• Tidak ada hasil yang ditemukan

PEGADAIAN DALAM PERSPEKTIF ISLAM

Dalam dokumen Ariyah (Halaman 28-36)

A. Pendahuluan

Bank Muamalat Indonesia (BMI) kian gencar meningkat aliansi dan kerjasama dengan para mitra usahanya. salah satunya dengan memantapkan kerjasama pembiayaan gadai syariah (rahn) dengan Perum pegadaian, yang ditanda tangani awal september lalu. Kerja sama ini mencakup tambahan pembiayaan modal kerja tiga Unit Layanan Gadai Syariah (ULGS) yang telah beroperasi dan pendirian 13 Cabang Layanan Gadai Syariah (Majalah Modal, 2003: 64).

Pegadaian syari’ah sebagai suatu solusi yang muncul di tengah kegelisahan masyarakat terhadap praktek-praktek penipuan yang berkedok jasa, dan juga dilatarbelakangi atas berkurangnya kepercayaan masyarakat kepada lembaga-lembaga yang berorientasi pada penawaran jasa ini, mencoba tampil dengan kepercayaan penuh dan patut untuk mendapatkan kepercayaan. “secara konsep pegadaian syari’ah terfokus pada mekanisme kepengelolaannya yang sesuai dengan kaedah fiqih, dan seperti yang pernah dipraktekan oleh Rasulullah SAW”. Secara umum ciri dari pegadaian adalah transaksi dari pemilik dana (modal) dengan pemilik barang. Transaksi yang dimaksud adalah peminjaman sejumlah dana dengan jaminan barang yang sesuai dengan nilai uang yang dipinjam.

Pada dasarnya konsep pegadaian syari’ah yang dimaksud dapat dilihat dari dua aspek. Pertama, kebutuhan konsumtif Kedua, kebutuhan produktif. Adapun latar belakang munculnya sistem syari’ah secara umum tidak terlepas dari mekanisme sistem konvensional yang menggunakan konsep bunga, sebab dengan konsep bunga yang diterapkan dalam pegadaian konvensional dapat dikatagorikan sebagai riba dan hal ini dilarang oleh Islam, sedangkan dalam sistem syari’ah yang dikembangkan bukanlah sistem tambahan (bunga). (Buletin KOMPAS, Edisi 29/IX/2003). B. Tinjauan Umum Pegadaian dalam Perspektif Islam

1. Pengertian Gadai (rahn)

Ar-Rahn merupakan perjanjian penyerahan barang untuk menjadi agunan dari fasilitas

pembayaran yang diberikan. Ada beberapa definisi yang dikemukakan oleh ulama fiqh. Ulama Mazhab Maliki mendefinisikan rahn sebagai harta yang bersifat mengikat. Ulama Mazhab Hanafi mendefinisikan rahn dengan, “menjadikan sesuatu (barang) sebagai jaminan terhadap hak (piutang) yang mungkin dijadikan sebagai pembayar hak (piutang) tersebut, baik seluruhnya maupun sebagiannya”. Sedangkan ulama Mazhab Syafi’i dan Mazhab Hanbali mendefinisikan rahn dalam arti akad, yaitu “menjadikan materi (barang) sebagai jaminan utang yang dapat dijadikan pembayar utang apabila orang yang berutang tidak bisa membayar utangnya itu”. Rahn di tangan murtahin (pemberi utang kreditur) hanya berfungsi sebagai jaminan utang dari rahin (orang yang berutang debitur). Barang jaminan itu baru dapat dijual/dihargai apabila dalam waktu yang disetujui oleh kedua belah pihak utang tidak dapat dilunasi oleh debitur. Oleh sebab

itu, hak kreditur terhadap barang jaminan hanya apabila debitur tidak melunasi utangnya (Sjahdeini, 1999: 76).

Perjanjian gadai dalam Islam disebut rahn, yaitu perjanjian menahan sesuatu barang sebagai tanggungan utang. Kata rahn menurut bahasa berarti “tetap”, “berlangsung” dan “menahan”. Sedangkan menurut istilah berarti menjadikan sesuatu benda bernilai menurut pendangan syara’ sebagai tanggungan utang; dengan adanya tanggungan utang itu seluruh atau sebagaian utang dapat diterima (Basyir, 1983: 50).

Dalam buku lain juga didefinisikan bahwa rahn adalah menahan sesuatu dengan hak yang memungkinkan pengambilan manfaat darinya atau menjadikan sesuatu yang bernilai ekonomis pada pandangan syari’ah sebagai kepercayaan atas hutang yang memungkinkan pengambilan hutang secara keseluruhan atau sebagian dari barang itu (Tim Pengembangan Perbankan Syari’ah Institut Bankir Indonesia, 2001: 73).

Menurut ta’rif yang lain dalam bukunya Muhammad Syafi’i Antonio (1999: 213) dikemukakan sebagai berikut: “menahan salah satu harta milik si peminjam sebagai jaminan atas pinjaman yang diterimannya. Barang yang ditahan tersebut memiliki nilai ekonomis. Dengan demikian, pihak yang menahan memperoleh jaminan untuk dapat mengambil kembali seluruh atau sebagian piutangnya. Secara sederhana dapat dijelaskan bahwa rahn adalah semacam jaminan hutang atau gadai.

Sedangkan menurut Imam Abu Zakaria Al-Anshori (Syafi’i dalam Chuzaimah, 1997: 60) dalam kitabnya Fathul Wahhab mendefinisikan rahn sebagai berikut: “Menjadikan barang yang bersifat harta sebagai kepercayaan dari suatu utang yang dapat dibayarkan dari harga benda itu bila utang tidak dibayar”.

Selanjutnya Imam Taqiyyuddin Abu-Bakar Al-Husaini dalam kitabnya Kifayatul Ahyar Fii Halli Ghayati Al-Ikhtisar berpendapat bahwa definisi rahn adalah: “Akad/perjanjian utang-piutang dengan menjadikan harta sebagai kepercayaan/penguat utang dan yang memberi pinjaman berhak menjual barang yang digadaikan itu pada saat ia menuntut haknya.”

Lebih lanjut Imam Taqiyyuddin mengatakan bahwa barang-barang yang dapat dijadikan jaminan utang adalah semua barang yang dapat dijual-belikan, artinya semua barang yang dapat dijual itu dapat digadaikan.

Ar-Rahn adalah menahan salah satu harta milik si peminjam sebagai jaminan atas pinjaman yang diterimanya.

Dari berbagai definisi di atas dapat disimpulkan bahwa rahn merupakan suatu akad utang-piutang dengan menjadikan barang yang mempunyai nilai harta menurut pandangan syara’ sebagai jaminan, hingga orang yang bersangkutan boleh mengambil uang.

Gadai untuk menanggung semua hutang. Kalau orang yang berhutang mengembalikan sebagian hutangnya, ia tidak boleh mengambil barang yang digadaikan sebelum melunasi semua

hutangnya. Boleh menggadaian barang milik serikat untuk tanggungan hutang seseorang asal mendapat izin dari serikat. Juga boleh menggadaikan barang pinjaman, sebab barang itu sudah menjadi hak sementara (Rifa’i. 1978: 197-198).

2. Dasar Hukum Gadai

Gadai hukumnya jaiz (boleh) menurut al-Kitab, as-Sunnah, dan Ijma” (Sabiq, 1996: 139). a. Dalil dari al-Qur’an

Surat al-Baqarah ayat 283 yang berbunyi sebagai berikut:

??? ???? ??? ??? ??? ????? ????? ????? ?????? ??? ??? ????? ???? ????? ???? ????? ?????? ????? ???? ??? ??? ?????? ??????? ??? ?????? ???? ???? ???? ????? ??? ?????? ???? (283)

“Jika kamu dalam perjalanan (dan bermu’amalah tidak secara tunai) sedang kamu tidak

memperoleh seorang penulis, maka hendaklah ada barang tanggungan yang dipegang (oleh yang berpiutang). Akan tetapi jika sebagian kamu mempercayai sebagian yang lain, maka hendaklah yang dipercayai itu menunaikan amanatnya (hutangnya) dan hendaklah ia bertaqwa kepada Allah Tuhannya” (Q.S. al-Baqarah: 283).

b. Dalil dari as-Sunnah

Rasulullah pernah menggadaikan baju besinya kepada orang Yahudi untuk ditukar dengan gandum. Lalu orang Yahudi berkata:

“Sungguh Muhammad ingin membawa lari hartaku”. Rasulullah kemudian menjawab: ”bohong! sesungguhnya aku orang yang jujur di atas bumi ini dan di langit. Jika kamu berikan amanat kepadaku pasti aku tunaikan Pergilah kalian dengan baju besiku menemuinya.” (H.R. Bukhari). Ijma’ dan Qiyas Ulama’

Pada dasarnya para ulama’ telah bersepakat bahwa gadai itu boleh. Para Ulama’ tidak pernah mempertentangkan kebolehannya demikian pula landasan hukumnya. Jumhur Ulama’ berpendapat bahwa gadai disyari’atkan pada waktu tidak bepergian maupun pada waktu bepergian. Berdasarkan al-Qur’an dan Hadist diatas menunjukan bahwa transaksi atau perjanjian gadai dibenarkan dalam Islam bahkan Nabi pernah melakukannya. Namun demikian perlu

dilakukan pengkajian yang lebih mendalam dengan melakukan Ijtihad. Bagaimanakah perbandingan konsep pegadaian syari’ah dengan pegadaian konvensional ditinjau dari aspek hukumnya? (Muhammad dan hadi, 2003: 41).

3. Tugas, Tujuan Latar Belakng, dan Fungsi Pegadaian Syariah

Sebagai lembaga keuangan non bank milik pemerintah yang berahak memberikan pinjaman kredit kepada masyarakat atas dasar hukum gadai yang bertujuan agar masyarakat tidak dirugikan oleh lembaga keuangan non formal yang cendrung memanfaatkan kebutuhan dana

mendesak dari masyarakat, maka pada dasarnya lembaga pegadaian (Perum Pegadaian) tersebut mempunyai tugas, tujuan serta fungsi-fungsi pokok sebagai berikut:

Tugas Pokok

Tugas pokok pegadaian yaitu menyalurkan uang pinjaman atas dasar hukum gadai dan usaha-usaha lain yang berhubungan dengan tujuan pegadaian atas dasar materi.

Tujuan Pokok

Sebagai lembaga keuangan syari’ah non bank milik pemerintah bertujuan untuk menyediakan tempat badan usaha bagi orang-orang yang menginginkan prinsip-prinsip syari’ah bagi

masyarakat muslim khususnya dan pada semua lapisan masyarakat non muslim pada umumnya. Disamping itu untuk memenuhi kebutuhan umat akan jasa gadai yang sesuai syari’ah Islam. c. Latar Belakang

Adapun latar belakang berdirinya pegadaian syari’ah yaitu bekerja sama dengan Bank Muamalat Indonesia. Karena Bank Muamalat Indonesia sendiri masih belum punya managemen skill dalam bidang ahli menaksir barang, adapun pegadaian sudah mempunyai ahli penaksir barang akan tetapi dananya sangat terbatas. Maka dari itu perlu adanya kerjasama antara pegadaian dengan bank dengan prinsip bagi hasil.

Sifat usaha pegadaian pada prinsipnya menyediakan pelayanan bagi kemanfaatan umum dan sekaligus memupuk keuntungan berdasarkan prinsip pengelolaan. Oleh karena itu, pegadaian pada dasarnya mempunyai tujuan-tujuan pokok seperti dicantumkan dalam PP No. 103 tahun 2000 sebagai berikut:

1) Turut meningkatkan kesejahteraan masyarakat terutama golongan menengah ke bawah melalui penyediaan dana atas dasar hukum gadai, dan jasa di bidang keuangan lainnya berdasarkan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku.

2) Turut melaksanakan dan menunjung pelaksanaan kebijakan dan program pemerintah di bidang ekonomi dan pembangunan nasional pada umumnya melalui penyaluran uang pinjaman kepada masyarakat atas dasar hukum gadai.

3) Mencegah dan memberantas praktek pegadaian gelap, ijon dan pinjaman tidak wajar lainnya.

Fungsi Pokok

Fungsi pokok pegadaian adalah sebagai berikut:

1) Mengelola penyaluran uang pinjaman atas dasar hukum gadai dengan cara mudah, cepat, aman dan hemat.

2) Menciptakan dan mengembangkan usaha-usaha lain yang menguntungkan bagi pegadaian maupun masyarakat.

3) Mengelola keuangan, perlengkapan, kepegawaian, pendidikan dan pelatihan. 4) Mengelola organisasi, tata kerja dan tata laksana pegadaian.

5) Melakukan penelitian dan pengembangan serta mengawasi pengelolaan pegadaian. Dari tugas, tujuan dan fungsi pegadaian tersebut perum pegadaian adalah lembaga kredit yang melayani hampir semua jenis kebutuhan dana. Kredit tersebut dapat berupa kredit untuk

kebutuhan konsumsi atau terlebih untuk tujuan produksi (misalnya biaya pengolahan sawah dan sebagainya).

4. Persamaan, Perbedaan Rahn dan Gadai

Gadai tanah, sebagaimana yang berlaku dalam hukum adat di Indonesia, tidak ditemukan pembahasannya secara khusus dalam fiqh. Pada satu sisi gadai tanah mirip dengan jual beli. Dalam hal ini hukum adat menyebutnya sebagai jual gadai. Pada sisi lain mirip dengan rahn. Kemiripannya dengan jual beli karena berpindahnya hak menguasai harta yang digadaikan itu sepenuhya kepada pemegang gadai, termasuk memanfaatkan dan mengambil keuntungan dari benda tersebut, walaupun dalam waktu yang ditentukan.

Sedangkan kemiripannya dengan rahn adalah karena adanya hak menebus bagi penggadai atas harta yang digadaikan itu. secara rinci persamaan dan perbedaannya diuraikan sebagai berikut: Persamaan Gadai dan Rahn:

Hak gadai berlaku atas pinjaman uang. b. Adanya agunan sebagai jaminan barang.

c. Tidak boleh mengambil manfaat barang yang digadaikan. d. Biaya barang yang digadaikan ditangung oleh pemberi gadai.

e. Apabila batas waktu pinjaman telah habis, barang yang digadaikan boleh dijual atau dilelang.

Perbedaan Rahn dan Gadai:

a. Rahn dalam hukum Islam dilakukan secara sukarela atas dasar tolong-menolong tanpa mencari keuntungan, sedangkan gadai menurut hukum perdata disamping tolong-menolong juga menarik keuntungan dengan cara menarik bunga atau sewa modal yang ditetapkan.

b. Dalam hukum perdata, hak gadai hanya berlaku pada benda yang bergerak, sedangkan dalam hukum Islam, rahn berlaku pada seluruh harta, baik harta yang bergerak maupun yang tidak bergerak.

c. Dalam rahn, menurut hukum Islam tidak ada istilah bunga utang, yang ada hanyalah sewa tempat.

d. Gadai menurut hukum perdata, dilaksanakan melalui suatu lembaga, yang di Indonesia di sebut Perum pegadaian; Rahn menurut hukum Islam dapat dilaksanakan tanpa melalui suatu lembaga.

Menurut mazhab Hanafi penerima rahn boleh memanfaatkan barang yang menjadi jaminan utang atas izin pemiliknya, karena pemilik barang itu boleh mengizinkan kepada siapa yang

dikehendakinya untuk menggunakan hak miliknya, termasuk untuk mengambil manfaat barangnya. Hal itu menurut mereka bukan riba, karena pemanfaatan barang itu diperoloeh melalui izin. (Muhammad, 2000: 90).

KONSTRUKSI SISTEM OPERASIONAL PEGADAIAN SYARI’AH (RAHN) A. Pegadaian dan Bunga Gadai dalam Islam

Pada dasarnya saat akad perjanjian gadai merupakan akad piutang. Namun akad utang-piutang gadai mensyaratkan adanya penyerahan barang dari pihak yang berhutang sebagai

jaminan utangnya. Apabila terjadi penambahan sejumlah uang atau penentuan persentase tertentu dari pokok utang (dalam pembayaran utang tersebut), maka hal terbut termasuk perbuatan riba, dan riba merupakan suatu hal yang dilarang oleh syara’ (Basyir, 1983: 55).

Mengenai pengertian riba para Ulama’ telah berbeda pendapat. Walaupun demikian,

Afzalurrahman (1996) memberikan pedoman bahwa yang dikatakan riba (lebih lazim) disebut bunga, di dalamnya terdapat tiga unsur berikut: Pertama, kelebihan dari pokok pinjaman; kedua, kelebihan pembayaran sebagai imbalan tempo pembayaran; ketiga, sejumlah tambahan yang disyaratkan dalam transaksi.

Adapun mengenai berlakunya pemungutan bunga (Riba) dalam lembaga pegadaian yang selama ini berlaku, merupakan sudah menjadi hal yang biasa. Hal ini disebabkan oleh karena pendapatan terbesar dari lembaga pegadaian tersebut adalah dari pemungutan bunga dari pokok pinjaman. Bagaimana Islam menanggapi terjadinya praktek tersebut? Mengenai hal ini sebenarnya sudah ada dua peneliti yang telah mengkaji lebih jauh tentang bunga pegadaian, yaitu Muhammad Yusuf dan Viyolina. Adapun untuk mengetahui lebih jelasnya mengenai deskripsi dari penelitian tersebut, secara umum adalah sebagai berikut:

Pertama: Muhammad Yusuf (2000) berpendapat dalam hasil penelitiannya tersebut berpendapat bahwa:

a. Islam membenarkan adanya praktik pegadaian yang dilakukan dengan cara-cara dan tujuan yang tidak merugikan orang lain. Pegadaian dibolehkan dengan syarat rukun yang bebas dari unsur-unsur yang dilarang dan merusak perjanjian gadai. Praktik yang terjadi di pegadaian konvensional, pada dasarnya masih terdapat beberapa hal yang dipandang merusak dan menyalahi norma dan etika bisnis Islam, diantaranya adalah masih terdapat unsur riba, yaitu yang berupa sewa modal yang disamakan dengan bunga.

b. Pegadaian yang berlaku saat ini masih terdapat satu diantara banyak unsur yang dilarang oleh syara’, yaitu dalam upaya meraih keuntungan (laba) pegadaian tersebut memungut sewa modal atau lebih lazim disebut dengan bunga.

Kedua: Viyolina (2000) lebih tegas memaparkan dalam penelitiannya tersebut berpendapat bahwa:

Unsur riba yang terdapat dalam aktivitas pegadaian saat ini sudah pada tingkat yang nyata, yaitu pada transaksi penetapan dan penarikan bunga dalam gadai yang sudah jelas tidak sesuai dengan al-Qur’an dan as-Sunnah.

Penerapan bunga gadai yang pada awalnya sebagai fasilitas untuk memudahkan dalam menentukan besar kecilnya pinjaman, telah menjadi kegiatan spekulatip dari kaum kapitalis dalam mengesploitasikan keuntungan yang besar. Berdasarkan kenyataan tersebut dapat

dijadikan dasar Istinbat (kesimpulan hukum) untuk menyatakan bahwa penarikan dan penetapan bunga gadai belum sesuai dengan prinsip-prinsip hukum Islam dan lebih banyak mendatangkan kemudharatan, sehingga dapat pula dikatakan bahwa penarikan dan penetapan bunga gadai adalah tidak sah dan haram.

Berdasarkan kedua penelitian tersebut di atas, Islam membenarkan adanya praktik utang-piutang dengan cara akad gadai yang sesuai dengan prinsip syari’ah. Artinya, bahwa utang-piutang gadai tersebut tidak boleh mengandung unsur-unsur yang dilarang oleh syara’ seperti adanya unsur riba di dalam akadnya.

B. Aspek Sosial dan Komersial Gadai

Gadai pada dasarnya mempunyai nilai sosial yang sangat tinggi. Yaitu menolong orang yang sedang dalam kesusahan. Namun pada kenyataannya dalam masyarakat konsep tersebut dinilai “tidak adil” karena adanya pihak-pihak yang merasa dirugikan. Dilihat dari segi komersial, yang meminjamkan uang merasa dirugikan, misalnya karena inflasi, pelunasan yang berlarut-larut, sementara barang jaminan tidak laku. Dilain pihak, barang jaminan mempunyai hasil atau manfaat yang kemungkinan dapat diambil manfaatnya atau dipungut hasilnya. Bagaimanakah cara untuk mengatasi hal tersebut? Sejauh manakah hak penerima gadai atas hasil atau manfaat barang yang digadaikan? (Syafi’i dalam Chuzaimah, 1997: 59)

Bertolak dari permasalahan tersebut diatas, berikut akan dibahas solusi alternatif agar pihak penggadai dan penerima gadai tidak merasa saling diperlakukan tidak adil dan tidak merasa saling dirugikan. Sedangkan untuk lebih jelasnya adalah pada bagian berikut:

1 Pendapat ahli hukum Islam tentang manfaat barang gadai pada dasarnya barang gadai tidak boleh diambil manfaatnya, baik oleh Rahin sebagai pemilik maupun Murtahin sebagai pemegang amanat, kecuali mendapat izin masing-masing pihak bersangkutan. Hak Murtahim terhadap Marhun hanya sebatas menahan dan tidak berhak menggunakan atau memungut hasilnya. Demikian pula Rahin, selama Marhun ada ditangan Martahin sebagai jaminan hutang, Rahin tidak berhak menggunakan Marhun. Keadaan demikian ini, apabila kedua belah pihak (rahin dan murtahin) tidak ada kesepakatan (Basyir, 1983: 56).

Adapun mengenai boleh atau tidaknya barang gadai diambil manfaatnya, beberapa Ulama’ berbeda pendapat. Namun menurut Syafi’i (1997) dari kesekian perbedaan pendapat para Ulama yang tergabung dalam beberapa mazhab, sebenarnya ada titik yang mengarah menuju kesamaan dari pendapat mereka. Inti dari kesamaan pendapat Mazhab tersebut terletak pada pemanfaatan barang gadaian pada dasarnya tidak diperbolehkan oleh syara’, namun apabila pemanfatan barang tersebut telah mendapatkan izin kedua belah pihak (rahin dan murtahin), maka

pemanfaatan barang gadaian tersebut diperbolehkan. Sedangkan untuk lebih jelasnya mengenai pendapat para Ulama’ fiqh tentang pemanfaatan barang gadai menurut Syafi’i (1997) adalah

sebagai berikut:

a. Pendapat Ulama as- Syafi’iyah

Mengenai pemanfaatan barang gadaian, masih menajadi perdebatan dikalangan para Ulama, ada yang berpendapat Rahinlah yan berhak atas Marhun, dan adapula berpendapat sebaliknya Murtahinlah yang berhak atas Marhun tersebut. Imam Syafi’i mengatakan dalam bukunya, yaitu al-Um bahwa:

“Manfaat dari barang jaminan atau gadaian adalah bagi yang menggadaikan, tidak ada sesuatu pun dari barang jaminan itu bagi yang menerima gadai” (t.t: 155).

b. Pendapat Ulama Malikiyah

Mengenai pemanfaatan dan pemungutan hasil barang gadaian dan segala sesuatu yang dihasilkan dari padanya, adalah termasuk hak-hak yang menggadaikan. Hasil gadaian itu adalah bagi yang menggadaikan selama pihak penerima gadai tidak mensyaratkan.

c. Pendapat Ulama Hanabillah

Ulama Hanabilah dalam masalah ini memperhatikan barang yang digadaikan itu sendiri, yaitu hewan atau bukan hewan, sedangkan hewanpun dibedakan pula antara hewan yang dapat diperah atau ditunggangi dan hewan yang tidak dapat diperah dan ditunggangi.

d. Pendapat Ulama Hanafiah

Menurut Ulama Hanafiah tidak ada bedanya antara pemanfaatan barang gadaian yang mengakibatkan kurangnya harga atau tidak, maka apabila yang menggadaikan memberi izin, maka penerima gadai sah mengambil manfaat dari barang yang digadaikan oleh penggadai (Syafi’i dalam Chuzaimah, 1997: 72).

http://www.ekisonline.com/component/content/article/37-keuangan/68-pegadaian-dalam-perspektif-islam.html

Dalam dokumen Ariyah (Halaman 28-36)

Dokumen terkait