• Tidak ada hasil yang ditemukan

TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Pneumonia Nosokomial

2.1.3. Patogenesis Pneumonia Nosokomial

Patogenesis pneumonia nosokomial terjadi apabila mikroorganisme memasuki ke saluran napas bagian bawah. Sistem pernapasan manusia memiliki berbagai mekanisme pertahanan tubuh seperti barier anatomi, refleks batuk, sistem imunitas humoral dan seluler yang diperantarai oleh sel seperti fagosit, baik itu makrofag alveolar maupun neutrofil. Interaksi antara faktor host dan faktor risiko akan menyebabkan kolonisasi bakteri patogen di saluran napas bagian atas atau di lambung. Kolonisasi mikroorganisme pada saluran napas bagian atas sebagai titik awal yang berperanan penting dalam terjadinya pneumonia nosokomial. Apabila bakteri dalam jumlah besar berhasil masuk ke dalam saluran napas bagian bawah yang steril, maka pertahanan host yang gagal membersihkan inokulum dapat menimbulkan proliferasi dan inflamasi sehingga terjadi pneumonia (Craven dan Steger, 1997).

Mikroorganisme yang berasal dari tubuh (endogen) maupun mikroorganisme yang berasal dari luar tubuh (eksogen) merupakan penyebab utama pneumonia nosokomial. Mikroorganisme endogen merupakan penyebab tersering pneumonia nosokomial dibandingkan dengan mikroorganisme eksogen. (Craven dan Steger, 1997).

Patogenesis pneumonia nosokomial sering diawali dengan kolonisasi mikroorganisme terutama bakteri gram negatif di saluran pernapasan bagian atas yiatu (orofaring, nasal, dan sinus) atau di lambung dan selanjutnya bakteri tersebut akan teraspirasi ke dalam saluran napas bagian bawah. Kolonisasi diawali dengan perlekatan mikroorganisme pada sel-sel epitel kerana pengaruh virulensi bakteri (vili, silia, kapsul, atau produksi elastase atau musinase), ataupun pengaruh faktor host (gangguan mekanisme pembersihan mukosilier akibat gizi buruk, penurunan kesadaran, atau penyakit kritis), dan juga akibat pengaruh faktor lingkungan (peningkatan pH lambung dan terdapat musin dalam sekresi pernapasan) (Craven dan Steger, 1997).

Pada orang normal, dengan pertahanan tubuh yang baik juga dapat ditemukan bakteri gram negatif dalam jumlah yang sedikit sehingga mekanisme tubuh dapat mengeliminasi bakteri tersebut. Pada orang dengan penyakit kritis akibat disfungsi barrier pertahanan lokal ataupun adanya penurunan kesadaran maka akan terjadi peningkatan kolonisasi mikroorganisme tersebut .(Craven dan Steger, 1997).

empat rute( Torres.dkk, 2006).

1. Aspirasi, dimana floranya berasal dari orofaring, nasal, sinus dan lambung. 2. Inhalasi, misalnya daripada perlengkapan alatan medik seperti alat bantu nafas

pada pasien ventilator, alat penghisap dan nebulizer ataupun bronkoskopi yang terkontiminasi.

3. Hematogen, yaitu penyebaran melalui darah dari organ tubuh yang lebih jauh dari paru.

4. Translokasi langsung dari sisi tubuh

2.1.3.1. Aspirasi

Aspirasi sekresi orofaring, nasal, sinus, dan lambung berperan besar dalam terjadinya pneumonia nosokomial.Sekitar 45% orang yang sehat akan mengalami aspirasi dalam keadaan normal pada saat tidur, akan tetapi pada pasien dengan gangguan pembersihan mukosilier dan penurunan kekebalan tubuh terjadinya pneumonia nosokomial (Kieninger dan Lipsett, 2009).

Faktor resiko yang terpenting terjadinya pneumonia nosokomial adalah aspirasi, pada pasien dalam keadaan terintubasi atau sedang mendapatkan ventilasi mekanik, oleh kerana mekanisme pertahanan tubuh alami antara orofaring dan salran pernafasan bahagian bawah yang tidak dapat berfungsi dengan baik dan diperberat oleh faktor prediposisi lain seperti penurunan motiliyas saluran cerna, penurunan refleks , kemampuan menelan yang abnormal dan keterlambatan pengosongan lambung (Celis dkk.1998).

Lambung berperanan sebagai reservoir mikroorganisme penyebab pneumonia nosokomial, hal ini dapat diperhatikan pada pasien memakai nasogastric tube atau penggunaan obat-obatan yang meningkatkan asam lambung. Pada orang sehat, lambungnya akan diisi dengan asam klorida, hal ini menyebabkan bakteri yang memasuki lambung tidak mampu pertahanan, akan tetapi penggunaan antasida maupun penghambat H2 reseptor yang meningkat pH lambung menjadi ≥ 4 menyebabkan mikrooorganisme patogen dapat berkembang baik dengan konsentrasi tinggi di lambung (Inglis dkk.1993).

2.1.3.2. Inhalasi

Sumber eksogen (diperoleh dari lingkungan rumah sakit) merupakan salah satu mikroorganisme penyebab pneumonia nosokomial. Misalnya, apabila terjadi kontaminasi pada peralatan bantu nafas yang digunakan oleh pasien meskipun hal ini jarang ditemui pada pasien dan umumnya terjadi pada penumonia nosokomial onset lanjut atau sebelumnya pernah mendapatkan perawatan di ruang rawat inap ICU (Inglis dkk..1993 ).

Petugas ataupun peralatan medis juga dapat menjadi salah satu rute penularan mikroorganisme oleh kerana kolonisasi mikroorganisme langsung pada paru. Mikroorganisme yang memasuki saluran pernfasan bawah secara langsung melalui inhalasi aerosol akibat terkontaminasi peralatan medis, misalnya seperti peralatan nebulizer, alat penghisap, ventilator ataupun peralatan anestesi. Saat cairan dalam reservoir nebulizer terkontaminasi bakteri, maka aerosol yang dihasilkan akan mengandungi bakteri dengan konsentrasi yang tinggi yang kemudian terdisturbsi ke saluran pernafasan bagian bawah .Pasien yang terinhalasi aerosol amat berbahaya, terutama pada pasien yang diintubasi kerana pipa endotrakeal , menyediakan akses langsung ke saluran pernafasan bagian bawah (Kieninger dan Lipsett,2009).

2.1.3.3. Hematogen

Rute hematogen, yang merupakan salah satu penyebab pneumonia nosokomial .Bakteri penyebabnya kebiasanya berasal dari bagian tubuh yang jauh dan menyebar secara hematogen seperti akibat flebitis atau infeksi saluran kemih (Tablan dkk.,2004).

2.1.3.4. Translokasi

Pneumonia nosokomial, yang disebabkan oleh translokasi biasanya diperkirakan terjadi pada pasien dengan kekebalan tubuh yang lemah atau dengan imunosupresi, seperti pada pasien dengan keganasan ataupun luka bakar, namun hipotesa tersebut belum dibuktikan pada manusia. Translokasi bakteri mungkin berasal dari sisi tubuh yabg berdekatan dengan paru, contohnya saluran percernaan, jantung maupun pleura melalui epitel mukosa ke kelenjar getah bening mesenterika menuju ke paru (Tablan dkk,2004).

Diagnosis pneumonia dapat ditegakkan umunya dengan, secara klinis daripada konfirmasi oleh hasil kultur cairan pleura, punksi paru atau kultur darah. Diagnosis dengan demikian dapat dibuat menurut kriteria diagnosis CDC (Zul Dahlan, 1994).

2.1.4.1. Gambaran Klinik

Gambaran klinis berupa dengan gambaran pneumonia bakteril akut yang ditandai dengan gejala misalnya demam tinggi, batuk produktif, dahak purulen yang produktif, danjuga disertai sesak nafas. Tetapi pada pasien yang dirawat di rawat inap, hal ini tidak dapat dikaitkan secara langsung karena berbagai keadaan penyakit yang gejalanya mirip dengan pneumonia. Diagnosis pneumonia nosokomial sering tidak jelas, hal ini kerana diagnosis pneumonia nosokomial adalah proses yang berhubungan dengan toksik dan alergi obat atau inspirasi, atelektasis, emboli paru, ARDS gagal jantung kongestif, dan trakheobronkitis. Pneumonia aspirasi bahan kimia bisa mirip dengan pneumonia bakteril. 2.1.4.2. Kriteria Diagnosis

Menurut kriteria dari Center for Disease Control and Prevention (CDC) pneumonia dapat di diagnosis seperti berikut :

a) Onset pneumonia yang terjadi selepas 48 jam setelah pasien dirawat di rumah sakit , dan menyingkirkan semua infeksi yang intubasinya terjadi pada waktu pasien dimasukan ke rumah sakit.

b) Diagnosis pneumonia nosokomial juga dapat ditegakkan atas beberapa dasar :  Foto toraks : ditemui infiltrat baru atau progresif

 Ditambah 2 diantara kriteria berikut : suhu tubuh > 38˚C : secret purulen

Gambaran 2.1: Foto Toraks Normal dan dengan Pneumonia Nosokomial

Menurut kriteria American Thoracic Society ( ATS ), pneumonia nosokomial berat adalah seperti berikut :

a) Dirawat di rawat inap intensif

b) Gagal nafas, sehingga pasien memerlukan alat bantu nafas atau membutuhkan oksigen untuk mepertahankan saturasi oksigen.

c) Ditemui perubahan pada gambaran radiologik secara progresif berupa pneumonia multilobar atau kaviti dari infiltrat paru.

d) Terdapat bukti-bukti seperti sepsis berat yang ditandai dengan hipotensi dan, ataupun disfungsi organ misalnya :

 Syok , yaitu dimana tekanan sistolik < 90mmHg atau distolik <60mmHg.  Pasien yang memerlukan vassopresor > 4jam.

 Jumlah urin yang dikeluarkan < 20ml/jam atau total jumlah urin yang dikeluarkan 80ml/4jam.

 Pasien yang gagal ginjal akut dan harus dilakukan dialysis.

2.1.4.3. Pewarnaan gram dan kultur darah

Pewarnaan gram sputum dan kultur darah rutin dapat dilakukan untuk menegakkan diagnosis pneumonia nosokomial. Namun demikian kontaminasi dapat terjadi dari koloni bakteri di orofaring (Griffin dkk,1994 ).Kultur darah yang positif sangat membantu dalam menegakkan diagnosis pneumonia nosokomial ,tetapi hasil kultur darah yang positif jarang sekali ditemui , dan hanya terjadi pada 6% pada kasus (Scheld dkk,1991 ). Pewarnaan Gram dan kultur dahak yang dibatukkan, induksi sputum atau aspirasi sekret dari selang

biakan kuman secara semikuantitatif atau kuantitatif dan dianggap bermakna jika ditemukan ≥ 106 colony-forming units/ml dari sputum, ≥ 105-106 colony-forming units/ml dari aspirasi endotrracheal tube, ≥ 104-105 colony-forming units/ml dari bronchoalveolar lavage (BAL), ≥ 103 colony-forming units/ml dari sikatan bronkus dan paling sedikit 102 colony-forming units/ml dari vena kateter sentral. Dua set kultur darah aerobik dan anaerobik dari tempat yang berbeda (lengan kiri dan kanan) sebanyak 7 ml. Kultur darah dapat mengisolasi bakteri patogen pada >20% pasien. Jika hasil kultur darah (+) maka sangat penting untuk menyingkirkan infeksi di tempat lain. Pada semua pasien pneumonia nosokomial harus dilakukan pemeriksaan kultur darah. Kriteria dahak yang memenuhi syarat untuk pemeriksaan apusan langsung dan biakan yaitu bila ditemukan sel PMN >25/lapangan pandang kecil (lpk) dan sel epitel < 10/lpk. Analisis gas darah untuk membantu menentukan berat penyakit. Jika keadaan memburuk atau tidak ada respons terhadap pengobatan maka dilakukan pemeriksaan secara invasif. Bahan kultur dapat diambil melalui tindakan bronkoskopi dengan cara bilasan, sikatan bronkus dengan kateter ganda terlindung dan bronchoalveolar lavage (BAL). Tindakan lain adalah aspirasi transtorakal.(CDC,1994) 2.1.4.1. Penggunaan Protected Brush Specimen , dan Bronchoalveolor Lavage

Penegakkan diagnosis melalui cara ini, telah diteliti di Perancis, dan memberikan hasil yang lebih dalam mendiagnosis pneumonia nosokomial yang lebih berkaitan dengan ventilator mekanik (Fagon dkk,2000).

2.1.5 Penatalaksanaan

Berdasarkan panduan dari WHO pada tahun 2001 bahwa penatalaksanaan pneumonia nosokomial tergantung dari mikroorganisme yang terdapat di negara serta rumah sakit masung-masing. Rekomendasi untuk terapi empiris tergantung dari data epidemiologis dan kepekaan mikroorganisme di daerah tersebut. Song dan Asian HAP Working Group (2008) menyatakan bahwa kejadian pneumonia nosokomial lebih sering ditemukan di negara-negara Asia dibandingkan di negara maju, hal ini berkaitan dengan prevalensi mikroorganisme yang resisten berbagai antibiotik, sehingga strategi penatalaksanaan pneumonia nosokomial dengan pendekatan sebagai berikut :

2.1.5.1. Terapi Empiris Pada Pneumonia Nosokomial

Pendekatan terhadap terapi empiris dibahagi pasien ke dalam dua kelompok yaitu kelompok dengan pneumonia nosokomial onset awal dan kelompok dengan pneumonia nosokomial onset lanjut. Kelompok dengan pneumonia nosokomial onset awal tidak berisiko terhadap mikroorganisme resisten berbagai antibiotik sehingga tidak memerlukan terapi antibiotik spektrum luas, sedangkan kelompok dengan pneumonia nosokomial onset lanjut berisiko terinfeksi mikroorganisme yang resisten terhadap berbagai antibiotik dan berhubungan dengan peningkatan angka kesakitan dan kematian. Terapi antibiotik empiris dipilih dengan mempertimbangkan beberapa hal seperti pola kepekaan kuman, ketersediaan antibiotik dan biaya yang dikeluarkan (Song dan Asian HAP Working Group, 2008).

Pengobatan terhadap pneumonia nosokomial onset awal menggunakan satu macam antibiotik. Antibiotik tunggal yang direkomendasikan adalah cephalosporin generasi ke tiga, fluoroquinolon, kombinasi inhibitor β-laktam/-laktamase, dan ertapenem. Tabel 2.5 menunjukkan terapi empiris antibiotik pada pneumonia nosokomial onset awal (Song dan Asian HAP Working Group, 2008).

Tabel 2.1 Terapi Antibiotik Empiris Pada Pneumonia Nosokomial Onset Awal Mikroorganisme penyebab Terapi yang direkomendasikan

Streptococcus pneumonia Haemophilus influenzae Staphylococcus aureus Escherichia coli Klebsiella pneumonia Proteus species Seratia marcences

Cephalosporin generasi ke tiga (ceftriaxone, cefotaxime)

Fluoroquinolon (moxifloxacin, levofloxacin) Inhibitor β – laktam/ β – lactamase

(amoxicillin/clavulanic acid, ampicillin/sulbaktam) Atau Carbapenem (ertapenem)

Cephalosporin generasi ke tiga ditambah makrolid Monobactam dan clindamycin ( untuk pasien alergi β –lactam)

(Song dan Asian HAP Working Group, 2008)

2.1.5.3. Pneumonia Nosokomial Onset Lanjut

Pengobatan pada pneumonia nosokomial onset lanjut menggunakan golongan cephalosporin generasi ke tiga atau ke empat, golongan carbapenem anti pseudomonas, atau piperacillin/ tazobactam dikombinasikan dengan fluoroquinolon atau aminoglikosida saja atau ditambah dengan glikopeptid seperti vancomycin atau teicoplanin atau linezolid. Seperti pada pneumonia onset awal, pengobatan pada pneumonia onset lanjut harus disesuaikan dengan pola kepekaan kuman di daerah masing-masing. Tabel 2.5 menunjukkan terapi antibiotik empiris pada pneumonia nosokomial onset lanjut.

Tabel 2.2 Terapi Antibiotik Empiris Pada Pneumonia Nosokomial Onset Lanjut Mikroorganisme penyebab Terapi yang direkomendasikan

Mirkoorganisme seperti pada tabel 2.5 ditambah mikroorganisme resisten berbagai antibiotik seperti Pseudomonas aeruginosa Klebsiella pneumoniae (ESBL) MRSA Legionella pneumophila

Cefepime

Carbepenem antipseudomonas

Inhibitor β-laktam/-laktamase (piperacillin-tazobactam)

+/- Fluoroquinolon (cipro/levofloxacin) Atau

aminoglikosida (amikacin, gentamicin/ tobramycin) Atau linezolid

atau vancomycin (Song dan Asian HAP Working Group, 2008)

Terapi empiris dengan linezolid atau glycopeptide tidak direkomendasikan sebab pada sekitar 20% pasien pneumonia nosokomial onset lanjut disebabkan oleh Acinetobacter spp. sehingga penggunaan antibiotik yang secara langsung melawan mikroorganisme ini akan meningkatkan munculnya Staphylococcus aureus atau Enterococcus spp. yang resisten terhadap vancomycin. Jika mikroorganisme penyebab adalah Acinetobacter spp. maka pemilihan antibiotik yang dianjurkan adalah levofloxacin, moxifloxacin, atau gatifloxacin dibandingkan ciprofloxacin (Song dan Asian HAP Working Group, 2008).

Dokumen terkait