• Tidak ada hasil yang ditemukan

Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Kriteria Pendeta Ideal Menurut Jemaat GKJ Argomulyo Salatiga dan Jemaat GKJ Yeremia Depok T2 752014033 BAB II

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Kriteria Pendeta Ideal Menurut Jemaat GKJ Argomulyo Salatiga dan Jemaat GKJ Yeremia Depok T2 752014033 BAB II"

Copied!
50
0
0

Teks penuh

(1)

13

BAB II

PENDETA GKJ (GEREJA KRISTEN JAWA)

2.1

PENDETA

2.1.1 SIAPA ITU PENDETA?

Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, pendeta adalah : (1) orang pandai; (2) pertapa (dalam cerita-cerita lama); (3) pemuka atau pemimpin agama atau jemaah (dalam agama Hindu atau Protestan), rohaniawan, guru agama.1 Oleh sebab itu, pendeta-pendeta gereja adalah orang-orang yang kepada mereka, Allah telah menempatkan kewenangan dalam gereja.2

Hal itu disebabkan karena pendeta merupakan seorang hamba Tuhan dan pengikut Kristus.3 Selain itu juga, pendeta merupakan seorang pemimpin jemaat, pelayan firman sekaligus juga penilik. Ia merupakan pekerja yang diupah namun juga “pekerja mandiri”. Sebagai pelayan Firman yang terpanggil dan sudah terdidik secara teologis, pendeta melakukan banyak tugas yang diketahui sebagai fungsi-fungsi pastoral.4

Itulah sebabnya, pendeta disebut sebagai tokoh spiritual yang matang imannya dan sempurna perilakunya sehingga dalam kehidupan sehari-hari tidak banyak menghadapi masalah seperti yang dihadapi oleh warga jemaat, sehingga pendeta menjadi teladan dan panutan, dimana ia dtempatkan untuk selalu rela menderita. Sebab itu ia tidak boleh mengeluh atau memasang tuntutan menyangkut kesejahteraan dirinya. Ia harus menerima apa adanya.5

Dari pengertian-pengertian di atas, penulis ingin mendefinisikan pendeta adalah seseorang yang telah menerima jabatan dari suatu lembaga gereja

1

Pusat Bahasa.

2

Wollebius, Johannes, Compendium Theologiae Christianae, dalam Reformed Dogamtics, Edited and translated by John W. Beardslee III, 26-262, (Grand Rapids : Baker House, 1977), 471.

3

Pdt. G. D. Dahlenburg, Siapakah Pendeta Itu?, (Jakarta : PT. BPK Gunung Mulia, 2002), 25.

4

Edgar Walz, Bagaimana Mengelola Gereja Anda, (Jakarta : PT. BPK Gunung Mulia, 2006), 7.

5

(2)

14 dengan cara ditahbiskan setelah melewati masa vikariat pada gereja tertentu untuk melaksanakan fungsi-fungsi tertentu yang sesuai dengan kebutuhan gereja.

2.1.2 PENDETA DALAM JABATAN GEREJA

Jabatan kependetaan telah ditetapkan oleh Allah untuk menjalankan pekerjaan Kristus sendiri. Jabatan kependetaan itu boleh menempati beberapa bentuk atau struktur, misalnya, bishop, praeses, pastor, pendeta, imam, tetapi tugas dan kuasa tetap sesama, yaitu memberitakan Firman Allah, menggembalakan kawanan domba Allah dan melayankan Sakramen sesuai dengan pesan Kristus. Gereja dapat menetapkan bentuk pelayanan yang lain untuk mendukung pelayanan Firman tersebut. Tetapi pelayanan-pelayanan yang lain itu hanyalah jabatan gerejawi yang ditetapkan oleh gereja menurut keadaan dan kebutuhan setempat, sedangkan jabatan pelayanan Firman dan Sakramen (jabatan kependetaan) telah ditetapkan oleh Kristus.6

Oleh sebab itu, ada beberapa peranan pendeta di dalam gereja, sebagai berikut : (a) Seorang pendeta adalah pengajar umum di jemaat; (b) Seorang pendeta juga sebagai pengajar khusus; (c) Seorang pendeta dalam pelayanan pendidikan agama Kristen di jemaat melibatkan dia dalam kerjasama dengan majelis jemaat agar dilaksanakanlah kesempatan belajar untuk warga dari semua golongan umur; (d) Peranan pedagogis seorang pendeta dipenuhi dengan jalan mengklaim identitasnya sebagai seorang pelajar seumur hidup; (e) Peranan pendeta sebagai seorang pembayang atau penglihat masa depan.7

2.1.3 KARAKTERISTIK PENDETA a. Mempunyai Visi dan Misi

Pendeta biasa disebut sebagai pemimpin8 Kristen. J. Robert Clinton memberikan definisi berikut, “Seorang pemimpin Kristen adalah seorang

6

Pdt. G. D. Dahlenburg, op.cit., 17.

7

Prof. Dr. Robert R. Boehlke, Pendeta dan Peranan Pedagogisnya, dalam buku Tabah Melangkah (Ulang Tahun ke-50 STT Jakarta), (Jakarta : Sekolah Tinggi Theologia Jakarta, 1984), 146-155.

8

(3)

15 yang mendapat kapasitas dan tanggung jawab dari Allah untuk memberi pengaruh kepada kelompok umat Allah tertentu untuk menjalankan kehendak Allah bagi kelompok tersebut”.9

Definisi ini menaruh perhatian pada inisiatif Allah dalam panggilan kepemimpinan, sesuatu yang sangat ditekankan oleh Kitab Suci. Para pemimpin di Gereja harus 'mencerminkan kehambaan Tuhan Yesus‟ untuk mewakili otoritas yang sah di gereja.10

(That leaders in the church must „reflect the servanthood of the Lord Jesus‟ in

order to represent a legitimate authority in the church).

Jika suatu gereja ingin mengalami pertumbuhan dan pengembangan,

maka harus didasarkan dengan pola kepemimpinan alkitabiah; kesadaran

yang lebih besar dari karunia rohani dari semua orang percaya;

ketergantungan individu pada pendeta sebagai spiritual utama pemimpin di

gereja.11

(Several factors contributed to this development: a renewed sensitivity to the biblical pattern of multiple leadership; greater awareness of the spiritual giftedness of all believers; caution about reliance upon individual pastors as the primary spiritual leaders in the church.

Oleh sebab itu seorang Pendeta harus memiliki karakteristik sebagai seorang pemimpin. Pemimpin (leader) berbeda dengan manager. Sebuah organisasi tidak bisa maju jika dipimpin dengan gaya manager. Sebaliknya, organisasi tidak bisa sukses jika dipimpin dengan gaya pemimpin (leader) karena tidak ada yang mengelola sistem organisasi.

J. Robert Clinton, Leadership Emergence Theory, Pasadena, Calif. : Barnabas.

10

http://search.ebscohost.com/login.aspx?direct=true&db=a9h&AN=108334754&lang=id&site=e host-live, download tanggal 9 Oktober 2015, Heidebrecht, Doug, Preacher, Teacher, Pastor, and Elder as Authorities in the Church: McClendon's Portrayal of God's Autho rity and Canadian Conference Board of Reference and Counsel, December 1, 1988), Vol. 3, Fld. 8, CMBS, Winnipeg;

a d Joh E. Toe s, A ‘espo se to Her Neufeld Paper o Eldership paper prese ted to the

(4)
(5)

17 salah.12

Karakteristik pemimpin paling penting yang membedakannya dengan non pemimpin adalah kejelasan tujuan/visi. Visi adalah sikap mental seorang pemimpin yang melihat bagaimana organisasi di masa mendatang. Hasil dari visi adalah penetapan sasaran dan pengembangan strategi.13

Sedangkan misi muncul dari hati Allah itu sendiri, dan dikomunikasikan dari hati-Nya kepada hati kita.14 Hal ini dimaksudkan bahwa Allah sendiri yang mempunyai sebuah misi. Allah mempunyai sebuah maksud dan sasaran bagi seluruh ciptaan-Nya. Semua misi kita mengalir dari misi Allah yang ada sebelumnya.15 Ada banyak karakteristik lain, namun visi adalah prasyarat utama yang harus ada. Seseorang bisa saja memiliki 50 karakteristik kepemimpinan. Namun, tanpa visi, ia tetap tidak dapat disebut sebagai seorang pemimpin. Oleh sebab itu, seorang pemimpin haruslah pertama kali mengembangkan semangat dan mental yang positif untuk mencapai harapan yang dikehendaki. Mental positif ini yang disebut visi, mungkin mirip mimpi yang kadang juga disebut sebagai tujuan atau misi.16 Celakanya banyak orang yang mengaku sebagai pemimpin namun tidak memiliki arah yang jelas.17

b. Memiliki Keteladanan yang Dapat Dipercaya

Keteladanan adalah salah satu yang menentukan keberhasilan pelayan. Pelayan yang baik akan didengar dan diikuti warga Gereja. Pelayan selalu dianggap panutan. Dalam keteladanan pendeta, jemaat memiliki tokoh untuk mengidentifikasi diri dan akan memperkuat keterikatan warga jemaat pada gerejanya. Seorang hamba tidak pernah memikirkan hal-hal lain yang muluk. Seorang hamba selalu memikirkan pekerjaannya; bagaimana semua dikerjakan dengan tepat. Yesus adalah model pelayanan

12

Djamaludin Ancok, Psikologi Kepemimpinan dan Inovasi, (Jakarta : Erlangga, 2012), 122-126.

13

Alan E. Nelson, Spirituality & Leadership, (Bandung : Yayasan Kalam Hidup, 2002), 214-215.

14

John Stott, The Contemporary Christian : An Urgent Plea for Double Listening, (Leicester : IVP, 1992), 335.

15

Christopher J. H. Wright, ed. Jonathan Lunde, Misi Umat Allah, (Jakarta : Literatur Perkantas, 2010), 26-27.

16

Jony Oktavian Haryanto, Kepemimpinan yang Melayani (Tinjauan Teoritis dan Contoh Penerapan), (Salatiga : Fakultas Ekonomi Universitas Kristen Satya Wacana, 2004), 9.

17

(6)

18 yang bersedia taat sampai mati dan oleh karena itu Ia ditinggikan di atas segala nama.

Pendeta/pelayan mesti terus-menerus mengembangkan pelayanannya atau melakukan tugasnya dengan sebaik-baiknya. Apabila ia mengabaikan tugas sebagai hamba yang patut diteladani, orang akan mengabaikan dia atau yang sangat mungkin, orang lain tampil sebagai pelayan menggeser peranannya. Oleh karena itu, pendeta/pelayan diharapkan menjaga dirinya agar tetap dapat diandalkan oleh umat.18

c. Membangun Persahabatan

Seringkali seorang pendeta menuntun kita untuk menceritakan kabar baik pada setiap orang setiap saat, terlepas apakah kita mengenal orang tersebut dengan baik atau tidak dan apakah percakapan rohani yang terjalin cocok atau tidak. Kita harus membangun persahabatan, berbicara pada orang asing, mempelajari Alkitab dengan orang yang belum percaya, membagi berita Injil, mengundang mereka menerima Yesus melakukan upaya tindak lanjut. Bagaimana jika kita melihat diri kita sebagai kolaborator daripada sebagai aktifis; mencari petunjuk dimanakah Allah telah bekerja, mengharapkan Allah untuk mendorong kita selalu berada dalam sikap doa kapanpun ketika kita sedang bersama dengan orang-orang lain di luar kekristenan? Penginjilan dapat menjadi petualangan untuk menemukan sesuatu daripada sebuah beban.19

d. Membangun kekeluargaan

Seorang pendeta ketika sedang mengkabarkan Injil, biasanya bermodel salesman mengarahkan kita untuk berpikir sebagai salesman-salesman yang secara individual berkeliling dari rumah ke rumah dari dari orang ke orang. Hal yang lebih penting daripada setiap kita melakukan hal yang sama dalam bersaksi kepada orang lain adalah masing-masing kita melakukan bagian kita yang unik dalam komunitas. Menjadi bagian yang unik dalam komunitas, berarti kita menganggap komunitas itu sebagai bagian keluarga kita sendiri.

18

Ibid, 145.

19

(7)

19 e. Mau Berkunjung

Seorang pendeta biasanya berfokus pada agenda dan menyampaikan semua materi yang dimiliki dan memperoleh suatu kesepakatan. Seringkali dengan mudahnya kita mengasumsikan bahwa jika kita belum membagikan seluruh materi dan menantang orang untuk berkomitmen, maka kita belum menginjili. Namun, dengan percakapan rohani dengan teman memperindah persahabatan itu sendiri dan memberi kesukaan dalam tiap percakapan spiritual. Jadi, kita mempelajari seni persahabatan spiritual dan percakapan yang alami. Percakapan spiritual akan terwujud jika seorang pendeta mau berkunjung.

f. Menjadi Teladan

Seorang pendeta biasanya memusatkan perhatian pada kebenaran-kebenaran atau keyakinan tertentu yang hendak dikomunikasikan. Orang-orang pada masa kini lebih memperhatikan kenyataan bersifat pengalaman dengan Allah daripada dogma-dogma ataupun keyakinan-keyakinan. g. Mengalami Perjumpaan Secara Pribadi dengan Tuhan

Biasanya seorang pendeta menempatkan Yesus dalam sebuah kotak dan berbicara tentang Yesus dalam cara yang sangat tidak menarik, dimana mengulas topik tentang Yesus dan keuntungan memperoleh-Nya setiap kali memungkinkan. Sehingga penerimaan kabar dari pendekatan salesman ini tidak tahu kapan Yesus akan muncul. Mungkin saja setiap saat, namun mereka selalu seakan-akan tahu seperti apa Yesus. Ia baik, menyelamatkanmu, mencukupkanmu, dan menjadi sumber jawaban atas segala pertanyaan. Akan tetapi, model yang baik adalah membahas Yesus secara alami dan dengan cara yang tidak klise. Yesus mengejutkan orang bukan karena kemunculannya yang tiba-tiba, namun dengan menjadi berbeda dari apa yang diharapkan orang atas kemunculannya.20

h. Menjadi Saksi Kristus

Kebanyakan pendeta yang menekankan bagaimana kita diampuni dari dosa-dosa kita dan menuju ke surga setelah kita meninggal. Namun

20

(8)

20 sebenarnya, bukan itu yang menjadi fokus Yesus, walaupun itu adalah bagian dari pesannya. Pesan Yesus yang terutama adalah kerajaan dan pemerintahan Allah sedang terjadi. Pemerintahan Allah adalah aksi Allah untuk mengatur segala sesuatu menjadi benar dan membuat orang serta dunia bekerja sebagaimana mereka dimaksudkan untuk bekerja.

i. Mengajak jemaat mengalami perjumpaan dengan Tuhan melalui ziarah hidupnya

Kebanyakan pendeta menggunakan model lama dimana berbicara tentang perubahan keyakinan telah memaksa kita untuk menarik garis dalam rangka mengetahui siapa yang di dalam dan siapa yang di luar; dan kita mencari sebuah peristiwa, sebuah keputusan, yang membedakan orang-orang yang berada di luar dengan orang-orang yang berada di dalam. Sedangkan model yang baru, sebuah model yang berdasarkan citra sebuah perjalanan, memeriksa kita semua sebagaimana kita sedang bergerak entah menuju tujuan ataukah justru menjauhi tujuan tersebut.

2.1.4 TIPE KEPEMIMPINAN PENDETA

Yang dimaksud dengan tipe kepemimpinan pendeta di sini, yakni gaya atau corak tindakan memimpin yang ditempuh oleh pendeta dalam menjalankan tugas pelayanannya di jemaat. Tipe kepemimpinan yang dipakai dalam penelitian didasarkan atas pembagian tipe kepemimpinan, yang terdiri dari enam tipe kepemimpinan sebagai berikut :

a. Tipe kepemimpinan otokratis (autocratic leadership)

Tipe kepemimpinan ini dimana setiap langkah aktivitas dan teknis diperintahkan oleh pemimpin satu persatu. Pemimpin biasanya mendiktekan tugas dan kerja lainnya untuk setiap anggota, semua aktifitas bawahan harus dengan petunjuk pemimpin.21 Di sini pemimpin digambarkan sebagai seorang ahli yang acuh tak acuh, dimana pemimpin bertindak berdasarkan pada kekuasaan mutlak dalam memimpin tingkah laku anggota kelompok mengarah ke tujuan yang ditetapkan oleh si

21

(9)

21 pemimpin. Segala keputusan berada di tangan satu orang, yakni si pemimpin sekaligus menganggap diri lebih mengetahui daripada yang lain dalam kelompok.22

b. Tipe kepemimpinan paternalistis (paternalistic leadership)

Tipe kepemimpinan ini yang memberikan pemeliharaan kepada kita, jika kita mau menerima saja kontrol yang ramah. Pemimpin paternal akan menggunakan kemampuan-kemampuan tersebut bagi kelompok, namun hanya bila sesuai dengan gagasan pemimpin tentang apa yang yang terbaik, dan hanya sejauh kelompok mengakui dan menerima ketidakberdayaan sendiri. Dalam tipe kepemimpinan seperti ini tidak ada kebersamaan.23

c. Tipe kepemimpinan kharismatik (charismatic leadership)

Kepemimpinan ini berdasarkan pada ketaatan (kepercayaan) pada anugerah ilahi (devine power) sebagai suatu kekuatan secara luar biasa yang hanya dimiliki oleh si pemimpin di luar kemampuan orang-orang biasa.24 Pemimpin diyakini memiliki kekuatan mistis, sehingga mampu untuk menguasai massa dan kekuatan untuk membuat massa taat dan memperhatikannya secara membuta. Max Weber menggunakan istilah “kharisma” untuk menjelaskan perkembangan kekuasaan di sekitar kepribadian yang bersifat kepahlawanan. Jadi para pengikut menganggap pemimpinnya sebagai pembawa misi khusus dengan dibekali kemampuan dan identitas yang hampir menyerupai Tuhan.25

Tipe kepemimpinan ini dilaksanakan dalam hubungan dengan rakyat, dimana memilik empat ciri, yaitu : (1) pemimpin diakui memiliki kualitas istimewa, kadang-kadang dianggap superhuman; (2) pengikut secara tidak kritis menerima pendapat pemimpin sebagai kebenaran; (3) pengikut memberi ketaatan mutlak kepada pemimpin; (4) pengikut memperlihatkan

22

Albert A. Branos, Ph. D., Psychology, The Science of Behavior, (Boston, Atlanta, Rockleigh NY, Dallas, Chicago, Belmont Calif. Allyn and Bacon, Inc., 1965), 317.

23

Michael A. Cowan, Kepemimpinan Dalam Jemaah, (Yogyakarta : Kanisius, 1994), 53.

24

William Albig, Modern Public Opinion, (New York, Toroato, London, McCraw-Hill Book Company, Inc., 1956), 120.

25

(10)

22 komitmen emosional terhadap pemimpin dan misinya.26

d. Tipe kepemimpinan demokratis (democratic leadership)

Dalam tipe kepemimpinan ini, sang pemimpin bertindak sebagai seorang anggota kelompok dalam menetapkan tujuan, memilih cara melakukan, dan membagi-bagi tugas kepada para pegawai. Bersama-sama anggota kelompok pemimpin bertanggung jawab untuk mencapai sukses organisasi. Di dalam corak kepemimpinan ini, semua anggota dalam kelompok boleh turut berperanserta waktu mengambil keputusan penting.27

e. Tipe kepemimpinan bebas (laisses faire leadership)

Tipe kepemimpinan ini menyatakan peranan seorang pemimpin berkisar pada pandangannya bahwa pada umumnya organisasi akan berjalan lancar dengan sendirinya karena para anggota organisasi terdiri dari orang-orang yang sudah dewasa yang mengetahui apa yang menjadi tujuan organisasi, sasaran-sasaran apa yang ingin dicapai, tugas apa yang harus ditunaikan oleh masing-maing anggota dan seorang pimpinan tidak perlu terlalu sering melakukan intervensi dalam kehidupan organisasional.28

f. Tipe kepemimpinan ideologis – Pemimpin eksemplaris

Pemimpin jenis ini barangkali tidak ahli dalam menyusun rencana kerja dan pelaksanaannya. Pemimpin tipe ini penuh dengan gagasan-gagasan yang baik, kaya dengan visi yang tinggi, dan mampu merumuskan semua gagasan serta visi itu secara tepat.29

g. Tipe kepemimpinan kreatif dan eksekutif

Tipe kepemimpinan kreatif digunakan untuk menangani keadaan-keadaan baru yang tidak dikenal, sehingga pemimpin seperti ini dapat melihat masalah dengan perspektif baru, yang dipersiapkan untuk melakukan eksperimen dan mengambil resiko. Sedangkan tipe kepemimpinan eksekutif digunakan untuk mengambil keputusan-keputusan

26

Pdt. Dr. Ayub Ranoh, Kepemimpinan Kharismatis Tinjauan Teologis-Etis atas Kepemimpinan Kharismatis Sukarno, (Jakarta : PT. BPK Gunung Mulia, 2011), 72-73.

27

Emil H. Tambunan, M.A., Kunci Menuju Sukses dalam Managemen dan Kepemimpinan, (Bandung : Indonesia Publishing House, 1991 ), 67.

28

Prof. Dr. Sondang P. Siagian, M. P. A., Teori dan Praktek Kepemimpinan, (Jakarta : Rineka Cipta, 2010), 38.

29

(11)

23 yang prinsipil. Keahliannya terletak pada kemampuan untuk melihat gambaran yang besar-kemampuan membedakan elemen-elemen krusial dan mengevaluasi semua pilihan yang ada.30

Pemimpin yang bertipe kreatif dan eksekutif akan mengandalkan individu-individu dengan keahlian manajerial yang berorientasi pada tugas. Para pemimpin berorientasi pada tugas perlu dibantu oleh para pemimpin dengan keterampilan interpersonal, yang akan berperan sebagai tim pembangun (team builder), mengonsolidasi, menyelesaikan konflik, dan memulihkan moral kelompok. Individu yang demikian akan memberi semangat dan ketenteraman sehingga setiap orang merasa dihargai.31

h. Tipe kepemimpinan simbol

Tipe kepemimpinan ini menempatkan seseorang pemimpin sekedar sebagai lambing atau symbol, tanpa menjalankan kegiatan kepemimpinan yang sebenarnya. Pemimpin ini pada dasarnya tidak menjalankan fungsi kepemimpinan, namun kedudukannya itu tidak dapat dan tidak boleh digantikan orang lain.32

i. Tipe kepemimpinan Pengayom (Headmanship)

Tipe kepemimpinan ini menempatkan seseorang sebagai kepala. Pemimpin tipe ini memiliki kesediaan dan kesungguhan dalam mengayomi anggotanya, dengan berbuat segala sesuatu yang layak dan diperlukan organisasinya. Kepemimpinan dijalankan dengan melakukan kegiatan kepeloporan, kesediaan berkurban, pengabdian, melindungi, dan selalu melibatkan diri dalam usaha memecahkan masalah perseorangan atau kelompok.33

j. Tipe kepemimpinan Organisatoris dan Administrator

Tipe ini dijalankan oleh para pemimpin yang senang dan memiliki kemampuan mewujudkan dan membina kerja sama, yang pelaksanaanya

30

Eddie Gibbs, Kepemimpinan Gereja Masa Datang, (Jakarta : Gunung Mulia, 2010), 27-28.

31

Peter M. Senge, Leading Learning Organizations : The Bold, the Po erful, and the In isible , dalam The Leader of Future, ed. Frances Hesselbein, Marshall Goldsmith, dan Richard Beckhard (San Fransico : Jossey-Bass, 1996), 46-56; dan Bab 7 dari Bill Hybels, Courageous Leadership (Grand Rapids : Zondervan, 2002).

32

Prof. Dr. H. Hadari Nawawi, Kepemimpinan yang Efektif, (Yogyakarta : Gadjah Mada University Press, 2000), 104.

33

(12)

24 berlangsung secara sistematis dan terarah pada tujuan yang jelas. Pemimpin bekerja secara berencana, bertahap dan tertib.34

k. Tipe kepemimpinan Permisif

Pemimpin tipe ini, tidak mempunyai pendirian yang kuat, terlalu banyak mengambil muka dengan dalih untuk mengenakan individu yang dihadapinya.35

l. Tipe kepemimpinan Transformatif

Kepemimpinan ini didefinisikan sebagai kepemimpinan dimana para pemimpin menggunakan kharimsa mereka untuk melakukan transformasi dan merevitalisasi organisasinya. Para pemimpin yang transformatif lebih mementingkan revitalisasi para pengikut dan organisasinya secara menyeluruh ketimbang memberikan instruksi-instruksi yang bersifat top down. Pemimpin yang transformatif lebih memposisikan diri mereka sebagai mentor yang bersedia menampung aspirasi para bawahannya. Pemimpin yang transformatif lebih menekankan pada bagaimana merevitalisasi institusinya, baik dalam level organisasi maupun negara.

Secara lebih detil, para pemimpin yang transformatif memiliki ciri-ciri berikut : (1) seperti yang disebutkan di atas, mereka memiliki charisma; (2) mereka senantiasa menghadirkan stimulasi intelektual. Artinya, mereka selalu membantu dan mendorong para pengikutnya untuk mengenali ragam persoalan dan cara-cara untuk memecahkannya; (3) pemimpin yang transformatif memiliki perhatian dan kepedulian terhadap setiap individu pengikutnya. Mereka memberikan dorongan, perhatian, dukungan kepada pengikutnya untuk melakukan hal yang terbaik bagi dirinya sendiri dan komunitasnya; (4) pemimpin transformatif senantiasa memberikan motivasi yang memberikan inspirasi bagi pengikutnya dengan cara melakukan komunikasi secara efektif dengan menggunakan simbol-simbol, tidak hanya menggunakan bahasa verbal; (5) mereka berupaya meningkatkan kapasitas para pengikutnya agar bisa mandiri, tidak selamanya tergantung pada sang pemimpin; (6) para pemimpin

34

Ibid, 107.

35

(13)

25 transformatif lebih banyak memberikan contoh ketimbang banyak berbicara. Artinya ada sisi keteladanan yang dihadirkan kepada para pengikutnya dengan lebih banyak bekerja ketimbang banyak berpidato yang berapi-api tanpa disertai tindakan yang konkrit.36

2.1.5 FUNGSI UTAMA DAN TANGGUNG JAWAB PENDETA a. Fungsi Utama Pendeta

Yang dimaksudkan dengan fungsi utama disini, yakni peranan yang ditampilkan oleh seorang pendeta sebagai pemimpin jemaat dalam menjalankan tugas pelayanannya. Fungsi pendeta yang dipakai dalam penelitian, terdiri dari lima macam, yakni :37

(1) sebagai wakil Allah (symbolic roles)

Pendeta yang ditahbiskan adalah seorang pemimpin jemaat yang melayani sebagai “gembala dari Gembala Yang Agung” dalam hal memenuhi kebutuhan-kebutuhan warga jemaat dalam kehidupan rohani. Pendeta dipandang sebagai seorang nabi ketika ia membawa pesan-pesan Allah kepada warga jemaat. Jadi di sini dia sebagai “alat bicara Allah”. Dalam menjalankan sakramen gereja dan upacara lain, seperti kebaktian pernikahan, kebaktian penguburan, berdoa mewakili jemaat, menyampaikan berkat Tuhan, maka pendeta dipandang sebagai perantara antara Allah dengan manusia berdosa;

(2) sebagai pengkhotbah (preacher)

Khotbah merupakan bagian penting dari liturgi kebaktian dan sebagai aktivitas gereja yang banyak dihadiri oleh warga jemaat, warga jemaat banyak mendasari alasan kehadirannya mengunjungi kebaktian yakni untuk mendengar khotbah. Khotbah dianggap sebagai sumber pedoman utama dalam kehidupan dan sekaligus bersifat menolong jemaat yang hadir memecahkan persoalan pribadi. Berkhotbah adalah salah satu tugas utama bagi para pendeta dalam gereja Protestan. Khotbah dalam dirinya didasarkan pada hal-hal normatif,karena

36

m.kompasiana.com/audiendro/kepemimpinan-transformatif_55006e4fa33311926f5110e3.

37

(14)

26 penekanannya sering memaksa para pengkhotbah untuk berdogmatika, dengan tujuan memberikan “jawaban yang dianggap tepat” pada setiap persoalan. Akibatnya, isi khotbah sering bersifat kaku sehingga kurang mampu mengikuti perkembangan sosial yang berubah-ubah. Khotbah yang baik muncul dari persiapan-persiapan sebelumnya yang cukup matang. Oleh kesibukan sehari-hari, para pendeta sulit menyediakan waktu yang baik untuk mempersiapkan khotbah. Hal ini mengakibatkan khotbah mereka menjadi kurang menarik;

(3) sebagai pendidik (Educostor)

Jalur pelaksanaan Pendidikan Agama Kristen dalam gereja melalui khotbah, perkunjungan, bimbingan, pekerjaan-pekerjaan yang berhubungan dengan sekolah gereja, training keterampilan dalam gereja, katekisasi, kelompok Pemahaman Alkitab (PA), pertemuan-pertemuan dalam jemaat yang bersifat kelompok atau individu, dan kegiatan edukasi lainnya. Pendeta dituntut juga mendidik warga jemaat melalui teladan-teladan kehidupan religius serta pimpinan-pimpinan pribadi dalam kehidupan keluarganya di tengah jemaat;

(4) sebagai tokoh jemaat (institutional representative)

Pendeta diharapkan menjadi wakil gerejanya dalam hubungan dengan masyarakat luas. Dia bisa bertindak sebagai penghubung publik, sebagai saluran informasi dari luar gereja setempat yang dilayani ataupun dari dalam. Pendeta juga melindungi atau mempertahankan eksistensi gerejanya terhadap pengaruh dari luar. Tugas-tugas kependetaan akan terasa berat jika pendeta kurang memiliki dedikasi terhadap tugas pelayanan yang dipikulnya atau kurang menghayati doktrin yang berlaku dalam gereja.

(15)

27 kehidupan masyarakat sekitarnya. Hal ini disebabkan pengaruh gereja kurang menentukan dalam pembuatan keputusan-keputusan untuk masyarakat luas. Namun sering juga, pendeta di jemaat kota mempunyai peranan penting di tengah-tengah masyarakat. Dia diharapkan menjadi pengurus sosial, sebab mereka dinilai sebagai saluran komunikasi yang efektif;

(5) sebagai penasihat (counselor)

Pendeta sebagai pelayan jemaat Tuhan tidak bisa dipisahkan dari fungsinya sebagai penasihat. Tugas ini kebanyakan berhubungan langsung dengan krisis keluarga di dalam jemaat dan kesulitan hidup, baik secara persekutuan ataupun secara pribadi.

Bimbingan pendeta, didasarkan dari kesaksian Alkitab yang sekaligus membedakannya dengan bentuk bimbingan lain non-gerejawi. Pendeta menempatkan dirinya sebagai saudara seiman yang akrab, seperti sudah mengetahui tentang orang yang dibimbingnya, serta mengetahui kesulitan-kesulitan dasar yang dihadapi orang yang dibimbing. Dia diterima sebagai wakil Allah, berlandaskan wibawa Injil yang menjadi dasar penempatan dirinya sebagai pendeta. Ia mencoba memimpin orang yang dibimbing pada ketentuan norma gereja. Semua dijalankan beralas kasih sayang, sejalan dengan hukum kasih Tuhan. Keberhasilan pendeta dalam menjalankan peranannya, sangat bergantung dengan citra warga jemaat terhadap penampilan terhadap pendeta itu sendiri. Bimbingan melalui kelompok-kelompok orang-orang yang memikul persoalan-persoalan yang sama dengan tujuan untuk menghasilkan pandangan dan pemilihan kepincangan yang tengah dihadapi juga sering digunakan oleh para pendeta. Sering juga para pendeta bekerjasama dengan ahli hukum, para dokter, guru, penasihat pernikahan, pekerja social, psikiater dalam melaksanakan peranannya sebagai penasihat.

(6) sebagai ahli administrasi (administrator)

(16)

28 perencanaan/pelaksanaan program kerja. Ada juga gereja secara khusus mempekerjakan ahli ekonomi dalam lembaga gereja untuk menangani bidang ekonomi. Tapi kebanyakan para pendeta berperanan langsung dalam kegiatan-kegiatan tersebut dalam menjalankan kegiatan administrasi ataupun di bidang pengawasan;

(7) sebagai pemimpin kelompok (group leader)

Yang dimaksud pendeta sebagai pemimpin kelompok, yaitu pemimpin dan menjadi yang dipimpin adalah dua realitas yang terjadi dalam hidup ini, sekaligus gabungan antara kedua hal tersebut, yakni pemimpin dan sekaligus sebagai pribadi yang dipimpinnya. Pemimpin dimanapun dia berada dan apapun kelompok yang dipimpinnya harus memiliki visi dan juga misi yang jelas demi mengatur laju pergerakan sebuah kelompok.

b. Tanggung Jawab Pendeta

Tanggung jawab seorang pendeta sebagai pemimpin gereja, yaitu : (1) Melayani

Adalah definisi kepemimpinan yang dipakai oleh Yesus, dan ini memang benar, apakah di bidang sekuler atau di bidang rohani. Seorang pemimpin yang sejati lebih mengutamakan kesejahteraan orang lain daripada kenikmatan dan martabat dirinya sendiri. Ia menunjukkan simpati dan perhatian terhadap mereka yang dipimpinnya berkenaan dengan masalah, kesukaran dan kekuatiran mereka, tetapi haruslah simpati yang menguatkan dan memberi dorongan, bukan yang melemahkan.38

Apabila seorang pendeta mengasihi jemaat dalam nama Yesus, banyak kesalahpahaman muncul. Perubahan yang sangat diperlukan oleh gereja adalah transformasi hati yang keras dan pemberdayaan kemauan yang lemah. Jika Anda tetapi memandang pada Juru Selamat, Anda akan memiliki kekuatan untuk mengubah apa yang harus diubah, kebebasan untuk menghasilkan perubahan apabila diperlukan dan

38

(17)

29 hikmat untuk mengetahui apa yang seharusnya tidak pernah berubah.39 Allah akan menolong kita bertumbuh-kembang di tempat Ia telah menanam kita. Ia menyerahkan tugas kepada kita saat ini sehingga kita dapat menjadi seorang pengubah kehidupan di sana.40

(2) Mendisiplin

Merupakan tanggung jawab lain seorang pemimpin, yaitu satu tanggung jawab yang berat dan seringkali tidak disukai. Di dalam setiap gereja atau lembaga keagamaan perlu adanya disiplin yang berdasarkan hidup saleh dan kasih, jika ukuran-ukuran dari Allah ingin dipertahankan, terutama dalam hal kemurnian iman, moral dan sikap Kristen.

Dalam menyelesaikan suatu persoalan yang nampaknya memerlukan tindakan disiplin, maka harus diingat kelima hal berikut ini : (a) tindakan itu hanya boleh diambil setelah diadakan penyelidikan yang saksama dan tidak memihak; (b) tindakan ini hanya boleh diambil demi kebaikan seluruh pekerjaan dan pribadi yang bersangkutan; (c) tindakan ini harus selalu didasarkan kasih yang murni dan dilakukan dengan mengingat kepentingan pihak lain; (d) tindakan ini harus selalu disertai maksud untuk memberikan pertolongan rohani kepada pihak yang bersalah dan memberikan pertolongan rohani kepada pihak yang bersalah dan memulihkan dia; (e) tindakan ini harus dilakukan dengan disertai banyak doa.41

(3) Membimbing

Seorang pemimpin rohani harus tahu ke mana ia pergi dan seperti seorang gembala, berjalan di depan kawanan dombanya. Hal ini bukan merupakan satu tugas yang mudah untuk membimbing orang lain, meskipun saleh, mempunyai pendirian sendiri yang kuat. Seorang pemimpin tidak boleh menurut kemauan sendiri secara sewenang-wenang.

39

H. B. London dan Neil B. Wiseman, Bagaimana Mengasihi Orang-Orang yang Anda Gembalakan, (Yogyakarta : ANDI, 2003), 24.

40

H. B. London dan Neil B. Wiseman, Menikmati Panggilan di Ladang-Nya, (Yogyakarta : ANDI, 2003), 9.

41

(18)

30 (4) Memprakarsai

Merupakan satu fungsi yang penting dalam jabatan seorang pemimpin. Beberapa orang mempunyai lebih banyak karunia untuk memelihara hasil yang telah dicapai daripada memprakarsai usaha-usaha yang baru. Seorang pemimpin yang sejati harus mempunyai keberanian maupun penglihatan. Ia harus menjadi seorang perintis dan buka hanya orang memelihara.

(5) Memikul Tanggung Jawab

Memikul tanggung jawab dan melakukannya dengan rela merupakan ciri yang diperlukan bagi seorang pemimpin. Jika ia belum siap melakukan hal ini, maka ia tidak memenuhi syarat untuk memegang jabatan ini.

2.1.6 TUGAS DAN PELAYANAN PENDETA

Menjadi pendeta di sebagian gereja di Indonesia bukan hanya memimpin ibadah. Pendeta juga menjalankan pelayanan pastoral, mengajar, dan mengurusi hal-hal yang bersangkut paut dengan masalah administrasi dan organisasi gereja. Pendidikan teologi hanya membekali pendeta dengan pengetahuan teologi dan keterampilan. Tetapi, memelihara daya juang dalam tugas, dan meningkatkan pengetahuan dan keterampilan; apakah kita terdorong mencapainya atau tidak merupakan soal kesadaran diri sendiri. Karena itu, spiritualitas adalah sebuah proses yang mesti berlangsung terus. Spiritualitas adalah suatu upaya mengembangkan kapasitas manusiawi, agar kita meraih keselarasan yang lebih luas, yang mengatasi pengalaman biasa sehingga kita dapat mempengaruhi sekitar dan melakukan kegiatan-kegiatan kreatif. Relasi dengan Tuhan adalah sumber kekuatan untuk menjalankan kegiatan/pelayanan. Melalui pemeliharaan hubungan dengan Tuhan, kita dimampukan untuk tampil secara segar dan kreatif. Memiliki hubungan intensif dengan Tuhan, kemudian tampil di masyarakat, ditunjukkan secara konkret oleh Tuhan Yesus.42

42

(19)

31 2.1.7 Pegangan Pemimpin

Beberapa hal yang harus diperhatikan pemimpin : (a) Tidak menggunakan kekuasaan untuk kehormatan dan keagungan pribadi; (b) Tidak memanipulasi kepentingan rakyat/yang dipimpin untuk memenuhi tujuannya; (c) Memiliki dan memupuk nilai-nilai kejujuran, ketulusan dan berhati mulia. Memiliki kredibilitas, intelektual dan integritas moral secara kuat serta demokratis; (d) Memiliki visi dan misi yang sejalan dengan lingkungan atau kultur yang ada di sekitarnya (memperhatikan kearifan lokal); (e) Komitmen terhadap visi dan misi tersebut; (f) Memiliki spiritualitas yang kuat.43

2.2

PEMIMPIN JAWA

2.2.1 BUDAYA JAWA

Di dalam budaya Jawa ada beberapa hal yang melekat dalam diri masyarakat Jawa, yaitu :

a. Sistem Kekerabatan Orang Jawa

Sistem kekerabatan orang Jawa itu berdasarkan prinsip keturunan bilateral. Di dalam kenyataan hidup masyarakat orang Jawa, orang masih membeda-bedakan antara orang priyayi yang terdiri dari pegawai negeri dan kaum terpelajar dengan orang kebanyakan yang disebut wong cilik seperti petani-petani, tukang-tukang, dan pekerja kasar lainnya, di samping keluarga kraton dan keturunan bangsawan atau bendara-bendara. Dalam kerangka susunan masyarakat ini, secara bertingkat kaum priyayi dan bendara merupakan lapisan atas, sedangkan wong cilik menjadi lapisan masyarakat bawah.44

Selain itu, orang Jawa sangat patriakhal, dimana kepemimpinan tidak bisa dipegang oleh seorang wanita. Cukup banyak perempuan yang menjadi korban langsung dari ketidakadilan diskriminatif akibat berbagai

43

Pdt. Dr. Retnowati, M.Si., Teologi, Kepemimpinan, dan Manajemen, (Salatiga : Universitas Kristen Satya Wacana, 2009), 6.

44

(20)

32 perubahan yang direkayasakan dalam masyarakat modern.45

b. Bahasa

Bahasa adalah kesatuan perkataan dan sistem penggunaannya yang umum dalam pergaulan antar anggota suatu masyarakat atau bangsa dengan kesamaan letak geografi atau kesamaan budaya dan tradisi. Dengan demikian, selain memiliki fungsi utama sebagai wahana berkomunikasi, bahasa juga memiliki peran sebagai alat ekspresi budaya yang mencerminkan bangsa penggunanya. Kecakapan berbahasa suatu bangsa mencerminkan budaya bangsa yang terwujud dalam sikap berbahasa itu sendiri. Sikap berbahasa yang dilandasi oleh kesadaran berbahasa akan membangun rasa cinta, bangga, dan setia terhadap bahasa dan terhadap bangsa”.46

Di dalam pergaulan hidup maupun perhubungan sosial sehari-hari mereka berbahasa Jawa. Pada waktu mengucapkan bahasa daerah ini, seseorang harus memperhatikan dan membedakan keadaan orang yang diajak berbicara atau yang sedang dibicarakan, berdasarkan usia maupun status sosialnya.

Demikian pada prinsipnya ada dua macam bahasa Jawa apabila ditinjau dari criteria tingkatannya, yaitu bahasa Jawa Ngoko dan Krama. Bahasa Jawa Ngoko itu dipakai untuk orang yang sudah dikenal akrab, dan terhadap orang yang lebih muda usianya serta lebih rendah derajatnya atau status sosialnya. Lebih khusus lagi adalah bahasa Jawa Ngoko Lugu dan Ngoko Andap. Sebaliknya, bahasa Jawa Krama, dipergunakan untuk bicara dengan yang belum dikenal akrab, tetapi yang sebaya dalam umur maupun derajat, dan juga terhadap orang yang lebih tinggi umur serta status sosialnya.47

Ada unen-unen/peribahasa Jawa yang cukup mengena, yaitu : „Samar kalingan padhang, kesandhung rata, ketatab suwung, lan kebenthus ing

tawang‟ yang artinya „pandangan terasa samar-samar karena terhalang

45

Dr. Budi Susanto, Dr. Sudiarja, Drs. Praptadiharja, Dra. Rika Pratiwi (Ed.), Citra Wanita dan Kekuasaan (Jawa), (Yogyakarta : Kanisius dan Lembaga Studi Realino, 1992 ), 13-16.

46

Tim Perumus Kurikulum Bahasa Indonesia untuk SMK, (Dikmenjur-Diknas, 2003).

47

(21)

33 terang, tersandung jalan yang rata, menabrak kekosongan, dan kepala terantuk angkasa‟. Makna dari unen-unen tersebut menggambarkan „kebingungan‟ orang Jawa masa kini dalam memahami nilai-nilai budaya dan peradabannya sendiri.48

2.2.2 BUDI PEKERTI PEMIMPIN JAWA

Orang Jawa juga memiliki pandangan yang sangat berpengaruh terhadap tata hidup dan perilaku, atau budi pekerti mereka, yaitu :

a. Relativisme

Yaitu pandangan yang memahami kebenaran bukanlah sesuatu yang mutlak. Kebenaran lebih bersifat nisbi, kecuali kebenaran mengenai Tuhan. Selebihnya, nilai-nilai kebenaran tersebut sangat dipengaruhi oleh sudut pandang tertentu. Sangat bergantung pada pengetahuan seseorang yang terbatas, akal budi yang serba terbatas, serta cara mengetahui yang juga terbatas. Sehingga tidak mengherankan jika benar menurut seseorang belum tentu benar menurut orang lain.

Salah satu bukti nyata, betapa relativisme demikian berakar dalam hati sanubari orang Jawa, tercermin dari adanya ungkapan yang berbunyi : “bener durung mesthi pener, salah durung mesthi kalah, becik bisa kuwalik”, artinya : benar belum tentu tepat, salah belum tentu kalah, baik dapat terbalik. Penjabaran ringkasnya adalah setiap kebenaran belum tentu tepat ketika digunakan pada konteks yang berbeda. Misalnya, sopan santun orang Jawa belum tentu tepat ketika diterapkan menghadapi orang Belanda.49

Demikian pula halnya ketika menilai kesalahan. Kendati di Jawa ada peribahasa : sapa salah bakal seleh (Siapa yang salah akhirnya akan berhenti/berakhir, dlam arti menyerah), namun pada kenyataannya belum tentu yang salah bakal kalah. Sebab, antara salah dan kalah memiliki ranah yang berbeda. Salah dan benar berpedoman pada nilai, sedangkan kalah dan menang lebih ditentukan oleh strategi dan kekuatan yang dimiliki.

48

Ki Sondong Mandali, Ngelmu Urip Bawarasa Kawruh Kejawen, (Semarang : Yayasan Sekar Jagad, 2010), 267.

49

(22)

34 Contohnya, mengedarkan narkoba jelas merupakan perbuatan salah dan melanggar hukum. Namun, kenyataannya banyak pengedar narkoba sukses melakukan kegiatannya bertahun-tahun. Artinya, dia tidak kalah meskipun salah. Sebab, dia berhasil memenangkan “pertarungannya” dengan penegak hukum dan masyarakat, karena memiliki strategi dan kekuatan yang cukup untuk menyelamatkan diri dari kekalahan yang menghadang kegiatannya selama itu.

Sedangkan becik bisa kuwalik, artinya, kebaikan yang diberikan atau diterima oleh orang lain belum tentu berbuah kebaikan yang setara, artinya sesuatu yang baik dapat saja dianggap buruk, merusak, dan mungkin sekali tidak bermanfaat bagi orang lain, seperti ungkapan welas temahan lalis (belas kasihan membuat sengsara).

Paham relativisme ini pula yang membuat orang Jawa (khususnya kalangan rakyat) jadi terkesan sering bersikap kompromis. Melakukan semacam persetujuan atau persesuain sebagai bentuk “jalan damai” untuk menyelamatkan diri dengan cara mengeliminasi tuntutan-tuntutan ekstrim dari berbagai pihak.

b. Pluralisme

Relativisme yang telah berkembang dan berurat akar di Jawa, diam-diam telah menstimulir tumbuhnya kesadaran mengenai pluralisme, yaitu padangan atau paham yang meyakini adanya perbedaan-perbedaan nilai dalam kehidupan. Pandangan dan sikap pluralistik juga tercermin dalam kehidupan beragama. Antar pemeluknya pun terjalin kerukunan dan saling menghormati, tanpa adanya intervensi dan gangguan yang berarti.

2.2.3 SIKAP HIDUP ORANG JAWA

(23)

35 perintah.50

Sikap hidup orang Jawa yang etis dan taat kepada adat-istiadat warisan nenek moyangnya, seperti :

a. Mawas Diri (Aja Dumeh untuk menghindari Aji Mumpung)

Aja Dumeh adalah pedoman mawas diri bagi semua orang Jawa yang sedang dikaruniai kebahagiaan hidup oleh Tuhan YME. Aja Dumeh adalah suatu peringatan agar seseorang selalu ingat kepada sesamanya. Aji mumpung adalah salah satu pedoman mengendalikan diri dari sifat-sifat serakah dan angkara murka apabila seseorang sedang diberi anugerah kesempatan untuk hidup “di atas”. Orang Jawa percaya bahwa hidup manusia di dunia ini telah diatur oleh-Nya sedemikian rupa, sehingga putaran hidup manusia itu seperti halnya “roda kereta” yang berputar. Salah satu bagian dari roda itu kadang-kadang di bawah dan pada suatu saat akan berada di atas.51

b. Memiliki empati/berbelas kasih (Laku Hambeging Kisma)

Pemimpin harus selalu berbelas kasih dengan siapa saja. Kisma artinya tanah. Tanah tak mempedulikan siapa yang menginjaknya, semua dikasihani. Tanah selalu memperlihatkan jasadnya. Meski dicangkul, diinjak, dipupuk, dibajak, namun malah memberikan subur dan menumbuhkan tanam-tanaman. Air tuba dibalas air susu, artinya keburukan dibalas kebaikan dan keluhuran.52

c. Harus Adil (Laku Hambeging Tirta)

Pemimpin harus adil seperti air yang selalu rata permukaannya. Keadilan yang ditegakkan bisa memberikan kecerahan ibarat air yang membersihkan kotoran. Air tidak pernah emban oyot emban cindhe, „pilih kasih‟.

d. Harus Tegas (Laku Hambeging Dahana)

Pemimpin harus bisa bersikap tegas seperti api yang sedang membakar. Akan tetapi pertimbangannya harus berdasarkan akal sehat yang bisa

50

Budiono Herusatoto, Simbolisme Jawa, (Yogyakarta : Ombak, 2008), 125-126.

51

Budiono Herusatoto, Simbolisme dalam Budaya Jawa, (Yogyakarta : PT. Hanindita, 1984), 81-83.

52

(24)

36 dipertanggungjawabkan sehingga tidak membawa kerusakan di muka bumi.53

e. Teliti (Laku Hambeging Samirana)

Pemimpin harus berjiwa teliti dimana saja berada. Baik atau buruknya rakyat harus diketahui oleh matanya sendiri, tanpa menggantungkan laporan bawahan saja. Sebab bawahan cenderung selektif dalam memberi informasi untuk dapat menyenangkan pimpinan.

f. Pemaaf (Laku Hambeging Samodra)

Pemimpin harus memiliki sifat pemaaf sebagaimana samudra raya yang siap menampung apa saja yang hanyut dari daratan. Jiwa samudra mencerminkan pendukung keanekaragaman dalam hidup bermasyarakat yang majemuk.54

g. Memberi Inspirasi (Laku Hambeging Surya)

Pemimpin harus bisa memberi inspirasi kepada bawahannya, seperti matahari yang selalu menyinari bumi dan memberi energi pada setiap makhluk.

h. Menghadirkan damai sejahtera (Laku Hambeging Candra)

Pemimpin harus memberi penerangan yang menyejukkan seperti bulan yang bersinar terang benderang namun tak panas. Dan bahkan terang bulan nampak indah sekali. Orang desa menyebutnya purnama sidi.

i. Percaya Diri (Laku Hambeging Kartika)

Pemimpin harus tetap percaya diri meski dalam dirinya ada kekurangan. Ibarat bintang-bintang di angkasa, walaupun ia sangat kecil, tapi dengan optimis bisa memancarkan cahayanya sebagai sumbangan bagi kehidupan. j. Mempunyai Jiwa Satria

Menjadi seorang satria adalah idola dari masyarakat Jawa.55 Jiwa satria ini bahkan lebih diidolakan di atas jiwa Brahmana, sementara Brahmana adalah tataran kasta yang lebih tinggi dari satria.56 Menjadi seorang satria

53

Ibid.

54

Ibid, 128.

55

Prapto Yuwono, Sang Pamomong Menghidupkan Kembali Nilai-Nilai Luhur Manusia Jawa, (Yogyakarta : Adiwacana, 2012), 49-.

56

(25)

37 dapat dilihat dari isi tembang Dhandhanggula yang berbunyi sebagai berikut :

Lir sarkara wasitaning jalmi

Ambudiya budining satriya

Memayu yu buwanane

Ing reh hardening kawruh

Wruhing karsa kang ambeg asih

Sih pigunane karya

Mbrasta ambeg dudu

Mangenep nenging cipta

Wruh unggyaning tindak kang ala lan becik

Memuji tyas raharja

Tembang itu bermakna sebagai berikut : Bak matahari menyinari insan

Berupayalah berbudi satria Memayu yu buwanane

Dalam kendali pengetahuan Mengetahui kehendak mengasihi Kasih sayang berguna untuk bekerja Memberantas kehendak buruk Mengendapkan nalar budi

Untuk melihat segala tindak buruk dan baik Berharap hati sejahtera

(26)

38 lain seperti Tuhan merawat dan mengembangkan ciptaan-Nya, sehingga dengan demikian nama Tuhan dimuliakan.

Selain itu, tembang di atas juga mengingatkan bahwa agar manusia dapat menjadi terang dunia, ia harus berupaya memiliki jiwa satria. Kehidupan ideal masyarakat Jawa dimanifestasikan dalam bentuk wayang. Kata wayang bermakna bayang-bayang, menggambarkan bayang-bayang di dalam kehidupan ini. Itu sebabnya wayang bukan hanya sekedar tontonan, tetapi juga tuntutan bagi masyarakat Jawa tentang kehidupan yang ideal untuk masyarakat Jawa.57 Di dalam pewayangan, tokoh wayang dibedakan menjadi satria dan raksasa. Satria adalah gambaran pribadi yang berperangai dan berperilaku baik, sedangkan raksasa adalah gambaran pribadi yang berperangai dan berperilaku buruk.

Tetapi siapa saja yang menjadi pemimpin akan terlihat dari tingkah lakunya yang kelihatan ketika akan melakukan tugas sebagai seorang pemimpin sebagai berikut :58

1. Jangan serakah/sewenang-wenang

Jika jadi pemimpin hanya karena akan mencari penghidupan, artinya mencari harta, cari uang, akhirnya dalam bekerja hanya akan didasari sikap serakah, merasa berkuasa, siapa saya siapa kamu (mentang-mentang), adigang, adigung, adiguna59, yang hanya menekankan suara yang keras atau lantang, keras suaranya karena merasa sebagai penguasa dan mempunyai kuasa, lalu bertindak tidak hormat pada sesama serta sewenang-wenang. Pemimpin yang seperti itu menurut filsafat Jawa tidak benar, tidak baik sebab tidak Njawani.

Memang tidak mudah menemukan pimpinan yang bebas dari

57

Ali Mustofa, Antara Filsafat Jawa dan Moral, http://wayangprabu.com/2011/03/31, 2011.

58

Prof. Dr. Soetomo Siswokartono, W.E., M.Pd., Filsafat Jawa, (Semarang : Yayasan Studi Bahasa

Ja a Y“BJ KANTHIL , ), 30-31.

59

(27)

39 kebutuhan pribadi, tampaknya jarang ada. Sejak era kerajaan, pimpinan di Jawa selalu ada keserakahan. Oleh sebab itu pemimpin Jawa perlu menerapkan strategi pokok untuk mencapai memayu hayuning bawana pada tataran kehidupan, yaitu : (1) strategi mengolah diri pribadi, olah batin dan olah rasa; dan (2) strategi interaksi social; (3) strategi berinteraksi dengan Tuhan.Ketiga strategi ini, hendaknya dinalar, dirasa, dan dihayati sebagai sebuah perjuangan mencapai kedamaian dunia.60 2. Membawa damai sejahtera

Jika jadi pemimpin/penguasa itu untuk kehidupan bersama artinya guna kesejahteraan keluarga, kesejahteraan rakyat, pemimpin ini dalam melakukan kekuasaanya dengan cinta kasih artinya dengan kasih sayang, sopan santun, hormat menghormati kepada siapapun. Pemimpin yang seperti ini pasti penuh dengan tanggung jawab bukan saja “tanggungjawab”, inilah pemimpin yang sejati yang selalu dicintai oleh masyarakat. Pemimpin seperti ini perlu dicontoh dan bisa menjadi teladan. 3. Bertanggung Jawab

Nasehat selanjutnya, kalau semua orang sudah merasa sampai, artinya kalau sudah merasa mampu mengemban tugas dan tanggung jawab sebagai seorang pemimpin yang telah diserahkan kepadanya, maka jangan takut menjadi seorang pemimpin;

4. Tidak Menepati Janji

Jika sudah jadi pemimpin kadang lupa dengan janjinya, dan tidak mau kehilangan kedudukan. Tidak mau diganti karena merasa sudah nyaman, berada dalam posisi yang basah dll. Nasehat yang ada, sebaiknya kamu jangan meniru tingkah laku dan tindakan yang seperti itu, sebab manusia harus mengakui bahwa kedudukan bisa hilang, jabatan bisa lepas, yang lestari hanya nama dan pelayananan yang baik.

Ananging sapa bae kang dadi pemimpin bakal kadulu saka pakartine budi kang katon nalika wong mau wiwit ngecakaken panguwasane : (a) Yen dadi pemimpin/panguwasa amarga arep goleh panguripan, tegese golek banda, golek dhuwit, cak-cakane nggone mimpin bakal kadulu srakah angah-angah, rumangsa dupeh kuwasa, sapa sira sapa ingsun, adigang, adigung, adiguna, kang kerep

60

(28)

40 andel sora-seru utawa banter swarane, lan andel rosa = dupeh dadi panguwasa, duwe panguwasa, duwe panguwasa, banjur dak siya lan sewenang-wenang. Pemimpin kaya ngono manut filsafat Jawa iku ora bener, sabab ora njawani; (b) Yen dadi pemimpin/panguwasa iku kanggo kahuripan, tegese kanggo mulyane bebrayan, kanggo mulyaning kawula, pemimpin wau anggone ngecakake panguwasa mesthi ambeg darma, tegese kebak welas asih, tepa salira, menehi pakormatan menyang sepada-pada. Pemimpin kang kaya ngono mesti kebak

tanggung jawab, dudu mung “tanggung menjawab”. Ya pemimpin kang kaya

ngene iki sejatine kang tansah digandrungi deneng kawula. Mula patut tinulada lan dadiya kaca benggala; (c) Pitutur sabanjure, yen sira kabeh wis rumangsa gadug, tegese wis rumangsa sembada ngemban pakaryan kang dipasrahake, aja wedi dadi panguwasa; (d) Mung ya kuwi kang akeh, yen wis dadi pemimpin iku sok lali, lan emoh kelangan kalungguhan. Emoh yen diganti, amarga rumangsa wis mapan, ana papan teles, lan liya-liyane. Pitutur kang ana, becike sira ora kena niru pakarti lan tumindak kang kaya ngono, sabab manungsa kudu rumangsa yen drajat bisa oncat, pangkat bisa minggat, kang langgeng mung jeneng lan lelabuhan.

Kehidupan orang Jawa boleh dikatakan penuh dengan angger-angger dan wewaler, aturan dan larangan, yang tujuan utamanya tiada lain adalah untuk mengatur perilaku individu dan masyarakat agar memperoleh, ketenteraman dan keselamatan hidup dunia dan akhirat. Tiga nilai dominan yang menjadi acuan hidup orang Jawa, yaitu : 1) kolektivisme (kebersamaan); 2) spiritualisme (kerohanian); dan 3) rasa kemanusiaan (tenggang rasa). Contoh mengenai keberadaan dan kemenyatuan kolektivisme, spiritualisme, dan kemanusiaan dalam adat tradisi Jawa yang pernah benar-benar mengikat individu dan masyarakat, harus dipatuhi dan diamalkan, antara lain tampak dalam peristiwa :61

(a) Memiliki rasa empati dengan ikut melayat (Tradisi kematian)

Jika terjadi sripah (kematian) di Jawa, tetangga dalam satu kampung punya kewajiban moral dan sosial untuk melayat. Artinya, ikut belasungkawa dengan secepatnya datang ke rumah keluarga yang berduka (tanpa diundang), membantu meringankan beban penderitaan keluarganya. (b) Persaudaraan yang tinggi (Rukun Tetangga)

Dalam pandangan tradisional, kampung halaman (lingkungan tempat tinggal) di Jawa senantiasa dipahami sebagai milik bersama. Termasuk sarana prasarana yang sengaja dibangun untuk kepentingan umum (jalan,

61

(29)

41 rumah ibadah, saluran irigasi). Kecenderungan tersebut bukan hanya berhenti pada hal-hal yang bersifat material, namun juga sampai pada aspek-aspek non-material, seperti kesejahteraan, keamanan, dan kerukunan.

Dalam struktur kehidupan di Jawa, masyarakat suatu kampung nyaris terikat dalam semangat persaudaraan yang tinggi. Dan karena terikat dalam semangat persaudaraan itulah, mereka wajib menjaga kenyamanan dan kerukunan secara bersama-sama.

(c) Tenggang Rasa (Pembagian Kerja)

Sejak masa lalu, komunitas agraris di tanah Jawa telah mengenal semacam “pembagian kerja tidak kentara” yang mengisyaratkan adanya semangat kolektivisme, spiritualisme, dan kemanusiaan dalam masyarakat. Hal ini disebabkan semangat patembayatan (kebersamaan) dan tenggang rasa yang sudah mendarah daging bagi orang Jawa selama ini.

(d) Spiritualitas (Selamatan)

Selamatan merupakan salah satu tradisi yang menonjol dalam masyarakat Jawa. Hampir dalam setiap peristiwa “besar” atau penting selalu diadakan ritual selamatan. Seperti kelahiran anak, pernikahan, kematian, mendirikan rumah, panen padi, dan lain-lain. Lepas dari wujud ritual yang dilakukan, selamatan di Jawa jelas merupakan manifestasi spiritualisme yang dimiliki oleh mereka.

2.2.4 MOTIVASI PEMIMPIN JAWA

Untuk meningkatkan produktivitas tidak cukup hanya kualitas sumber daya manusia saja, pada dasarnya orang Jawa cukup mempunyai motivasi kerja, namun tidak cukup mampu berorganisasi, sehingga banyak yang gagal menjadi entrepreneur. Karenanya, patut segera diupayakan pengembangan kemampuan berorganisasi ini, manajemen ini, agar tujuan pengembangan sumberdaya manusia baik secara makro maupun mikro, secara nasional maupun individual bisa dilaksanakan.62

62

(30)

42 Selain itu untuk menghadapi dan mengatasi permasalahan di dalam jemaat mengenai pendeta, maka ada beberapa motivasi pendeta, sebagai berikut : (a) Selaku manusia “biasa” dan warga gereja, seorang pendeta juga membutuhkan dan berhak menerima pendampingan dan pelayanan pastoral63; (b) Pendampingan pastoral kepada para pendeta akan meningkatkan mutu pelayanan pendeta dan sumber daya manusia gereja, yang akan berdampak positif bagi pengembangan gereja kita di masa depan; (c) Pendeta itu tidak boleh dijadikan sekadar objek yang perlu dikasihani, dimana pendeta adalah subjek bagi kehidupannya sendiri dan juga memiliki tanggung jawab sendiri. Sebab itu, instansi pastoral yang kami usahakan tidak boleh dipandang sebagai sekadar lembaga pelengkap atau penghiburan. Mengikuti pola pelayanan Tuhan Yesus, kami justru memandang perlu bahwa tanggung jawab dan ke-subjek-an pendeta dipulihkan dalam pelayanan pastoral. Hal ini tidak berarti pelayanan pastoral itu sama dengan teguran atau peringatan resmi dari atasan.64

2.2.5 PEDOMAN HIDUP PEMIMPIN JAWA

Pedoman hidup orang Jawa dalam mencari dan menemukan kebeningan hati yang didambakan seperti kisah-kisah wayang sebagai berikut :

1. Resi Wisrawa-Dewi Sukesi (Bijak Menimbang Perkara yang Baik dan Tidak Baik)65

Banyak orang menilai, memahami, dan menyimpulkan masalah tertentu hanya berlandaskan benar-salah belaka. Padahal, di samping benar-salah, terdapat juga : baik-buruk, menang-kalah, tepat-tidak tepat,

63

Istilah pastoral dalam tulisan ini dipakai dalam arti positif dan menyeluruh, yaitu : mendampingi untuk bertumbuh, dan bukan dalam arti sempit, yaitu pamerdi atau siasat gereja.

64

Dr. Andar Ismail, 163.

65

(31)

43 untung-rugi, pantas-tidak pantas, jujur-tidak jujur, dan masih banyak tolok ukur lainnya.

2. Testimoni Drupadi (Berbuat dan Berkata Jujur)

Drupadi merupakan istri Yudhistira, sulung Pandawa, dimana ia belajar dari Yudhistira, suaminya, yang telah mengajarinya berbuat dan berkata jujur. Dengan kejujuran itu aku mampu menemukan dan mewujudkan kekuatan perempuan yang selama ini tidak pernah dibayangkannya.

3. Guru Drona (Menjadi Guru Teladan)

Dalam jagad pewayangan, nama Pendeta Drona, atau menurut lidah Jawa lazim disebut Dahyang Durna, sudah cukup dikenal dan terkenal. Gara-gara menjadi penasihat Kurawa dan banyak menentukan gerak langkah mereka yang dinilai salah, serakah, dan angkara murka, maka Durna benar-benar dicap sebagai tokoh jelek di mata orang Jawa. Demikian bencinya orang Jawa dengan Durna, sampai-sampai ketika terjadi peristiwa sosial yang dinilai buruk, masyarakat sering berucap : “Mesthi ana Durnane …” artinya, ada dalang semacam Durna yang menganjurkan perbuatan buruk tersebut dilakukan.

Padahal, realitasnya Resi Durna adalah satu-satunya guru besar yang diakui oleh Pandawa dan Kurawa karena telah mengajarkan berbagai ilmu jaya kawijayan (ilmu kesaktian) saat mereka muda dulu. Guru artinya adalah sosok yang digugu lan ditiru (diikuti/dipercaya dan ditiru). Dalam pandangan yang lebih modern, seperti Ki Hajar Dewantara, seorang guru haruslah bisa mewujudkan sikap : ing ngarsa sung tuladha, ing madya mangun karsa, tut wuri handayani artinya, guru dituntut pula untuk mampu menjadi pemimpin yang baik. Di depan menjadi teladan, di tengah membangun semangat, di belakang tidak tinggal diam dan selalu membangkitkan kepercayaan diri.66

4. Fenomena Semar (Tidak Pamrih)

Semar adalah pamomong Pandawa yang jempolan. Namun sesungguhnya, Semar adalah „pesakitan‟, atau narapidana. Sebagai dewa, Ismaya menjadi

66

(32)

44 Semar karena harus menebus dosa. Menjalani hukuman Sanghyang Tunggal gara-gara rebutan tua dengan Tejamaya agar dapat mewarisi kekuasaan kahyangan serta jagad Tribuwana. Dengan kata lain, Ismaya (Semar) dan Tejamaya (Togog) adalah sosok yang semula „haus kekuasaan‟, akhirnya dapat terjungkal menjadi batur (Abdi) akibat punya pamrih berlebihan, dimana Semar mengabdi pada Pandawa karena pamrih. 5. Durmuka-Drestakesti (Jujur dan Ikhlas)

Baik dalam kasunyatan hingga kisah wayang, jujur dan ikhlas benar-benar sifat yang terpuji, langka, mahal; namun sering tidak popular. Dalam kisah Mahabharata, ada empat tokoh Kurawa yang banyak sedikitnya telah menunjukkan sifat jujur dan ikhlas, yaitu Dewi Dursilawati, Yuyutsu, Durmuka, dan Drestaketi. Empat orang inilah yang lolos dari maut yang sengaja diciptakan trah Bharata di Tegal Kurusetra, sehingga empat orang ini menerima gelar karena keempat orang ini memiliki „kesaktian‟ melebihi saudara-saudaranya yang lain.

6. Tragedi Kumbakarna (Memiliki Hati yang Baik)

Kumbakarana adalah adinda dari Prabu Rahwana, meskipun berwujud raksasa, namun hatinya baik, dan tidak menyetujui polah-tingkah sang kakak yang ugal-ugalan sampai mencuri istri orang.

7. Sukasrana-Kalabendana (Cinta yang Tulus)

Sukasrana adalah seorang raksasa bungkik yang adik dari Sumantri seorang ksatria. Sebagai wujud cintanya yang tulus kepada Sumantri, kakaknya, Sukasrana telah berjasa besar memindahkan taman Sriwedari ke keraton Maespati sehingga Sumantri berhasil sinengkakake ngaluhur (dinobatkan) jadi patih oleh Prabu Arjunawijaya.

Sedangkan Ditya Kalabendana adalah seorang raksasa kerdil, wajahnya tenang, jujur, dan bicaranya agak celat (gagu), paman dari Gatotkaca. Paman Ditya Kalabendana sangat mencintai Gatotkaca, keponakannya sehingga mau membantu Gatotkaca menjaga ksatrian Plangkawati sekalian menemani Dewi Siti Sendari.

8. Sugriwa-Subali (Jangan Khawatir)

(33)

45 (pegangan, pedoman) bagai siapa pun yang fungsi perannya sering disebut dengan ungkapan satiris sebagai „ban serep‟. Persoalannya, mereka yang kebetulan berada pada posisi ini seringkali sesambat, mengeluh dalam hati : “Kaningaya temen. Urip sepisan mung dadi ban serep, dadi tambel butuh. P aribasan menang melu surak, kalah melu kepidak(sia-sia benar. Hidup sekali hanya menjadi cadangan, untuk menambal kebutuhan. Ibarat menang ikut bersorak, kalah ikut terinjak)”.

Posisi serep belum tentu lebih asor (kalah) dibandingkan mereka yang dipercaya sebagai garu laku, pinitaya dadi cucuk lampah (alat pembajak sawah, dipercaya jadi pemimpin perjalanan) atau pun jadi manggala yuda (senapati perang). Sebab, masing-massing memiliki fungsi peran berbeda. Jika disanepakan dalam proses mengasah benda tajam, yang pertama ibarat wungkal kasar (batu asah kasar), yang kedua adalah wungkal alus (batu asah halus). Yang pertama untuk mbladhah gaman (menghilangkan bekas kikiran dan menghaluskan benda tajam), yang kedua untuk menghaluskan serta menajamkan. Semuanya perlu, sehingga orang yang diposisikan seperti itu tidak harus merasa lebih rendah dan merasa katiyasan nya (kesaktian atau kemampuannya) kalah disbanding yang difungsikan sejak awal.

Contoh nyata bahwa orang yang menjadi serep dapat lebih sukses dalam menyelesaikan kisah kehidupan, tampak pada kasus Subali dan Sugriwa. Sejak kecil, Subali memang punya kelebihan dalam segala hal dibanding adiknya.

Tanpa tedheng aling-aling (ditutup-tutupi lagi), awalnya yang jadi peran utama adalah Subali. Karena dialah yang lebih sakti, sementara Sugriwa nyaris hanya jadi ndherek wonten wingking (ikut serta tetapi posisinya di belakang/bukan menjadi inti, tetapi semacam pelengkap). Alias, jadi ban serep atau pelengkap, atau sekadar rewang-kadang (membantu saudara).

(34)

46 dari gua, justru sang adiklah yang memperoleh anugerah dewata. Sungguh di luar dugaan memang, karena Sugriwa yang fungsi perannya dalam kasus Gua Kiskenda hanya jadi ban serep, ternyata malah berhasil menyunting Dewi Tara dan sinengkakake ngaluhur (derajatnya dinaikkan) oleh dewata serta mukti wibawa (hidup senang) jadi raja Gua Kiskenda.

Karena itulah, kita tidak perlu was-was. Siapa pun, kapan pun, dapat saja berfungsi sebagai orang pertama, atau orang kedua. Namun, karena jasa pemain cadangan, atau ban serep, atau bibit sulaman itulah seringkali gancaring lelakon (lancarnya suatu proses kejadian) dapat sukses terwujud hingga tancep kayon (akhir pertunjukkan wayang kulit di pagi hari yang ditandai dengan kayong/gunungan ditancapkan oleh dalang di tengah-tengah kelir) nanti.

9. Anggada Duta hingga Pandawa Dadu (Mempunyai Pendirian Teguh) Ungkapan ela-elu, katut-keplurut, kegandheng-kegeret, kegendeng-keceneng67, menggambarkan perbuatan seseorang atau banyak orang yang posisinya mirip gerbong kereta api. Dalam wujud yang lebih hidup, sikap perbuatannya dapat juga disamakan dengan rombongan itik atau kambing yang tengah digembalakan. Artinya, apa yang diperbuat bukannya murni atas pendapat pribadi yang kokoh teruji, melainkan hanya karena ditarik atau tertarik sikap pendapat orang lain yang dianggap benar.

Di Jawa, sikap perbuatan ela-elu dianggap buruk dan banyak dicela oleh masyarakat sekelilingnya. Karena ela-elu dapat dijabarkan melu-melu, ikutan, mrana melu mrana -mrene melu mrene (ke sana ikut ke sana, ke sini ikut ke sini). Sekali waktu ikut si A dan menolak si B, namun lain waktu justru berbelok ikut si B dan menyalahkan si A. Keadaan tersebut, mungkin karena dia tidak memiliki „daya tawar‟ yang cukup untuk menolak ajakan si A, sehingga terpaksa mengikutinya. Tetapi, bisa juga lantaran si B memberikan iming-iming yang menggiurkan. Dan ketika apa yang didambakan pada si A tidak tercapai, segera saja dia putar haluan mengikuti ajakan lain yang dirasa lebih menguntungkan. Inilah sikap yang

67

(35)

47 dimiliki oleh Anggada Duta68 dan Pandawa Dadu69.

10.Gandarwa70 Hutan Kamiyaka (Berpegang pada Prinsip)

Konon, dalam kisah wayang, Amartapura dulunya adalah hutan Kamiyaka yang juga gudang memedi. Namun, Pandawa berhasil menaklukkan para jin penunggunya dan mengubah hutan seram itu menjadi negeri yang gemah ripah tata tentrem kertaraharja (makmur, tertata, tenteram, aman, selamat dan sejahtera). Maka, jika para memedi berhasil melakukan inkarnasi ke dalam dunia kebudayaan modern, apakah kita harus mengalah dan kalah oleh mereka? Sebab, seperti nasihat para sesepuh, mengalahkan memedi itu sebenarnya mudah. Bekal utamanya adalah „tatag-teteg-teguh-tanggon‟ (watak atau sifat yang kuat selalu berpegang pada prinsip). Artinya, melawan memedi harus dengan cara memedi, bukan dengan cara manusia biasa (melawan kejahatan harus dengan cara mengenali kejahatan itu sendiri).

11.Sapa Sira Sapa Ingsung (Menciptakan Kerukunan dan Menghargai Orang Lain)

Hampir semua wulang-wuruk mengenai tata hidup, tata laku, dan tata karma di Jawa bertujuan untuk mewujudkan ketenteraman hidup lahir batin, dunia akhirat. Sedangkan salah satu upaya mewujudkan ketenteraman tersebut adalah dengan menciptakan kerukunan. Di mana inti dari kerukunan dalam filosofi Jawa adalah ngajeni liyan (menghormati orang lain). Menghargai dan menghormati orang lain dengan cara

68

Ketika Anggada diutus Sri Rama mengukur kekuatan Alengkadiraja, dia ketemu Rahwana. Dalam pertemuan tersebut Rahwana menghasut Anggada dengan memberitahu bahwa yang membunuh ayahnya, Resi Subali adalah Sri Rama karena bel um pernah mendengar sama sekali kisah tadi, Anggada terkejut dan langsung naik pitam. Ia kembali ke pesanggrahan, dan mengamuk mau membunuh Sri Rama. Untunglah Anoman da pat menaklukkan dan menyadarkan saudara sepupunya itu. Setelah insyaf, Anggada kembali ke Alengka untuk menebus kesalahannya. Dari perjalanannya yang kedua ia berhasil mencuri mahkota Rahwana dipersembahkan kepada Sri Rama. Dalam kisah ini, ela-elu-nya Anggada berakhir dengan positif. Ia berhasil mengubah ela-elu yang dilakukan dengan sikap pil ihan yang tepat sebagai seorang prajurit.

69

Dalam Pandawa Dadu, nasib Bima, Arjuna, Nakula, Sadewa, d an Drupadi juga jadi ikut buram karena kegandheng-kegeret atau kegendeng-keceneng sikap Yudhistira, sang kakak, yang nekat melayani Kurawa bermain dadu. Meskipun kalah, demi etos ksa tria yang dibelanya, Yudhistira tidak mau berhenti sampai lincin tandas modal dan kehormatannya, hingga tega menjadikan istrinya, Drupadi, sebagai taruhan di meja judi. Akibat kekalahan tadi, mereka menerima hukuman pembuangan selama tiga belas tahun.

70

Referensi

Dokumen terkait