• Tidak ada hasil yang ditemukan

TINJAUAN PUSTAKA

1. Perminas Pangeran (2004) dengan judul ” Analisis Pengaruh Tangibility of Asset, Profitability, Growth Opportunity, Firm Size Dan Financial Defisit

2.2. Landasan Teori

2.2.2. Pecking Order Theory

Meskipun trade-off theory telah mendominasi teori-teori struktur modal dalam waktu yang lama, namun pada kenyataannya sering dijumpai fenomena yang bertentangan dengan trade-off, yaitu banyaknya perusahaan yang mempunyai banyak profitabilitas tinggi, namun mempunyai debt ratio yang rendah (Brigham & Houston). Ada alternatif teori struktur modal lain yang banyak mendapat perhatian untuk menjelaskan fenomena tersebut, yaitu pecking order theory yang dikemukakan oleh Myers (1984). Untuk memahami teori ini, dianggap bahwa seorang manajer keuangan dihadapkan pada kenyataannya perusahan membutuhkan modal baru untuk membiayai investasinya. Debt ratio merupakan perbandingan antara total hutang dan total aktiva yang mencerminkan langsung sumber pendanaan dan pemanfaatan pendanaan atau kebijakan pembiayaan aktiva perusahaan dalam Setiawan (2006).

Pecking order theory adalah salah satu teori yang mendasari pendanaan perusahan. Myers (1989) mengemukakan argumentasi mengenai adanya kecenderungan suatu perusahaan untuk menentukan pemilihan sumber pendanaan yang berdasarkan pada pecking order theory. Baskin (1989) menemukan bahwa dari hasil pengamatan menunjukan bahwa pecking order theory yang diusulkan oleh Donaldson (1961) nampak bisa menggambarkan tentang praktek perusahaan (Wibowo dan Erkaningrum)

Pecking order theory, ada dua aturan penting yang harus dilakukan manajer perusahan dalam menentukan sumber pembiayaan perusahaan. (1) gunakan sumber

pembiayaan internal terlebih dahulu dan (2) terbitkan surat berharga yang paling aman terlebih dahulu. Dengan demikian, ketika perusahaan dihadapkan pada masalah pembiayaan, maka sebaiknya perusahaan menggunakan pembiayaan dari sumber internal terlebih dahulu, baru menggunakan utang dan terakhir menerbitkan saham baru. Pembiayaan melalui sumber internal laba ditahan mempunyai biaya modal paling rendah. Dari sudut pandang investor, hutang relatif lebih tidak beresiko dibandingkan saham. Dengan demikian, biaya modal hutang yang ditanggung perusahaan lebih rendah dibandingkan biaya modal saham yang dipandang lebih beresiko (Ross, et. Al, 2002).

Pecking order theory ini didasarkan atas empat observasi atau asumsi tentang perilaku keuangan perusahaan. Empat asumsi tersebut yaitu : (1) kebijakan deviden adalah kebijakan yang sulit, (2) perusahaan lebih menyukai pembiayaan internal dari laba ditahan dan depresiasi dibandingkan pembiayaan eksternal baik dari hutang maupun ekuitas baru, (3) jika sebuah perusahaan harus mengambil pembiayaan eksternal, sebaiknya memilih sekuritas yang lebih aman terlebih dahulu, (4) jika perusahaan diharuskan menggunakan pembiayaan eksternal, maka perusahaan seharusnya memilih surat berharga berdasarkan urutan pecking order sebagai berikut : hutang yang sangat aman (very safe debt), hutang yang berisiko (risk debt), convertible securities, saham preferen dan saham biasa (Megginson, 1997).

Myers & Majluf (1984) memberikan justifikasi teoritikal untuk pecking order theory berdasarkan asymmetrycs information. Myers & Majluf (1984) menambah

dua asumsi kunci lagi, yaitu (1) manajer perusahaan tahu lebih banyak tentang laba saat ini dan kesempatan investasi perusahaan dibandingkan dengan investor luar,dan (2) manajer dianggap bertindak sesuai dengan kepentingan terbaik bagi pemegang saham. Implikasi dari dua asumsi ini adalah perusahaan akan sulit mendapatkan sumber dana dari luar karena investor luar tidak percaya pada informasi yang diberikan manajer tentang prospek perusahaan. Jika memang perusahaan harus terpaksa mengambil dana dari sumbereksternal, maka perusahaan akan menanggung biaya yang besar. Oleh karena itu perusahaan lebih menyukai financial slack, yaitu meliputi kas yang dipegang perusahaan dan surat-surat berharga jangka pendek (Arifin, 2005).

Menurut Ross, et. al. (2002), ada 3 implikasi dari pecking order theory yaitu: 1. Tidak ada tingkat leverage yang ditargetkan oleh perusahaan. Berbeda

dengan trade-off theory, dalam pecking order theory tidak terdapat tingkat

leverage yang ditarget perusahan. Masing-masing perusahaan menentukan tingkat leveragenya berdasarkan kebutuhan finansialnya,bukan berdasarkan target yang ingin dicapai. Jika perusahaan menggunakan hutang dalam jumlah sedikit bukan berarti target leveragenya rendah melainkan karena kebutuhan dana eksternalnya rendah dikarenakan dana sumber internal yang dimiliknya besar.

2. Perusahaan dengan profitabilitas tinggi akan menggunakan hutang yang rendah. Perusahaan yang mampu menghasilkan laba yang tinggi akan kurang

membutuhkan pembiayaan dari luar. Akibatnya, perusahaan tersebut akan mempunyai tingkat hutang yang rendah. Hal ini berbeda dengan implikasi

trade-off theory, yang menyatakan bahwa semakin tinggi profitabilitas perusahaan , semakin besar kapasitasnya untuk menggunakan hutang sehingga akan cenderung memperbesar hutangnya untuk memperoleh manfaat penghematan pajak.

3. Perusahaan menyukai financial slack pecking order theory didasarkan pada asumsi sulitnya kinerja mendapatkan pembiayaan dengan harga yang masuk akal. Investor yang skeptis (curiga) berpikir bahwa harga saham over valued jika manajer menerbitkan saham baru dalam jumlah besar, sehingga hal ini akan menyebabkan harga saham turun. Karena itu, perusahaan terlebih dahulu akan menggunakan hutang. Namun demikian, perusahaan hanya dapat menggunakan pembiayaan dari uang sebelum ia menghadapi kesulitam financial. Oleh karena itu, peerusahaan menyukai financial slack yaitu kondisi dimana perusahaan mempunyai jumlah kas internal yang besar, sehingga tidak tergantung pada pembiayan eksternal.

Berdasarkan konsep dasar dari struktur modal, para manajer perusahaan membuat keputusan pada jenis dana dan tingkat yang berkaitan untuk mendorong ke arah meminimalkan dari keseluruhan biaya-biaya. Oleh karena itu, persedian dan permintaan dana mempengaruhi struktur modal, tetapi pada waktu yang sama, hal

yang berbahaya jika dihubungkan dengan arus kas perusahan yang mempengaruhi struktur modal itu.

Struktur modal yang diputuskan pada keputusan pembiayaan perusahaan, yaitu dalam penggunaan arus kas yang dimiliki perusahan untuk memenuhi kebutuhan modal pembelanjan dan modal kerja bersih.

Donaldson (1961) dan Brealey dan Myers (1984) dalam Chathoth (2002), yang menyatakan bahwa perusahaan meningkat modal mereka dari tiga sumber itu laba yang ditahan, hutang dan dengan pengeluaran modal baru. Titman dan Wessels (1988) dalam Chathoth (2002) menyatakan bahwa ”Profitabilitas sebelumnya dari

suatu perusahaan digunakan untuk laba ditahan, merupakan faktor penting

dalam penentuan struktur modal sekarang”. Oleh karena itu, perusahaan dengan

laba ditahan yang tinggi akan menggunakan sumber dana terdebut dibanding dengan hutang atau modal dari luar.

Donaldson (1961) dan Myers (1984) dalam Chathoth (2002), yang mengemukakan bahwa dana internal yang digunakan sebagai sumber yang pertama untuk membiayai proyek secara internal, terutama untuk proyek yang NPV-nya bernilai positif. Penggunaan dan secara eksternal yang dihasilkan tidak pernah dipertimbangkan pertama kali, dan didalam jenis dana eksternal yang dihasilkan, hutang lebih disukai daripada saham biasa.

Walaupun pembiayan hutang lebih disukai daripada modal dari penjualan saham, harus dicatat bahwa ini akan berdampak pada kesulitan keuangan dan

kebangkrutan, perusahaan tidak akan membiayai investasi dengan hutang. Titman dan Wessels (1988) menunjukan bahwa ”teori menyatakan bahwa pemilihan

struktur modal perusahaan tergantung pada atribut yang menentukan berbagai

manfaat dan biaya-biaya yang berhubungan dengan modal dari penjualan saham

dan hutang”.

Dokumen terkait