• Tidak ada hasil yang ditemukan

ANALISIS DAN PERANCANGAN SISTEM

3.3 Pedoman Penulisan Aksara Batak

Penggunaa surat batak versi karo telah dijelaskan oleh Neumann (1922) dan Smit (1916).

a. Anak ni surat

Semua ina ni surat yang berupa konsonan berakhir dengan bunyi [a] (bp

bapa). Bunyi [a] ini dapat dihapus dengan menggunakan tanda bunuh yang disebut

pěněngěn [K] atau pangolat [T]. Fungsi diakritik tersebut persis sama dengan diakritik yang disebut virama dalam bahasabahasa India, atau paten dalam bahasa Jawa. Pada contoh berikut aksara Ka kehilangan bunyi [a]: lk\lk\laklak.

Bunyi [a] yang melekat pada ina ni surat dapat diubah menjadi vocal lain dengan menambahkan anak ni surat. Huruf Ga (g) misalnya dapat diubah menjadi gE

Ge seperti dalam kata bligE Balige. Selain itu, ada dua diakritik yang menambahkan bunyi [ng] atau [h] pada ina ni surat, contohnya adalah b^kr Bangkara, atau rumh

rumah [K].

Dua jenis diakritik dapat dikombinasikan: pti^pating [K], reh rěh [K]. Bila terdapat kombinasi dari anak ni surat yang letaknya di belakang ina ni surat (yakni i, u, atau e) dan anak ni surat /h/ atau /ng/ (yang terletak di atas-kanan ina ni surat) maka anak ni surat /h/ atau /ng/ agak bergeser ke kanan sehingga posisinya tepat di atas anak ni surat i, u, atau e. Perlu dicatat bahwa aturan ini tidak selalu dipatuhi.

28

Pada suku kata tertutup yang terdiri dari urutan Konsonan - Vokal - Konsonan, anak ni surat yang menandai vokal selalu diletakkan di antara ina ni surat yang kedua dan anda bunuh seperti terlihat pada contoh ini:

gko\gok; borti- borit [S]; sni-tk-sintak [K].

b. Aksara A dan Ha

Menurut Voorhoeve (1975:41), makna asli hurufaadalah [ha] dan huruf k bermakna [ka], tetapi dalam dialek-dialek selatan a selalu berbunyi [a] dan k bermakna [ha] atau [ka]. Pada kelompok Batak Utara, a selalu bermakna [a] atau [ha] dan k menjadi [ka] seperti dapat dilihat pada tabel berikut:

Karo akuaku

Simalungun aKahu

Pakpak aKaku

Toba aKahu

Mandailing aHahu

Huruf a juga digunakan sebagai penopang vokal. Karena surat Batak hanya mengenal dua ina ni surat yang bermakna vokal, ialah I dan U, maka huruf a dipakai bila vokal-vokal [e], [ǝ], dan [o] berada pada awal suku kata. Dengan demikian aE dibaca [e],

ao dibaca [o] dan sebagainya: aEtkE\etek, aakE\aek, amo\Pompu, ani\dinda,

aN\d^undang.

c. Aksara I dan U

Aksara ina ni surat I dan U (I dan U) hanya digunakan di awal suku kata terbuka (UL ulu, pI<to\ paingot). Bila sebuah suku kata tertutup diawali dengan bunyi [i] atau [u] maka vokal tersebut diwakili oleh kombinasi huruf a dan anak ni surat /i/ atau /u/ (aM\pm umpama, ani\D^ indung). Aturan ini juga berlaku bagi suku kata yang dimulai dengan vokal-vokal lainnya: (amo\Pompu, aoloolo, aems-

ěmas [K]).

*K Di surat Batak versi Karo, huruf I dan U boleh dipakai, boleh tidak. Di mana pun posisinya, I selalu dapat diganti dengan ai, dan U boleh diganti dengan au. Dengan demikian, kata iluh dapat ditulis ailuh atau Iluh. Di semua surat Batak lainnya terdapat kecenderungan untuk selalu menggunakan I dan U bila berada pada posisi awal suku kata terbuka.

29

Karena fonem [w] dan [y] tidak terdapat pada bahasa Batak Toba, maka aksara Wa dan Ya tidak perlu bila menulis surat Batak versi Toba. Namun demikian, huruf Wa (w) dan Ya (w) sering dipakai, juga dalam naskah-naskah Batak Toba, untuk menyambungkan dua vokal. Kata reak, misalnya, dapat ditulis reak\ atau reyk\

dan demikian juga terdapat varian Da (dua) dan Dw (duwa). Tidak jarang kita menjumpai kedua varian pada satu naskah.

Di Karo dan Simalungun deretan dua vokal selalu harus disambungkan dengan menggunakan w dan y. Dalam surat Batak versi Karo, kata sea selalu ditulis sEy

(seya) dan tidak pernah sEa (sea); demikian juga dengan kata dua yang harus ditulis

duw. Di semua surat Batak, w dipakai untuk menyambung dua vokal bila vokal pertama adalah [u] atau [o] (yakni ua, oa, oe, dan ue), sedangkan y menyambung dua vokal bila yang pertama menjadi [e] atau [i] (yakni ia, io, ea, dan eo).

*K Di Karo, vokal ganda (diftong) [ai] biasanya ditulis /e/: kata nai biasanya ditulis nE (ne), tetapi kadang-kadang varian nyi (nayi) digunakan juga. Menurut uli kozok, kebiasaan ini hanya ada di Karo, sedangkan dalam naskah-naskah Toba dan Mandailing deretan vokal [ai] seperti dalam contoh kata sai selalu ditulis sai (sai), dan dalam hal ini s mewakili /sa/ dan ai /i/.

Vokal ganda [au] tidak lazim digunakan di Karo. Di antara beberapa kata yang menggunakan [au] terdapat kata lau (air, sungai) dan laut (laut). Dalam naskah-naskah Karo, lau selalu ditulis layo, dan laut selalu ditulis lawit. Dalam naskah Toba dan Mandailing, [au] selalu ditulis seperti dalam kata saT\, yaitu s /sa/ – aT\ /ut/. Namun perlu diingat bahwa kombinasi bunyi [a] dan [u] dalam kata saut sebetulnya bukan diftong karena [a] dan [u] diucapkan secara terpisa menjadi sa-ut.

*S Pada naskah Simalungun huruf w dan y sering digunakan untuk menulis kata yang berawal vokal. Dengan demikian, ulang sering ditulis wulang, dan on

ditulis won. Kata yang berawal bunyi [i] dan [e] juga sering ditulis dengan y.

Diftong [ei] sering terdapat dalam bahasa Simalungun, misalnya dalam kata

atei atau tarsulei. Kedua kata ini biasa ditulis atE ate dan tr-SlEtarsule. Kadang-kadang huruf Ya dipakai untuk menambah vokal /i/: atEyiatei,tr-SlEyi, tarsulei.

d. Nasalisasi dan aksara Mba dan Nda (K)

Salah satu ciri khas surat Batak versi Karo adalah bahwa bunyi sengau [m], [n], dan

[ŋ] yang terdapat sebelum konsonan [b], [c], [d], [g], [j], [k], dan [p] tidak ditulis.

Dengan demikian, kata panta selalu ditulis pt. Demikian juga dengan kata tonggal

yang selalu ditulis togal, banci menjadi baci, nangkih menjadi nakih, sampur menjadi

sapur dan sebagainya:

30

Tonggal = togal Togl

nande = nade ndE

lanja = laja lj

sampur = sapur spru-

tangkal = takal tkl-

Demikian juga dengan kata nande yang sering ditulis nade, dan kata mambur yang sering ditulis mabur walaupun terdapat aksara Nda dan Mba. Tingkat penggunaan kedua aksara tersebut tidak terlalu tinggi. Hanya sekitar 40% naskah Karo yang menggunakan aksara itu. Kemungkinan besar kedua aksara tersebut masih relatif baru, meskipun telah digunakan pada naskah Karo yang paling lama. Perlu dicatat bahwa umur naskah-naskah Karo yang berada di museum-museum di dalam dan di luar negeri jarang melebihi 120 tahun.

e. Kendala Morfemik

Seperti sudah disebut di atas, surat Batak sebenarnya bukan abjad karena tidak benar-benar fonetis. Hal itu juga tampak dari kenyataan bahwa hanya seorang yang mengetahui bahasanya dapat menulis surat Batak. Jika kita disuruh menulis kata

marina dengan menggunakan huruf Latin, kita dapat melaksanakan hal itu dan bisa menulis kata yang diucapkan tadi tanpa kesalahan walaupun kita tidak mengerti katanya. Ialah karena abjad Latin pada hakikatnya fonetis.

Lain halnya jika kita disuruh menulis kata yang sama dengan surat Batak. Jika kita tidak menguasai bahasa Batak Toba, tentu kita akan menulis mrin karena kita tidak tahu bahwa kata marina terdiri atas dua morfem yakni awalan {mar-} dan kata dasar {ina}. Struktur morfemik inilah yang turut mempengaruhi cara menulis surat

Batak, dan ada kecenderungan untuk menandai batas-batas morfemis dengan menulis

mr\In . Demikian juga dengan kata taringot tr\I<to\ atau parulian pr\Ulian\.

Perlu dicatat, bahwa aturan ini tidak selalu diperhatikan oleh penulis naskah-naskah Batak. Cukup banyak naskah yang menulis kata maringan mri<n\ dan bukan

mr\I<n\.

f. Konsonan ganda

*KP Dalam bahasa Karo dan Pakpak terdapat banyak kata yang mempunyai struktur KVKVK dengan e-pepet [ə] sebagai vokal pertama. Dalam hal ini, konsonan yang mengikuti pepet itu dapat dieja ganda: misalnya kata bělin ‘besar’ bila diucapkan pelan-pelan ejaan menjadi bel-lin. Dengan demikian, struktur kata sebenarnya bukan KVKVK, melainkan terdiri dari dua suku kata yang masing-masing berbunyi KVK. Penulisannya bisa belni- bělin atau ble-lni- běllin. Contoh lain adalah: bě-ne

Dokumen terkait