• Tidak ada hasil yang ditemukan

Heri Purnomo melalui kuasa hukumnya untuk selanjutnya mengajukan Kasasi atas keberatannya. Dalam tingkat Kasasi, isi keberatan-keberatan Heri Purnomo adalah:

1. Hakim telah salah menerapkan hukum karena telah memberikan pertimbangan hukum secara tidak seksama mengenai tanggal, bulan, tahun berakhirnya hubungan kerja, sehingga membingungkan pemohon Kasasi, sehingga memohon dilakukan pembatalan putusan.

2. Majelis Hakim salah menerapkan Hukum yang membingungkan pemohon Kasasi, yaitu dalam halaman 27 paragraf ke – 2 Majelis Hakim berpendapat bahwa penggugat terbukti melakukan kesalahan berat

sehingga harus diputus hubungan kerjanya dengan alasan mendesak “Jo

-29

3 Majelis Hakim menggunakan dasar PHK dengan alasan karena terbukti melanggar Pasal 62 huruf f PKB.

3. Hakim telah salah menerapkan Hukum, karena dalam 64 Ayat 2 PKB PT. Mayora Indah Tbk berbunyi:

“setiap pemutusan hubungan kerja harus mendapatkan ijin dari PHI atau instansi yang berwenang untuk Pemutusan Hubungan Kerja, kecuali: a. Pekerja dalam masa percobaan,

b. Pekerja mengundurkan diri, c. Pekerja meninggal dunia,

d. Pekerja telah mencapai usia pensiun.

Putusan Hakim juga melanggar ketentuan Pasal 151 Ayat (3) jo Pasal 155 Ayat (1) UU No 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan.

4. Majelis Hakim telah salah menerapkan hukum karena telah memberikan pertimbangan hukum yang tidak seksama/cermat: mengenai Upah Penggugat, sungguh sangat membingungkan Pemohon Kasasi. Semula Penggugat.Sebagaimana tertulis di dalam dalil gugatan Penggugat nomor 1: Upah Penggugat Heri Purnomo pada bulan Juni 2014 sebesar Rp2.922.017,00 Bukti P -1 Photo Copy Slip gaji Heri Purnomo Bulan Juni 2014. Dalam Pertimbangan Hukumnya di halaman 28 Paragraf ke 2, yakni: “…Uang pisah sebesar 2 bulan upah dan upah proses selama 3

bulan (bulan April, Mei, Juni 2011 yang dihitung 5 x Rp1.689.800,00 = Rp8.449.000,00 (delapan juta empat ratus empat puluh Sembilan ribu

30

Dalam Tingkat Kasasi Majelis Hakim memutuskan untuk mengabulkan gugatan penggugat untuk sebagian. Putusan tersebut adalah sebagai berikut:

1. Menyatakan hubugan kerja antara Penggugat dengan Tergugat putus karena PHK;

2. MenghukumTergugat untuk membayar uang konpensasi PHK secara tunai dan sekaligus sebesar Rp. 56.687.129,8 (lima puluh enam juta enam ratus delapan puluh tujuh ribu seratus dua puluh sembilan koma delapan rupiah);

3. Menolak gugatan Penggugat untuk selain dan selebihnya; 4. Membebankan biaya perkara kepada Negara;

Adapun yang menjadi dasar pertimbangan Hakim yang menjadi dasar lahirnya putusan tersebut adalah bahwa Pemohon Kasasi/Pengugat telah melakukan pelanggaran disiplin karena mengisi absen masuk dan juga mengisi absen pulang pada tanggal 12 Juni 2014 padahal sebenarnya Pemohon Kasasi/Pengugat tidak hadir kerja, hal ini merupakan pelanggaran berat sebagaimana ditentukan dalam Pasal 60 Ayat (1) dan Pasal 62 Ayat (2) huruf b, PKB PT Mayora Indah Tbk. yang dapat mengakibatkan pemutusan hubungan kerja; Bahwa berdasarkan pertimbangan tersebut Termohon Kasasi/Tergugat dapat melakukan PHK kepada Pemohon Kasasi/Penggugat dengan kewajiban kepada Termohon Kasasi/Tergugat untuk memberikan konpensasi sebagaimana diatur dalam Pasal 161 Ayat (3) Undang Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan.

31

Bahwa berdasarkan pertimbangan tersebut cukup beralasan menghukum Termohon Kasasi/Tergugat untuk membayar pesangon dengan perincian sebagai berikut:

 Uang pesangon 1 x 9 x Rp2.922.017,00 = Rp26.298.153,00

 Uang Penghargaan Masas Kerja 7 x Rp2.922.017,00 = Rp20.454.119,00

 Uang Peneggantian Hak, dll

(15% (Rp26.298.153,00 + Rp20.454.119,00) = Rp7.012.840.8

 Upah Skorsing bulan Juli 2014 Rp2.922.017,00 = Rp2.922.017,00

 Total = Rp56.687.129.8

(lima puluh enam juta enam ratus delapan puluh tujuh ribu seratus dua puluh sembilan koma delapan rupiah);

Bahwa berdasarkan pertimbangan tersebut di atas, Mahkamah Agung berpendapat, terdapat cukup alasan untuk mengabulkan permohonan Kasasi dari Pemohon Kasasi Heri Purnomo tersebut dan membatalkan Putusan Pengadilan Hubungan Industrial pada Pengadilan Negeri Bandung Nomor 43/Pdt.Sus-PHI/2015/PN Bdg., tanggal 9 Juni 2015 selanjutnya Mahkamah Agung akan mengadili sendiri.

C. ANALISIS

1. Putusan Tingkat I No. 43/PDT.SUS-PHI/2015/PN.BDG

Heri Purnomo yang tidak masuk kerja namun mengatakan masuk, dan telah melakukan absen masuk dan pulang kerja, padahal tidak ada bentuk kegiatan kerja yang dilakukannya dimana hal tersebut menjadi tanggungjawabnya sebagai pekerja. Jika PT. Mayora Indah Tbk melakukan PHK terhadap Heri Purnomo,

32

dapat dilihat pada Pasal 158 Undang-Undang No. 13 tahun 2003 yang menyatakan bahwa, Pengusaha dapat memutuskan hubungan kerja terhadap pekerja/buruh dengan alasan pekerja/buruh telah melakukan kesalahan berat, yang pada huruf b dikatakan: “memberikan keterangan palsu atau yang dipalsukan

sehingga merugikan perusahaan”. Dari pengaturan tersebut jelas apa yang dilakukan Heri Purnomo dapat dikatakan melakukan kesalahan berat.

Dalam posisi kasus, pihak perusahaan melakukan PHK berdasarkan pelanggaran berat yang diatur dalam PKB PT. Mayora Indah Tbk Pasal 62 huruf b, yang jika dilihat isinya sama dengan ketentuan pada Pasal 158 Undang-Undang No. 13 tahun 2003 tentang ketenagakerjaan. Hal ini tentu dapat menjadi dasar dilakukannya PHK, karena sesuai yang diatur dalam Pasal 61 Undang-Undang No. 13 tahun 2003 yang mengatur tentang ketentuan yang dapat mengakibatkan perjajian kerja dapat berakhir, pada poin ke-4 dikatakan: “Adanya keadaan atau kejadian tertentu yang dicantumkan dalam perjanjian kerja, peraturan perusahaan, atau perjanjian kerja bersama yang dapat menyebabkan berakhirnya hubungan kerja.” Namun perlu diperhatikan kembali pada Pasal 124 (2) Undang-Undang No.13 tahun 2003 dikatakan bahwa “Ketentuan dalam perjanjian kerja bersama tidak boleh bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku”.

Jika bertentangan maka pada pada Ayat berikutnya (Ayat 3) dituliskan bahwa dalam hal isi perjanjian kerja bersama bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku sebagaimana dimaksud dalam Ayat (2), maka ketentuan yang bertentangan tersebut batal demi hukum dan yang berlaku adalah ketentuan dalam peraturan perundang-undangan.

33

Seperti yang sudah disampaikan sebelumnya bahwa Pasal 158 Undang-Undang No. 13 tahun 2003 telah diuji oleh Mahkamah Konstitusi (MK) dalam putusan No. 012/PPU-1/2003 perihal Pengusaha yang melakukan PHK terhadap pekerja yang melakukan kesalahan berat dianggap melanggar asas praduga tak bersalah. Kemudian berdasarkan Putusan MK tersebut, Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi (MENAKERTRANS) menertbitkan Surat Edaran MENAKERTRANS No. 13/Men/SJ-HK/I/2005, yang menyatakan bahwa jika pengusaha akan melakukan PHK dengan dasar kesalahan berat maka dapat dilakukan setelah ada putusan pidana yang memiliki hukum tetap.

Pada putusan pertama Majelis Hakim juga menggunakan dasar bahwa Pasal 1320 Jo 1338 KUH Perdata yang menjadi dasar untuk menyatakan bahwa perjanjian yang dibuat secara sah oleh para pihak berlaku sebagai Undang-Undang dan mengikat. Jika dengan dasar Pasal tersebut maka memang dapat dikatakan PKB PT Mayora Indah Tbk memiliki kekuatan untuk menjatuhkan hukuman PHK pada Heri Purnomo. Namun perlu diingat bahwa dengan asas Lex

Specialist Derogat Lex Generalist,maka Udang-Undang No.13 Tahun 2013

tentang ketenagakerjaan lebih memiliki kekuatan dibanding ketentuan dalam Pasal 1320 Jo 1338 KUH Perdata, karena peraturan yang dibuat khusus mengesampingkan peraturan umum. Maka hal ini kembali membuktikan ketentuan dalam Undang-Undang No 13 Tahun 2003 pada ketentuan kesalahan berat yang digantikan dengan keputusan MK dalam kasus ini yang sebenarnya tepat diterapkan, yaitu dengan membuktikan kesalahan Pidananya terlebih dahulu. Jika melihat dasar PHK pengusaha menggunakan PKB, maka perlu dilihat bahwa ketentuan dalam PHK perihal PHK karena kesalahan berat adalah

34

bertentangan dengan Putusan MK No. 012/PPU-1/2003. Bahwa dalam PKB perusahaan berhak melakukan PHK atas kesalahan berat tanpa melakukan pembuktian kesalahan pidana dengan keputusan berkekuatan hukum tetap, namun dalam Putusan MK menyatakan harus terlebih dahulu membuktikannya dengan keputusan Hakim Pidana. Maka sesuai dengan Pasal 124 Ayat (2 & 3) Undang-Undang No. 13 tahun 2003, seharusnya ketentuan dalam PKB PT. Mayora Indah Tbk yang mengatur hal tersebut adalah batal demi Hukum dan perusahaan tidak dapat langsung melakukan PHK terhadap Pekerja. Bilamana ingin tetap melakukan PHK maka Putusan MK-lah yang berlaku, yaitu pengusaha harus melalui proses pembuktian kesalahan pidana daripada pekerja dengan keputusan pidana yang berkekuatan Hukum tetap.

PKB daripada PT. Mayora Indah Tbk yang digunakan tersebut adalah PKB periode yang berlaku untuk 2011-2013, dimana perubahan pada Pasal 158 sudah terjadi, sehingga seharusnya PKB menyesuaikan dengan Peraturan Perundang-Undangan yang ada atau yang bersifat menggantinya. Jika ada peraturan seperti yang ada dalam PKB yang melakukan PHK tanpa terlebih dahulu membuktikan kesalahan Pidananya, maka hal tersebut adalah suatu bentuk kesewenang-wenangan daripada pengusaha. Kembali lagi melalui dasar MK menguji Pasal 158 adalah karena adanya pelanggaran terhadap asas praduga tak bersalah jika pengusaha melakukakan PHK atas dasar kesalahan berat tanpa membuktikan kesalahan pidananya melalui keputusan Hakim Pidana yang berkekuatan Hukum tetap. Sehingga menurut penulis tidaklah sah jika Heri Purnomo di PHK karena kesalahan berat berdasarkan PKB PT Mayora Tbk.

35

Besaran hak-hak dalam Putusan Tingkat I terdapat kesalahan pertimbangan oleh Majelis Hakim. Dalam penulisan nominal gaji pokok per-bulan daripada penggugat yang seharusnya benar dicantumkan pada awal penulisan duduk perkara sebesar Rp. 2.922.017,-, namun pada pertimbangan Hakim dituliskan sebesar Rp. 1.689.800,-. Sehingga hal tersebut sudahlah salah jika dilanjut dalam perhitungan hak-hak PHK, dan merugikan penggugat.

Majelis Hakim meberikan hak-hak dengan uang pisah. Penulis tidak setuju dengan pertimbangan keputusan Hakim. Menurut pendapat penulis sesuai yang telah disampaikan juga bahwa Pasal 158 sudah tidak digunakan sebagai acuan lagi. Namun perlu diperhatikan berkaitan dengan tidak ada diaturnya dalam perubahan yang baru mengenai hak-hak PHK karena kesalahan berat, maka peraturan dalam 158 Ayat (3) dan (4) dapat diterapkan hingga ada peraturan Hukum yang lebih jelas mengaturnya. Hal ini bertujuan agar tidak terjadi kekosongan peraturan Peundang-Undangan. Hal ini berkaitan agar Putusan Hakim mengenai PHK karena kesalahan berat agar tidak ada perbedaan pertimbangan Hukum perihal hak-hak dan menimbulkan ketidakadilan antara kasus satu dengan yang lainnya. Maka penulis berpendapat bahwa hak hak-hak PHK yang layak diterima bagi pekerja yang melakukan kesalahan berat adalah:

- Uang penggantian meliputi:

a. cuti tahunan yang belum diambil dan belum gugur;

b. biaya atau ongkos pulang untuk pekerja/buruh dan keluarganya ketempat dimana pekerja/buruh diterima bekerja

36

2. Putusan Tingkat Kasasi No. 656 K/Pdt.Sus-PHI/2015

Pada Tingkat Kasasi Majelis Hakim juga menghukum Penggugat dengan PHK, dengan dasar pertimbangan yang sama yaitu telah melakukan kesalahan berat dan melanggar ketentuan dalam PKB. Namun yang menjadi beda dengan Tingkat I adalah pada hak-hak PHK-nya. Kembali lagi seperti pada Tingkat I, penulis berpendapat bahwa Penggugat tidak seharusnya dapat di-PHK karena peraturan dalam PKB, karena PKB bertentangan dengn peraturan perUndang-Undangan seperti yang dituliskan sebelumnya.

Mengenai hak-hak PHK pada tingkat kasasi, penulis juga tidak setuju. Pada tingkat kasasi Majelis Hakim menggunakan ketentuan dalam Pasal 161, yang dimana diatur mengenai hak-hak terhadap pekerja yang di-PHK karena melanggar ketentuan dalam Perjanjian Kerja, Peraturan Perusahaan, ataupun Perjanjian Kerja Bersama. Penulis tidak setuju, dapat dilihat yang pertama seperti yang penulis jelaskan, bahwa ketentuan yang diatur dalam PKB adalah bertentangan dengan peraturan perUndang-Undangan, sehingga batal demi Hukum dan dianggap tidak ada. Dapat dilihat pula adanya unsur yang tidak dipenuhi dalam Pasal 161, yaitu adanya surat peringatan yang harusnya telah diberikan terlebih dahulu secara berurutan dari surat peringatan pertama, kedua, dan ketiga.

Dalam kasus ini pengusaha dapat menggunakan alasan mendesak seperti yang dituliskan juga dalam SE MENAKERTRANS. Pada poin ke 4 seperti yang sudah penulis sampaikan sebelumnya bahwa dalam hal terdapat " alasan mendesak " yang mengakibatkan tidak memungkinkan hubungan kerja dilanjutkan, maka pengusaha dapat menempuh upaya penyelesaian melalui lembaga penyelesaian perselisihan hubungan industrial. Perbuatan yang dilakukan

37

Heri Purnomo jika dilihat dalam keadaan alasan mendesak yang diatur dalam KUH Perdata Pasal 1603 huruf O, maka memang yang dilakukan Heri Purnomo bisa saja masuk ke dalam alasan mendesak, yaitu pada poin ke-4 penipuan (karena absen tapi tidak melakukan kerjaan atau masuk kerja) atau pada poin ke-11 bahwa dengan cara lain terlalu melalaikan kewajiban-kewajiban yang dibebankan kepadanya oleh perjanjian.

Mengenai ketentuan dalam perihal alasan mendesak ini memang tidak jelas pengaturannya. Jika memang benar dapat digunakan kapan saja asal ada kriteria tindakan pekerja yang melanggar Pasal 1603 huruf O dalam KUH Perdata, maka ini sama saja menjadi bertentangan dengan Putusan MK yang kemudian tertulis dalam SE MENAKERTRANS, dimana seharusnya dalam kesalahan berat harus dibuktikan terlebih dahulu dengan memperoleh keputusan Hakim Pidana yang memiliki kekuatan Hukum tetap, namun dengan adanya alasan medesak dan dapat dikondisikan pengusaha langsung mengajukan gugatan kepada Pengadilan Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial yang bersifat Perdata. Jika penulis berpendapat, maka seakan alasan medesak ini menjadi jalan pintas bagi pengusaha untuk tetap saja melanggar asas praduga tak bersalah.

Mengenai kesalahan berat yang kemudian oleh pengusaha diatur dalam PKB perusahaan, seperti halnya dalam kasus yang menjadi bahan penulisan penulis ini, sangatlah tidak seharusnya dapat dilakukan. Hal ini menjadi cara pengusaha untuk kembali menjadi celah dapat melanggar ketentuan yang sebagaimana diatur dalam SE MENAKERTRANS. Kesalahan yang bersifat Pidana dan seharusnya telah dirancang dalam SE MENAKERTRANS untuk diselesaikan terlebih dahulu perkara pidananya agar dapat melanjutkan kepada

38

proses PHK, namun seolah-olah hal tersebut dijadikan menjadi perdata saat hal tersebut dituangkan dalam perjanjian, dalam hal ini PKB, PP, ataupun PK.

3. Identifikasi Kesalahan Berat

Dalam kasus Heri Purnomo dengan PT. Mayora Indah Tbk, unsur kesalahan berat yang dilakukan oleh Heri Purnomo adalah adanya keterangan palsu yang dibuat oleh Heri Purnomo kepada PT. Mayora Indah Tbk terkait tidak hadir dalam jam kerja. Dalam pasal 158 Pasal 1 UU No 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan dituliskan jenis kesalahan yang termasuk kesalahan berat yang memiliki unsusr kesalahan Pidana, dan tindakan Heri Purnomo dalam kasus ini termasuk dalam kesalahan berat dengan unsur kesalahan Pidana.

Kesalahan berat bisa saja tidak memiliki unsur pidana. Misal diatur dalam PKB tentang suatu perbuatan yang dikategorikan kesalahan berat yang dapat menyebabkan PHK. Hal tersebut misalnya adalah kelalaian menjaga mesin produksi yang menyebabkan jumlah produksi yang tidak sesuai dengan target produksi. Jika dilihat maka sebenarnya hal tersebut merupakan kesalahan Perdata, maka tidak perlu melalui proses pengadilan pidana, walaupun dituliskan sebagai kesalahan berat dalam PKB.

Dokumen terkait