting untuk diantisipasi, dan ditunjang dengan d-dimer dapat menjadi indikator bahwa infeksi akan menjadi berat.

(9)

RELATIONSHIP BETWEEN THE LEVEL OF D-DIMER AND THE DEGREE OF DENGUE VIRUS INFECTION

ABSTRACT

Dengue virus infection has become a major public health concern, with increasing incidence and area of expansion. Increase d-dimer level in early phase of infection indicates that activation of fibrinolysis occurs early in patients with mild clinical infection. The aim of this research is to determine relationship between the level of d-dimer and the degree of dengue infection, so d-dimer can be used as an indicator to increase awareness to poor outcome.

A cross sectional study was conducted to dengue patients that was admittedin Internal Medicine Department of Sanglah Hospital, Denpasar between August 2011 until April 2013. Diagnosis was confirmed according WHO 2009 criteria, confirmed with dengue serology. Sample was recruited consecutively. Complete blood count and d-dimer were collected on the third, fourth or fifth day of fever on admission, dengue serology on the seventh day.

Out of 89 samples, mean age 26,6 ± 10,05 years, majority 58 male patients (65.2%). We found 67 patients (75.3%) with positive IgG, 46 (51.7%) with positive IgM, 56 (62.9%) with positive IgG and IgM. According to severity, we found dengue without warning sign 59 patients (66.3%), dengue with warning sign 24 patients (27%), severe dengue 6 patients (6.7%). Mean d-dimer 0.99 ± 0,93 µg/ml, low d-dimer (<0.5 µg/ml) 31 patients (34.8%), moderate d-dimer 53 patients (59.6%), and high d-dimer (>4 µg/ml) 5 patients (5.6%). Spearman analysis showed significant correlation between the level of d-dimer and the degree of dengue infection (p=0.007, r=0.284). Multinominal regression analysis showed that in dengue without warning sign group, for low d-dimer OR=50, p=0.014 (95% CI 2.2-1136.4); for moderate d-dimer OR=22, p=0.024 (95% CI 1.5-319.5). Severe dengue was used as comparative category. In dengue with warning sign group, for low d-dimer p=0.27 (95% CI 0.27-91.5); for moderate d-d-dimer p=0.14 (95% CI 0.56-57.2).

Analysis results indicate a relationships between the level of d-dimer and the degree of dengue infection. If d-dimer level is low, the probability of dengue infection is mild, if d-dimer is high the infection can be predicted to be severe. The not statistically significant difference between d-dimer level in dengue with warning sign compare to severe dengue shows no significant difference between coagulation-fibrinolysis activation in both groups. Therefore, warning sign are important to anticipate, and with d-dimer can be an indicator that infection will be severe. Keywords: d-dimer, degree of dengue virus infection, warning sign

(10)

DAFTAR ISI

Halaman

SAMPUL DALAM ... i

PRASYARAT GELAR... ii

LEMBAR PENGESAHAN ... iii

PENETAPAN PANITIA PENGUJI ... iv

UCAPAN TERIMA KASIH... v

ABSTRAK ... viii

ABSTRACT ... ix

DAFTAR ISI ... x

DAFTAR TABEL ... xiii

DAFTAR GAMBAR ... xiv

DAFTAR SINGKATAN... ... xv

DAFTAR LAMPIRAN ... xvii

BAB I PENDAHULUAN ... 1 1.1 Latar Belakang ... 1 1.2 Rumusan Masalah ... 4 1.3 Tujuan Penelitian ... 4 1.3.1 Tujuan Umum ... 4 1.3.2 Tujuan Khusus ... 4 1.4 Manfaat Penelitian ... 4 1.4.1 Manfaat Akademik... 4 1.4.2 Manfaat Praktis ... 4 BA B II KAJIAN PUSTAKA ... 5

2.1 Epidemiologi Infeksi Virus Dengue ... 5

2.2 Virus Dengue ... 6

2.3 Transmisi Virus Dengue... 7

2.4 Diagnosis Infeksi Virus Dengue ... 8

2.5 Diagnosis Laboratorium Infeksi Virus Dengue ... 13

2.6 Patogenesis Infeksi Virus Dengue ... 15

2.7 Mekanisme Kebocoran Plasma Pada Infeksi Virus Dengue ... 26

(11)

2.8.1. Pengaruh Inflamasi pada Koagulasi... 28

2.8.2 Pengaruh Koagulasi pada Inflamasi... 30

2.9 Perubahan Hematologi pada Infeksi Virus Dengue ... 32

2.10 Gangguan Hemostasis pada Infeksi Virus Dengue ... 33

2.10.1 Trombositopenia dan Trombositopati ... 33

2.10.2 Vaskulopati ... 35

2.10.3 Koagulopati ... 37

2.11 D-Dimer... 44

BAB III KERANGKA BERPIKIR KONSEP DAN HIPOTESIS PENELITIAN ... 48

3.1 Kerangka Berpikir ... 48

3.2 Kerangka Konsep ... 49

3.3 Hipotesis Penelitian ... 49

BAB IV METODE PENELITIAN ... 50

4.1 Rancangan Penelitian ... 50

4.2 Tempat dan Waktu Penelitian ... 50

4.3 Penentuan Sumber Data ... 50

4.3.1 Populasi Penelitian... 50

4.3.2 Sampel dan Besar Sampel ... 50

4.3.3 Kriteria Inklusi dan Eksklusi ... 51

4.4 Variabel Penelitian ... 52

4.5 Definisi Operasional Variabel ... 52

4.6 Bahan Penelitian ... 54

4.7 Instrumen Penelitian ... 54

4.8 Alur Penelitian……….……..…… 55

4.9 Prosedur Penelitian………..…….……. 56

4.10 Analisis Data ... 56

BAB V HASIL PENELITIAN ... 58

5.1 Karakteristik Sampel ... 58

5.2 Derajat Infeksi Virus Dengue ... 58

5.3 Kadar D-dimer Serum ... 60

5.5 Normalitas Data ... 61

5.6 Analisis Data ... 61

(12)

5.6.2 Analisis Regresi Multinominal antara Kadar D-dimer dengan Derajat

Infeksi Virus Dengue ... 62

BAB VI PEMBAHASAN ... 64

6.1 Karakteristik Subjek Penelitian ... 64

6.2 Hubungan antara Kadar D-dimer dengan Derajat Infeksi Virus Dengue ... 66

6.3 Keterbatasan Penelitian ... 71

BAB VII SIMPULAN DAN SARAN ... 72

7.1 Simpulan ... 72

7.2 Saran ... 72

DAFTAR PUSTAKA... 73

(13)

DAFTAR TABEL

Halaman 5.1 Karakteristik Penderita Infeksi Virus Dengue... 59 5.2 Karakteristik kategori d-dimer dan kategori derajat infeksi virus dengue (N=89) ... 61 5.3 Korelasi antara d-dimer dan derajat infeksi dengue ... 62 5.4 Hasil Analisis Regresi Multinominal antara kadar d-dimer (variabel bebas) dan derajat infeksi dengue (variabel tergantung) ... 63

(14)

DAFTAR GAMBAR

Halaman

2.1 Poliprotein Virus Dengue ... 7

2.2 Spektrum Klinis Infeksi Virus Dengue ... 9

2.3 Fase-fase Infeksi Virus Dengue... 10

2.4 Klasifikasi dan Derajat Infeksi Virus Dengue, UNICEF, WHO 2009 ... 13

2.5 Patogenesis DBD dari CDC ... 17

2.6 Teori Antibody Dependent Enhancement (ADE) ... 20

2.7 Kerangka Teori Peningkatan D-dimer melalui Aktivasi Koagulasi ... 43

5.1 Derajat Infeksi Virus Dengue ... 60

(15)

DAFTAR SINGKATAN

ADE : Antibody Dependent Enhancement ADP : Adenosine Diphosphate

ALT : Alanine Aminotransferase

APTT : Activated Partial Thromboplastin Time AST : Aspartate Aminotransferase

APC : Antigen Presenting Cell CI : Complemen Fixation

CDC : Centers for Disease Control DBD: Demam Berdarah Dengue DD : Demam Dengue

DVT : Deep Vein Thrombosis

ELISA : Enzime Linked Immunosorbent Assay EPCR : Endothelial Protein C Receptor

Fc : Fragment Crystallizable HI : Hemaglutinin Inhibition

ICAM-1 : Intercellular Adhesion Molecule 1 IFN-α : Interferon alpha

IL : Interleukin

KID : Koagulasi Intravaskular Diseminata

MAC-ELISA : Immunoglobulin M Capture Enzyme Linked Immunosorbent Essay

NPV : Negative Predictive Value NS: Non structural

(16)

OR : Odds Ratio

PAF : Platelet Activating Factor

PAI-1: Plasminogen Activator Inhibitor-1 PAR : Protease Activated Receptors PCR : Polymerase Chain Reaction PDF : Produk Degradasi Fibrin PPV : Positive Predictive Value

RT-PCR : Real – Time Polymerase Chain Reaction SEARO : South-East Asia Regional Office

SIRS : Systemic Inflammatory Response Syndrome SSD : Sindrom Syok Dengue

TAFI : Thrombin-Activatable Fibrinolysis Inhibitor TF : Tissue Factor

TFPI : Tissue Factor Plasminogen Inhibitor TNF-α : Tumor Necrosis Factor alpha t-PA : tissue Plasminogen Activator WHO : World Health Organization WPRO : Western Pasific Regional Office UNICEF : The United Nations Children's Fund u-PA : urokinase Plasminogen Activator

(17)

DAFTAR LAMPIRAN

Halaman

Lampiran 1. Informed Consent ... 79

Lampiran 2. Formulir Persetujuan Tertulis ... 81

Lampiran 3. Kuesioner Penelitian ... 82

Lampiran 4. Prosedur Pemeriksaan D-dimer ... 84

Lampiran 5. Prosedur Pemeriksaan Serologi Dengue ... 85

(18)

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Infeksi virus dengue masih merupakan masalah kesehatan masyarakat dan menimbulkan dampak sosial maupun ekonomi. Jumlah kasus yang dilaporkan cenderung meningkat dan daerah penyebarannya bertambah luas. Demam berdarah dengue ditemukan di daerah tropis dan sub-tropis di dunia, terutama di area perkotaan. Indonesia merupakan daerah endemis dengan sebaran di seluruh wilayah tanah air. Insiden infeksi virus dengue telah meningkat secara bermakna dalam beberapa dekade terakhir. Kurang lebih dua perlima dari populasi dunia saat ini berisiko untuk terkena infeksi dengue. WHO memperkirakan 50-100 juta infeksi dengue terjadi di seluruh dunia setiap tahunnya (WHO, 2013). Menurut data yang didapatkan dari Kementerian Kesehatan RI, jumlah kasus infeksi dengue di seluruh Indonesia selama tahun 2012 sebanyak 37 kasus per 100.000 penduduk dengan angka kematian 0,90% (Muhadir, 2013).

Virus dengue memiliki presentasi klinis dengan spektrum yang luas, seringkali dengan evolusi klinis dan luaran yang tidak dapat diprediksi. Sebagian besar pasien sembuh dengan sendirinya, sebagian kecil mengalami progresivitas ke infeksi yang berat. Perjalanan dari penyakit yang tidak berat ke penyakit berat sulit didefinisikan, namun merupakan hal yang sangat penting karena terapi yang tepat dapat mencegah pasien-pasien tersebut mengalami kondisi klinis yang lebih berat. Klasifikasi WHO tahun 1997 dianggap sulit untuk diaplikasikan secara klinis, terutama dengan meningkatnya kasus-kasus dengue berat yang tidak dapat memenuhi kriteria tahun 1997 secara tegas. Pada tahun 2009, WHO

(19)

memperbaharui klasifikasi infeksi dengue, dengan membagi derajat infeksi menjadi dengue without warning sign, dengue with warning sign, dan severe dengue.

Gambaran karakteristik yang membedakan Demam berdarah dengue (DBD) dari demam dengue (DD) dan penyakit viral lainnya adalah peningkatan permeabilitas kapiler dan gangguan hemostasis, yang mengarah pada kebocoran plasma luas pada rongga-rongga serosa. Penumpukan cairan di rongga serosa seperti efusi pleura, asites, dan penebalan pada dinding kandung empedu merupakan tanda-tanda dari kebocoran plasma (WHO, 2009; Sai et al., 2005).

Patogenesis dari DBD tidak sepenuhnya dipahami. Selama beberapa dekade terakhir, sejumlah besar penelitian mengemukakan kemungkinan peran respon imun pejamu sebagai salah satu patogenesis yang mendasari DBD. Pada percobaan invitro dengan kultur sel endotel, dijumpai bahwa sel endotel mengalami aktivasi setelah terpapar dengan monosit yang terinfeksi virus dengue. Monosit yang terinfeksi akan memproduksi sitokin dan menyebabkan aktivasi sel endotel (Dharma et al., 2006). Hipotesis Halstead menyatakan infeksi sekunder oleh strain dengue yang berbeda akan menghasilkan peningkatan infeksi mononuklear yang bergantung pada antibodi. Mediator inflamasi yang dihasilkan oleh monosit akan menginduksi disfungsi sel endotel vaskular, yang pada akhirnya akan mengganggu keseimbangan hemostasis (Maldonado, 2010). Perubahan hemostatik pada penderita DBD meliputi tiga faktor utama, yaitu kelainan vaskular, trombositopenia dan gangguan fungsi trombosit, serta defek multipel pada sistem koagulasi-fibrinolisis. Keseimbangan hemostasis dipertahankan antara aktivasi koagulasi dan fibrinolisis (Azizan, 2008).

(20)

Terdapatnya D-dimer dalam darah mengindikasikan aktivasi sistem koagulasi dan fibrinolisis, yang dihasilkan dari destruksi fibrin, dan merefleksikan pembentukan dan lisis bekuan (Ohnishi dan Kato, 2002). Peningkatan kadar D-dimer pada pasien yang terinfeksi virus dengue (VD) memberi kesan bahwa aktivasi dari sistem fibrinolisis memerankan peran penting dalam patogenesis DBD (Tseng et al., 2006). Kadar D-dimer ditemukan lebih tinggi pada pasien DBD dibandingkan dengan pasien DD, dengan hasil sensitivitas 90%. Selain itu, D-dimer juga didapatkan berkorelasi positif dengan derajat infeksi dengue di semua fase penyakit, yaitu fase febril, kritis, dan konvalesens (P-value <0.05), (Setrkraising, et al. 2007). Peningkatan kadar D-dimer dalam plasma secara signifikan juga ditemukan pada dua kelompok pasien dengan infeksi dengue (DD vs. kontrol: P= 0.04 ; DBD vs. kontrol: P= 0.01 ), (Tseng et al., 2006).

Pada infeksi dengue, deteksi adanya D-dimer pada fase febril dapat menjadi suatu penanda prediksi perjalanan klinis penyakit infeksi dengue (Bongsebandhu et al.,2008). Terdeteksinya D-dimer secara dini mengindikasikan bahwa Koagulasi Intravaskular Diseminata (KID) dan aktivasi sistem fibrinolisis terjadi lebih awal, sebelum terjadinya manifestasi perdarahan (Setrkraising et al., 2007). Aktivasi koagulasi pada infeksi dengue dapat dimulai pada berbagai kondisi, mulai dari aktivasi subklinis, yang ditandai dengan peningkatan trombin dan fibrin, sampai KID dengan pembentukan trombus mikrovaskular di berbagai organ, yang dikorelasikan dengan derajat infeksi dengue. Walaupun demikian, beberapa penelitian tidak menemukan hubungan yang bermakna antara peningkatan aktivasi koagulasi sejalan dengan peningkatan derajat infeksi VD. Penelitian yang dilakukan di Filipina tahun 2005 oleh Carlos et al. hanya menemukan peningkatan ringan d-dimer pada kelompok DD dan DBD.

(21)

Oleh karena itu perlu dilakukan penelitian lebih lanjut untuk mencari hubungan antara derajat infeksi dengue dan kadar D-dimer, sehingga hal ini dapat dijadikan sebagai indikator yang berguna dalam meningkatkan kewaspadaan terhadap luaran yang buruk pada infeksi dengue.

1.2 Rumusan Masalah

Apakah kadar D-dimer berhubungan dengan derajat infeksi virus dengue?

1.3 Tujuan Penelitian

Untuk mengetahui hubungan antara kadar D-dimer dan derajat infeksi virus dengue.

1.4 Manfaat Penelitian

1.4.1 Manfaat Akademik

Penelitian ini diharapkan dapat dijadikan sebagai penelitian pendahuluan untuk acuan bagi peneliti lain yang ingin melakukan penelitian lebih lanjut demi perkembangan ilmu pengetahuan, khususnya dalam mengetahui mekanisme patogenesis infeksi virus dengue.

1.4.2 Manfaat Praktis

Diharapkan D-dimer dapat menjadi salah satu parameter yang dapat diperiksa pada pasien-pasien dengan infeksi dengue terutama DD atau DBD derajat ringan yang belum mengalami kebocoran plasma nyata secara klinis, yang memberi sumbangan dalam antisipasi terjadinya perburukan derajat infeksi dengue, sehingga para klinisi dapat meningkatkan kewaspadaannya dalam menangani kasus-kasus infeksi dengue.

(22)

BAB II

KAJIAN PUSTAKA

2.1 Epidemiologi Infeksi Virus Dengue

Insiden dengue telah berkembang secara drastis di seluruh dunia selama beberapa dekade terakhir. Kurang lebih dua per lima dari populasi dunia memiliki risiko untuk mengalami infeksi virus dengue. World Health Organization (WHO) memperkirakan terdapat kurang lebih 50-100 juta infeksi dengue di dunia setiap tahunnya. Penyakit ini endemik di lebih dari 100 negara di Afrika, Amerika, Mediterania, Asia Tenggara dan Pasifik Barat. Asia Tenggara dan Pasifik Barat merupakan dua regio dengan infeksi dengue terbanyak. Tidak hanya jumlah kasus infeksi dengue yang meningkat sejalan dengan penyebarannya ke daerah-daerah baru, namun ledakan-ledakan wabah infeksi dengue banyak terjadi. Lebih dari lima ratus ribu penderita infeksi DBD memerlukan perawatan di rumah sakit setiap tahunnya, dan sebagian besar adalah anak-anak. Sekitar 2,5% di antaranya meninggal. Kasus-kasus di seluruh Amerika, Asia Tenggara dan Pasifik Barat telah melebihi 1,2 juta kasus pada tahun 2008 dan lebih dari 2,3 juta kasus pada tahun 2010. Akhir-akhir ini jumlah kasus dilaporkan meningkat. Tanpa terapi yang tepat, laju mortalitas infeksi VD dapat melebihi 20% (Permpalung, et al. 2009).

Salah satu faktor yang meningkatkan penyebaran infeksi dengue adalah perluasan distribusi geografik dari ke-empat serotipe virus dengue dan nyamuk sebagai vektornya, yang terpenting adalah spesies Aedes aegypti. Peningkatan yang cepat dari populasi nyamuk di perkotaan semakin meningkatkan jumlah manusia yang berkontak dengan vektor ini, terutama di daerah dengan banyak tempat penyimpanan air dan di daerah dengan pengolahan pembuangan limbah air tidak adekuat. Krisis pemanasan global yang sedang

(23)

terjadi merupakan suatu tantangan, karena perubahan iklim dapat meningkatkan dinamika kontak antara nyamuk dan manusia. Dapat diprediksi, dengan pemanasan global laju infeksi VD akan meningkat. Lebih jauh lagi, infeksi dengue akan ditemukan di daerah-daerah tanpa risiko infeksi sebelumnnya (Permpalung et al., 2009).

Selama tahun 2013 di Indonesia insiden infeksi VD sebanyak 37 kasus per 100.000 penduduk dengan angka kematian 0,90%, menurut data yang didapatkan dari Kementerian Kesehatan RI. Insiden terbanyak didapatkan di Sulawesi Tengah, Bangka Belitung, Kalimantan Timur, Lampung dan DKI Jakarta, dengan angka kematian tertinggi di Papua Barat dan Maluku (Muhadir, 2013).

Jumlah kasus infeksi VD di RS Sanglah Denpasar selama tahun 2008 sebesar 3023 kasus, 2709 di antaranya dengan DBD dan 314 orang dengan DD. Jika dilihat dari kelompok umur, 778 orang berumur antara 0-14 tahun dan 2254 orang di atas 14 tahun, 1678 orang laki-laki dan 1345 orang perempuan, disertai jumlah kematian sebanyak 22 orang ( 0,72 % ). Jumlah kasus yang dirawat di ruang perawatan intensif selama tahun 2008 sebesar 54 kasus, 9 orang berumur kurang dari 12 tahun dan 45 orang berumur lebih atau sama dengan 12 tahun.

2.2 Virus Dengue

Infeksi dengue disebabkan oleh salah satu dari ke-empat serotipe virus dengue, yaitu DEN-1, DEN-2, DEN-3 dan DEN-4. Virus ini termasuk dalam genus Flavivirus, famili Flaviviridae. Flavivirus membawa genom 11kb RNA rantai tunggal dengan pengaturan yang sederhana. Setelah infeksi, genom virus secara langsung ditranslasi menjadi poliprotein tunggal oleh protein sel pejamu. Poliprotein tersebut kemudian mengalami pembelahan post-translasional oleh virus dan enzim protease untuk membentuk

(24)

3 protein struktural (inti/core (C), membran (M) dan selaput/envelope (E)) dan 7 protein nonstruktural (NS1, NS2A, NS2B, NS3, NS4A, NS4B, dan NS5). Protein nonstruktural dibutuhkan untuk replikasi virus (Chuansumrit dan Tangnararatchakit, 2005). Terminal-N dari NS3 mengkode serin protease yang esensial untuk replikasi virus.

Gambar 2.1 Poliprotein Virus Dengue

2.3. Transmisi Virus Dengue

Transmisi virus dengue nampaknya berhubungan erat dengan perubahan demografik dan sosial selama lebih dari 50 tahun terakhir. Faktor-faktor yang bertanggung jawab atas meningkatnya transmisi virus dengue ini antara lain peningkatan cepat dari populasi dunia, urbanisasi yang tidak terkontrol, terutama di daerah-daerah tropis yang sedang berkembang, kurang efektifnya metode pengendalian vektor, peningkatan perjalanan melalui udara, dan perubahan kebijakan kesehatan masyarakat yang lebih menekankan pada metode pengendalian nyamuk dengan teknologi tinggi daripada dengan mengurangi sumber larva nyamuk (Ping-Chang Lai et al., 2004).

(25)

Penyakit karena infeksi dari empat serotipe virus dengue merupakan penyakit yang ditularkan melalui gigitan nyamuk Aedes Aegypti betina. Nyamuk mendapatkan VD saat menghisap darah orang yang terinfeksi. Aktivitas nyamuk menggigit dominan pada dua waktu, yaitu pagi hari 2-3 jam setelah matahari terbit dan siang hari beberapa jam sebelum gelap. Walaupun demikian, nyamuk ini akan menghisap darah sepanjang hari bila ada di dalam rumah dan pada musim hujan. Setelah masa inkubasi virus selama 8 sampai 10 hari, nyamuk yang terinfeksi mampu mentransmisikan virus saat menggigit dan menghisap darah, sepanjang masa hidupnya (Rothman, 2010). Nyamuk betina yang terinfeksi juga mampu mentransmisikan virus pada keturunannya secara transovarial. Manusia yang terinfeksi merupakan karier utama VD, yang juga berperan sebagai sumber virus bagi nyamuk yang tidak terinfeksi. Virus dengue beredar di sirkulasi darah orang yang terinfeksi selama 2 sampai 7 hari, sama dengan masa demam yang dialami.

2.4. Diagnosis Infeksi Virus Dengue

Manifestasi klinis infeksi dengue bervariasi dari infeksi asimtomatik sampai simtomatik. WHO mengklasifikasikan gejala infeksi virus dengue simtomatik ke dalam 3 kategori : undifferentiated fever, DD, dan DBD (Permpalung et al., 2009). Demam berdarah dengue merupakan bentuk infeksi dengue yang lebih berat yang disebabkan oleh satu dari keempat serotipe virus dengue. Gambaran klinis DBD menyerupai DD pada awal fase febris dalam berbagai aspek. Gambaran yang prominen dari DBD adalah potensinya untuk berkembang menjadi menjadi SSD. Ciri khas patofisiologi yang menentukan derajat penyakit dan membedakan DBD dengan DD dan penyakit viral hemoragik lainnya adalah adanya kebocoran plasma yang disebabkan oleh peningkatan permeabilitas vaskular dan hemostasis yang abnormal. Bukti yang menunjang adanya kebocoran plasma meliputi efusi pleura dan asites, hemokonsentrasi dan hipoproteinemia (Auyeung et al., 2003;

(26)

Chuansumrit dan Tangnararatchakit, 2005). Syok hipovolemik terjadi sebagai konsekuensi dari kehilangan volume plasma yang kritikal.

Gambar 2.2 Spektrum Klinis Infeksi Virus Dengue, WHO 1997

Presentasi klinis infeksi dengue dibagi menjadi 3 fase, yang disebut febril, kritis dan konvalesen (WHO, 2009). Pasien pada awalnya menderita demam mendadak tinggi dengan malaise, sakit kepala, mual muntah, mialgia dan kadang nyeri perut. Fase febris akut ini berlangsung selama 2-7 hari. Penurunan cepat suhu tubuh ke level normal atau subnormal, dengan berkembangnya berbagai derajat gangguan sirkulasi dikenal dengan masa defervesen, dan menandakan pasien masuk dalam fase kritis. Fase kritis ini umumnya berlangsung selama 24-48 jam. Pada akhirnya, sebagian besar pasien mengalami pemulihan tanpa sekuele pada fase konvalesen (Chuansumrit & Tangnararatchakit, 2005).

(27)

Gambar 2.3 Fase-fase Infeksi Virus Dengue, WHO 2009

Diagnosis penyakit DD dan DBD didasarkan pada kriteria WHO 1997 (Sutaryo, 1999) :

1. Diagnosis penyakit DD adalah adanya demam akut selama 2-7 hari, dengan sekurang-kurangnya dua manifestasi klinis seperti nyeri kepala, nyeri retro-orbita, mialgia, artralgia, ruam kulit, manifestasi perdarahan, atau leukopenia, ditunjang pemeriksaan serologi dengue positif atau adanya kasus lain yang terbukti demam dengue di sekitarnya.

2. Diagnosis DBD ditegakkan bila semua hal ini dipenuhi :

- Demam atau riwayat demam akut, antara 2-7 hari, kadang-kadang bifasik - Terdapat minimal 1 manifestasi perdarahan berikut :

- uji bendung positif,

(28)

- perdarahan mukosa, atau perdarahan dari tempat lain, - hematemesis melena,

- trombositopenia (jumlah trombosit < 100.000/ul)

- terdapat minimal satu tanda-tanda kebocoran plasma seperti,

- peningkatan hematokrit >20% dibandingkan standar sesuai dengan umur dan jenis kelamin,

- penurunan hematokrit >20% setelah mendapat terapi cairan dibandingkan dengan nilai hematokrit sebelumnya

- tanda kebocoran plasma seperti efusi pleura, asites, dan hipoproteinemia Dua kriteria klinis pertama dan satu kriteria laboratoris cukup untuk menegakkan diagnosa klinis demam berdarah dengue.

Terdapat 4 klasifikasi derajat penyakit DBD sesuai kriteria WHO 1997, yaitu :

1. Derajat I : demam disertai gejala tidak khas dan satu-satunya manifestasi perdarahan adalah uji torniquet yang positif

2. Derajat II : seperti derajat 1, disertai perdarahan spontan di kulit dan perdarahan lain

3. Derajat III : didapatkan kegagalan sirkulasi, yaitu nadi cepat dan lemah, takanan nadi menurun ( 20 mmHg atau kurang ) atau hipotensi, sianosis di sekitar mulut, kulit dingin dan lembab, tampak gelisah

(29)

Menurut kriteria WHO tahun 1997, SSD didefinisikan sebagai DBD dengan tanda-tanda kegagalan sirkulasi, meliputi tekanan nadi kecil (20mmHg) dan hipotensi (DBD derajat III) atau syok yang nyata (DBD derajat IV).

Tahun 2009, UNICEF mengeluarkan sistem klasifikasi terbaru untuk infeksi dengue dengan membagi derajat infeksi menjadi 3 kelompok (WHO, 2009):

(1) dengue without warning sign, apabila penderita yang tinggal di/bepergian ke daerah endemik dengue menderita demam dengan 2 atau lebih kriteria:

- mual muntah, - ruam, - nyeri sendi,

- tes Tourniquet positif, - leukopenia,

- laboratorium untuk mengkonfirmasi dengue

(2) dengue with warning sign, apabila didapatkan:

- nyeri perut, - muntah persisten,

- akumulasi cairan secara klinis, - perdarahan mukosa,

- letargi dan gelisah, - hepatomegali >2cm, dan

- peningkatan hematokrit dibarengi dengan penurunan trombosit yang cepat;

(30)

- kebocoran plasma berat yang mengarah pada syok (SSD) atau akumulasi cairan dengan distress pernapasan,

- perdarahan berat,

- keterlibatan organ berat seperti hepar yaitu AST dan ALT >=1000, susunan saraf pusat yaitu gangguan kesadaran, jantung dan organ lain.

Infeksi oleh satu dari keempat serotipe menyebabkan gejala klinis yang serupa, yang dapat bervariasi dalam hal derajat infeksi, bergantung pada beberapa faktor risiko yaitu virulensi virus, viral load, dan respon pejamu. Perbedaan genotip virus dengue nampaknya berhubungan dengan perbedaan virulensi. Kebocoran plasma dan perdarahan merupakan dua perubahan patofisiologi mayor pada DBD/SSD, yang juga menentukan derajat penyakit.

(31)

2.5 Diagnosis Laboratorium Infeksi Virus Dengue

Metode diagnostik yang saat ini digunakan untuk mengkonfirmasi diagnosis infeksi virus dengue meliputi deteksi virus, deteksi asam nukleat virus (PCR, Real time RT-PCR, isothermal amplification methods), deteksi antigen atau tes serologi (MAC ELISA, IgG ELISA, IgM/IgG rasio, IgA, HI test), atau kombinasi dari teknik-teknik tersebut. Tes serologi merupakan tes yang paling sering dilakukan. Setelah onset penyakit, virus dapat dideteksi di plasma, serum, sel darah di sirkulasi dan jaringan lain selama 4-5 hari. Selama stadium awal penyakit, isolasi virus atau deteksi antigen dapat digunakan untuk mendiagnosis infeksi. Pada akhir fase akut, serologi merupakan metode terpilih untuk diagnosis. Pada infeksi primer, antibodi IgM adalah imunoglobulin pertama yang muncul. Antibodi ini terdeteksi pada 50% pasien pada hari 3-5 setelah onset penyakit, meningkat 80% pada hari ke-5 dan 99% pada hari ke-10. Kadar IgM mencapai puncak kurang lebih 2 minggu setelah onset penyakit dan menurun sampai tidak terdeteksi setelah 2-3 bulan. Anti dengue IgG terdeteksi dengan titer rendah saat akhir minggu pertama, meningkat perlahan dan masih terdeteksi setelah beberapa bulan, dan mungkin seumur hidup. Pada infeksi sekunder, imunoglobulin dominan adalah IgG yang terdeteksi dengan kadar tinggi, bahkan pada fase akut, dan menetap selama periode 10 bulan sampai seumur hidup. Kadar IgM terdeteksi pada awal fase konvalesen dengan kadar rendah, bahkan dapat tidak terdeteksi pada beberapa kasus. Untuk membedakan infeksi dengue primer dan sekunder, saat ini lebih banyak digunakan rasio IgM/IgG dibandingkan dengan tes HI (Haemagglutination-Inhibition). Infeksi dengue dinyatakan positif dari tes diagnotik apabila didapatkan PCR positif, atau kultur virus positif, atau terjadi serokonversi IgM pada 2 pengukuran (fase akut dan konvalesen), atau serokonversi IgG pada 2 pengukuran, atau kenaikan 4 kali lipat titer IgG pada 2 pengukuran. Pada beberapa laboratorium, infeksi dengue didefinisikan sebagai

(32)

primer apabila rasio IgM/IgG > 1,2 (menggunakan serum pasien dengan dilusi 1/100) atau > 1,4 (menggunakan serum pasien dengan dilusi 1/20). Infeksi dikatakan sekunder apabila rasio kurang dari 1,2 atau 1,4. Walaupun demikian, rasio dapat bervariasi pada laboratorium yang berbeda (WHO, 2009).

Sebelum hari ke-5, pada fase febris, infeksi dengue dapat didiagnosis dengan isolasi virus pad kultur sel, dengan deteksi RNA virus menggunakan tes amplifikasi asam nuklet, atau dengan deteksi antigen virus dengan ELISA atau rapid test. Isolasi virus umumnya membutuhkan beberapa hari. Deteksi asam nukleat dapat mengidentifikasi RNA virus dengue dalam 24-48 jam, namun membutuhkan biaya yang lebih tinggi dan teknisi yang lebih berpengalaman. Saat ini alat deteksi antigen NS1 tersedia secara komersil dan dapat digunakan di berbagai laboratorium dengan peralatan terbatas. Setelah hari ke-5, virus dengue dan antigen menghilang dari darah bersamaan dengan munculnya antibodi spesifik. Antigen NS1 dapat terdeteksi pada beberapa pasien sampai beberapa hari setelah deverfesen. Untuk tes serologi, pengambilan sampel lebih fleksibel karena respon antibodi dapat diukur dengan membandingkan sampel pada fase akut dengan sampel yang diambil berminggu-minggu kemudian (WHO, 2009).

Diagnosis awal infeksi DBD secara klinis sulit ditegakkan, karena kriteria klinis dan laboratoris DBD dari WHO dapat bermanifestasi pada fase akhir dari infeksi akut. Walaupun banyak laporan sebelumnya mengemukakan karakteristik klinis dari DD dan DBD, perbedaan antara keduanya yang meliputi abnormalitas hematologi tidak pernah didefinisikan secara jelas.

(33)

2.6 Patogenesis Infeksi Virus Dengue

Patogenesis infeksi virus dengue sangat sedikit dimengerti. Demam berdarah dengue yang disebabkan oleh infeksi dengue primer atau sekunder disebabkan oleh terjadinya abnormalitas respon imun melibatkan produksi sitokin dan kemokin, aktivasi limfosit T dan gangguan dari sistem hemostatik. Dari beberapa hipotesis yang diajukan untuk menjelaskan patogenesis infeksi dengue, dua teori yang banyak dianut adalah hipotesis infeksi sekunder (secondary heterologus infection) dan hipotesis immune enhancement atau antibody dependent enhancement (ADE) (Soegijanto, 2006).

Teori infeksi sekunder menyebutkan bahwa apabila seseorang mendapatkan infeksi primer dari serotipe dengue tertentu memberikan imunitas jangka panjang terhadap serotipe tersebut (imunitas homotipik) (Auyeung et al., 2003; Hemungkorn et al., 2007). Imunitas terhadap serotipe dengue yang berbeda (imunitas heterotipik) bertahan selama beberapa bulan, dan setelah itu pasien kembali rentan terhadap terjadinya infeksi heterotipik. Jadi apabila seseorang mendapatkan infeksi sekunder dengan jenis serotipe virus yang lain, maka akan terjadi infeksi yang berat. Hal ini dapat dijelaskan sebagai berikut: pada infeksi yang kedua, antibodi heterolog yang telah terbentuk dari infeksi yang primer akan membentuk kompleks dengan infeksi VD baru dari serotipe yang berbeda, namun virus baru tersebut tidak dapat dinetralisir dan bahkan membentuk kompleks yang infeksius. Akibat infeksi sekunder oleh virus yang heterolog tersebut dan karena terdapat antibodi non-neutralising maka partikel VD dan molekul antibodi IgG akan membentuk kompleks virus-antibodi. Kompleks virus-antibodi tersebut kemudian akan berikatan dengan sel makrofag melalui reseptor Fc dan menimbulkan peningkatan infeksi virus dengue. Kompleks virus-antibodi akan meliputi sel makrofag, dan bersifat opsonisasi dan internalisasi sehingga makrofag mudah terinfeksi. Setelah teraktivasi makrofag akan memproduksi sitokin-sitokin inflamasi

(34)

dan Platelet Activating Factor (PAF). Kompleks tersebut beserta sitokin yang dilepaskan juga akan merangsang aktivasi komplemen, melepaskan C3a dan C5a, yang juga akan menyebabkan peningkatan permeabilitas kapiler dan kebocoran plasma. Efek sinergistik dari IFN-γ, TNF-α dan komplemen yang teraktivasi memicu terjadinya kebocoran plasma infeksi VD sekunder (Huan-Yao Lei et al., 2008). Kebocoran plasma berkembang cepat dalam hitungan jam, dekat dengan atau saat akhir dari fase febris saat gejala klasik demam dengue menghilang. Telah diajukan bahwa terikatnya antibodi pada NS1 yang diekspresikan pada sel yang terinfeksi dapat menyebabkan aktivasi komplemen. Sebagai tambahan, NS1 yang dilepaskan dari sel terinfeksi dapat secara langsung mengaktivasi komplemen (Martina et al., 2009).

(35)

Teori ADE menyebutkan bahwa terbentuk antibodi dari infeksi dengue yang pertama yang tidak dapat menetralisir virus, namun malah meningkatkan infeksi pada infeksi yang kedua. Antibodi heterolog ini diduga meningkatkan uptake/ambilan virus dan replikasi dari sel yang membawa reseptor Fc (Permpalung, et al. 2009). Aktivitas enhancing pada umumnya dapat dilihat pada pengenceran yang cukup banyak sehingga antibodi di situ tidak mempunyai sifat netralisasi. Kejadian tersebut dapat diamati misalnya pada kera yang disuntik dengan antibodi terhadap dengue 2 yang telah diencerkan dibanding dengan kera yang tidak mendapatkan hal serupa. Setelah diinfeksi dengan dengue virus 2, ternyata titer viremia lebih tinggi pada kelompok yang pertama. Di dalam kultur sel mononuklear darah tepi terjadi juga kejadian serupa. Suatu kultur mononuklear sel yang diberi imunoglobulin non netralisasi dan yang tidak diberi apa-apa, ternyata titer viremianya lebih tinggi pada kelompok yang pertama. Teori ADE berdasarkan pada peran sel fagosit mononuklear dan terbentuknya antibodi non netralisasi. Virus mempunyai target serangan yaitu sel fagosit seperti makrofag, monosit, dan sel Kupfer. Menurut penelitian antigen dengue lebih banyak didapat pada sel makrofag yang beredar dibanding dengan sel makrofag yang tinggal menetap di jaringan. Kemungkinan antibodi non netralisasi itu yang berperan, yaitu melingkupi sel makrofag yang beredar dan tidak melingkupi sel makrofag yang menetap di jaringan (Sutaryo, 1999). Walaupun ADE dari infeksi virus dengue telah secara jelas terlihat secara in vitro, akan tetapi tidak terdapat bukti definitif bahwa mekanisme tersebut terjadi secara in vivo pada manusia (Juffrie et al., 2000). Bukti yang menunjang teori ADE ini adalah pada autopsi yang dilakukan pada penderita demam berdarah dengue, tidak dijumpai adanya virus dengue pada sel endotel kapiler. Pada percobaan kultur sel endotel secara invitro, didapatkan bahwa sel endotel akan teraktivasi jika terpapar dengan monosit yang terinfeksi virus dengue (Halstead, 1989). Diduga setelah virus dengue berikatan dengan antibodi maka kompleks ini akan menempel pada monosit

(36)

melalui Fc reseptornya. Kompleks virus antibodi melekat melalui bagian Fc gamma antibodi IgG pada sel yang mempunyai Fc gammaR, seperti monosit. Virus kemudian tidak dinetralkan karena antibodi bersifat heterolog sehingga virus bebas bereplikasi di dalam monosit. Mobilitas monosit menyebabkan infeksi menyebar ke bagian tubuh lainnya. Monosit yang terinfeksi tersebut kemudian menjadi target respon eliminasi imun, sebagian besar diperantarai limfosit T sitotoksik. Alternatif lain, monosit yang terinfeksi virus dengue bertindak sebagai antigen presenting cell (APC) menginduksi pelepasan sitokin dari sel T yang teraktivasi. Monosit yang terinfeksi menstimulasi limfosit sehingga teraktivasi menghasilkan sitokin yang berperan dalam peningkatan regulasi reseptor Fc gamma permukaan monosit, berakibat peningkatan jumlah sel yang terinfeksi dan menimbulkan keadaan sakit yang berat. Monosit akan menghasilkan sitokin dan akan mengaktivasi sel endotel. Sitokin yang dihasilkan akan menyebabkan perubahan pada fungsi sel endotel, yaitu peningkatan faktor von Willebrand, faktor jaringan, PAF, plasminogen activator inhibitor, prostasiklin dan nitrit oksida serta penurunan tPA dan trombomodulin. Karena itu, pada disfungsi endotel, terjadi peningkatan permeabilitas vaskular dan aktivasi kaskade koagulasi.

(37)

Teori lain yang mencoba menjelaskan mengenai patogenesis infeksi dengue adalah teori virulensi virus. Teori ini menekankan pada kemampuan atau kapasitas virus untuk menimbulkan penyakit pada pejamu. Perbedaan manifestasi pada DD, DBD, dan SSD dikatakan dapat disebabkan oleh varian dari virus dengue dengan derajat virulensi yang berbeda-beda (Hemungkorn et al. 2007). Risiko untuk terjadinya DBD/SSD lebih besar pada infeksi oleh virus dengue serotipe 2 dibandingkan dengan serotipe yang lainnya (Onlamoon et al., 2010). Lebih jauh lagi dikatakan bahwa titer viremia dengue yang tinggi berhubungan dengan peningkatan derajat penyakit. Titer virus dengue yang diperiksa pada pasien anak-anak di Thailand ditemukan 10 sampai 100 kali lebih tinggi pada infeksi DBD dibandingkan pada infeksi DD (Huan-Yao Lei et al., 2008). Namun, orang yang terinfeksi dengan virus dengue yang sama dapat memberikan manifestasi klinis yang berbeda, hal ini memberikan perkiraan bahwa faktor pejamu juga memiliki peran penting dalam perkembangan penyakit dengue.

Teori antigen-antibodi didasarkan pada menurunnya kadar komplemen terutama C3, C3 proaktivator, C4 dan C5. Semakin berat penyakit semakin rendah kadar komplemen tersebut. Secara radioaktif dibuktikan penurunan bukan disebabkan oleh produksi yang menurun atau ekstravasasi. Kadar anafilatoksin meningkat, lalu menurun pada masa penyembuhan. Dari kejadian itu diperkirakan ada suatu mekanisme sebagai berikut, virus dengue dianggap sebagai antigen yang akan bereaksi dengan antibodi, kemudian mengaktivasi komplemen, aktivasi ini akan menghasilkan anafilatoksin C3a dan C5a yang merupakan mediator kuat peningkatan permeabilitas vaskular, kemudian terjadi kebocoran plasma (Hemungkorn et al. 2007).

Teori mediator dikemukakan sebagai kelanjutan dari teori ADE. Makrofag yang terinfeksi virus mengeluarkan mediator atau sitokin, seperti interferon, IL-1, IL-6, IL-12,

(38)

TNFα, dan lain-lain. Diperkirakan mediator dan endotoksin bertanggung jawab atas terjadinya syok septik, demam dan peningkatan permeabilitas kapiler. Telah dibuktikan bahwa endotoksin dari bakteri Gram negatif berhubungan erat dengan kejadian syok pada DBD. Endotoksin tersebut akan mengaktivasi kaskade sitokin terutama IL-1 dan TNFα. TNFα meningkat sejak awal perjalanan penyakit dan akan turun setelah infeksi reda. Interleukin 6 juga ditemukan meningkat pada DBD dengan syok. Pada infeksi virus dengue, dapat terjadi infeksi di beberapa tempat, akan tetapi derajat kerusakan jaringan (tissue destruction) yang ditimbulkan tidak cukup untuk menyebabkan kematian melainkan lebih disebabkan oleh gangguan metabolik. Diketahui juga bahwa akibat replikasi virus di dalam sel, terjadi stres sampai kematian sel apoptotik, baik in vitro maupun in vivo. Mekanisme pertahanan tubuh melalui apoptosis dan aktivasi sel-sel fagosit dapat menimbulkan jejas jaringan lokal atau ketidakseimbangan homeostasis dan selanjutnya memicu efek yang lain.

Sebagai tambahan, Kurane dan Ennis juga mengajukan hipotesis bahwa aktivasi limfosit juga memegang peranan penting. Aktivasi sel T dan monosit menginduksi produksi sitokin dan mediator-mediator kimia. Peningkatan cepat dari kadar mediator potensial seperti TNF, IL-2, IL-6, IFN, PAF, C3a, dan C5a serta histamin dan efek sinergis dari mediator-mediator ini menginduksi malfungsi dari sel endotel vaskular, yang akhirnya mengarah pada kebocoran plasma, syok, dan kekacauan sistem koagulasi.

Teori trombosit endotel menyatakan bahwa trombosit dan endotel diduga mempunyai peran penting dalam patogenesis DBD, berdasarkan kenyataan bahwa pada DBD terjadi trombositopenia dan peningkatan permeabilitas kapiler yang berarti terdapat pengaruh terhadap integritas sel endotel. Dua komponen ini sudah diketahui sejak lama merupakan satu kesatuan fungsi dalam mempertahankan homeostasis, salah satu cedera akan berakibat pada yang lain. Trombosit dapat dipandang sebagai sel sekretorik yang

(39)

memiliki granula-granula yang mengandung berbagai mediator. Endotel mempunyai bermacam reseptor, disamping dapat mengeluarkan bahan-bahan vasoaktif kuat seperti prostasiklin, PAF, faktor plasminogen dan IL-1. Gangguan pada endotel akan menimbulkan agregasi trombosit serta aktivasi koagulasi (Sutaryo, 1999).

Teori apoptosis mengemukakan bahwa limfosit sitotoksik mengkode protease yang menginduksi apoptosis sel target. Selain itu limfosit yang teraktivasi guna merespon infeksi virus menunjukkan ekspresi Fas dalam kadar tinggi dan sangat rentan terhadap apoptosis. Pada kasus DBD yang berat terdapat kerusakan hepar, terdapat Councilman bodies, yang diduga merupakan proses apoptosis pada sel hepar. Saat terjadi apoptosis, virus dan sel yang berserakan dimakan oleh sel makrofag atau fagositosis. Jadi bukan virus yang bereplikasi di dalam sel makrofag (Sutaryo, 1999).

Imunopatogenesis alternatif untuk infeksi virus dengue yang menyebutkan bahwa terjadi respon imun aberan telah diajukan. Respon imun aberan ini tidak hanya mengganggu respon imun untuk membersihkan virus, menyebabkan overproduksi sitokin dan produksi abnormal dari autoantibodi. Pembentukan aberan dari antibodi anti-NS1 yang bereaksi silang dengan trombosit atau sel endotel menginisiasi berkembangnya infeksi dengue. Disebutkan juga keterlibatan dari autoantibodi anti-platelet dan anti-sel endotel dalam manifestasi disfungsi platelet dan sel endotel (Huan-Yao Lei et al., 2008). Penelitian saat terjadi wabah dengue di Thailand tahun 1998 menemukan bahwa, dari pemeriksaan imunofenotiping didapatkan aktivasi imatur dari CD69 yang tampak pada limfosit dan monosit 4 hari setelah onset demam dan menurun setelahnya. Analisis dari sel darah menunjukkan peningkatan netrofil imatur saat demam hari 5-6, monositosis pada hari 6-7, dan limfositosis atipikal pada 8-10 hari setelah onset demam.

(40)

Virus dengue dapat menginfeksi berbagai sel primer manusia termasuk monosit/makrofag, sel dendritik, sel B, hepatosit, sel Kupfer dan sel yang berasal dari endotel dan epitel (Huan-Yao Lei et al., 2008). Data in vitro dan studi dari autopsi menemukan 3 sistem organ utama yang memiliki peran penting dalam patogenesis DBD/SSD yaitu sistem imun, hepar dan sel endotel yang melapisi pembuluh darah (Martina et al, 2009). Monosit merupakan target utama dari infeksi virus dengue, namun mereka akan mengalami apoptosis untuk mencegah penyebaran virion, namun juga menurunkan inflamasi yang diinduksi virus karena sel apoptosis akan difagositosis oleh makrofag. Walaupun sel dendritik imatur dilaporkan 10 kali lipat lebih permisif untuk infeksi virus dengue dibandingkan monosit dan makrofag, namun tidak dijumpai peningkatan antibodi walaupun mereka mengekspresikan reseptor Fc (Huan-Yao Lei et al., 2008). Sel dendritik interstisial yang berlokasi di epitel dipercaya sebagai lini pertama dari imun pejamu dalam melawan invasi virus dengue setelah gigitan awal oleh nyamuk yang terinfeksi. Sel dendritik yang terinfeksi bermigrasi ke kelenjar limfe regional sejalan dengan proses maturasinya. Infeksi sel dendritik juga selain menstimulasi maturasinya juga merangsang produksi sitokin terutama TNF-α dan IFN-γ. Aktivasi awal dari sel NK dan imunitas-bergantung interferon tipe 1, penting dalam membatasi replikasi virus pada stadium awal infeksi dengue. Pada penelitian yang dilakukan oleh Departemen Imunologi Universitas Massachusett, ditemukan bahwa virus dengue menginfeksi dan bereplikasi di dalam sel dendritik imatur. Paparan terhadap virus dengue mengarah pada maturasi dan aktivasi sel terinfeksi dan sekelilingnya, sel dendritik yang tidak terinfeksi dan stimulasi produksi

dan IFN- .

Belum banyak yang diketahui mengenai patogenesis perdarahan pada DBD/SSD dan bila dianalogikan dengan sepsis, sangat menarik untuk dispekulasi bahwa sitokin

(41)

merupakan mediator kunci. Peningkatan jumlah monosit yang terinfeksi virus dengue dapat menyebabkan aktivasi sel limfosit T, dan aktivasi dari kedua jenis sel dapat menyebabkan peningkatan kadar sitokin yang telah disebutkan sebelumnya. Kadar dari aktivasi sel T pada infeksi dengue sekunder juga meningkat, terjadi sebagai fenomena yang disebut original antigenic sin, dan mengalami kematian sel terprogram. Banyak sel T spesifik dengue yang memiliki afinitas rendah terhadap virus yang menginfeksi, dan menunjukkan afinitas yang tinggi untuk yang lain, kemungkinan serotipe yang sebelumnya pernah dihadapi. Aktivasi dan kematian sel T selama infeksi dengue akut dapat menekan atau menunda eliminasi virus, menyebabkan viral load yang lebih tinggi dan ditemukannya peningkatan imunopatologi pada pasien dengan DBD (Chuansumrit dan Tangnararatchakit, 2006).

Penelitian yang dilakukan oleh Yu-Wen Lin et al di Cina berhasil mendemonstrasikan bahwa virus dengue secara aktif bereplikasi di dalam sel B. Hal tersebut didukung oleh beberapa data yang ditemukan antara lain: genom RNA strand negatif yang merupakan cetakan replikasi yang hanya ada selama replikasi virus; antigen virus, termasuk protein inti dan NS1 terdeteksi di dalam sel yang terinfeksi; jumlah virus yang terdeteksi di dalam sel yang terinfeksi meningkat sejalan dengan waktu; sitokin disekresi dari sel yang terinfeksi; dan antibodi heterolog mampu meningkatkan replikasi virus dengue dan sekresi sitokin dari sel yang terinfeksi. Dari penelitian tersebut juga didapatkan bahwa replikasi VD terjadi secara seimbang dalam sel B maupun dalam monosit (Yu-Wen et al., 2002). Antibodi heterolog ditemukan mampu meningkatkan replikasi virus dalam sel B primer maupun keturunannya. Antibodi ini dapat meningkatkan jumlah sel B yang terinfeksi. Hasil yang sama juga terlihat pada monosit. Replikasi virus juga terlihat meningkat oleh antibodi heterolog, yang dibuktikan dengan mengukur intensitas rata-rata fluoresensi dari ekspresi NS1. Efek peningkatan dari antibodi ini dapat merupakan akibat dari peningkatan masuknya

(42)

virus ke dalam sel atau transduksi sinyal untuk mengaktivasi sel B yang dipicu oleh antibodi. Karena sel B berada dalam sirkulasi antara jaringan limfe dan darah, sementara monosit berpindah dari sumsum tulang ke jaringan perifer, diperkirakan bahwa sel B yang terinfeksi merupakan sarana penyebaran virus yang lebih efisien dibandingkan monosit, yang merupakan dua tempat yang paling sering didapatkan virus pada pasien yang terinfeksi. Dari data-data ini dapat disimpulkan bahwa sel B memiliki peranan penting dalam amplifikasi virus dan penyebarannya selama infeksi berlangsung (Yu-Wen Lin et al., 2002). Ditemukan juga korelasi yang lebih bermakna antara virus dan produksi sitokin pada sel B dibandingkan dengan monosit. Hal ini memberikan perkiraan bahwa infeksi dengue dapat menginduksi sintesis sitokin pada sel B secara langsung. Dalam monosit, infeksi VD meningkatkan produksi IL-1. Interleukin 1 merupakan induktor untuk IL-6 dan TNF-α, dan dapat menstimulasi sintesis kedua sitokin ini. Sel B juga diketahui dapat memproduksi autoantibodi terhadap trombosit dan sel endotel yang memicu respon patologis selama infeksi. Mekanisme produksi virion, fenomena peningkatan antibodi dan pelepasan sitokin yang terjadi pada sel B menyerupai mekanisme yang terjadi pada monosit (Yu-Wen Lin et al., 2002).

2.7 Mekanisme Kebocoran Plasma Pada Infeksi Virus Dengue

Kebocoran plasma pada infeksi virus dengue, umumnya terjadi pada hari ketiga sampai ketujuh. Kebocoran plasma disebabkan oleh peningkatan permeabilitas vaskular dan diinduksi oleh beberapa mediator seperti C3a, C5a terjadi selama fase febris dan lebih nyata lagi selama fase kritis (Chuansumrit, et al., 2010). Bukti yang menunjang adanya kebocoran plasma yang ditemukan pada saat autopsi adalah efusi pleura dan asites, hemokonsentrasi dan hipoproteinemia (Auyeung, et al. 2003; Chuansumrit dan Tangnararatchakit, 2006). Salah satu mekanisme kebocoran plasma adalah kerusakan endotel melalui mekanisme

(43)

immunologi, yaitu pembentukan kompleks virus-antibodi yang memacu pelepasan sitokin dan mediator. Efek tidak langsung infeksi VD terhadap disfungsi endotel didukung beberapa temuan antara lain studi histologis yang memperlihatkan kerusakan struktur kapiler yang minimal, tidak didapatkannya antigen VD pada jaringan sel endotel, serta peningkatan permeabilitas kapiler bersifat sementara dengan perbaikan cepat tanpa kelainan patologis yang tersisa. Peningkatan permeabilitas kapiler yang disebabkan oleh disfungsi sel endotel terlihat dengan adanya pelebaran tight junction endotel dengan mikroskop elektron. Interaksi sejumlah besar mediator dalam sirkulasi dihipotesiskan menginduksi permeabilitas kapiler yang bersifat sementara.

2.8 Hubungan antara Inflamasi dan Koagulasi

Semakin banyak bukti yang mengarah pada adanya hubungan 2 arah antara sistem koagulasi dan inflamasi. Aktivasi koagulasi dan deposisi fibrin sebagai konsekuensi dari inflamasi telah jelas diketahui dan dapat dipandang sebagai bagian penting dari mekanisme pertahanan pejamu melawan agen infeksi, sebagai usaha untuk membatasi agen infeksi dan respon inflamasi. Namun, kadang respon yang berlebihan atau tidak adekuat dapat terjadi. Terjadinya aktivasi koagulasi sistemik dan kegagalan mikrovaskulatur disebabkan oleh respon inflamasi sistemik terhadap infeksi berat, dan hal tersebut dapat menyumbang pada disfungsi organ multipel. Sistem koagulasi dan inflamasi berinteraksi secara erat (Levi et al., 2004).

2.8.1 Pengaruh Inflamasi pada Koagulasi

Fibrinogen yang merupakan reaktan fase akut meningkat pada kondisi inflamasi (Esmon, 2005). Inisiator penting pembentukan trombin yang diinduksi inflamasi adalah faktor jaringan. Faktor jaringan adalah protein transmembran yang diekspresikan pada

(44)

sejumlah sel di seluruh tubuh. Mayoritas sel tersebut berada di jaringan dan tidak berkontak langsung dengan darah, misalnya di lapisan adventisia pembuluh darah besar. Namun, faktor jaringan dapat berkontak dengan darah apabila integritas vaskular terganggu atau sel di sirkulasi mulai mengekspresikan faktor jaringan. Pada infeksi berat, sel mononuklear di sirkulasi distimulasi oleh sitokin proinflamasi dan mengekspresikan faktor jaringan, yang mengarah pada aktivasi koagulasi sistemik. Walaupun banyak sitokin mampu menginduksi ekspresi faktor jaringan pada sel mononuklear, ekspresi faktor jaringan nampaknya bergantung terutama pada IL-6 (Levi et al., 2004).

Trombosit juga memiliki peranan penting. Trombosit dapat langsung diaktivasi, misalnya oleh mediator proinflamasi seperti PAF. Setelah trombin dibentuk, aktivasi trombosit lain akan terjadi. Aktivasi trombosit dapat juga mengakselerasi pembentukan fibrin melalui mekanisme lain (Levi et al., 2004). Mediator inflamasi seperti IL-6 meningkatkan produksi trombosit. Trombosit yang baru terbentuk nampaknya lebih trombogenik. Respon trombosit dapat juga meningkat secara tidak langsung lewat mediator inflamasi seperti histamin, TNFα, IL-8 dan IL-6 dan mengarah pada peningkatan von Willebrand Factor di endotel (Esmon, 2005). Inflamasi juga meningkatkan konsentrasi C reactive protein (CRP) di dalam darah, yang memfasilitasi interaksi monosit dan sel endotel, dan meningkatkan PAI-1 (Plasminogen Activator Inhibitor-1) dan faktor jaringan. Mediator inflamasi dapat juga menginduksi ekspresi PAR (Protease Activated Receptors) di endotel. Hal ini menyebabkan sel lebih sensitif terhadap aktivasi oleh protease yang dapat meningkatkan molekul adhesi leukosit di permukaan sel. Sitokin inflamasi juga menurunkan trombomodulin (Esmon, 2005).

Aktivasi koagulasi diregulasi oleh 3 jalur antikoagulan: antitrombin, sistem protein C, dan TFPI. Selama aktivasi koagulasi yang diinduksi inflamasi, fungsi dari ketiga jalur

(45)

dapat terganggu. Antitrombin merupakan inhibitor utama dari trombin dan faktor Xa. Selama respon inflamasi yang berat, kadar antitrombin berkurang secara nyata sebagai akibat dari konsumsi (karena pembentukan trombin terus-menerus), gangguan sintesis (karena respon fase akut yang negatif) dan degradasi oleh elastase dari neutrofil yang teraktivasi. Antitrombin juga berperan sebagai mediator inflamasi yang penting, dengan terikat langsung pada neutrofil dan leukosit lain dan oleh karena itu meningkatkan ekspresi sitokin dan reseptor kemokin (Levi et al., 2004).

Disfungsi endotel bahkan lebih penting lagi dalam gangguan sistem protein C selama inflamasi. Pada kondisi fisiologis, protein C diaktivasi oleh trombin yang berikatan dengan trombomodulin di membran sel endotel. Pengikatan ini tidak hanya menyebabkan peningkatan 100 kali lipat aktivasi protein C namun juga menghalangi konversi fibrinogen menjadi fibrin yang dimediasi oleh trombin. Terikatnya protein C ke endotelial protein C receptor (EPCR) menghasilkan lebih jauh lagi peningkatan protein C. Protein C yang teraktivasi mengatur aktivasi koagulasi dengan pembelahan proteolitik dari kofaktor Va dan VIIIa. Sebagai tambahan, trombomodulin mempercepat aktivasi trombin-activatable fibrinolysis inhibitor (TAFI), inhibitor penting fibrinolisis. Pada inflamasi sistemik, sebagai tambahan dari rendahnya kadar protein C yang disebabkan oleh gangguan sintesis dan degradasi neutrofil oleh elastase, defek dari sistem protein C terjadi akibat penurunan trombomodulin di permukaan endotel, yang dimediasi oleh TNFα dan IL-1β (Levi et al., 2004).

Mekanisme inhibisi ketiga dari pembentukan trombin melibatkan TFPI, inhibitor utama dari kompleks faktor jaringan-faktor VIIIa. Konsentrasi endogen TFPI sepertinya tidak cukup untuk dapat mengatur aktivasi koagulasi dan konsekuensi buruknya selama inflamasi (Levi et al., 2004).

(46)

2.8.2 Pengaruh Koagulasi pada Inflamasi

Setelah regulasi trombin dan faktor koagulasi lainnya terganggu, mereka berpartisipasi dalam meningkatkan respon inflamasi. Trombosit mengandung dan memiliki kemampuan untuk melepaskan mediator proinflamasi CD40 dalam konsentrasi tinggi. Protein ini kemudian menginduksi sintesis faktor jaringan dan meningkatkan sitokin inflamasi seperti IL-6 dan IL-8 (Esmon, 2005). Mekanisme yang paling penting pengaruh protease koagulasi terhadap inflamasi adalah dengan berikatan dengan PAR. Terikatnya trombin pada reseptornya dapat menginduksi produksi beberapa sitokin. Terikatnya kompleks faktor VII-faktor VIIa pada PAR-2 juga mengakibatkan peningkatan respon inflamasi pada makrofag dan mempengaruhi infiltrasi neutrofil dan sitokin proinflamasi (TNFα , IL-1β) (Levi et al., 2004).

Aktivasi protein C telah dibuktikan dapat menginhibisi produksi TNFα, IL-1β, IL-6 dan IL-8. Aktivasi protein C juga didapatkan menghambat pelepasan sitokin dan aktivasi leukosit dari penelitian pada tikus. Efek protein C aktif pada inflamasi kemungkinan dimediasi oleh EPCR, yang memediasi penurunan proses inflamasi. Protein C aktif juga mampu menginhibisi apoptosis sel endotel. Trombomodulin juga memiliki efek antiinflamasi yang signifikan. Trombomodulin memiliki peran sentral di persimpangan antara koagulasi dan inflamasi, dengan mengaktifkan protein, dengan mengakselerasi aktivasi TAFI (dan karenanya mempengaruhi fibrinolisis dan menginhibisi komplemen), dan dengan mengikat trombin (Levi et al., 2004).

Respon fibrinolitik terhadap inflamasi adalah pelepasan aktivator plasminogen, yaitu t-PA (tissue Plasminogen Activator) dan u-PA (urokinase Plasminogen Activator), dari tempat penyimpanannya di sel endotel vaskular. Namun, hal ini meningkatkan aktivasi

(47)

plasminogen dan pembentukan plasmin dicegah dengan peningkatan PAI-1. Regulator penting dari PAI-1 pada inflamasi adalah TNFα dan IL-1β. Fibrinogen dan fibrin dapat secara langsung menstimulasi ekspresi TNFα dan IL-1β pada sel mononuklear dan menginduksi produksi kemokin (termasuk IL8 dan MCP-1) oleh sel endotel dan fibroblast. Faktor fibrinolitik, terutama u-PA dan reseptornya (u-PAR), dapat memodulasi respon inflamasi melalui efeknya pada penarikan dan migrasi sel inflamasi. Produk akhir dari sistem fibrinolisis, plasmin, menginduksi aktivasi protein kinase dan produksi sitokin proinflamasi oleh monosit in vitro (Levi et al., 2004).

2.9 Perubahan Hematologi pada Infeksi Virus Dengue

Hubungan antara infeksi dan aktivasi koagulasi-fibrinolisis telah banyak diteliti pada sepsis gram negatif dan endotoksemia. Aktivasi koagulasi, yang direfleksikan dengan peningkatan fragmen protrombin dan kompleks trombin-antitrombin, dan aktivasi fibrinolisis yang digambarkan dengan peningkatan tPA dan PAI-1, dideteksi dalam percobaan eksperimental pada pasien dengan sepsis gram negatif. Sitokin (TNF-α, IL-1β dan IL-6) nampaknya memiliki peran penting dalam inisiasi koagulasi dan fibrinolisis pada keadaan-keadaan tersebut. Peningkatan kadar sitokin juga didapatkan berkorelasi dengan defisiensi faktor XII dan dengan peningkatan autoantibodi anti-platelet dan anti-sel endotel, juga komponen fibrinolitik seperti tPA pada pasien dengan infeksi VD.

Leukopenia merupakan penemuan yang umum pada DD dan DBD. Hitung leukosit normal pada fase awal penyakit. Saat mendekati akhir fase febris, terjadi penurunan jumlah leukosit total dan neutrofil. Secara simultan, terjadi limfositosis relatif dengan limfosit atipikal. Leukopenia umumnya mencapai nilai terendah sesaat sebelum atau saat penurunan temperatur dan kembali normal 2-3 hari setelah defervesen. Jumlah limfosit atipikal pada

(48)

DBD jauh lebih besar dibandingkan pada DD. Penurunan jumlah trombosit umumnya mengikuti leukosit dan mencapai titik terendah pada hari defervesen. Giant platelet juga ditemukan dalam hapusan darah tepi pada pasien dengan DBD, memberi kesan terjadinya peningkatan turnover platelet (Nimmannitya, 1999).

Perubahan sumsum tulang pada DBD menyerupai dengan perubahan pada DD. Nakorn et al mempelajari sumsum tulang pasien DBD pada fase febris akut dan menemukan kondisi hiposeluler yang bermakna dengan penurunan megakariosit, eritroblast dan prekusor mieloid. Penemuan ini dapat dijelaskan dengan adanya infeksi VD langsung pada sel-sel progenitor hematopoetik dan sel-sel stroma (Chuansumrit dan Tangnararatchakit, 2006). Ketidak-adaan total dari granulositopoesis dapat diamati pada pasien infeksi dengue pada hari ke-4 dari onset penyakit. Pada fase kritis, sumsum tulang memperlihatkan kondisi yang normal atau hiperseluler. Memasuki fase konvalesen, seluruh elemen sumsum tulang mengalami pemulihan secara cepat (Cunha dan Oliveira, 2012). Mekanisme supresi sumsum tulang sementara pada infeksi dengue tidak diketahui secara pasti, dapat sebagai akibat dari efek langsung virus atau efek tidak langsung melalui mekanisme imun, atau keduanya (Nimmannitya, 1999).

2.10 Gangguan Hemostasis pada Infeksi Virus Dengue

Perubahan hemostatik yang ditemukan pada DBD meliputi 3 faktor utama yaitu: trombositopenia, perubahan vaskular dan defek multipel pada sistem koagulasi-fibrinolisis seperti penurunan kadar fibrinogen, peningkatan kadar produk degradasi fibrin (PDF), pemanjangan activated partial thromboplastin time (aPTT), kadar faktor-faktor pembekuan (VIII, XII), plasminogen, protrombin, dan α-2 antiplasmin yang rendah (Khrisnamurti et al., 2001).

Gambar

Gambar 2.1 Poliprotein Virus Dengue
Gambar 2.2 Spektrum Klinis Infeksi Virus Dengue, WHO 1997
Gambar 2.3 Fase-fase Infeksi Virus Dengue, WHO 2009
Gambar 2.4 Klasifikasi dan Derajat Infeksi Virus Dengue, UNICEF, WHO 2009
+6

Referensi

Dokumen terkait

Simpulan: Pada sebagian besar pasien anak dengan infeksi virus dengue di Manado didapatkan jumlah eritrosit dalam batas nilai normal, serta nilai MCV dan MCHC berada

Dari hasil penelitian yang dilakukan dapat disimpulkan bahwa terdapat hubungan bermakna antara tingkat pendidikan orang tua dengan keparahan infeksi virus dengue

Hasil uji statistik yang menilai hubungan jenis kelamin anak dengan derajat infeksi Dengue menunjukkan bahwa ada hubungan yang signifikan antara jenis kelamin dengan

D dimer merupakan biomarker koagulasi yang memiliki hubungan dengan derajat keparahan PK yang dinilai dengan skor CURB-65 sehingga D dimer dapat digunakan untuk menentukan

Hal ini menunjukkan status gizi merupakan faktor risiko yang berhubungan dengan infeksi virus dengue, dan responden dengan status gizi tidak normal berisiko 1,250 kali

Kriteria inklusi adalah pasien berumur &lt;14 tahun yang telah didiagnosis secara klinik dan laboratorium menderita infeksi dengue, pada derajat DD hingga SSD

Berbeda dengan penelitian molekular yang dilakukan oleh Kalayanarooj dkk 24 di Timor Leste, pasien yang dicurigai mengalami infeksi virus dengue lebih banyak anak perempuan..

Spektrum disfungsi hati pada anak dengan infeksi dengue sangat luas dan berhubungan dengan keparahan penyakit, yaitu dari yang ringan berupapeningkatan enzim