• Tidak ada hasil yang ditemukan

Pedoman hidup orang Jawa dalam mencari dan menemukan kebeningan hati yang didambakan seperti kisah-kisah wayang sebagai berikut :

1. Resi Wisrawa-Dewi Sukesi (Bijak Menimbang Perkara yang Baik dan Tidak Baik)65

Banyak orang menilai, memahami, dan menyimpulkan masalah tertentu hanya berlandaskan benar-salah belaka. Padahal, di samping benar-salah, terdapat juga : baik-buruk, menang-kalah, tepat-tidak tepat,

63

Istilah pastoral dalam tulisan ini dipakai dalam arti positif dan menyeluruh, yaitu : mendampingi untuk bertumbuh, dan bukan dalam arti sempit, yaitu pamerdi atau siasat gereja.

64

Dr. Andar Ismail, 163.

65

Kisah ini berawal ketika Prabu Danapati (Wisrana), putra da ri Resi Wisrawa ingin mengikuti sayembara yang dibuat Dewi Sukesi, dimana sayembara itu berisi siapa yang dapat mengubah wujud Dewi Sukesi dari raseksi (raksasa perempuan) menjadi putri, akan dijadikan suami, dan dibekteni (dihormati, disujudi) seumur hidup. Menurut penilai an Resi Wisrawa, Danapati belum memiliki kesaktian yang mumpuni (menguasai dengan baik dan sempurna) untuk nyembadani (mewujudkan dengan kemampuan diri sendiri) syarat yang diajukan Dewi Sukesi. Maka diputuskan, dirinya saja yang mengikuti sayembara atas nama sang anak. Nanti jika berhasil Dewi Sukesi akan diberikan pada Danapati. Akan tetapi, Dewi Sukesi menolak mentah-mentah karena dulu sumpahnya hanya akan mengabdi kepada orang y ang dapat mengubah dirinya jadi perempuan biasa. Dan orang itu adalah Resi Wisrawa, bukan Danapati.

43 untung-rugi, pantas-tidak pantas, jujur-tidak jujur, dan masih banyak tolok ukur lainnya.

2. Testimoni Drupadi (Berbuat dan Berkata Jujur)

Drupadi merupakan istri Yudhistira, sulung Pandawa, dimana ia belajar dari Yudhistira, suaminya, yang telah mengajarinya berbuat dan berkata jujur. Dengan kejujuran itu aku mampu menemukan dan mewujudkan kekuatan perempuan yang selama ini tidak pernah dibayangkannya.

3. Guru Drona (Menjadi Guru Teladan)

Dalam jagad pewayangan, nama Pendeta Drona, atau menurut lidah Jawa lazim disebut Dahyang Durna, sudah cukup dikenal dan terkenal. Gara-gara menjadi penasihat Kurawa dan banyak menentukan gerak langkah mereka yang dinilai salah, serakah, dan angkara murka, maka Durna benar-benar dicap sebagai tokoh jelek di mata orang Jawa. Demikian bencinya orang Jawa dengan Durna, sampai-sampai ketika terjadi peristiwa sosial yang dinilai buruk, masyarakat sering berucap : “Mesthi ana Durnane …” artinya, ada dalang semacam Durna yang menganjurkan perbuatan buruk tersebut dilakukan.

Padahal, realitasnya Resi Durna adalah satu-satunya guru besar yang diakui oleh Pandawa dan Kurawa karena telah mengajarkan berbagai ilmu jaya kawijayan (ilmu kesaktian) saat mereka muda dulu. Guru artinya adalah sosok yang digugu lan ditiru (diikuti/dipercaya dan ditiru). Dalam pandangan yang lebih modern, seperti Ki Hajar Dewantara, seorang guru haruslah bisa mewujudkan sikap : ing ngarsa sung tuladha, ing madya mangun karsa, tut wuri handayani artinya, guru dituntut pula untuk mampu menjadi pemimpin yang baik. Di depan menjadi teladan, di tengah membangun semangat, di belakang tidak tinggal diam dan selalu membangkitkan kepercayaan diri.66

4. Fenomena Semar (Tidak Pamrih)

Semar adalah pamomong Pandawa yang jempolan. Namun sesungguhnya, Semar adalah „pesakitan‟, atau narapidana. Sebagai dewa, Ismaya menjadi

66

Iman Budhi Santoso, Manusia Jawa Mencari Kebeningan Hati Menuju Tata Hidup-Tata Krama Tata Prilaku, (Yogyakarta : CV. Diandra Primamitra Media, 2013 ), 2-47.

44 Semar karena harus menebus dosa. Menjalani hukuman Sanghyang Tunggal gara-gara rebutan tua dengan Tejamaya agar dapat mewarisi kekuasaan kahyangan serta jagad Tribuwana. Dengan kata lain, Ismaya (Semar) dan Tejamaya (Togog) adalah sosok yang semula „haus kekuasaan‟, akhirnya dapat terjungkal menjadi batur (Abdi) akibat punya pamrih berlebihan, dimana Semar mengabdi pada Pandawa karena pamrih. 5. Durmuka-Drestakesti (Jujur dan Ikhlas)

Baik dalam kasunyatan hingga kisah wayang, jujur dan ikhlas benar-benar sifat yang terpuji, langka, mahal; namun sering tidak popular. Dalam kisah Mahabharata, ada empat tokoh Kurawa yang banyak sedikitnya telah menunjukkan sifat jujur dan ikhlas, yaitu Dewi Dursilawati, Yuyutsu, Durmuka, dan Drestaketi. Empat orang inilah yang lolos dari maut yang sengaja diciptakan trah Bharata di Tegal Kurusetra, sehingga empat orang ini menerima gelar karena keempat orang ini memiliki „kesaktian‟ melebihi saudara-saudaranya yang lain.

6. Tragedi Kumbakarna (Memiliki Hati yang Baik)

Kumbakarana adalah adinda dari Prabu Rahwana, meskipun berwujud raksasa, namun hatinya baik, dan tidak menyetujui polah-tingkah sang kakak yang ugal-ugalan sampai mencuri istri orang.

7. Sukasrana-Kalabendana (Cinta yang Tulus)

Sukasrana adalah seorang raksasa bungkik yang adik dari Sumantri seorang ksatria. Sebagai wujud cintanya yang tulus kepada Sumantri, kakaknya, Sukasrana telah berjasa besar memindahkan taman Sriwedari ke keraton Maespati sehingga Sumantri berhasil sinengkakake ngaluhur (dinobatkan) jadi patih oleh Prabu Arjunawijaya.

Sedangkan Ditya Kalabendana adalah seorang raksasa kerdil, wajahnya tenang, jujur, dan bicaranya agak celat (gagu), paman dari Gatotkaca. Paman Ditya Kalabendana sangat mencintai Gatotkaca, keponakannya sehingga mau membantu Gatotkaca menjaga ksatrian Plangkawati sekalian menemani Dewi Siti Sendari.

8. Sugriwa-Subali (Jangan Khawatir)

45 (pegangan, pedoman) bagai siapa pun yang fungsi perannya sering disebut dengan ungkapan satiris sebagai „ban serep‟. Persoalannya, mereka yang kebetulan berada pada posisi ini seringkali sesambat, mengeluh dalam hati : “Kaningaya temen. Urip sepisan mung dadi ban serep, dadi tambel butuh. P aribasan menang melu surak, kalah melu kepidak(sia-sia benar. Hidup sekali hanya menjadi cadangan, untuk menambal kebutuhan. Ibarat menang ikut bersorak, kalah ikut terinjak)”.

Posisi serep belum tentu lebih asor (kalah) dibandingkan mereka yang dipercaya sebagai garu laku, pinitaya dadi cucuk lampah (alat pembajak sawah, dipercaya jadi pemimpin perjalanan) atau pun jadi manggala yuda (senapati perang). Sebab, masing-massing memiliki fungsi peran berbeda. Jika disanepakan dalam proses mengasah benda tajam, yang pertama ibarat wungkal kasar (batu asah kasar), yang kedua adalah wungkal alus (batu asah halus). Yang pertama untuk mbladhah gaman (menghilangkan bekas kikiran dan menghaluskan benda tajam), yang kedua untuk menghaluskan serta menajamkan. Semuanya perlu, sehingga orang yang diposisikan seperti itu tidak harus merasa lebih rendah dan merasa katiyasan nya (kesaktian atau kemampuannya) kalah disbanding yang difungsikan sejak awal.

Contoh nyata bahwa orang yang menjadi serep dapat lebih sukses dalam menyelesaikan kisah kehidupan, tampak pada kasus Subali dan Sugriwa. Sejak kecil, Subali memang punya kelebihan dalam segala hal dibanding adiknya.

Tanpa tedheng aling-aling (ditutup-tutupi lagi), awalnya yang jadi peran utama adalah Subali. Karena dialah yang lebih sakti, sementara Sugriwa nyaris hanya jadi ndherek wonten wingking (ikut serta tetapi posisinya di belakang/bukan menjadi inti, tetapi semacam pelengkap). Alias, jadi ban serep atau pelengkap, atau sekadar rewang-kadang (membantu saudara).

Namun, apa yang terpampang dalam kasunyatan selanjutnya ternyata meleset dari impian Subali. Gara-gara salah tafsir terhadap apa yang dipesankan kakaknya perihal darah merah dan darah putih yang mengalir

46 dari gua, justru sang adiklah yang memperoleh anugerah dewata. Sungguh di luar dugaan memang, karena Sugriwa yang fungsi perannya dalam kasus Gua Kiskenda hanya jadi ban serep, ternyata malah berhasil menyunting Dewi Tara dan sinengkakake ngaluhur (derajatnya dinaikkan) oleh dewata serta mukti wibawa (hidup senang) jadi raja Gua Kiskenda.

Karena itulah, kita tidak perlu was-was. Siapa pun, kapan pun, dapat saja berfungsi sebagai orang pertama, atau orang kedua. Namun, karena jasa pemain cadangan, atau ban serep, atau bibit sulaman itulah seringkali gancaring lelakon (lancarnya suatu proses kejadian) dapat sukses terwujud hingga tancep kayon (akhir pertunjukkan wayang kulit di pagi hari yang ditandai dengan kayong/gunungan ditancapkan oleh dalang di tengah- tengah kelir) nanti.

9. Anggada Duta hingga Pandawa Dadu (Mempunyai Pendirian Teguh) Ungkapan ela-elu, katut-keplurut, kegandheng-kegeret, kegendeng- keceneng67, menggambarkan perbuatan seseorang atau banyak orang yang posisinya mirip gerbong kereta api. Dalam wujud yang lebih hidup, sikap perbuatannya dapat juga disamakan dengan rombongan itik atau kambing yang tengah digembalakan. Artinya, apa yang diperbuat bukannya murni atas pendapat pribadi yang kokoh teruji, melainkan hanya karena ditarik atau tertarik sikap pendapat orang lain yang dianggap benar.

Di Jawa, sikap perbuatan ela-elu dianggap buruk dan banyak dicela oleh masyarakat sekelilingnya. Karena ela-elu dapat dijabarkan melu- melu, ikutan, mrana melu mrana -mrene melu mrene (ke sana ikut ke sana, ke sini ikut ke sini). Sekali waktu ikut si A dan menolak si B, namun lain waktu justru berbelok ikut si B dan menyalahkan si A. Keadaan tersebut, mungkin karena dia tidak memiliki „daya tawar‟ yang cukup untuk menolak ajakan si A, sehingga terpaksa mengikutinya. Tetapi, bisa juga lantaran si B memberikan iming-iming yang menggiurkan. Dan ketika apa yang didambakan pada si A tidak tercapai, segera saja dia putar haluan mengikuti ajakan lain yang dirasa lebih menguntungkan. Inilah sikap yang

67

Ikut ketarik ke sana – ke mari. Gambaran orang yang tidak mempunyai pendirian kokoh sehingga mudah terpengaruh oleh sikap pendapat orang lain.

47 dimiliki oleh Anggada Duta68 dan Pandawa Dadu69.

10.Gandarwa70 Hutan Kamiyaka (Berpegang pada Prinsip)

Konon, dalam kisah wayang, Amartapura dulunya adalah hutan Kamiyaka yang juga gudang memedi. Namun, Pandawa berhasil menaklukkan para jin penunggunya dan mengubah hutan seram itu menjadi negeri yang gemah ripah tata tentrem kertaraharja (makmur, tertata, tenteram, aman, selamat dan sejahtera). Maka, jika para memedi berhasil melakukan inkarnasi ke dalam dunia kebudayaan modern, apakah kita harus mengalah dan kalah oleh mereka? Sebab, seperti nasihat para sesepuh, mengalahkan memedi itu sebenarnya mudah. Bekal utamanya adalah „tatag-teteg-teguh-tanggon‟ (watak atau sifat yang kuat selalu berpegang pada prinsip). Artinya, melawan memedi harus dengan cara memedi, bukan dengan cara manusia biasa (melawan kejahatan harus dengan cara mengenali kejahatan itu sendiri).

11.Sapa Sira Sapa Ingsung (Menciptakan Kerukunan dan Menghargai Orang Lain)

Hampir semua wulang-wuruk mengenai tata hidup, tata laku, dan tata karma di Jawa bertujuan untuk mewujudkan ketenteraman hidup lahir batin, dunia akhirat. Sedangkan salah satu upaya mewujudkan ketenteraman tersebut adalah dengan menciptakan kerukunan. Di mana inti dari kerukunan dalam filosofi Jawa adalah ngajeni liyan (menghormati orang lain). Menghargai dan menghormati orang lain dengan cara

68

Ketika Anggada diutus Sri Rama mengukur kekuatan Alengkadiraja, dia ketemu Rahwana. Dalam pertemuan tersebut Rahwana menghasut Anggada dengan memberitahu bahwa yang membunuh ayahnya, Resi Subali adalah Sri Rama karena bel um pernah mendengar sama sekali kisah tadi, Anggada terkejut dan langsung naik pitam. Ia kembali ke pesanggrahan, dan mengamuk mau membunuh Sri Rama. Untunglah Anoman da pat menaklukkan dan menyadarkan saudara sepupunya itu. Setelah insyaf, Anggada kembali ke Alengka untuk menebus kesalahannya. Dari perjalanannya yang kedua ia berhasil mencuri mahkota Rahwana dipersembahkan kepada Sri Rama. Dalam kisah ini, ela-elu-nya Anggada berakhir dengan positif. Ia berhasil mengubah ela-elu yang dilakukan dengan sikap pil ihan yang tepat sebagai seorang prajurit.

69

Dalam Pandawa Dadu, nasib Bima, Arjuna, Nakula, Sadewa, d an Drupadi juga jadi ikut buram karena kegandheng-kegeret atau kegendeng-keceneng sikap Yudhistira, sang kakak, yang nekat melayani Kurawa bermain dadu. Meskipun kalah, demi etos ksa tria yang dibelanya, Yudhistira tidak mau berhenti sampai lincin tandas modal dan kehormatannya, hingga tega menjadikan istrinya, Drupadi, sebagai taruhan di meja judi. Akibat kekalahan tadi, mereka menerima hukuman pembuangan selama tiga belas tahun.

70

48 meletakkan nilai atau derajat orang lain lebih tinggi daripada diri sendiri. Maka, seluruh tatanan hidup di Jawa selalu mengandung dua aspek tersebut : rukun dan ngajeni liyan. Dan percaya tidak percaya, semangat hidup orang Jawa yang masih ngenggoni Jawane (menempatkan diri pada adat tradisi budaya Jawa) adalah menciptakan patembayatan (persaudaraan), bukan menumbuhkembangkan sikap perilaku : sapa sira- sapa ingsun; siapa kamu, siapa aku.

Apabila dicermati, ungkapan sapa sira-sapa ingsun setara dengan vonis yang menyatakan : status atau nilai kamu lebih rendah dari diriku, sedangkan aku lebih tinggi segala-galanya daripada kamu. Dari bahasa saja sudah tampak, bagaimana orang lain dipanggil sira (kamu) dalam posisi rendah, dan aku disebut sun (ingsun) yang berarti lebih tinggi sehingga ungkapan ini sering digunakan raja ketika menyebut dirinya. Apabila yang bersangkutan masih menghargai orang yang dituju tentu kesetaraan derajatnya tetap dijaga. Dengan demikian, dia akan menggunakan penyebutan aku dan sira, atau ingsun dan panjenengan (kamu dalam bahasa karma inggil/bahasa halus di Jawa).

Maka, tidak mengherankan jika unen-unen ini sering dipakai dalam dialog pewayangan sebagai awal mula terjadinya perang (konflik), di mana orang lain sudah dianggap buruk, salah, menjadi musuh, dan harus diletakkan di bawah. Mengenai kerukunan dan rasa hormat, orang Jawa sering mengaca pada kisah Pandawa-Kurawa dalam Mahabharata.71

Ketika terjadi pertikaian atau konflik, akal pikiran waras selalu tidak digunakan lagi. Padahal, yang merasa benar belum tentu pilihannya tepat, yang salah belum tentu kalah, yang baik bisa saja mengalami jungkir balik. Dan manakala semua itu terjadi, nasihat di Jawa sudah menyatakan : bener during mesthi pener, salah during mesthi kalah, becik bisa kuwalik. Ketika terjadi congkrah (permusuhan), orang Jawa diharapkan untuk ingat pada unen-unen : rukun agawe santosa crah agawe bubrah (rukun membuat

71

Meskipun bersaudara karena sama -sama trah Bharata, namun anak-turun Pandu dan Destarata ini tidak pernah rukun. Senantiasa crah, congkrah (percekcokan, permusuhan), dan tidak saling menghormati secara akut. Puncaknya, Kurawa cures (mati semua/tidak ada yang hidup) dan Pandawa sukses menobatkan Parikesit menjadi raja Hastina. Namun, setelah Bharatayuda pun kebesaran Pandawa juga musnah, dan akhirnya muks a : mati satu demi satu.

49 sentosa, bertengkar membuat rusak semuanya), Terlebih ketika pada relung hatinya yang paling dalam masih tersisa nilai-nilai tepa salira, lembah manah, momor momot nggendhong nyunggi (tenggang rasa, bersikap merendah/tidak tinggi hati, bercampur-lebur menyatu menggendong-menyunggi), agaknya sikap perilaku menghargai dan menghormati orang lain juga akan bertunas kembali kelak kemudian hari.

2.2.6 KEPEMIMPINAN JAWA

Dokumen terkait