1
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA, HASIL PENELITIAN, DAN ANALISIS
A.
Lahir dan Putusnya Hubungan Kerja
1.
Lahirnya Hubungan Kerja
Pada dasarnya hubungan kerja, yaitu hubungan antara pekerja dan
pengusaha terjadi setelah diadakan perjanjian oleh pekerja dengan pengusaha di mana pekerja menyatakan kesanggupannya untuk menerima upah dan pengusaha
menyatakan kesanggupannya untuk mempekerjakan pekerja dengan membayar upah.1 Di dalam Pasal 50 UU No. 13/2003 tentang Ketenagakerjaan dijelaskan bahwa hubungan kerja terjadi karena adanya perjanjian kerja antara pengusaha
dengan pekerja.2 Menurut UU No. 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan, yang dimaksud dengan hubungan kerja adalah hubungan antara pengusaha dengan
pekerja/buruh berdasarkan perjanjian kerja, yang mempunyai unsur pekerjaan, upah, dan perintah.3 Hubungan kerja hanya ada jika salah satu pihak dalam perjanjian yang dinamakan pengusaha dan pihak lainnya dinamakan pekerja atau
buruh. Digunakan hubungan perikatan sebagai hubungan kerja untuk menunjukan bahwa terjadi hubungan hukum antara pengusaha dengan pekerja/buruh mengenai
kerja.4
1 Imam Soepomo, Pengantar Hukum Perburuhan, Jakarta: Djambatan, 1999, hal.88. 2
Undang-undang Nomor 13/2003 tentang Ketenagakerjaan, Pasal 50
3
UU No. 13 Tahun 2003, Pasal 1 diktum 15.
4 Jumiarti,
2
Atas pemahaman tersebut dapat dilihat bahwa hubungan kerja dapat terjadi akibat adanya perjanjian kerja baik perjanjian itu dibuat secara tertulis maupun secara lisan. Menurut Pasal 1 angka 14 Undang-Undang No.13 tahun 2003, yang
dimaksud dengan perjanjian kerja adalah perjanjian antara pekerja/buruh dengan pengusaha atau pemberi kerja yang memuat syarat-syarat, hak, dan kewajiban
para pihak. Perjanjian harus memenuhi syarat yang diatur secara khusus dalam Undang-Undang No.13 tahun 2003, pada Pasal 52 Ayat (1) Undang-Undang Ketenagakerjaan , yang menyebutkan 4 dasar perjanjian kerja, yaitu:
1. Kesepakatan kedua belah pihak;
2. Kemampuan atau kecakapan melakukan perbuatan hukum;
3. Adanya pekerjaan yang diperjanjikan; dan
4. Pekerjaan yang diperjanjikan tidak bertentangan dengan ketertiban umum, kesusilaan, dan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
Pada syarat nomor 1 dan 2 disebut sebagai syarat subjektif yang apabila tidak dipenuhi maka perjanjian yang telah dibuat dapat dimintakan pembatalannya kepada pihak yang berwenang. Sedangkan syarat 3 dan 4 apabila tidak terpenuhi
maka perjanjian tersebut batal demi hukum, tidak sah sama sekali. Pentingnya perjanjian kerja sebagai dasar mengikatnya suatu hubungan hukum, yaitu
hubungan kerja, maka landasannya adalah ada tidaknya perjanjian kerja.5
Selain Perjanjian Kerja, yang menjadi instrumen dalam mengatur hak dan kewajiban daripada pekerja maupun pengusaha adalah Peraturan Perusahaan dan
Perjanjian Kerja Bersama. Pengertian Peraturan Perusahaan berdasarkan Pasal 1 angka 20 Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan adalah
5
3
peraturan yang dibuat secara tertulis oleh pengusaha yang memuat syarat-syarat kerja dan tata tertib perusahaan. Menurut Pasal 111 UU Ketenegakerjaan, Peraturan perusahaan sekurang-kurangnya memuat:
1. hak dan kewajiban pengusaha; 2. hak dan kewajiban pekerja/buruh;
3. syarat kerja;
4. tata tertib perusahaan; dan
5. jangka waktu berlakunya peraturan perusahaan.
Sedangkan pengertian Perjanjian Kerja Bersama (PKB) Dalam Pasal 1 angka 21 Undang Undang Nomor 13 Tahun 2003 Tentang Ketenagakerjaan dikatakan PKB
adalah perjanjian yang merupakan hasil perundingan antara Serikat Pekerja/Buruh atau beberapa Serikat Pekerja/buruh yang tercatat pada instansi yang bertanggung jawab di bidang ketenagakerjaan dengan pengusaha atau beberapa pengusaha atau
perkumpulan pengusaha yang memuat syarat-syarat kerja hak dan kewajban kedua belah pihak.
Berkaitan mengenai kedudukan hukum PKB dalam hubungannya dengan
keabsahan suatu Pemutusan Hubungan Kerja (PHK) yang didasarkan pada PKB, Pasal 127 Undang-Undang No. 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan
menyebutkan sebagai berikut ;
1. Perjanjian kerja yang dibuat oleh Pengusaha dan Pekerja/Buruh tidak boleh bertentangan dengan Perjanjian Kerja Bersama..
4
dalam Perjanjian Kerja tersebut batal demi hukum dan yang berlaku adalah ketentuan dalam Perjanjian Kerja Bersama.
Ketentuan dalam perjanjian kerja bersama tidak boleh bertentangan dengan
peraturan perundang-undangan yang berlaku. Hal ini diatur dalam Pasal 124 (2) Undang-Undang No.13 tahun 2003. Ketentuan dalam Peraturan Perusahaan tidak
boleh bertentangan, lebih rendah kualitas atau kuantitasnya dari peraturan perundang-undangan yang berlaku.Apabila ternyata bertentangan, yang berlaku adalah ketentuan peraturan perundang-undangan (Asas Lex Superior Derogat Lex
Inferior).6 Jika bertentangan maka pada pada Ayat berikutnya (Ayat 3) dituliskan bahwa dalam hal isi perjanjian kerja bersama bertentangan dengan peraturan
perundang-undangan yang berlaku sebagaimana dimaksud dalam Ayat (2), maka ketentuan yang bertentangan tersebut batal demi hukum dan yang berlaku adalah ketentuan dalam peraturan perundang-undangan
2.
Putusnya Hubungan Kerja
a.
Sebab Putusnya Hubungan Kerja
Di tengah-tengah masa kerja kerap kali terjadi perselisihan hubungan
industrial, baik perselisihan hak, perselisihan kepentingan, perselisihan antar serikat pekerja/buruh maupun perselisihan pemutusan hubungan kerja
(PHK). Oleh karena itu, PHK bisa timbul karena adanya hubungan kerja yang terjadi sebelumnya.7
Yang dimaksud dengan pemutusan hubungan kerja menurut UU No.
13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan adalah pengakhiran hubungan kerja
6
Drs.Mohd.syaufii Syamsuddin, SH, MH., Norma perlindungan dalam hubungan industrial,Jakarta;Sarana Bhakti Persada,2004,hlm 208.
7 Hartono Widodo, S.H. dan Judiantoro,S.H;
5
karena suatu hal tertentu yang mengakibatkan berakhirnya hak dan kewajiban antara pekerja/buruh dan pengusaha.
Pemutusan hubungan kerja tidak boleh dilakukan secara sepihak dan
sewenang-wenang, akan tetapi PHK hanya dapat dilakukan dengan alasan-alasan tertentu setelah diupayakan bahwa PHK tidak perlu terjadi. Dalam
Pasal 151 UU No. 13 Tahun 2003 dinyatakan sebagai berikut:
1. Pengusaha, pekerja/buruh, serikat pekerja/serikat buruh, dan pemerintah, dengan segala upaya harus mengusahakan agar jangan
terjadi pemutusan hubungan kerja.
2. Dalam hal segala upaya telah dilakukan, tetapi pemutusan
hubungan kerja tidak dapat dihindari, maka maksud pemutusan hubungan kerja wajib dirundingkan oleh pengusaha dan serikat pekerja/serikat buruh atau dengan pekerja/buruh apabila
pekerja/buruh yang bersangkutan tidak menjadi anggota serikat pekerja/serikat buruh.
3. Dalam hal perundingan sebagaimana dimaksud dalam Ayat (2)
benar-benar tidak menghasilkan persetujuan, pengusaha hanya dapat memutuskan hubungan kerja dengan pekerja/buruh setelah
memperoleh penetapan dari lembaga penyelesaian perselisihan hubungan industrial.
Berdasarkan ketentuan UU Ketengakerjaan tersebut, maka dapat dipahami
6
Menurut Pasal 61 Undang – Undang No. 13 tahun 2003 mengenai Ketenagakerjaan, perjanjian kerja dapat berakhir apabila :
1. Pekerja meninggal dunia,
2. Jangka waktu kontak kerja telah berakhir,
3. Adanya putusan pengadilan atau penetapan lembaga penyelesaian
perselisihan hubungan industrial yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap,
4. Adanya keadaan atau kejadian tertentu yang dicantumkan dalam
perjanjian kerja, peraturan perusahaan, atau perjanjian kerja bersama yang dapat menyebabkan berakhirnya hubungan kerja.
Dalam literatur Hukum Ketenagakerjaan dikenal ada beberapa jenis PHK yaitu:
1. Pemutusan hubungan kerja oleh pengusaha
Pengusaha dapat memutuskan hubungan kerja terhadap pekerja/buruh dengan alasan pekerja/buruh telah melakukan kesalahan berat sebagai berikut:
a) Melakukan penipuan, pencurian, atau penggelapan barang dan/atau uang milik perusahaan;
b) Memberikan keterangan palsu atau yang dipalsukan sehingga merugikan perusahaan;
c) Mabuk, meminum-minuman keras yang memabukkan, memakai
dan/atau mengedarkan narkotika, psikotropika, dan zat adiktif lainnya di lingkungan kerja;
7
e) Menyerang, menganiaya, mengancam, atau mengintimidasi teman sekerja atau pengusaha di lingkungan kerja;
f) Membujuk teman sekerja atau pengusaha untuk melakukan
perbuatan yang bertentangan dengan peraturan perundang-undangan;
g) Dengan ceroboh atau sengaja merusak atau membiarkan dalam keadaan bahaya barang milik perusahaan yang menimbukan kerugian bagi perusahaan;
h) Dengan ceroboh atau sengaja membiarkan teman sekerja atau pengusaha dalam keadaan bahaya di tempat kerja;
i) Membongkar atau membocorkan rahasia perusahaan yang seharusnya dirahasiakan kecuali untuk kepentingan negara; atau j) Melakukan perbuatan lainnya di lingkungan perusahaan yang
diancam pidana penjara 5 (lima) tahun atau lebih (Pasal 158 Ayat 1 Undang-Undang No. 13 Tahun 2003).
Kesalahan berat yang dimaksud harus didukung dengan bukti yaitu:
Pekerja/buruh tertangkap tangan; Ada pengakuan dari pekerja/buruh yang bersangkutan; Bukti lain berupa laporan kejadian yang dibuat
8
2. Pemutusan hubungan kerja oleh buruh/pekerja
Pekerja/buruh dapat mengajukan permohonan pemutusan hubungan kerja kepada lembaga penyelesaian perselisihan hubungan
industrial dalam hal pengusaha melakukan perbuatan sebagai berikut: a) Menganiaya, menghina secara kasar atau mengancam
pekerja/buruh;
b) Membujuk dan/atau menyuruh pekerja/buruh untuk melakukan perbuatan yang bertentangan dengan peraturan
perundang-undangan;
c) Tidak membayar upah tepat pada waktu yang telah ditentukan
selama 3 (tiga) bulan berturut-turut atau lebih;
d) Tidak melakukan kewajiban yang telah dijanjikan kepada pekerja/buruh;
e) Memerintahkan pekerja/buruh untuk melaksakan pekerjaan di luar yang diperjanjikan; atau
f) Memberikan pekerjaan yang membahayakan jiwa, keselamatan,
kesehatan, dan kesusilaan pekerja/buruh sedangkan pekerjaan tersebut tidak dicantumkan pada perjanjian kerja (Pasal 169
Ayat 1).
Pekerja /buruh dapat mengakhiri hubungan kerja dengan melakukan pengunduran diri atas kemauan sendiri tanpa perlu
meminta penetapan dari lembaga penyelesaian perselisihan hubungan industrial. Pekerja/buruh yang mengundurkan diri sebagaimana
9
- Mengajukan permohonan pengunduran diri secara tertulis selambat-lambatnya 30 (tiga puluh) hari sebelum tanggal mulai pengunduran diri;
- Tidak terikat dalam ikatan dinas;
- Tetap melaksanakan kewajibannya sampai tanggal mulai
pengunduran diri.
3. Hubungan kerja putus demi hukum
Selain pemutusan kerja oleh pengusaha, buruh/pekerja, hubungan
kerja juga dapat putus/berakhir demi hukum, artinya hubungan kerja tersebut harus putus dengan sendirinya dan kepada buruh/pekerja,
pengusaha tidak perlu mendapatkan penetapan PHK dari lembaga yang berwenang sebagaimana diatur dalam Pasal 154 Undang-Undang No. 13 Tahun 2003 sebagai berikut:
a) Pekerja/buruh masih dalam masa percobaan kerja, bila mana telah dipersyaratkan secara tertulis sebelumnya;
b) Pekerja/buruh mengajukan permintaan pengunduran diri, secara
tertulis atas kemauan sendiri tanpa ada indikasi adanya tekanan/intimidasi dari pengusaha, berakhirnya hubungan kerja
sesuai dengan perjanjian kerja waktu tertentu untuk pertama kali;
c) Pekerja/buruh mencapai usia pensiun sesuai dengan ketetapan
dalam peerjanjian kerja, peraturan perusahaan, perjanjian kerja bersama, atau peraturan perundang-undangan; atau
10
4. Pemutusan hubungan kerja oleh pengadilan
Yang dimaksud dengan pemutusan hubungan kerja oleh pengadilan ialah pemutusan hubungan kerja oleh pengadilan perdata biasa atas
permintaan yang bersangkutan (majikan/buruh) berdasarkan alasan penting. Alasan yang penting adalah disamping alasan mendesak juga
karena perubahan keadaan pribadi atau kekayaan pemohon atau perubahan keadaan di mana pekerjaan yang dilakukan sedemikian rupa sifatnya, sehingga adalah layak untuk memutuskan hubungan
kerja.
b.
Prosedur PHK
Berikut adalah prosedur PHK menurut Undang-Undang No 13 Tahun 2003:
1. Pengusaha, pekerja/buruh, serikat pekerja/serikat buruh, dan pemerintah, dengan segala upaya harus mengusahakan agar jangan terjadi pemutusan hubungan kerja (Pasal 151 Ayat 1).
2. Dalam hal segala upaya telah dilakukan, tetapi pemutusan hubungan kerja tidak dapat dihindari, maka maksud pemutusan
hubungan kerja wajib dirundingkan oleh pengusaha dan serikat pekerja/serikat buruh atau dengan pekerja/buruh apabila
pekerja/buruh yang bersangkutan tidak menjadi anggota serikat pekerja/serikat buruh. (Pasal 151 Ayat 1).
11
4. Jika tidak berhasil, pengusaha mengajukan permohonan penetapan secara tertulis disertai dasar dan alasan- alasannya kepada pengadilan hubungan industrial (Pasal 151 Ayat 3 dan Pasal 152
Ayat 1).
5. Selama putusan lembaga penyelesaian perselisihan hubungan
industrial belum ditetapkan, baik pengusaha maupun pekerja/buruh harus tetap melaksanakan segala kewajibannya (Pasal 155 Ayat 2). 6. Pengusaha dapat melakukan penyimpangan terhadap ketentuan
sebagaimana dimaksud pada Ayat (2) berupa tindakan skorsing kepada pekerja/buruh yang sedang dalam proses pemutusan
hubungan kerja dengan tetap wajib membayar upah beserta hak-hak lainnya yang biasa diterima pekerja/buruh (Pasal 155 Ayat 3).
c.
Hak-hak PHK
Dalam hal terjadi PHK, maka terdapat hak-hak yang harus dibayar oleh pengusaha kepada pekerja ter-PHK. Hal ini diatur dalam Pasal 156
Ayat (1) Undang-Undang No.13 tahun 2003, yang berbunyi:
“Dalam hal terjadi pemutusan hubungan kerja, pengusaha diwajibkan
membayar uang pesangon dan atau uang penghargaan masa kerja dan uang
penggantian hak yang seharusnya diterima.”
Ketentuan mengenai besaran uang upah yang harus dibayar oleh pengusaha, diatur dalam Pasal 156 Ayat (2), yaitu:
Perhitungan uang pesangon sebagaimana dimaksud dalam Ayat (1) paling
12
a. masa kerja kurang dari 1 (satu) tahun, 1 (satu) bulan upah;
b. masa kerja 1 (satu) tahun atau lebih tetapi kurang dari 2 (dua)
h. masa kerja 7 (tujuh) tahun atau lebih tetapi kurang dari 8 (delapan) tahun, 8 (delapan) bulan upah;
i. masa kerja 8 (delapan) tahun atau lebih, 9 (sembilan) bulan upah.
Bagi pekerja yang telah bekerja selama tiga tahun atau lebih, berhak
mendapatkan uang penghargaan masa kerja, adapun besaran uang penghargaan masa kerja ditetapkan dalam Pasal 156 Ayat (3), yaitu:
Perhitungan uang penghargaan masa kerja sebagaimana dimaksud dalam
Ayat (1) ditetapkan sebagai berikut :
a. masa kerja 3 (tiga) tahun atau lebih tetapi kurang dari 6 (enam) tahun, 2 (dua) bulan upah;
b. masa kerja 6 (enam) tahun atau lebih tetapi kurang dari 9 (sembilan) tahun, 3 (tiga) bulan upah;
c. masa kerja 9 (sembilan) tahun atau lebih tetapi kurang dari 12 (dua belas) tahun, 4 (empat) bulan upah;
d. masa kerja 12 (dua belas) tahun atau lebih tetapi kurang dari 15 (lima belas) tahun, 5 (lima) bulan upah;
e. masa kerja 15 (lima belas) tahun atau lebih tetapi kurang dari 18 (delapan belas) tahun, 6 (enam) bulan upah;
f. masa kerja 18 (delapan belas) tahun atau lebih tetapi kurang dari 21 (dua puluh satu) tahun, 7 (tujuh) bulan upah;
g. masa kerja 21 (dua puluh satu) tahun atau lebih tetapi kurang dari 24 (dua puluh empat) tahun, 8 (delapan) bulan upah;
h. masa kerja 24 (dua puluh empat) tahun atau lebih, 10 (sepuluh ) bulan upah.
13
Uang penggantian hak yang seharusnya diterima sebagaimana dimaksud dalam Ayat (1) meliputi :
a. cuti tahunan yang belum diambil dan belum gugur;
b. biaya atau ongkos pulang untuk pekerja/buruh dan keluarganya ketempat dimana pekerja/buruh diterima bekerja;
c. penggantian perumahan serta pengobatan dan perawatan ditetapkan 15% (lima belas perseratus) dari uang pesangon dan/atau uang penghargaan masa kerja bagi yang memenuhi syarat;
d. hal-hal lain yang ditetapkan dalam perjanjian kerja, peraturan perusahaan atau perjanjian kerja bersama.
Hak lain yang dapat diterima oleh pekerja yang terkena PHK adalah uang pisah. Uang pisah diberikan kepada pekerja bila hal tersebut telah
diatur dalam perjanjian kerja, PP dan PKB baik jumlah maupun pelaksanaannya. Pekerja yang berhak mendapatkan uang pisah yaitu:8
a. Pekerja yang mengundurkan diri dan tugas serta fungsinya tidak
mewakili kepetingan pengusaha secara langsung. b. Pekerja yang melakukan kesalahan berat.
c. Pekerja yang mangkir selama lima hari secara berturut-turut tanpa
pemberitahuan tertulis dengan bukti yang sah.
Menurut UU No. 13 tahun 2003 mengenai Ketenagakerjaan, pihak
perusahaan dapat saja melakukan PHK dalam berbagai kondisi sebagai berikut:
1. Pengunduran diri secara baik-baik atas kemauan sendiri.
Bagi pekerja yang mengundurkan diri secara baik-baik tidak berhak mendapat uang pesangon sesuai ketentuan Pasal 156 Ayat
2. Yang bersangkutan juga tidak berhak mendapatkan uang penghargaan masa kerja sesuai ketentuan Pasal 156 Ayat 3 tetapi
8
14
berhak mendapatkan uang penggantian hak mendapatkan 1 kali ketentuan Pasal 156 Ayat 4.
Apabila pekerja tersebut mengundurkan diri secara mendadak
tanpa mengikuti prosedur sesuai ketentuan yang berlaku (diajukan 30 hari sebelum tanggal pengunduran diri) maka pekerja tersebut
hanya mendapatkan uang penggantian hak. Tetapi kalau mengikuti prosedur maka pekerja tersebut mendapatkan uang pisah yang besar nilainya berdasarkan kesepakatan antara
pengusaha dan pekerja yang tertuang dalam Perjanjian Kerja Bersama (PKB) atau peraturan perusahaan.
2. Pengunduran diri secara tertulis atas kemauan sendiri karena berakhirnya hubungan kerja.
Bagi pekerja kontrak yang mengundurkan diri karena masa
kontrak berakhir, maka pekerja tersebut tidak mendapatkan uang pesangon sesuai ketentuan Pasal 156 Ayat 2 dan uang penghargaan masa kerja sesuai ketentuan Pasal 156 Ayat 3 juga
uang pisah tetapi berhak atas penggantian hak sesuai ketentuan Pasal 156 Ayat 4.
3. Pengunduran diri karena mencapai usia pensiun.
Mengenai batasan usia pensiun perlu disepakati antara pengusaha dan pekerja dan dituangkan dalam perjanjian kerja bersama atau
peraturan perusahaan. Batasan usia pensiun yang dimaksud adalah penentuan usia berdasarkan usia kelahiran dan berdasarkan
15
pesangon 2 kali ketentuan Pasal 156 Ayat 2 dan uang penghargaan masa kerja 1 kali ketentuan Pasal 156 Ayat 4 tetapi tidak berhak mendapat uang pisah.
4. Pekerja melakukan kesalahan berat
Diatur dalam Pasal 158 Undang-Undang No. 13 tahun 2003, yang
dimaksud pekerja yang melakukan kesalhan berat adalah:
- Pekerja telah melakukan penipuan, pencurian, penggelapan barang dan atau uang milik perusahan.
- Pekerja memberikan keterangan palsu atau yang dipalsukan sehingga merugikan perusahan.
- Pekerja mabuk, minum - minuman keras, memakai atau mengedarkan narkotika, psikotropika, dan zat aktif lainnya, dilingkungan kerja.
- Melakukan perbuatan asusila atau perjudian di lingkungan kerja. - Menyerang, menganiaya, mengancam, atau mengintimidasi,
teman sekerja atau perusahaan dilingkungan kerja.
- Membujuk teman sekerja atau perusahaan untuk melakukan perbuatan yang bertentangan dengan Undang-undang.
- Dengan ceroboh atau sengaja merusak atau membiarkan dalam keadaan bahaya barang milik perusahaan yang menimbulkan kerugian bagi perusahaan.
- Dengan ceroboh atau sengaja membiarkan teman sekerja atau perusahaan dalam keadaan bahaya ditempat kerja.
- Membongkar atau membocorkan rahasia perusahaan yang seharusnya dirahasiakan kecuali untuk kepentingan negara.
- Melakukan perbuatan lainnya dilingkungan perusahaan yang diancam hukuman pidana penjara 5 (lima) tahun atau lebih.
Pekerja yang diputuskan hubungan kerjanya berdasarkan kesalahan berat hanya dapat memperoleh uang pengganti hak sedang
bagi pekerja yang tugas dan fungsi tidak mewakili kepentingan perusahaan secara langsung,selain memperoleh uang pengganti, juga
16
selanjutnya disingkat MK) yang membatalkan Pasal 158 Undang-Undang No. 13 tahun 2003 tersebut yaitu Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 115/PUU-VII/2009 Tahun 2009 karena dianggap
telah bertentangan dengan Pasal 27 Ayat (1) UUD 1945, serta melanggar azas praduga tidak bersalah (presumtion of innocence) dan
kesamaan di depan hukum sebagaimana dijamin oleh UUD 1945.9 Berdasarkan putusan MK tersebut Menteri Ketenagakerjaan dan Transmigrasi mengeluarkan Surat Edaran Menakertrans No.
SE-13/MEN/SJ-HK/I/2005 tertanggal 7 Januari 2005 (SE MENAKERTRANS). SE Menakertrans ini menegaskan bahwa jika
pengusaha hendak melakukan PHK karena pekerja melakukan kesalahan berat, harus ada putusan hakim pidana yang berkekuatan hukum tetap terlebih dahulu. Sehingga, harus dibuktikan terlebih dulu
kesalahannya melalui mekanisme peradilan pidana. Pada poin ke-4 tertulis Dalam hal terdapat " alasan mendesak " yang mengakibatkan tidak memungkinkan hubungan kerja dilanjutkan, maka pengusaha
dapat menempuh upaya penyelesaian melalui lembaga penyelesaian perselisihan hubungan industrial.
Pada Pasal 158 Undang-Undang No. 13 tahun 2003 mengatur tentang ketentuan PHK karena kesalahan berat seperti yang sudah penulis paparkan di atas, namun hak PHK yang seharusnya diterima
pada pekerja yang terkena PHK karena kesalahan berat diatur dalam
9Ja i a persa aa di depa huku terdapat dala Pasal ayat UUD “egala warga
negara bersamaan kedudukannya di dalam hukum dan pemerintahan dan wajib menjunjung hukum dan pemerintahan itu dengan tidak ada kecualinya."
Juga dala Pasal D ayat UUD , “etiap ora g berhak atas pe gakua , ja i a ,
17
Pasal 158 Ayat (3 & 4) sebelum perubahan dari putusan MK dan SE MENEKETRANS, yaitu:
Ayat 3: “Pekerja/buruh yang diputus hubungan kerjanya berdasarkan alasan sebagaimana dimaksud dalam Ayat (1), dapat memperoleh uang penggantian hak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 156 Ayat (4).”
Ayat 4: “Bagi pekerja/buruh sebagaimana dimaksud dalam Ayat (1) yang tugas dan fungsinya tidak mewakili kepentingan pengusaha secara langsung, selain uang penggantian hak sesuai dengan ketentuan Pasal 156 Ayat (4) diberikan uang pisah yang besarnya dan pelaksanaannya diatur dalam perjanjian kerja, peraturan perusahaan, atau perjanjian kerja bersama.”
5. Pekerja ditahan pihak yang berwajib.
Perusahaan dapat melakukan Pemutusan Hubungan Kerja terhadap pekerja setelah 6 (enam) bulan tidak melakukan
pekerjaan yang disebabkan masih dalam proses pidana. Dalam ketentuan bahwa perusahaan wajib membayar kepada pekerja atau buruh uang penghargaan masa kerja sebesar 1 (satu) kali
ditambah uang pengganti hak. Untuk Pemutusan Hubungan Kerja ini tanpa harus ada penetapan dari lembaga Penyelesaian
Hubungan Industrial tetapi apabila Pengadilan memutuskan perkara pidana sebelum 6 (enam) bulan dan pekerja dinyatakan tidak bersalah, perusahaan wajib mempekerjakan kembali.
6. Perusahaan/perusahaan mengalami kerugian.
Apabila perusahaan bangkrut dan ditutup karena mengalami
18
laporan keuangan 2 (dua) tahun terakhir yang telah diaudit oleh akuntan publik. Dan perusahaan wajib memberikan uang pesangon 1 (satu) kali ketentuan dan uang pengganti hak.
7. Pekerja mangkir terus menerus.
Perusahaan dapat memutuskan hubungan kerja apabila pekerja
tidak masuk selama 5 hari berturut-turut tanpa keterangan tertulis yang dilengkapi bukti-bukti yang sah meskipun telah dipanggil 2 kali secara patut dan tertulis oleh perusahaan. Dalam situasi
seperti ini, pekerja dianggap telah mengundurkandiri. Keterangan dan bukti yang sah yang menunjukkan alasan pekerja tidak
masuk, harus diserahkan paling lambat pada hari pertama pekerja masuk kerja dan untuk panggilan patut diartikan bahwa panggilan dengan tenggang waktu paling lama 3 hari kerja dengan di
alamatkan pada alamat pekerja yang bersangkutan atau alamat yang dicatatkan pada perusahaan.
Pekerja yang di-PHK akibat mangkir, berhak menerima uang
pengganti hak dan uang pisah yang besarnya dalam pelaksanaannya diatur dalam Perjanjian kerja, Peraturan
Perusahaan dan Perjanjian Kerja Bersama. 8. Pekerja meninggal dunia
Hubungan kerja otomatis akan berakhir ketika pekerja meninggal
dunia. Perusahaan berkewajiban untuk memberikan uang yang besarnya 2 kali uang pesangon, 1 kali uang penghargaan masa
19
janda/duda atau kalau tidak ada anak atau juga tidak ada keturunan garis lurus keatas/kebawah selam tidak diatur dalam perjanjian kerja, Peraturan Perusahaan, Perjanjian Kerja Bersama.
9. Pekerja melakukan pelanggaran.
Di dalam hubungan kerja ada suatu ikatan antara pekerja dengan
perusahaan yang berupa perjanjian kerja , peraturan perusahaan,dan Perjanjian Kerja Bersama yang dibuat oleh perusahaan atau secara bersama-sama antara pekerja/serikat
pekerja dengan perusahaan, yang isinya minimal hak dan kewajiban masing-msing pihak dan syarat-syarat kerja, dengan
perjanjian yang telah disetujui oleh masing-masing pihak diharapkan didalam implementasinya tidak dilanggar oleh salah satu pihak.
Pelanggaran terhadap perjanjian yang ada tentunya ada sangsi yang berupa teguran lisan atau surat tertulis, sampai ada juga yang berupa surat peringatan. Sedang untuk surat peringatan tertulis
dapat dibuat surat peringatan ke I, ke II, sampai ke III. masing-masing berlakunya surat peringatan selam 6 bulan sehingga
apabila pekerja sudah diberi peringatan sampai 3 kali berturut-turut dalam 6 bulan terhadap pelanggaran yang sama maka berdasarkan peraturan yang ada kecuali ditentukan lain yang
ditetapkan lain dalam perjanjian kerja, peraturan perusahaan ,Perjanjian kerja Bersama, maka perusahaan dapat melakukan
20
memberikan uang pesangon 1 dari ketentuan, uang penghargaan masa kerja 1 kali ketentuan dan uang pengganti hak yang besarnya ditentukan dalam peraturan yang ada.
10. Perubahan status, penggabungan, pelemburan atau perubahan kepemilikan.
Bagi pekerja yang diakhiri hubungan kerjanya karena alasan tersebut di atas maka :
- Pekerja yang tidak bersedia melanjutkan hubungan kerjanya,
pekerja tersebut berhak atas uang pesangon 1 kali sesuai ketentuan Pasal 156 Ayat 2 dan uang penghargaan masa kerja
1 kali sesuai Pasal 156 Ayat 3 dan uang penggantian hak sesuai ketentuan Pasal 156 Ayat 4 dan tidak berhak mendapatkan uang pisah.
- Perusahaan tidak bersedia menerima pekerja di perusahaannya maka bagi pekerja tersebut berhak atas uang pesangon 2 kali ketentuan Pasal 156 Ayat 2 dan uang penghargaan masa kerja
Pasal 156 Ayat 3 dan uang penggantian hak sesuai ketentuan Pasal 156 Ayat 4 dan tidak berhak mendapat uang pisah.
11. Pemutusan Hubungan Kerja karena alasan Efisiensi.
Bagi pekerja yang mengakhiri hubungan kerjanya karena efisiensi maka pekerja tersebut berhak atas uang pesangon 2 kali ketentuan
21
ketentuan Pasal 156 Ayat 4 tetapi tidak berhak mendapatkan uang pisah.
Mengenai pengertian “alasan mendesak” dalam yang terdapat
dalam ketentuan PHK karena kesalahan berat, tidak dijelaskan secara rinci mengenai apa yang dimaksud dalam keadaan dimana dapat
digunakan alasan mendesak. Jika mengacu pada alasan mendesak yang diatur dalam Pasal 1603 huruf o Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, maka diatur demikian:
Bagi majikan, yang dipandang sebagai alasan-alasan mendesak dalam arti Pasal yang lalu adalah perbuatan-perbuatan, sifat-sifat atau sikap
buruh yang sedemikian rupa, sehingga mengakibatkan, bahwa tidak pantaslah majikan diharapkan untuk meneruskan hubungan kerja. Alasan-alasan mendesak dapat dianggap ada, antara lain;
1. jika buruh, waktu mengadakan perjanjian, mengelabui majikan dengan memperlihatkan surat-surat yang palsu atau dipalsukan, atau sengaja memberikan penjelasan-penjelasan
palsu kepada majikan mengenai cara berakhirnya hubungan kerja yang lama;
2. jika ia ternyata tidak mempunyai kemampuan atau kesanggupan sedikit pun untuk pekerjaan yang telah dijanjikannya;
3. jika ia, meskipun telah diperingatkan, masih mengikuti kesukaannya minum sampai mabuk, mengisap madat di luar
22
4. jika ia melakukan pencurian, penggelapan, penipuan atau kejahatan lainnya yang mengakibatkan ia tidak lagi mendapat kepercayaan dari majikan;
5. jika ia menganiaya, menghina secara kasar atau melakukan ancaman yang membahayakan majikan, anggota keluarga
atau anggota rumah tangga majikan atau teman sekerjanya; 6. jika ia membujuk atau mencoba membujuk majikan, anggota
keluarga atau anggota rumah tangga majikan, atau teman
sekerjanya, untuk melakukan perbuatan-perbuatan yang bertentangan dengan undang-undang atau kesusilaan;
7. jika ia dengan sengaja atau meskipun telah diperingatkan, dengan sembrono merusak milik majikan atau menimbulkan bahaya yang sungguh-sungguh mengancam milik majikan
itu;
8. jika ia dengan sengaja atau meskipun telah diperingatkan dengan sembrono menempatkan dirinya sendiri atau orang
lain dalam keadaan terancam bahaya besar;
9. jika mengumumkan seluk beluk rumah tangga atau
perusahaan majikan, yang seharusnya Ia rahasiakan;
10. jika ia bersikeras menolak memenuhi perintah-perintah wajar yang diberikan oleh atau atas nama majikan;
23
12. jika ia karena sengaja atau sembrono menjadi tidak mampu melakukan pekerjaan yang dijanjikan. Janji-janji yang menyerahkan keputusan ke tangan majikan mengenai adanya
alasan memaksa dalam arti Pasal 1603 n, adalah batal.
B.
HASIL PENELITIAN
1.
Posisi Kasus
Heri Purnomo adalah pekerja dari PT. Mayora Indah TBK, bekerja pada bagian Prod.Biscuit-Technical, kebangsaan Indonesia, bertempat tinggal di Perum
Hasta Graha Blok 14/4, RT.002/RW.039,Kelurahan Wanasari, Kecamatan Cibitung, Kabupaten Bekasi.
Pada tanggal 12 Juni 2014, Heri Purnomo tidak berada di tempat kerja tanpa seijin atasan yang berwenang, hingga pihak perusahaan memanggil Heri Purnomo untuk membicarakan permasalahan tersebut. Heri Purnomo menyatakan tidak
berada berada di tempat kerja, namun di tempat lain yang masih dalam lingkungan perusahaan, dalam hal ini Heri Purnomo menyatakan masuk kerja. Atas
perbuatannya tersebut Heri Purnomo dilarang masuk oleh pihak perusahaan secara lisan yang setelahnya Heri Purnomo juga dikenai pembebasan tugas (skorsing)
melalui surat Nomor: 325/MYR/HRDA/1/2014.
Setelah sanksi dipenuhi, Heri Purnomo kembali bekerja. Namun dari pihak perusahaan tidak mengijinkan Heri Purnomo untuk masuk dan dikirimkanlah
24
memberikan keterangan palsu yang dipalsukan sehingga merugikan Perusahaan/kepentingan Negara.
Heri Purnomo tidak mau menerima keputusan PHK tersebut, karena
seharusnya jika tidak berada di tempat kerja tanpa seijin atasan yang berwenang hanya diberikan sanksi teguran lisan berdasarkan PKB PT. Mayora Indah Tbk
Pasal 62 huruf b yaitu “memberikan keterangan palsu yang dipalsukan sehingga
merugikan perusahaan/kepentingan Negara” . Namun perusahaan memiliki alasan
melakukan PHK atas dasar pelanggaran berat, yaitu keterangan saksi pegawai lain
yang mengetahui bahwa Heri Purnomo ternyata datang melakukan absen masuk lalu pergi dengan alasan yang disampaikan kepada rekan kerjanya akan mengantar
isteri, dan hingga jam pulang kerja Heri Purnomo baru kembali untuk melakukan absen pulang. Hal tersebut diperkuat dengan adanya rekaman CCTV, beserta data absen yang memang benar Heri Purnomo melakukan absen masuk dan pulang.
Heri Purnomo menyatakan bahwa sesuai dengan Putusan MK yang menguji Pasal 158 Undang-Undang No. 13 tahun 2003 beserta Surat Edaran Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi (MENAKERTRANS), bahwa seharusnya PHK
karena kesalahan berat harus ada penetapan terlebih dahulu mengenai kesalahan pidananya oleh Hakim Pidana.
Heri Purnomo telah mengajukan proses Mediasi kepada Dinas Tenaga Kerja Bekasi. Namun pihak perusaaan tidak mengindahkan proses mediasi beserta anjuran dari mediator. Atas dasar tersebut Heri Purnomo akhirnya mengajukan
gugatan kepada Pengadilan Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial, yang kemudian akan di-paparkan isi gugatan, putusan tingkat I dan Kasasi, serta
25
2.
Pertimbangan Hukum Majelis Hakim Tingkat I No.
43/PDT.SUS-PHI/2015/PN.BDG
Pada Tingkat I Heri Purnomo selaku penggugat dan PT. Mayora Indah Tbk
sebagai tergugat. Isi gugatan pada tingkat pertama yaitu sebagai berikut: 1. Mengabulkan gugatan Penggugat untuk seluruhnya ;
2. Menyatakan Tergugat dalam memutuskan hubungan kerja terhadap Penggugat tanpa terlebih dahulu memperoleh Penetapan dari Lembaga
Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial;
3. Menyatakan Surat Pemutusan Hubungan Kerja No. 022/MYR-CBT/HRD-PHK/ VII/2014, tanggal 7 Juli 2014 adalah TIDAK SAH DAN BATAL
DEMI HUKUM;
4. Alasan Tergugat yang menyatakan Penggugat melakukan kesalahan berat adalah tidak sah dikarenakan Tergugat tidak mempunyai putusan Hakim
Pidana terhadap kesalahan berat tersebut;
5. Mewajibkan Tergugat untuk memberikan Teguran Lisan terhadap
Penggugat;
6. Menyatakan Hubungan Kerja antara Penggugat dan Tergugat tidak Terputus;
7. Mewajibkan Tergugat untuk mempekerjakan kembali Penggugat pada bagian, jabatan dan posisi semula;
26
2.922.017,- (dua juta sembilan ratus dua puluh dua ribu tujuh belas rupiah) untuk setiap bulannya;
9. Menghukum Tergugat untuk membayar keterlambatan upah kepada
Penggugat sebesar Rp. 11.688.068 ( Sebelas juta enam ratus delapan puluh delepan ribu enam puluh delepan rupiah )
10.Membebankan biaya perkara kepada Tergugat.
Dari isi gugatan tersebut, dalam putusan Tingkat I hakim memutuskan
sebagai berikut:
1. Menolak gugatan Penggugat seluruhnya;
2. Menyatakan putus hubungan kerja antara Penggugat HERI PURNOMO dengan Tergugat PT. MAYORA INDAH Tbk didasarkan pada Pasal 62 huruf b Perjanjian Kerja Bersama PT. MAYORA INDAH Tbk periode
2011-2013 terhitung tanggal 7 Juli 2014;
3. Menghukum Tergugat membayar Upah Pisah 2(dua) bulan upah dan upah proses selama 3 bulan (bulan April, Mei, Juni 20110) seluruhnya
berjumlahRp.8.449.000,- (delapan juta empat ratus empat puluh sembilan ribu rupiah);
4. Menolak gugatan Penggugat selain dan selebihnya;
5. Membebankan biaya perkara kepada negara sebesar Rp. 619.000,- (enam ratus sembilan belas ribu rupiah);
Dasar pertimbangan Hakim dari hasil putusan yang menyatakan PHK serta menentukan hak penggantian hak tersebut di atas adalah bahwa Perjanjian Kerja
27
2011-2013 dibuat telah memenuhi unsur-unsur dalam Pasal 1320 KUH-Perdata Jo 1338 KUH-Perdata ”karena semua perjanjian yang dibuat secara sah berlaku sebagai undang-undang bagi mereka yang membuatnya”,dengan demikian
Perjanjian Kerja Bersama kedudukannya sama dengan Undang-Undang sehingga wajib ditaati.
Dan telah terbukti Penggugat melanggar melakukan kesalahan berat yaitu Pasal 62 huruf b Perjanjian Kerja Bersama periode 2011-2013 dengan demikian terhadap kesalahan Penggugat tidak berpedoman pada putusan Mahkamah
Konstitusi perkara No. 012/PUU-I/2013 tanggal 28 Oktober 2004 (bukti P-5) Jo Surat Edaran MENAKERTRANS RI. Nomor : SE-13/MEN/SJ-HK/I/2005
Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi Republik Indonesia yaitu pemutusan hubungan kerja karena kesalahan berat harus ada putusan dari Hakim Pidana karena tentang kesalahan berat telah diatur dalam Perjanjian Kerja Bersama yang
merupakan undang-undang bagi Kedua belah pihak.
Majelis Hakim berpendapat karena Penggugat karena telah terbukti melakukan kesalahan berat sehingga haruslah diputuskan hubungan kerjanya
dengan alasan mendesak” Jo 1603 huruf O 1o KUH-Pdt menyebutkan : “bagi
majikan dianggap sebagai alasan-alasan mendesak dalam arti Pasal lalu
perbuatan-perbuatan sifat atau tingkah laku si buruh yang demikian hingga karenanya dari pihak majikan tidak sepatutnya dapat diminta untuk meneruskan
perhubungan kerjanya yaitu : “ apabila si buruh pada waktu menutup persetujuan
28
memberikan keterangan palsu tentang tata cara bagaimana perhubungan kerja
yang lama telah berakhir ”, dengan demikian Surat
Dalam hal penggantian hak, Majelis Hakim menimbang karena dalam PKB
tidak mengatur tentang hak-hak penggugat yang di PHK karena kesalahan berat, maka didasarkan pada keadilan dan kepatutan dengan penggugat telah lama
bekerja dan sudah banyak memberikan kontribusi tenaga dalam pekerjaannya maka Majelis Hakim memutuskan untuk diberikan uang pisah kepada penggugat sebesar 2 bulan upah dan upah proses selama 3 bulan yang dihitung 5 x Rp.
1.689.800,- = Rp. 8.449.000,-
3.
Pertimbangan Hukum Majelis Hakim Tingkat Kasasi No.
656 K/Pdt.Sus-PHI/2015
Heri Purnomo melalui kuasa hukumnya untuk selanjutnya mengajukan Kasasi atas keberatannya. Dalam tingkat Kasasi, isi
keberatan-keberatan Heri Purnomo adalah:
1. Hakim telah salah menerapkan hukum karena telah memberikan
pertimbangan hukum secara tidak seksama mengenai tanggal, bulan, tahun berakhirnya hubungan kerja, sehingga membingungkan pemohon Kasasi,
sehingga memohon dilakukan pembatalan putusan.
2. Majelis Hakim salah menerapkan Hukum yang membingungkan pemohon Kasasi, yaitu dalam halaman 27 paragraf ke – 2 Majelis Hakim
berpendapat bahwa penggugat terbukti melakukan kesalahan berat
sehingga harus diputus hubungan kerjanya dengan alasan mendesak “Jo
-29
3 Majelis Hakim menggunakan dasar PHK dengan alasan karena terbukti melanggar Pasal 62 huruf f PKB.
3. Hakim telah salah menerapkan Hukum, karena dalam 64 Ayat 2 PKB PT.
Mayora Indah Tbk berbunyi:
“setiap pemutusan hubungan kerja harus mendapatkan ijin dari PHI atau
instansi yang berwenang untuk Pemutusan Hubungan Kerja, kecuali: a. Pekerja dalam masa percobaan,
b. Pekerja mengundurkan diri,
c. Pekerja meninggal dunia,
d. Pekerja telah mencapai usia pensiun.
Putusan Hakim juga melanggar ketentuan Pasal 151 Ayat (3) jo Pasal 155 Ayat (1) UU No 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan.
4. Majelis Hakim telah salah menerapkan hukum karena telah memberikan
pertimbangan hukum yang tidak seksama/cermat: mengenai Upah Penggugat, sungguh sangat membingungkan Pemohon Kasasi. Semula Penggugat.Sebagaimana tertulis di dalam dalil gugatan Penggugat nomor
1: Upah Penggugat Heri Purnomo pada bulan Juni 2014 sebesar Rp2.922.017,00 Bukti P -1 Photo Copy Slip gaji Heri Purnomo Bulan Juni
2014. Dalam Pertimbangan Hukumnya di halaman 28 Paragraf ke 2, yakni: “…Uang pisah sebesar 2 bulan upah dan upah proses selama 3 bulan (bulan April, Mei, Juni 2011 yang dihitung 5 x Rp1.689.800,00 =
Rp8.449.000,00 (delapan juta empat ratus empat puluh Sembilan ribu
30
Dalam Tingkat Kasasi Majelis Hakim memutuskan untuk mengabulkan gugatan penggugat untuk sebagian. Putusan tersebut adalah sebagai berikut:
1. Menyatakan hubugan kerja antara Penggugat dengan Tergugat putus
karena PHK;
2. MenghukumTergugat untuk membayar uang konpensasi PHK secara tunai
dan sekaligus sebesar Rp. 56.687.129,8 (lima puluh enam juta enam ratus delapan puluh tujuh ribu seratus dua puluh sembilan koma delapan rupiah);
3. Menolak gugatan Penggugat untuk selain dan selebihnya; 4. Membebankan biaya perkara kepada Negara;
Adapun yang menjadi dasar pertimbangan Hakim yang menjadi dasar lahirnya putusan tersebut adalah bahwa Pemohon Kasasi/Pengugat telah melakukan pelanggaran disiplin karena mengisi absen masuk dan juga mengisi
absen pulang pada tanggal 12 Juni 2014 padahal sebenarnya Pemohon Kasasi/Pengugat tidak hadir kerja, hal ini merupakan pelanggaran berat sebagaimana ditentukan dalam Pasal 60 Ayat (1) dan Pasal 62 Ayat (2) huruf b,
PKB PT Mayora Indah Tbk. yang dapat mengakibatkan pemutusan hubungan kerja; Bahwa berdasarkan pertimbangan tersebut Termohon Kasasi/Tergugat
dapat melakukan PHK kepada Pemohon Kasasi/Penggugat dengan kewajiban kepada Termohon Kasasi/Tergugat untuk memberikan konpensasi sebagaimana diatur dalam Pasal 161 Ayat (3) Undang Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang
31
Bahwa berdasarkan pertimbangan tersebut cukup beralasan menghukum Termohon Kasasi/Tergugat untuk membayar pesangon dengan perincian sebagai berikut:
Uang pesangon 1 x 9 x Rp2.922.017,00 = Rp26.298.153,00
Uang Penghargaan Masas Kerja 7 x Rp2.922.017,00 = Rp20.454.119,00
Uang Peneggantian Hak, dll
(15% (Rp26.298.153,00 + Rp20.454.119,00) = Rp7.012.840.8
Upah Skorsing bulan Juli 2014 Rp2.922.017,00 = Rp2.922.017,00
Total = Rp56.687.129.8
(lima puluh enam juta enam ratus delapan puluh tujuh ribu seratus dua puluh sembilan koma delapan rupiah);
Bahwa berdasarkan pertimbangan tersebut di atas, Mahkamah Agung
berpendapat, terdapat cukup alasan untuk mengabulkan permohonan Kasasi dari Pemohon Kasasi Heri Purnomo tersebut dan membatalkan Putusan Pengadilan
Hubungan Industrial pada Pengadilan Negeri Bandung Nomor 43/Pdt.Sus-PHI/2015/PN Bdg., tanggal 9 Juni 2015 selanjutnya Mahkamah Agung akan mengadili sendiri.
C.
ANALISIS
1.
Putusan Tingkat I No. 43/PDT.SUS-PHI/2015/PN.BDG
Heri Purnomo yang tidak masuk kerja namun mengatakan masuk, dan telah melakukan absen masuk dan pulang kerja, padahal tidak ada bentuk kegiatan kerja
32
dapat dilihat pada Pasal 158 Undang-Undang No. 13 tahun 2003 yang menyatakan bahwa, Pengusaha dapat memutuskan hubungan kerja terhadap pekerja/buruh dengan alasan pekerja/buruh telah melakukan kesalahan berat, yang
pada huruf b dikatakan: “memberikan keterangan palsu atau yang dipalsukan
sehingga merugikan perusahaan”. Dari pengaturan tersebut jelas apa yang
dilakukan Heri Purnomo dapat dikatakan melakukan kesalahan berat.
Dalam posisi kasus, pihak perusahaan melakukan PHK berdasarkan pelanggaran berat yang diatur dalam PKB PT. Mayora Indah Tbk Pasal 62 huruf
b, yang jika dilihat isinya sama dengan ketentuan pada Pasal 158 Undang-Undang No. 13 tahun 2003 tentang ketenagakerjaan. Hal ini tentu dapat menjadi dasar
dilakukannya PHK, karena sesuai yang diatur dalam Pasal 61 Undang-Undang No. 13 tahun 2003 yang mengatur tentang ketentuan yang dapat mengakibatkan perjajian kerja dapat berakhir, pada poin ke-4 dikatakan: “Adanya keadaan atau
kejadian tertentu yang dicantumkan dalam perjanjian kerja, peraturan perusahaan, atau perjanjian kerja bersama yang dapat menyebabkan berakhirnya hubungan kerja.” Namun perlu diperhatikan kembali pada Pasal 124 (2) Undang-Undang
No.13 tahun 2003 dikatakan bahwa “Ketentuan dalam perjanjian kerja bersama tidak boleh bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku”.
Jika bertentangan maka pada pada Ayat berikutnya (Ayat 3) dituliskan bahwa dalam hal isi perjanjian kerja bersama bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku sebagaimana dimaksud dalam Ayat (2), maka ketentuan
33
Seperti yang sudah disampaikan sebelumnya bahwa Pasal 158 Undang-Undang No. 13 tahun 2003 telah diuji oleh Mahkamah Konstitusi (MK) dalam putusan No. 012/PPU-1/2003 perihal Pengusaha yang melakukan PHK terhadap
pekerja yang melakukan kesalahan berat dianggap melanggar asas praduga tak bersalah. Kemudian berdasarkan Putusan MK tersebut, Menteri Tenaga Kerja dan
Transmigrasi (MENAKERTRANS) menertbitkan Surat Edaran MENAKERTRANS No. 13/Men/SJ-HK/I/2005, yang menyatakan bahwa jika pengusaha akan melakukan PHK dengan dasar kesalahan berat maka dapat
dilakukan setelah ada putusan pidana yang memiliki hukum tetap.
Pada putusan pertama Majelis Hakim juga menggunakan dasar bahwa Pasal
1320 Jo 1338 KUH Perdata yang menjadi dasar untuk menyatakan bahwa perjanjian yang dibuat secara sah oleh para pihak berlaku sebagai Undang-Undang dan mengikat. Jika dengan dasar Pasal tersebut maka memang dapat
dikatakan PKB PT Mayora Indah Tbk memiliki kekuatan untuk menjatuhkan hukuman PHK pada Heri Purnomo. Namun perlu diingat bahwa dengan asas Lex
Specialist Derogat Lex Generalist,maka Udang-Undang No.13 Tahun 2013
tentang ketenagakerjaan lebih memiliki kekuatan dibanding ketentuan dalam Pasal 1320 Jo 1338 KUH Perdata, karena peraturan yang dibuat khusus
mengesampingkan peraturan umum. Maka hal ini kembali membuktikan ketentuan dalam Undang-Undang No 13 Tahun 2003 pada ketentuan kesalahan berat yang digantikan dengan keputusan MK dalam kasus ini yang sebenarnya
tepat diterapkan, yaitu dengan membuktikan kesalahan Pidananya terlebih dahulu. Jika melihat dasar PHK pengusaha menggunakan PKB, maka perlu dilihat
34
bertentangan dengan Putusan MK No. 012/PPU-1/2003. Bahwa dalam PKB perusahaan berhak melakukan PHK atas kesalahan berat tanpa melakukan pembuktian kesalahan pidana dengan keputusan berkekuatan hukum tetap, namun
dalam Putusan MK menyatakan harus terlebih dahulu membuktikannya dengan keputusan Hakim Pidana. Maka sesuai dengan Pasal 124 Ayat (2 & 3)
Undang-Undang No. 13 tahun 2003, seharusnya ketentuan dalam PKB PT. Mayora Indah Tbk yang mengatur hal tersebut adalah batal demi Hukum dan perusahaan tidak dapat langsung melakukan PHK terhadap Pekerja. Bilamana ingin tetap
melakukan PHK maka Putusan MK-lah yang berlaku, yaitu pengusaha harus melalui proses pembuktian kesalahan pidana daripada pekerja dengan keputusan
pidana yang berkekuatan Hukum tetap.
PKB daripada PT. Mayora Indah Tbk yang digunakan tersebut adalah PKB periode yang berlaku untuk 2011-2013, dimana perubahan pada Pasal 158 sudah
terjadi, sehingga seharusnya PKB menyesuaikan dengan Peraturan Perundang-Undangan yang ada atau yang bersifat menggantinya. Jika ada peraturan seperti yang ada dalam PKB yang melakukan PHK tanpa terlebih dahulu membuktikan
kesalahan Pidananya, maka hal tersebut adalah suatu bentuk kesewenang-wenangan daripada pengusaha. Kembali lagi melalui dasar MK menguji Pasal 158
adalah karena adanya pelanggaran terhadap asas praduga tak bersalah jika pengusaha melakukakan PHK atas dasar kesalahan berat tanpa membuktikan kesalahan pidananya melalui keputusan Hakim Pidana yang berkekuatan Hukum
35
Besaran hak-hak dalam Putusan Tingkat I terdapat kesalahan pertimbangan oleh Majelis Hakim. Dalam penulisan nominal gaji pokok per-bulan daripada penggugat yang seharusnya benar dicantumkan pada awal penulisan duduk
perkara sebesar Rp. 2.922.017,-, namun pada pertimbangan Hakim dituliskan sebesar Rp. 1.689.800,-. Sehingga hal tersebut sudahlah salah jika dilanjut dalam
perhitungan hak-hak PHK, dan merugikan penggugat.
Majelis Hakim meberikan hak-hak dengan uang pisah. Penulis tidak setuju dengan pertimbangan keputusan Hakim. Menurut pendapat penulis sesuai yang
telah disampaikan juga bahwa Pasal 158 sudah tidak digunakan sebagai acuan lagi. Namun perlu diperhatikan berkaitan dengan tidak ada diaturnya dalam
perubahan yang baru mengenai hak-hak PHK karena kesalahan berat, maka peraturan dalam 158 Ayat (3) dan (4) dapat diterapkan hingga ada peraturan Hukum yang lebih jelas mengaturnya. Hal ini bertujuan agar tidak terjadi
kekosongan peraturan Peundang-Undangan. Hal ini berkaitan agar Putusan Hakim mengenai PHK karena kesalahan berat agar tidak ada perbedaan pertimbangan Hukum perihal hak-hak dan menimbulkan ketidakadilan antara kasus satu dengan
yang lainnya. Maka penulis berpendapat bahwa hak hak-hak PHK yang layak diterima bagi pekerja yang melakukan kesalahan berat adalah:
- Uang penggantian meliputi:
a. cuti tahunan yang belum diambil dan belum gugur;
b. biaya atau ongkos pulang untuk pekerja/buruh dan keluarganya ketempat
36
2.
Putusan Tingkat Kasasi No. 656 K/Pdt.Sus-PHI/2015
Pada Tingkat Kasasi Majelis Hakim juga menghukum Penggugat dengan PHK, dengan dasar pertimbangan yang sama yaitu telah melakukan kesalahan
berat dan melanggar ketentuan dalam PKB. Namun yang menjadi beda dengan Tingkat I adalah pada hak-hak PHK-nya. Kembali lagi seperti pada Tingkat I, penulis berpendapat bahwa Penggugat tidak seharusnya dapat di-PHK karena
peraturan dalam PKB, karena PKB bertentangan dengn peraturan perUndang-Undangan seperti yang dituliskan sebelumnya.
Mengenai hak-hak PHK pada tingkat kasasi, penulis juga tidak setuju. Pada tingkat kasasi Majelis Hakim menggunakan ketentuan dalam Pasal 161, yang dimana diatur mengenai hak-hak terhadap pekerja yang di-PHK karena melanggar
ketentuan dalam Perjanjian Kerja, Peraturan Perusahaan, ataupun Perjanjian Kerja Bersama. Penulis tidak setuju, dapat dilihat yang pertama seperti yang penulis
jelaskan, bahwa ketentuan yang diatur dalam PKB adalah bertentangan dengan peraturan perUndang-Undangan, sehingga batal demi Hukum dan dianggap tidak ada. Dapat dilihat pula adanya unsur yang tidak dipenuhi dalam Pasal 161, yaitu
adanya surat peringatan yang harusnya telah diberikan terlebih dahulu secara berurutan dari surat peringatan pertama, kedua, dan ketiga.
Dalam kasus ini pengusaha dapat menggunakan alasan mendesak seperti yang dituliskan juga dalam SE MENAKERTRANS. Pada poin ke 4 seperti yang
sudah penulis sampaikan sebelumnya bahwa dalam hal terdapat " alasan mendesak " yang mengakibatkan tidak memungkinkan hubungan kerja dilanjutkan, maka pengusaha dapat menempuh upaya penyelesaian melalui
37
Heri Purnomo jika dilihat dalam keadaan alasan mendesak yang diatur dalam KUH Perdata Pasal 1603 huruf O, maka memang yang dilakukan Heri Purnomo bisa saja masuk ke dalam alasan mendesak, yaitu pada poin ke-4 penipuan (karena
absen tapi tidak melakukan kerjaan atau masuk kerja) atau pada poin ke-11 bahwa dengan cara lain terlalu melalaikan kewajiban-kewajiban yang dibebankan
kepadanya oleh perjanjian.
Mengenai ketentuan dalam perihal alasan mendesak ini memang tidak jelas pengaturannya. Jika memang benar dapat digunakan kapan saja asal ada kriteria
tindakan pekerja yang melanggar Pasal 1603 huruf O dalam KUH Perdata, maka ini sama saja menjadi bertentangan dengan Putusan MK yang kemudian tertulis
dalam SE MENAKERTRANS, dimana seharusnya dalam kesalahan berat harus dibuktikan terlebih dahulu dengan memperoleh keputusan Hakim Pidana yang memiliki kekuatan Hukum tetap, namun dengan adanya alasan medesak dan dapat
dikondisikan pengusaha langsung mengajukan gugatan kepada Pengadilan Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial yang bersifat Perdata. Jika penulis berpendapat, maka seakan alasan medesak ini menjadi jalan pintas bagi pengusaha
untuk tetap saja melanggar asas praduga tak bersalah.
Mengenai kesalahan berat yang kemudian oleh pengusaha diatur dalam
PKB perusahaan, seperti halnya dalam kasus yang menjadi bahan penulisan penulis ini, sangatlah tidak seharusnya dapat dilakukan. Hal ini menjadi cara pengusaha untuk kembali menjadi celah dapat melanggar ketentuan yang
sebagaimana diatur dalam SE MENAKERTRANS. Kesalahan yang bersifat Pidana dan seharusnya telah dirancang dalam SE MENAKERTRANS untuk
38
proses PHK, namun seolah-olah hal tersebut dijadikan menjadi perdata saat hal tersebut dituangkan dalam perjanjian, dalam hal ini PKB, PP, ataupun PK.
3.
Identifikasi Kesalahan Berat
Dalam kasus Heri Purnomo dengan PT. Mayora Indah Tbk, unsur kesalahan berat yang dilakukan oleh Heri Purnomo adalah adanya keterangan palsu yang
dibuat oleh Heri Purnomo kepada PT. Mayora Indah Tbk terkait tidak hadir dalam jam kerja. Dalam pasal 158 Pasal 1 UU No 13 Tahun 2003 tentang
Ketenagakerjaan dituliskan jenis kesalahan yang termasuk kesalahan berat yang memiliki unsusr kesalahan Pidana, dan tindakan Heri Purnomo dalam kasus ini termasuk dalam kesalahan berat dengan unsur kesalahan Pidana.
Kesalahan berat bisa saja tidak memiliki unsur pidana. Misal diatur dalam PKB tentang suatu perbuatan yang dikategorikan kesalahan berat yang dapat
menyebabkan PHK. Hal tersebut misalnya adalah kelalaian menjaga mesin produksi yang menyebabkan jumlah produksi yang tidak sesuai dengan target produksi. Jika dilihat maka sebenarnya hal tersebut merupakan kesalahan Perdata,