• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

2.5 Kosurfaktan

2.5.1 PEG (polietilen glikol) 400

PEG (Polietilen glikol) merupakan polimer dari etilen oksida dan dibuat menjadi bermacam-macam panjang rantainya. Polietilen glikol yang memiliki berat molekul rata-rata 200, 400, dan 600 berupa cairan bening tidak berwarna dan yang mempunyai berat molekul rata-rata lebih dari 1000 berupa lilin putih, padat, dan kepadatannya bertambah dengan bertambahnya berat molekul. Macam-macam kombinasi dari polietilen glikol bisa digabung dengan cara melebur dengan memakai dua jenis atau lebih untuk memperoleh konsistensi basis yang diinginkan, dan sifat khasnya (Ansel, 2008). Gambar rumus bangun PEG 400 dapat dilihat pada Gambar 2.3.

Gambar 2.3 Rumus bangun PEG 400

17 2.6 Sistem HLB

Umumnya masing-masing zat pengemulsi mempunyai suatu bagian hidrofilik dan suatu bagian lipofilik dengan salah satu diantaranya lebih atau kurang dominan dalam mempengaruhi dengan cara yang telah diuraikan untuk membentuk tipe emulsi. Suatu metode telah diperkirakan dimana zat pengemulsi dan zat aktif per mukaan dapat digolongkan susunan kimianya sebagai keseimbangan hidrofil-lipofil atau HLB nya. Dengan metode ini tiap zat mempunyai harga HLB atau angka yang menunjukkan polaritas dari zat tersebut (Ansel, 2008).

Bahan-bahan yang sangat polar atau hidrofilik angkanya lebih besar daripada bahan-bahan yang kurang polar dan lebih lipofilik. Umumnya zat aktif permukaan itu mempunyai harga HLB yang ditetapkan antara 3 sampai 6 dan menghasilkan emulsi air dalam minyak. Sedangkan zat-zat yang mempunyai harga HLB antara 8 sampai 18 menghasilkan emulsi minyak dalam air (Ansel, 2008).

18 BAB III

METODE PENELITIAN

Penelitian ini dilakukan dengan metode eksperimental yang meliputi tahapan pengumpulan sampel dan pengolahan simplisia, karakterisasi simplisia, skrining fitokimia, pembuatan ekstrak etanol 96%, pembuatan sediaan mikroemulsi, evaluasi sediaan meliputi pengamatanorganoleptis, pengujian tipe emulsi, pengujian homogenitas, uji viskositas, penentuan pH, uji sentrifugasi, penentuan bobot jenis, pengukuran tegangan permukaan, penentuan ukuran partikel dan penentuan stabilitas sediaan. Penelitian ini dilaksanakan di Laboratorium Farmakognosi Fakultas Farmasi Universitas Sumatera Utara, Laboratorium Farmasi Fisik Fakultas Farmasi Universitas Sumatera Utara dan Laboratorium Kosmetologi Fakultas Farmasi Universitas Sumatera Utara.

3.1 Alat dan Bahan 3.1.1 Alat

Alat yang digunakan dalam penelitian ini adalah neraca analitik (Boeco Germany), lemari pengering, oven, pemanas, seperangkat alat destilasi, blender (Miyako), rak tabung reaksi, kertas saring, alumunium foil, spatula, sudip, pot plastik, kertas perkamen, alat-alat gelas laboratorium(Iwaki pyrex), cawan penguap, penangas air, rotary evaporator, magnetic stirer (Thermo), Viskometer

19

Brookfield,pH meter (Hanna), alat sentrifus (Hitachi CF 16 R X II), tabung sentrifus(Pyrex), piknometer, Vascoγ CORDOUAN Particle SizeAnalyzerdan sonikator(Branson)

3.1.2 Bahan

Bahan tumbuhan yang digunakan dalam penelitian ini adalah daun binahong (Anredera cordifolia (Ten.) Steenis). Bahan kimia yang digunakan yaitu : etanol 96%, asam klorida, asam sulfat pekat, asam asetat anhidrida, besi (III) klorida bismuth nitrat, magnesium, butanol, amil alkohol, n-heksan, toluen, kloroform, raksa (II) klorida, kalium iodida, bismuth (II) nitrat, akuades, minyak kedelai, tween 80, PEG 400, nipagin, metilen biru, larutan dapar pH asam (4,0) dan larutan dapar pH netral (7,01).

3.2 Penyiapan Bahan Tumbuhan

Penyiapan bahan tumbuhan meliputi pengambilan bahan tumbuhan, identifikasi tumbuhan, pembuatan dan karakterisasi simplisia dan pembuatan ekstrak etanol 96% daun binahong.

3.2.1 Pengambilan bahan tumbuhan

Bahan yang digunakan adalah daun binahong yang masih segar. Pengambilan daun binahong dilakukan secara purposif tanpa membandingkan dengan tumbuhan yang sama dari daerah lain. Bahan diambil dari Jalan Seram Gg. Bengkel No. 7, Kelurahan Bantan, Kecamatan Siantar Barat, Kota Pematangsiantar, Provinsi Sumatera Utara.

3.2.2 Identifikasi tumbuhan

20

Identifikasi tumbuhan dilakukan di Herbarium Medanense, Departemen Biologi FMIPA Universitas Sumatera Utara.

3.2.3 Pembuatan simplisia

Daun binahong dibersihkan dari kotoran yang melekat, dicuci dengan air bersih, ditiriskan, lalu ditimbang berat basah, kemudian dikeringkan di lemari pengering dengan suhu 40-50oC. Daun kering yang ditandai rapuh (bila diremas menjadi hancur) dan diperoleh berat kering, kemudian diserbuk dengan menggunakan blender. Serbuk simplisia disimpan dalam wadah plastik tertutup rapat.

3.3 Karakterisasi Simplisia

Pemeriksaan karakterisasi simplisia seperti penetapan kadar air dilakukan menurut prosedur World Health Organization (1998); pemeriksaan makroskopik, penetapan kadar sari larut air, penetapan kadar sari larut etanol, penetapan kadar abu total dan penetapan kadar abu tidak larut asam dilakukan menurut prosedur Depkes RI (1989).

3.3.1 Pemeriksaan makroskopik

Pemeriksaan makroskopik terhadap simplisia daun binahong meliputi pemeriksaan bentuk, bau, warna, dan rasa dan juga dilakukan pemeriksaan makroskopik terhadap daun binahong segar.

3.3.2 Penetapan kadar air

Sebanyak 200 ml toluen dan 2 ml air suling dimasukkan ke dalam labu alas bundar, lalu didestilasi selama 2 jam. Setelah itu, toluen dibiarkan mendingin selama 30 menit, dan dibaca volume air pada tabung penerima dengan ketelitian 0,05 ml. Kemudian ke dalam labu tersebut dimasukkan 2 gram serbuk simplisia

21

yang telah ditimbang seksama, labu dipanaskan hati-hati selama 15 menit. Setelah toluen mendidih, kecepatan tetesan diatur lebih kurang 2 tetes tiap detik sampai sebagian besar air terdestilasi, kemudian kecepatan tetesan dinaikkan hingga 4 tetes tiap detik. Setelah semua air terdestilasi, bagian dalam pendingin dibilas dengan toluen. Destilasi dilanjutkan selama 5 menit, kemudian tabung penerima dibiarkan mendingin pada suhu kamar. Setelah air dan toluen memisah sempurna, volume air dibaca dengan ketelitian 0,05 ml. Selisih kedua volume air yang dibaca sesuai dengan kandungan air yang terdapat dalam bahan yang diperiksa. Kadar air dihitung dalam persen (WHO, 1998).

3.3.3 Penetapan kadar sari yang larut dalam air

Sebanyak 5 gram serbuk simplisia dimasukkan dalam labu tersumbat, dimaserasi dengan 100 ml air kloroform P (2,5 ml kloroform dalam 1000 ml air) selama 24 jam, sambil sesekali dikocok selama 6 jam pertama dan kemudian dibiarkan selama 18 jam. Disaring, sejumlah 20 ml filtrat diuapkan sampai kering dalam cawan dangkal berdasar rata yang telah ditara, sisanya dipanaskan pada suhu 105oC sampai bobot tetap. Hitung kadar dalam persen sari yang larut dalam air, terhadap bahan yang telah dikeringkan udara (Depkes RI, 1989).

3.3.4 Penetapan kadar sari yang larut dalam etanol

Sebanyak 5 gram serbuk simplisia dimasukkan dalam labu tersumbat, dimaserasi dengan 100 ml etanol 96% selama 24 jam, sambil sesekali dikocok selama 6 jam pertama, kemudian dibiarkan selama 18 jam. Disaring, kemudian sejumlah 20 ml filtrat diuapkan sampai kering dalam cawan dangkal berdasarkan rata-rata cawan yang telah ditara sebelumnya, kemudian sisanya dipanaskan pada suhu 105oC sampai bobot tetap. Hitung dalam persen kadar sari yang larut dalametanol terhadap bahan yang telah dikeringkan udara (Depkes RI, 1989).

22 3.3.5 Penetapan kadar abu total

Sebanyak 2 gram serbuk yang telah digerus dan ditimbang seksama dimasukkan ke dalam krus platina atau krus silikat yang telah dipijar dan ditara, ratakan. Pijarkan perlahan-lahan hingga arang habis, dinginkan, timbang. Jika dengan cara ini arang tidak dapat dihilangkan, tambahkan air panas, saring melalui kertas saring bebas abu. Pijarkan sisa dan kertas saring dalam krus yang sama.

Masukkan filtrat ke dalam krus, uapkan, pijarkan hingga bobot tetap, timbang.

Hitung kadar abu terhadap bahan yang telah dikeringkan di udara (Depkes RI, 1989).

3.3.6 Penetapan kadar abu yang tidak larut dalam asam

Abu yang diperoleh pada penetapan kadar abu total, didihkan dengan 25 ml asam klorida encer selama 5 menit, kumpulkan bagian yang tidak larut dalam asam, saring melalui kertas saring bebas abu, cuci dengan air panas, pijarkan hingga bobot tetap, timbang. Hitung kadar abu yang tidak larut dalam asam terhadap bahan yang telah dikeringkan di udara (Depkes RI, 1989).

3.4 Pembuatan Ekstrak Etanol 96% Daun Binahong

Pembuatan ekstrak dilakukan dengan cara maserasi menggunakan pelarut etanol 96%. Masukkan 10 bagian simplisia atau campuran simplisia dengan derajat halus yang cocok ke dalam sebuah bejana, tuangi dengan 75 bagian cairan penyari, tutup, biarkan selama 5 hari terlindung dari cahaya sambil sering diaduk, serkai, peras, cuci ampas dengan cairan penyari secukupnya hingga diperoleh 100 bagian.

Pindahkan ke dalam bejana tertutup, biarkan ditempat sejuk, terlindung dari cahaya, selama 2 hari. Enap tuangkan atau saring (Ditjen POM, 1979).

23 3.5 Pembuatan Larutan Pereaksi

Pembuatan pereaksi Bourchardat, pereaksi Mayer, pereaksi Dragendroff, klorida 1%, pereaksi Liebermann-Burchard, larutan asam sulfat 2N, larutan asam klorida 2N,larutan besi (III) klorida 1% (Depkes RI, 1989).

3.5.1 Pereaksi Mayer

Sebanyak 1,4 g raksa (II) klorida dilarutkan dalam air suling hingga 60 ml pada wadah lain ditimbang sebanyak 5 g kalium iodida lalu dilarutkan dalam 10 ml air suling. Kedua larutan dicampurkan dan ditambahkan air suling hingga diperoleh larutan 100 ml (Depkes RI, 1989).

3.5.2 Pereaksi Dragendroff

Sebanyak 0,8 g bismuth (II) nitrat ditmbang, dilarutkan dalam 20 ml asam nitrat pekat, lalu ditimbang sebanyak 27,2 g kalium iodida dalam 50 ml air suling.

Kedua larutan dicampurkan dan didiamkan sampai memisah sempurna, larutan jernih diencerkan dalam air suling hingga diperoleh larutan 100 ml (Depkes RI, 1989).

3.5.3 Pereaksi Bourchardat

Sebanyak 4 g kalium iodida ditimbang, dilarutkan dalam air suling secukupnya, lalu ditambahkan 2 g iodium kemudian ditambahkan air suling hingga diperoleh larutan 100 ml (Depkes RI, 1989).

3.5.4 Pereaksi Liebermann-Burchard

Sebanyak 5 bagian volume asam sulfat pekat dicampurkan dengan 50 bagian volume etanol 95%. Ditambahkan dengan hati-hati 5 bagian volume asetat

anhidrida ke dalam campuran tersebut dan dinginkan (Depkes RI, 1995).

3.5.5 Larutan besi (III) klorida 1%

24

Sebanyak 1 g besi (III) klorida ditimbang, kemudian dilarutkan dalam air secukupnya hingga diperoleh larutan 100 ml (Ditjen POM RI, 1979).

3.5.6 Larutan asam klorida 2 N

Diambil asam klorida pekat 7,293 g kemudian ditambah air suling sampai 100 ml (Depkes RI, 1989).

3.5.7 Larutan asam sulfat 2 N

Sebanyak 5,5 ml larutan asam sulfat pekat ditambahkan air suling sampai 100 ml (Depkes RI, 1989).

3.6 Skrining Fitokimia

Skrining fitokimia dilakukan untuk mengetahui golongan senyawa kimia yang terkandung dalam simplisia, meliputi golongan alkaloida, flavonoida, saponin, tanin, dan steroida/triterpenoida.

3.6.1 Pemeriksaan triterpenoida/steroida

Sebanyak 1 g serbuk simplisia dimaserasi dengan 20 ml n-heksan selama 2 jam, disaring, filtrat diuapkan dan sisanya ditambahkan pereaksi Liebermann-Burchard. Terbentuk warna ungu atau merah yang berubah menjadi biru ungu atau biru kehijauan menunjukkan adanya triterpenoid/steroid bebas(Farnsworth, 1966).

3.6.2 Pemeriksaan alkaloida

Timbang 500 mg serbuk simplisia, tambahkan 1 ml asam klorida 2 N dan 9 ml air, panaskan di atas penangas air selama 2 menit, dinginkan dan saring.

Pindahkan 3 tetes filtrat pada kaca arloji, tambahkan 2 tetes Bouchardat. Jika pada kedua percobaan tidak terjadi endapan, maka serbuk tidak mengandung alkaloid.Mayer terbentuk endapan berwarna putih atau kuning yang larut dalam

25

metanol dan dengan Bouchardat terbentuk endapan berwarna coklat sampai hitam, maka ada kemungkinan terdapat alkaloid.

Lanjutkan percobaan dengan mengocok sisa filtrat dengan 3 ml ammonia pekat dan 10 ml campuran 3 bagian volume eter dan 1 bagian volume kloroform.

Ambil fase organik, tambahkan natrium sulfat anhidrat, saring. Uapkan filtrat di atas penangas air larutkan sisa dalam sedikit asam klorida 2 N. Lakukan percobaan dengan keempat golongan larutan percobaan, serbuk mengandung alkaloid jika sekurang-kurangnya terbentuk endapan dengan menggunakan dua golongan larutan percobaan yang digunakan (Depkes RI, 1989).

3.6.3 Pemeriksaan flavonoida

Sebanyak 0,5 g sampel ditambahkan 20 ml air panas, dididihkan selama 10 menit dan disaring dalam keadaan panas, ke dalam 5 ml filtrat ditambahkan 0,1 g serbuk magnsium dan 1 ml asam klorida pekat dan 2 ml amil alkohol, dikocok dan dibiarkan memisah. Flavonoida positif jika terjadi warna merah, kuning, jingga pada lapisan amil alkohol (Farnsworth, 1966).

3.6.4 Pemeriksaan tanin

Sebanyak 0,5 g sampel disari dengan 10 ml air suling, disaring lalu filtratnya diencerkan dengan air suling sampai tidak berwarna. Filtrat yang diperoleh diambil 2 ml, lalu ditambahkan 1-2 tetes pereaksi FeCl3. Terbentuknya warna biru atau hijau kehitaman menunjukkan adanya tanin (Farnsworth, 1966).

3.6.5 Pemeriksaan saponin

Masukkan 0,5 g serbuk yang diperiksa ke dalam tabung reaksi, tambahkan 10 ml air panas, dinginkan dan kemudian kocok kuat-kuat selama 10 detik, terbentuk buih yang mantap selama tidak kurang dari 10 menit, setinggi 1 cm sampai 10 cm.

pada penambahan 1 tetes asam klorida 2 N, buih tidak hilang (Depkes RI, 1989).

26 3.7 Formulasi Sediaan

3.7.1 Formulasi sediaan mikroemulsi

Pada formulasi mikroemulsi, persentase komposisi bahan dalam mikroemulsidimodifikasi dari formulasi mikroemulsi pada penelitian sebelumnya.

Pada penelitian sebelumnya, Anggai, dkk (2015) melakukan penelitian tentang mikroemulsi ekstrak etanol beras merah dengan variasi konsentrasi tween 80 dan PEG 400. Komposisi bahan yang digunakan dalam penelitian tersebut adalah sebagai berikut dapat dilihat pada Tabel 3.1.

Tabel 3.1 Formula mikroemulsipada penelitian Anggai, dkk., (2015)

Bahan

Formula % (Minyak : Tween 80 + PEG 400)

F1 F2 F3 F4 F5 F6 F7 F8 F9 F10 F11

1:1 1:2 1:3 1:4 1:5 1:6 1:7 1:8 1:9 1:10 1:11

Sweet almond oil 5 5 5 5 5 5 5 5 5 5 5

Tween 80 3,5 7,5 10,5 12,5 15 17,5 20 22,5 25 27,5 30

PEG 400 1,5 2,5 4,5 7,5 10 12,5 15 17,5 20 22,5 25

Air ad 100 100 100 100 100 100 100 100 100 100 100

Selanjutnya, pada penelitian ini formulasi mikroemulsi diperoleh dengan cara modifikasi formula pada penelitian Anggai, dkk (2015), namun sebelumnya terlebih dahulu dilakukan uji pendahuluan (orientasi) untuk mengetahui kondisi dan komposisi bahan yang terbaik dalam pembuatan sehingga didapatkan sediaan mikroemulsi yang jernih dan stabil. Maka untuk uji pendahuluan diambil formula F9, F10, dan F11. Perbandingan 1:1 sampai 1:11 didapatkan dari jumlah minyak (1)

27

: hasil penjumlahan dari Tween 80 + PEG 400. Formulasi komposisi bahan yang dimodifikasi dari penelitian Anggai., dkk (2015) terdapat pada Tabel 3.2

Tabel 3.2Formula mikroemulsi yang dimodifikasi sebelum penambahan ekstrak

Bahan

Keterangan : F1: Konsentrasi Tween 80 (25 %) dan PEG 400 (20%) F2 : Konsentrasi Tween 80 (27,5 %)dan PEG 400 (22,5%) F3 : Konsentrasi Tween 80 (30 %) dan PEG 400 (25%)

Dari uji pendahuluan yang telah dilakukan diperoleh formula F3 (1:11) dengan komposisi bahan yang terbaik yang menghasilkan mikroemulsi yang jernih dan transparan. Maka F3 (1:11) diformulasikan sebagai blanko dan penambahan ekstrak dengan konsentrasi yang berbeda. Formulasi mikroemulsi dengan variasi konsentrasi ekstrak dapat dilihat pada Tabel 3.3.

Tabel 3.3Formulasi mikroemulsi setelah penambahan ekstrak

Keterangan: F1: Blanko

F2: Konsentrasi ekstrak daun binahong 0,1%

Bahan

28

F3: Konsentrasi ekstrak daun binahong 0,3%

F4: Konsentrasi ekstrak daun binahong 0,5%

3.7.2 Prosedur pembuatan mikroemulsi

Pada proses pembuatan mikroemulsi terlebih dahulu dilakukan uji pendahuluan untuk mengetahui kondisi terbaik dan komposisi bahan yang terbaik dalam pembuatan sehingga didapatkan sediaan mikroemulsi yang jernih dan stabil.

Prosedur pembuatan mikroemulsi sebagai berikut :

1. Dilarutkan nipagin dengan akuades dengan cara dipanaskan hingga nipagin larut kemudian didinginkan

2. Kemudian larutan tersebut digunakan untuk melarutkan ekstrak daun binahong sambil diaduk dengan kecepatan 3000 rpm selama 15 menit 3. Ditambahkan surfaktan (tween 80) dan kosurfaktan (PEG 400) sampai

terbentuk campuran homogen

4. Kemudian ditambahkan minyak kedelai dan diaduk hingga homogen dengan kecepatan 5000 rpm, pengadukan dilakukan selama delapan jam dihitung dari semua bahan yang telah dicampurkan hingga terbentuk mikroemulsi yang jernih dan transparan

5. Disonikator mikroemulsi yang terbentuk selama 30 menit (Anggai, dkk, 2015)

3.8 Evaluasi Mikroemulsi 3.8.1 Pengamatan stabilitas

29

Sediaan mikroemulsi dievaluasi secara fisik meliputi bau, warna, kejernihan dan endapan selama 12 minggu dengan pengamatan setiap 1 minggu sekali.

Pengamatan ini dilakukan pada mikroemulsi yang disimpan pada suhu kamar (Ansel, 2008).

3.8.2 Pemeriksaan homogenitas sediaan

Sejumlah tertentu sediaan jika dioleskan pada sekeping kaca, sediaan harus menunjukkan susunan yang homogen dan tidak terlihat adanya butiran kasar (Ditjen. POM, 1979).

3.8.3 Penentuan tipe emulsi

Penentuan tipe emulsi pada sediaan krim dilakukan dengan dua cara, yaitu:

Pengenceran fase dilakukan dengan mengencerkan 0,5 gram sediaan krim dengan 25ml air dalam beaker gelas. Jika sediaan terdispersi secara homogen dalam air, maka sediaan termasuk emulsi tipe m/a sedangkan jika sediaan tidak terdispersi secara homogen dalam air, maka sediaan termasuk emulsi tipe a/m (Ditjen POM, 1985).

Pewarnaan dilakukan dengan menambahkan larutan metilen biru sebanyak 1 tetes dengan 1 tetes sediaan, lalu diaduk. Bila metilen biru tersebar merata berarti sediaan tersebut emulsi tipe m/a, tetapi bila metilen biru tersebar tidak merata berarti sediaan tersebut emulsi tipe a/m (Ditjen POM, 1985).

3.8.4 Uji viskositas

Pengukuran viskositas dilakukan dengan cara sediaan mikroemulsi dimasukkan ke dalam beker gelas 100 ml dan dipilih nomor spindle yang sesuai.

30

Pengukuran ini dilakukan dengan tiga kali pengulangan dengan menggunakan viskometer Brookfield DV-E.

3.8.5 Penentuan pH

Penentuan pH sediaan dilakukan dengan menggunakan alat pH meter.Cara:

Alat terlebih dahulu dikalibrasi dengan menggunakan larutan dapar standarnetral (pH 7,01) dan larutan dapar pH asam (pH 4,01) hingga alat menunjukkan harga pH tersebut. Kemudian elektroda dicuci dengan air suling, lalu dikeringkan dengan tissue. Sampel dibuat dalam konsentrasi 1% yaitu ditimbang 0,25 gram sediaan dan dilarutkan dalam 25 ml air suling. Kemudiaan elektroda dicelupkan dalam larutan tersebut. Dibiarkan alat menunjukkan harga pH sampai konstan. Angka yang ditunjukkan pH meter merupakan pH sediaan (Rawlins, 2003).

3.8.6 Uji sentrifugasi

Uji sentrifugasi dilakukan pada awal setelah sediaan dibuat dengan pengukuran sebanyak 1 kali. Sediaan mikroemulsi dimasukkan ke dalam tabung sentrifus kemudian dilakukan sentrifus pada kecepatan 3750 rpm selama 5 jam (Lachman, dkk., 1994).

3.8.7 Penentuan bobot jenis mikroemulsi

Penentuan bobot jenis mikroemulsi dilakukan pada awal setelah sediaan dibuat dengan pengukuran sebanyak 1 kali. Bobot jenis diukur dengan menggunakan piknometer pada suhu kamar. Piknometer yang bersih dan kering ditimbang (A g). Kemudian diisi dengan air sampai penuh dan ditimbang (A1 g).

Air dikeluarkan dari piknometer dan piknometer dibersihkan. Sediaan mikroemulsi diisikan dalam piknometer sampai penuh dan ditimbang (A2 g). Bobot jenis diukur dengan perhitungan sebagai berikut :

Bobot jenis = A2−A

A1−A

31 (Ditjen POM, 1995).

3.8.8 Pengukuran tegangan permukaan mikroemulsi

Pengukuran tegangan permukaan mikroemulsi dilakukan pada awal setelah sediaan dibuat dengan pengukuran sebanyak 1 kali. Tegangan permukaan diukur dengan menggunakan Tensiometer Du Nouy pada suhu kamar. Sampel diisi ke dalam cawan gelas kira-kira 50% nya. Kalibrasikan alat Tensiometer menggunakan akuades. Jika Tensiometer sudah siap, bersihkan cincin Du Nouy dengan cara memanaskan cincin tersebut pada nyala api bunsen selama 10 – 15 detik. Gantung cincin tersebut pada pengait kemudian set posisi jarum pada nol. Turunkan cincin Du Nouy ke dalam sampel hingga kedalaman 2-3 mm dari permukaan cairan.

Selanjutnya angkat pelan-pelan hingga lepas dari cairan sampel. Angka yang ditunjukkan saat cincin lepas dicatat sebagai nilai tegangan permukaan sampel tersebut (Sudarmadji, 2012).

3.8.9 Penentuan ukuran partikel mikroemulsi

Penentuan ukuran partikel dilakukan di Laboratorium Terpadu Fisika USU Medan menggunakan alat Vascoγ CORDOUAN Technologies Particle SizeAnalyzer pada suhu kamar.

32 BAB IV

HASIL DAN PEMBAHASAN

4.1 Hasil Identifikasi Tumbuhan

Tumbuhan yang telah diidentifikasi di Herbarium Medanense, Departemen Biologi FMIPA Universitas Sumatera Utara, hasilnya adalah Anredera cordifolia (Ten.) Steenis, suku Basellaceae. Hasil dapat dilihat pada Lampiran 1, halaman 50.

4.2 Karakterisasi Simplisia

Pemeriksaan karakterisasi simplisia meliputi pemeriksaan makroskopis, pemeriksaan karaterisasi terhadap serbuk simplisia dilakukan uji kadar air, kadar sari larut air, kadar sari larut etanol, kadar abu total, dan kadar abu tidak larut asam.

4.2.1 Pemeriksaan makroskopis

Hasil pemeriksaan makroskopik dari daun binahong segar yaitu daun tunggal, bertangkai sangat pendek, berwarna hijau, bentuk jantung, panjang 5-10 cm, lebar 3-7 cm, helaian daun tipis lemas, ujung runcing, tepi rata, permukaan licin dan bisa dimakan. Hasil dapat dilihat pada Lampiran 2, halaman 51.

4.2.2 Pemeriksaan karakterisasi serbuk simplisia

33

Hasil karakteristik dari serbuk simplisia daun binahong dapat dilihat pada Tabel 4.1 di bawah ini:

Tabel 4.1 Hasil karakteristik serbuk simplisia daun binahong

Karakterisasi simplisia meliputi penetapan kadar air, kadar sari larut air, kadar sari larut etanol

Karakterisasi simplisia meliputi penetapan kadar air, kadar sari larut air, kadar sari larut etanol, kadar abu total, kadar abu tidak larut asam, dan susut pengeringan, dilakukan dengan tujuan menjamin keseragaman mutu simplisia agar memenuhi persyaratan standar simplisia. Beberapa faktor yang dapat mempengaruhi pemeriksaan karakteristik simplisia, diantaranya adalah bahan baku simplisia, cara pembuatan dan penyimpanan simplisia. Selain itu pemeriksaan ini juga menentukan jumlah cemaran dan pengotor yang terkandung pada simplisia.

Penetapan kadar air sangat penting untuk memberikan batasan maksimal kandungan air di dalam simplisia, karena jumlah air yang tinggi dapat menjadi media tumbuhnya bakteri dan jamur sehingga dapat merusak senyawa yang terkandung dalam simplisia (Depkes RI, 2000). Syarat kadar air untuk simplisia daun pada umumnya <10%. Apabila kadar air simplisia lebih besar 10% maka simplisia tersebut akan mudah ditumbuhi kapang pada saat penyimpanan sehingga mutu simplisia akan menurun.

Penetapan kadar sari larut air dan etanol dilakukan untuk memberikan gambaran awal jumlah senyawa yang dapat tersari dengan pelarut air dan etanol. dari suatu simplisia (Depkes RI, 2000). Penetapan kadar abu total dilakukan dengan tujuan memberikan gambaran kandungan mineral internal dan eksternal yang berasal

No. Parameter Hasil

34

dari proses awal sampai terbentuknya simplisia yang berkaitan dengan senyawa organik maupun anorganik yang diperoleh secara internal dan eksternal. Kadar abu tidak larut asam bertujuan untuk mengetahui jumlah abu yang diperoleh dari faktor eksternal seperti pasir atau tanah silikat (Febriani, dkk., 2015).

4.3 Skrining Fitokimia

Skrining fitokimia dilakakukan terhadap simplisia daun binahong. Hasil skrining fitokimia terlihat pada Tabel 4.2 dibawah ini:

Tabel 4.2 Hasil pemeriksaan skrining fitokimia daun binahong No. Golongan senyawa Simplisia

1 Alkaloid -

2 Flavonoid +

3 Tanin -

4 Saponin +

5 Triterpenoid/Steroid +

Keterangan: ( + ) positif: mengandung golongan senyawa ( ˗ ) negatif: tidak mengandung golongan senyawa

Berdasarkan hasil skrining diketahui bahwa simplisia daun binahong mengandung flavonoid, saponin dan triterpenoid/steroid. Daun Anredera cordifolia (Ten.) Steenis., mengandung senyawa saponin, flavonoid, kuinon, steroid, monoterpenoid, dan sesquiterpenoid (Sukandar, dkk., 2011).

Identifikasi menggunakan reaksi warna, uji tanin dinyatakan positif jika dengan penambahan larutan FeCl3 dan harus menghasilkan warna biru, biru kehitaman, hijau atau biru kehijauan dan lapisan endapan. Pengujian flavonoid dengan penambahan serbuk magnesium dan HCl pekat akan menghasilkan perubahan warna dari orange-merah (flavones), merah-merah tua (flavonols), merah tua-magenta (flavonones), dan terkadang hijau atau biru (Farnsworth, 1966).

Reaksi Lieberman-Burchard banyak digunakan untuk uji triterpenoid dan steroid akan memberikan warna hijau-biru menunjukan saponin steroidal dan warna

35

merah, pink, atau ungu menunjukkan triterpenoid. Keberadaan saponin ditunjukkan dengan terbentuknya busa yang bertahan selama 30 menit setelah pengocokan dengan air panas selama 3-5 menit (Farnsworth, 1966)

4.4 Formulasi Mikroemulsi

Pada penelitian ini dihasilkan sediaan mikroemulsi untuk blanko yang berwarna kuning transparan. Mikroemulsi ekstrak dengan konsentrasi ekstrak 0,1%, 0,3% dan 0,5% yang berwarna kuning kehijauan transparan sampai hijau gelap transparan dengan bau khas. Formulasi sediaan mikroemulsi terdiri dari ekstrak etanol daun binahong, minyak kedelai, Tween 80, PEG 400, nipagin dan akuades.

Minyak kedelai merupakan minyak yang mengandung asam lemak rantai panjang, dimana minyak kedelai merupakan minyak yang mengandung lesitin sehingga dapat berfungsi sebagai zat pengemulsi (emulgator) dan membantu

Minyak kedelai merupakan minyak yang mengandung asam lemak rantai panjang, dimana minyak kedelai merupakan minyak yang mengandung lesitin sehingga dapat berfungsi sebagai zat pengemulsi (emulgator) dan membantu

Dokumen terkait