pengertian ‘Ariyah
‘Ariyah menurut bahasa yaitu pinjaman, sedangkan menurut istilah
‘Ariyah ada beberapa pendapat:
1.
Menurut Hanafiyah ‘ariyah adalah
ﺍﻧﺍﺤﻣ ﻊﻓﺍﻨﻤﻟ
١
ﻚﻴﻠﻤﺗ
“memiliki manfa’at secara Cuma-Cuma”
2.
Menurut malikiyah ‘ariyah adalah
ﻚﻴﻠﻤﺗ
ﺖﻌﻔﻨﻣ
ضﻮﻌﺑﻻ
“memiliki manfa’at dalam waktu tertentu tanpa imbalan”
3.
Menurut Syafi’iyah ‘ariyah adalah
ﻉﺭﺒﺘﻤﻠﺍ ﻰﻠﻋ ﻩ ﺩﺭﻴﻟ ﻪﻨﻴﻋ ﺄﻘﺒ ﻪﺒ ﻉﺭﺒﺗﻠﺍﺖﻴﻠﻫ ﺃ ﻪﻴﻔ ﺺﺨﺷ ﻦﻣ ﻉ ﺎﻔﺘﻧ ﻻﺍ ﺕﺣ ﺎﺑ ﺇ
“kebolehan dalam mengambil manfa’at dari seseorang yang membebaskanya, apa
yang mungkin untuk dimanfa’atkan, serta tetap zat barangnya supaya dapat
dikembalikan kepada pemiliknya”
4.
Menurut Hanabilah ‘ariyah adalah
ﻊﻔﻧ ﺔﺣﺍﺑﺇ
١
ﻦﻣ ضﻮﻋﺮﻴﻔﺑ ﻦﻴﻔﻟ
١
ەﺮﻴﻏﻭﺃﺮﻌﺘﺳﻤﻟ
“kebolehan memanfa’atkan suatu zat barang tanpa imbalan dari peminjam atau
yang lainya “
Dalam Surat annisa’ ayat 58
نﺇ
١
ﻮﺩﻮﺗ ن ﺃ ﻢﻛﺮﻣ ﺃﻳ ﷲ
١١
ﺄﺴﻧﻟﺍ) ﺍﻬﻠﻫﺃﻯﻟﺈﺕﺍﻧﺍﻣﻻ
)
“sesungguhnya Allah memerintahkan kamu agar menyampaikan amanat kepada
yang berhak menerimanya”
1.2
Dasar Hukum ‘Ariyah
Sebenarnya ‘ariyah adalah merupakan sarana tolong menolong antara orang
yang mampu dan orang yang tidak mampu. Bahkan antara sesama orang yang
mampu dan tidak mampu pun ada kemungkinan terjadi saling meminjam. Sesuai
dengan firman Allah:
ﻮﻧﻭﺎﻌﺗﻭ
١
ﻰﻠﻋ
١
ﻭﺮﺒﻟ
١
ﺓﺩﺋﺎﻣﻟﺍ)ﻯﻮﻘﺘﻟ
)
“dan tolong menolonglah kamu dalam kebaikan dan taqwa”(al maidah: 2)
2
Dan didalam hadits Rasullah :
١
ﻡﻟﺴﻣﻭﻯﺭﺧﺒﻟﺍﻩﻭﺭ) ﺔﺒﻛﺮﻓ ﺔﺤﻠﻁ ﻰﺑﺃﻦﻣﺎﺳ
١
ﻢﻌﻠﺻ ﷲﻻﻮﺳﺭ ن
)
“Rasullah meminjam kuda abi tholib dan mengendarainya”( al bukhori)
Dalam suatu riwayat ada dijelaskan bahwa pernah meminjam baju Abu
safyan dengan suatu jaminan, tidak dengan jalan merampas dan tanpa izin.
Berdasarkan dengan hadits diatas ulama fiqh ulama fiqh mengatakan bahwa
‘ariyah hukumanya Mandub( ﺏﻮﺩﻨﻣ ) karena melakukan ‘ariyah merupakan salah
satu bentuk ketaatan (ﺩﺒﻌﺗ) kepada Allah SWT.
Namun para ulama mempunyai pandangan yang berbeda dalam menetapkan
asal akad yang menyebabkan peminjaman “memiliki manfa’at” barang yang
dipinjam. Peminjam itu dilakukan secara suka rela, tanpa ada imbalan dari pihak
peminjam. Oleh sebab itu peminjam berhak meminjamkan barang itu kepada orang
lain untuk dimanfa’atkan, karena manfaat barang tersebut telah menjadi miliknya,
kecuali pemilik barang membatasi pemanfaatanya bagi peminjam saja atau
melarangnya meminjamkan kepada oranglain.
Mazhab Syafi’i, Hanafi, Abu Hasan Ububilah bin hasan Al kharki
berpendapat bahwa ‘ariyah hanya bersifat memanfaatkann benda tersebut karena
itu kemanfaatanya terbatas kepada pihak kedua saja(peminjan) dan tidak boleh
dipinjamkan kepada pihak lai, namun semua Ulama sepakat bahwa benda tersebut
tidak boleh disewakan kepada orang lain.
Ulama juga berpendapat dalam menentukan hukum. Berdasarkan sifat peminjam,
jumhur ulama berpendapat bahwa pemanfaatan barang oleh peminjam terbatas
pada izin kemanfaatan yang diberikan oleh pemiliknya.
Ulama mazhab Hanafi membedakan antara ‘ariyah yang bersifat mutlak dan
terbatas. Bila benda itu dipinjamkan kepada pihak lain (pihak ketiga) maka
peminjam(pihak kedua) berkewajiban mengganti rugi (kerugian), sekiranya terjadi
kerusakan dan mengganti sepenuhnya sekiranya benda itu hilang.
3
1.3
Rukun ‘Ariyah
Jumhur ulama mengatakan rukun ‘ariyah ada empat yaitu:
1.
Orang yang meminjamkan
2.
Orang yang meminjam
3.
Barang yang dipinjam
4.
Lafaz pinjaman
Ulama Mazhab Hanafi
, mengatakan bahwa rukun ‘ariyah hanya satu saja
tidak perlu kabul. Namun menurut Zufar bin Husail bin Qoiz(Ahli fiqih mazhab
hanafi) kabul tetap diperlukan yaitu yang menjadi rukun ‘ariyah adalah ijab dan
kabul. Menurut Mazhab Hanafi, rukun no 1, 2, 3 yang disebutkan jumhur ulama
diatas, bukan rukun tetapi termasuk syarat.
Mengenai syarat ‘ariyah adalah:
1.
Orang yang meminjam harus orang yang berakal dan dapat (cakap) bertindak atas
nama hukum karena orang tidak berakal, tidak dapat memegang amanat. Oleh
sebab itu anak kecil, orang gila, dungu, tidak boleh mengadakan akad ‘ariyah’
2.
Barang yang akan dipinjamkan bukan barang yang apabila dimanfaatkan habis.
Seperti makanan dan minuman.
1.4
Pembayaran Pinjaman
Setiap orang meminjam sesuatu kepada orang lain berarti peminjam memiliki
hutang kepada yang berpiutang(mu’ir)setiap hutang wajib dibayar sehingga
berdosalah orang yang tidak mau membayar hutang. Bahkan melalaikan
pembayaran hutang juga termasuk aniaya. Perbuatan aniaya termasuk perbuatan
dosa sebagaimana sabda Rosullah saw:
(
ﻡﻠﻆ ﻲﻨﻔﻟﺍ ﻞﻄﻣ
(
ﻢﻠﺴﻣﻭﺭﺨﺒﻠﺍﻩﺍﻭﺭ
“orang kaya yang melalaikan membayar hutang adalah aniaya”(riwayat bukhori
muslim).
4
Melebihkan bayaran dari sejumlah hutang diperbolehkan, asal saja kelebihan itu
merupakan kemauan dari yang berhutang semata. Hal ini akan menjadi nilai
kebaikan yang membayar hutang. Sebagaimana sabda Rosullah saw:
ﺎﻓ
ﺀ
ﻡﻠﺴﻣﻭﻯﺭﺠﺒﻠﻩﺍﻩﺍﻭﺭ) ﺎﻀﻗ ﻢﻛﺴﺣ ﺃ ﻢﻛﺭﻴﺧ ﻦﻣن )
“sesungguhnya diantara orang yang terbaik dari kamu adalah orang yang
sebai-baiknya dalam mambayar hutang”(riwayat bukhori dan muslim)
Rosullah saw perhutang hewan, kemudian beliau membayar hutang itu
dengan yang lebih besardan tua umurnya dari hewan yang beliau pinjam. Jika
penambahan tersebut dikehendaki oleh orang yang berhutangan, maka tambahan
itu tidak halal bagi yang brpiutang untuk mengambil.
Sabda Rosullah saw:
(
ﺎﺑﺭﻠﺍ
ﻩﻭﺟﻭ نﻣ ﻪﺟﻭﻬﻓ
ﺔﻌﻔﻬﻣﺭﺟ ضﺭﻗ ﻞﻛ
(
ﻕﻬﻴﺒﻠﺍﻪﺟﺭﺧﺃ
“Tiap-tiap piutang yang mengambil manfaatnya, maka itu adalah salah satu cara
dari sekian cara riba”(dikeluarkan oleh Baihaqi).
1.5
Membayar Pinjaman Dan Menyewakan
Abu Hanifah dan Malik berpendapat bahwa peminjamkan benda pinjaman
kepada orang lain. Sekianpun pemiliknya belum mengizinkanya jika
penggunaanya untuk hal – hal yang tidak berlainan dengan tujuan pemakaian
pinjaman.
Menurut mazhab Hambali, peminjam boleh memanfaatkan barang pinjaman
atau siapa saja yang menggantikan statusnya selama peminjaman berlangsung,
kecuali jika barang tersebut disewakan haram hukumnya. Merupakan. Hambaliyah
menyewakan barang pinjaman tanpa seizin pemilik barang.
5
1.6
Tanggung Jawab Peminjam
Bila peminjam telah memegang barang-barang pinjaman, kemudian barang
tersebut rusak, ia berkewajiban menjaminya. Baik karena pemakaian yang
berlebihan maupun karena yang lainya. Demikian menurut Ibn Abbas, Aisyah,
Abu Khurairoh, Syafi’i, dan Ishaq dalam hadits yang diriwayatkan oleh samurah,
Rosullah bersabda:
ﻱﺩﻭﺘﻰﺘﺣﺕﺩﺧﺄﻣﺩﻴﻠﺍﻰﻠﻋ
“Pemegang berkewajiban menjaga apa yang ia terima hingga ia
mengembalikanya”
Sementara para pengikut Hanafi dan Maliki berpendapat bahwa,
pinjaman tidak berkewajiban menjamin barang pinjamannya kecuali karena
tindakan yang berlebihan.
Sabda Rosullah saw:
“pinjaman yang tidak berhianat tidak berkewajiban mengganti kerusakan, orang
yang dititipi yang tidak berkhianat tidak berkewajiban mengganti kerusakan”
(dikeluarkan al-Daruqurhni)
http://www.canboyz.co.cc/2010/03/makalah-ariyah-dan- pengertiannya.htmlhttp://www.canboyz.co.cc/2010/03/makalah-ariyah-dan-pengertiannya.html
‘Ariyah menurut bahasa berarti datang dan pergi, namun ada juga yang artinya saling menukar dan mengganti. Sedangkan menurut istilah, ulama fikih berbeda pendapat dalam
mendefenisikannya, yaitu :
Menurut Syarkasyi dan ulama Malikiyah : Pemilikan atas manfaat suatu benda tanpa ganti Menurut ulama Syafi’iyah dan Hambaliyah :
Pembolehan untuk mengambil manfaat tanpa ganti[1]
Jadi dapat disimpulkan bahwa ‘Ariyah adalah perbuatan pembolehan memanfaatkan barang milik oleh seseorang kepada orang lain pada waktu tertentu tanpa ada imbalan.
Ulama sepakat ‘ariyah boleh dilakukan terhadap barang yang bermanfaat seperti rumah, hewan, dan seluruh barang yang diperbolehkan agama untuk memanfaatkannya.
Berikut ini adalah beberapa ayat Al Qur’an yang berhubungan dengan ‘ariyah.
1. A. Surat Al Maidah : 2
ﻢْﻬِﺑّﺭَ ﻦْﻣِ لً ﻀْ ﻓَ نَﻮغُﺘَﺒْﻳَ ﻡَﺍﺮَﺤَﻟْﺍ ﺖَ ﻴْﺒَﻟْﺍ ﻦَﻴﻣّﺍءَ ﻻَﻭَ دَﺋِلَ ﻘَﻟْﺍ ﻻَﻭَ ﻱَ دْﻬَﻟْﺍ ﻻَﻭَ ﻡَﺍﺮَﺤَﻟْﺍ ﺮَﻬْشّﻟﺍ ﻻَﻭَ ﷲِّ ﺍ ﺮَﺋِﺎﻌَﺷَ ﺍﻮﻠّﺤِﺗُ ﻻَ ﺍﻮﻨُﻣَﺍءَ ﻦَﻳذِﻟّﺍ ﺎﻬَﻳّﺃَﺎﻳَ ﻻَﻭَ ﻯﻮَﻘْﺘّﻟﺍﻭَ ﺮّﺒِﻟْﺍ ﻰﻠَﻋَ ﺍﻮﻧُﻭَﺎﻌَﺗَﻭَ ﺍﻭدُﺘَﻌْﺗَ نْﺃَ ﻡِﺍﺮَﺤَﻟْﺍ دِﺠِﺴْﻤَﻟْﺍ ﻦِﻋَ ﻢْﻛُﻭدّﺻَ نْﺃَ ﻡٍﻮْﻗَ نُآﻨَﺷَ ﻢْكُﻨّﻣَﺮِﺠْﻳَ ﻻَﻭَﺍﻭﺩُﺎﻄَ ﺻْ ﺎﻓَ ﻢْﺘُﻠْﻠَﺣَ ﺍذَﺇِﻭَ ﺎﻧًﺍﻮَﺿْ ﺭِﻭَ ﺏ
ِ ﺎﻘَﻌِﻟْﺍ دُﻳدِﺷَ ﷲَّ ﺍ نّﺇِ ﷲَّ ﺍ ﺍﻮﻘُﺗّﺍﻭَ نِﺍﻭَدْﻌُﻟْﺍﻭَ ﻢِثْلِْﺍ ﻰﻠَﻋَ ﺍﻮﻧُﻭَﺎﻌَﺗَ
Arti : Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu melanggar syi’ar-syi’ar Allah, dan jangan melanggar kehormatan bulan-bulan haram, jangan (mengganggu) binatang-binatang had-ya, dan binatang-binatang qalaa-id, dan jangan (pula) mengganggu orang-orang yang mengunjungi Baitullah sedang mereka mencari kurnia dan keredhaan dari Tuhannya dan apabila kamu telah menyelesaikan ibadah haji, maka bolehlah berburu. Dan janganlah sekali-kali kebencian(mu) kepada sesuatu kaum karena mereka menghalang-halangi kamu dari
Masjidilharam, mendorongmu berbuat aniaya (kepada mereka). Dan tolong-menolonglah kamu dalam (mengerjakan) kebajikan dan takwa, dan jangan tolong-menolong dalam berbuat dosa dan pelanggaran. Dan bertakwalah kamu kepada Allah, sesungguhnya Allah amat berat siksa-Nya
Menurut keterangan yang terdapat dalam tafsir Al Misbah karangan M. Quraish Shihab menyatakan bahwa di dalam ayat ini Allah menyeru orang-orang beriman : Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu melanggar syari’at-syari’at Allah dalam ibadah haji dan umrah bahkan semua ajaran agama, dan jangan melanggar kehormatan bulan-bulan haram, yaitu Dzul Qa’idah, Dzul Hijjah, Muharram, dan Rajab, jangan menganggu binatang Al Hadya, yaitu
binatang yang akan disembelih di Mekah dan sekitarnya. Demikian juga jangan menganggu Al Qala’id, yaitu binatang-binatang yang dikalungi lehernya sebagai tanda bahwa ia adalah binatang persembahan yang sangat istimewa dan juga jangan menganggu pengunjung Baitullah, yakni siapa yang ingin melaksanakan ibadah haji atau umrah sedang mereka melakukan hal tersebut dalam hal mencari dengan sungguh-sungguh karunia keuntunga duniawai dan keridhaan ganjaran yang Ukhrawi dari Tuhan mereka.
Apabila kamu telah bertahallul menyelesaikan ritual ibadah haji atau umrah atau karena satu dan lai sebab sehingga kamu tidak menyelesaikan ibadah kamu, misalnya karena sakit atau terkepung musuh, maka berburulah jika kamu mau.
Dan janganlah sekali-kali kebencian yang telah mencapai puncaknya sekalipun kepada suatu kaum karena mereka menghalang-halangi kamu dari Mesjid Haram, mendorong kamu berbuat aniaya kepada mereka atau selain mereka. Dan toleong menolonglah kamu dalam mengerjakan kebajikan, yakni segala macam bentuk dan macam hal yang membawa kepada kemaslahatan duniawi atau ukhrawi dan demikian juga tolong menolonglah dalam ketakwaan, yakni segala upaya yang dapat menghindarkan bencana duniawi dan ukhrawi, walaupun dengan orang yang yang tidak seiman dengan kamu, dan janganlah tolong menolong dalam berbuat dosa dan pelanggaran. Dan bertakwalah kamu kepada Allah, sesungguhnya Allah maha berat siksa-Nya.
[2]
Dalam ayat ini, terdapat firman-Nya yang berarti “ Dan tolong menolonglah kamu dalam kebajikan dan ketakwaan, jangan tolong menolong dalam dosa dan pelanggaran”. Ini adalah merupakan prinsip dasar dalam menjalin kerjasama dengan siapapun, selama tujuannya adalah kebajikan dan ketakwaan.
Firman Allah ini merupakan dasar hukum ‘Ariyah (pinjam meminjam) karena dapat saling tolong menolong sesama manusia selama berada dalam kebajikan. Bila diperhatikan ayat kedua surat Al Maidah ini, secara nyata disana disebutkan bahwa perbuatan tolong menolong tidak mutlak berlaku atas semua perbuatan. Secara jelas ayat tersebut mengungkapkan bahwa dalam lapangan perbuatan yang bersifat tercela, tolong menolong itu malah dilarang. Dalam soal
hukum sesuatu persoalan, para ulama pun selalu menekankan bahwa ketentuan-ketentuan hukum tentang suatu masalah amat berkaitan erat dengan illat hukum, sehingga dikatakan bahwa adanya hukum itu ditentukan oleh ada atau tidak adanya illat. Dalam kerangka ini pun, ‘ariyah tidak pula terlepas dari illat hukum.
Sehubungan dengan itu, ‘ariyah bias menjadi wajib atas seseorang yang mempunyai kelebihan harta untuk meminjamkannya kepada seseorang yang sangat membutuhkan, yang mana jika orang itu tidak diberi pinjaman akan menyebabkan ia teraniaya atau akan berbuat sesuatu yang dilarang agama, seperti ia kan mencuri karena ketiadaan biaya untuk mencukupi kebutuhan hidupnya. Akan tetapi bila seseorang memberikan pinjaman yang mana dengan meminjamkan hartanya itu ia bermaksud menganiaya peminjam itu untuk berbuat maksiat, maka hukum ‘ariyah menjadi haram. Dengan demikian, didasarkan paa kondisi-kondisi yang amat bervariasi, hukum pinjam meminjam pun bisa sangat bervariasi pula, seperti wajib, haram, makruh, ataupun mubah.
[3]
Asbabun Nuzul ayat :
Dalam suatu riwayat dikemukakan bahwa Al Hathm bin Hind Al Bakri dating ke madinah membawa kafilah yang penuh dengan makanan, dan memperdagangkannya. Kemudian ia menghadap Rasulullah SAW untuk masuk Islam dan berbai’at (sumpauh setia). Setelah ia pulang, Rasulullah SAW bersabda kepada orang-orang yang ada pada waktu itu bahwa ia masuk
ke sini dengan muka seorang penjahat dan pulang dengan punggung pengkhianat. Dan sesudah ia sampai ke Yamamah, ia pun murtad dari Islam.
Pada suatu waktu di bulan Dzul Qaidah, ia (Al Hathm) berangkat membawa kafilah yang penuh dengan makanan ke menuju Mekah. Ketika para sahabat Rasul mendengar berita kepergiannya ke Mekah, bersiaplah segolongan kaum muhajirin dan anshar untuk mencegat mereka. Akan tetapi turunlah ayat ini ( Al Maidah : 2 ) yang melarang perang pada bulan haram. Pasukan itupun tidak jadi mencegatnya.[4]
1. B. Surat An Nisa’ : 58
ﺎﻌًﻴﻤِﺳَ نَﺎﻛَ ﷲَّ ﺍ نّﺇِ ﻪِﺑِ ﻢْكُظُ ﻌِﻳَ ﺎﻤّﻌِﻧِ ﷲَّ ﺍ نّﺇِ لِدْﻌَﻟْﺎﺑِ ﺍﻮﻤُكُﺤْﺗَ نْﺃَ سِ ﺎﻨّﻟﺍ ﻦَﻴْﺑَ ﻢْﺘُﻤْكَﺣَ ﺍذَﺇِﻭَ ﺎﻬَﻠِﻫْﺃَ ﻰﻟَﺇِ ﺕِ ﺎﻧَﺎﻣَلَْﺍ ﺍﻭﺩّؤَﺗُ نْﺃَ ﻢْﻛُﺮُﻣُﺄْﻳَ ﷲَّ ﺍ نّﺇِ ﺍﺮًﻴصِ ﺑَ
Arti : Sesungguhnya Allah menyuruh kamu menyampaikan amanat kepada yang berhak menerimanya, dan (menyuruh kamu) apabila menetapkan hukum di antara manusia supaya kamu menetapkan dengan adil. Sesungguhnya Allah memberi pengajaran yang sebaik-baiknya kepadamu. Sesungguhnya Allah adalah Maha Mendengar lagi Maha Melihat.
Di dalam Al Maraghi dijelaskan tentang ayat ini, bahwa : ﺎﻬَﻠِﻫْﺃَ ﻰﻟَﺇِ ﺕِ ﺎﻧَﺎﻣَلَْﺍ ﺍﻭﺩّؤَﺗُ نْﺃَ ﻢْﻛُﺮُﻣُﺄْﻳَ ﷲَّ ﺍ نّﺇِ
Sesungguhnya Allah menyuruh kamu menyampaikan amanat kepada yang berhak menerimanya Ada macam-macam amanat yang terkandung dari ayat ini, yaitu :
Pertama : Amanat hamba dengan Tuhannya, yaitu apa yang telah dijanjikan Allah kepadanya untuk dipelihara, berupa melaksanakan segala perintah-Nya, menjauhi larangan-Nya dan
menggunakan segala perasaan dan anggota badannya untuk hal-hal yang bermanfaat baginya dan mendekatkannya kepada Tuhan.
Kedua : Amanat hamba dengan sesama manusia, diantaranya adalah mengembalikan titipan kepada pemiliknya, tidak menipu, menjaga rahasia dan lain sebagainya yang wajib dilakukan terhadap keluarga, manusia pada umumnya dan pemerintah. Termasuk di dalamnya keadilan umara terhadap rakyatnya, dan keadilan para ulama terhadap orang-orang awam dengan
membimbing mereka kepada keyakinan dan pekerjaan yang berguna bagi meeka di dunia dan di akhirat seperti pendidikan yang baik, mencari rizki yang halal, memberikan nasehat dan hukum-hukum yang menguatkan keimanan, menyelamatkan mereka dari berbagai kejahatan dan dosa serta mendorong mereka untuk berbuat kebajikan.
Ketiga : Amanat manusia terhadap dirinya sendiri, seperti hanya memili yang paling pantas dan bermanfaat bagi dirinya dalam masalah agama dan dunianya, tidak langsung mengerjakan hal yang berbahaya baginya di dunia dan akhirat, serta menghindarkan berbagai penyakit sesuai dengan pengetahuan dan petunjuk dokter,
لدْﻌَﻟْﺎﺑِ ﺍﻮﻤُكُﺤْﺗَ نْﺃَ سِ ﺎﻨّﻟﺍ ﻦَﻴْﺑَ ﻢْﺘُﻤْكَﺣَ ﺍذَﺇِﻭَ
dan (menyuruh kamu) apabila menetapkan hukum di antara manusia supaya kamu menetapkan dengan adil
Di dalam banyak ayat, Allah memerintahkan untuk berbuat adil. Diantaranya seperti dalam ayat : ﻯﻮَﻘْﺘّﻠﻟِ ﺏُ ﺮَﻗْﺃَ ﻮَﻫُ ﺍﻮﻟُدِﻋْﺍ
“Berlaku adillah, karena adil itu lebih dekat kepada takwa” ( Al Maidah : 8 ) ط
“Jadilah kalian orang yang benar-benar menegakkan keadilan” ( An Nisa’ : 135 )
Pemutusan perkara diantara manusia mempunyai banyak jalan, diantaranya ialah : pemerintahan secara umum, pengadilan, dan bertahkim kepada seseorang untuk memutuskan perkara antara dua orang yang bersengketa dalam perkara tertentu.
Kemudian Allah menerangkan keadilan dan penyampaian amanat. Dia berfirman : ﻪِﺑِ ﻢْكُظُ ﻌِﻳَ ﺎﻤّﻌِﻧِ ﷲَّ ﺍ نّﺇِ
Sesungguhnya Allah memberi pengajaran yang sebaik-baiknya kepadamu
Sebaik-baik sesuatu yang dinasihatkan kepada kalian adalah menyampaikan amanat dan
memutuskan perkara dengan adil diantara manusia. Sebab Dia tidak menasihatkan kecuali yang mengandung kebaikan, keberuntungan dan kebahagiaan di dunia dan akhirat.
ﺍﺮًﻴصِ ﺑَ ﺎﻌًﻴﻤِﺳَ نَﺎﻛَ ﷲَّ ﺍ نّﺇِ
Sesungguhnya Allah adalah Maha Mendengar lagi Maha Melihat.
Kalian wajib menjalankan segala apa yang diperintahkan dan dinasihatkan Allah, karena Dia lebih mengetahui daripada kalian tentang segala apa yang terdengar dan terlihat.[5]
Pada ayat ini yang berhubungan dengan ‘ariyah adalah “Sesungguhnya Allah menyuruh kamu menyampaikan amanat kepada yang berhak menerimanya”. Yang mana dijelaskan bahwa ‘ariyah berpegang pada prinsip saling menguntungkan antara orang yang berakad maka dalam suatu transaksi tidak boleh ada yang dirugikan. Dengan demikian pihak yang meminjam berkewajiban mengganti barang pinjaman yang rusak selama barang tersebut masih ada dalam kekuasaannya. Karena peminjam telah memperoleh manfaat dari barang yang dipinjamnya. ‘Ariyah atau pinjam meminjam merupakan keizinan pemanfaatn barang untuk sementara waktu bukan pemindahan milik. Apabila telah habis waktu yang ditentukan, maka peminjam wajib mengembalikan barang pinjamannya kepada pemilik barang. Karena pada hakikatnya barang pinjaman merupakan amanat yang wajib dikembalikan, sesuai dengan surat An Nisa’ ayat 58.[6]
Asbabun Nuzul ayat :
Dalam suatu riwayat disebutkan bahwa setelah fathul makkah, Rasulullah SAW memanggil Utsman bin Talhah untuk meminta kunci ka’bah. Ketika Utsman dating menghadap Rasul untuk menyerahkan kunci itu, berdirilah Al Abbas seraya berkata : “Ya Rasulullah, demi Allah,
serahkan kunci itu kepadaku. Saya akan merangkap jabatan itu dengan jabatan urusan pengairan”.Utsman menarik kembali tangannya. Maka bersabdalah Rasulullah :”Berikanlah kunci itu kepadaku, wahai Utsman !” Utsman berkata : “Inilah dia amanat dari Allah”. Maka berdirilah Rasulullah membuka ka’bah dan kemudian keluar untuk thawaf di baitullah. Lalu turunlah Jibril membawa perintah supaya kunci itu diserahkan kepad Utsman. Rasulullah melaksanakan perintah itu sambil membaca surat An Nisa’ ayat 58.[7]
1. C. Surat Al Baqarah : 282 ﷲ ُّ ﺍ ﻪُﻤَﻠّﻋَ ﺎﻤَﻛَ بَ ﺘُكْﻳَ نْﺃَ بٌ ﺗِﺎﻛَ ﺏَ ﺄْﻳَ ﻻَﻭَ لِدْﻌَﻟْﺎﺑِ بٌ ﺗِﺎﻛَ ﻢْكُﻨَﻴْﺑَ بْ ﺘُكْﻴَﻟْﻭَ ﻩُﻮﺒُﺘُﻛْﺎﻓَ ﻰﻤّﺴَﻣُ ﻞٍﺟَﺃَ ﻰﻟَﺇِ ﻦٍﻳْدَﺑِ ﻢْﺘُﻨْﻳَﺍدَﺗَ ﺍذَﺇِ ﺍﻮﻨُﻣَﺍءَ ﻦَﻳذِﻟّﺍ ﺎﻬَﻳّﺃَﺎﻳَ ﻞّﻤِﻳُ نْﺃَ ﻊُﻴﻄِ ﺘَﺴْﻳَ ﻻَ ﻭْﺃَ ﺎﻔًﻴﻌِﺿَ ﻭْﺃَ ﺎﻬًﻴﻔِﺳَ قّ ﺤَﻟْﺍ ﻪِﻴْﻠَﻋَ ﻱذِﻟّﺍ نَﺎﻛَ نْﺈِﻓَﺎئًﻴْﺷَ ﻪُﻨْﻣِ ﺲْ ﺨَﺒْﻳَ ﻻَﻭَ ﻪُﺑّﺭَ ﷲَّ ﺍ قِ ﺘّﻴَﻟْﻭَ قّ ﺤَﻟْﺍ ﻪِﻴْﻠَﻋَ ﻱذِﻟّﺍ ﻞِﻠِﻤْﻴُﻟْﻭَ بْ ﺘُكْﻴَﻠْﻓَ ﻞّﻀِ ﺗَ نْﺃَ ءِﺍدَﻬَشّﻟﺍ ﻦَﻣِ نَﻮْﺿَ ﺮْﺗَ ﻦْﻤّﻣِ نِﺎﺗَﺃَﺮَﻣْﺍﻭَ ﻞٌﺟُﺮَﻓَ ﻦِﻴْﻠَﺟُﺭَ ﺎﻧَﻮكُﻳَ ﻢْﻟَ نْﺈِﻓَ ﻢْكُﻟِﺎﺟَﺭِ ﻦْﻣِ ﻦِﻳْدَﻴﻬِﺷَ ﺍﻭدُﻬِشْﺘَﺳْﺍﻭَ لِدْﻌَﻟْﺎﺑِ ﻪُﻴّﻟِﻭَ ﻞْﻠِﻤْﻴُﻠْﻓَ ﻮَﻫُ ﷲ ِّ ﺍ دَﻨْﻋِ طُ ﺴَﻗْﺃَ ﻢْكُﻟِذَ ﻪِﻠِﺟَﺃَ ﻰﻟَﺇِ ﺍﺮًﻴﺒِﻛَ ﻭْﺃَ ﺍﺮًﻴغِﺻَ ﻩُﻮﺒُﺘُكْﺗَ نْﺃَ ﺍﻮﻣُﺄَﺴْﺗَ ﻻَﻭَ ﺍﻮﻋُﺩُ ﺎﻣَ ﺍذَﺇِ ءُﺍدَﻬَشّﻟﺍ ﺏَ ﺄْﻳَ ﻻَﻭَ ﻯﺮَﺧْلُْﺍ ﺎﻤَﻫُﺍدَﺣْﺇِ ﺮَﻛّذَﺘُﻓَ ﺎﻤَﻫُﺍدَﺣْﺇِ ﺎﻫَﻮﺒُﺘُكْﺗَ ﻻّﺃَ حٌ ﺎﻨَﺟُ ﻢْكُﻴْﻠَﻋَ ﺲَ ﻴْﻠَﻓَ ﻢْكُﻨَﻴْﺑَ ﺎﻬَﻧَﻭﺮُﻳدِﺗُ ﺓًﺮَﺿِ ﺎﺣَ ﺓًﺭَﺎﺠَﺗِ نَﻮكُﺗَ نْﺃَ ﻻّﺇِ ﺍﻮﺑُﺎﺗَﺮْﺗَ ﻻّﺃَ ﻰﻧَﺩْﺃَﻭَﺍﻮﺑُﺎﺗَﺮْﺗَ ﻻّﺃَ ﻰﻧَﺩْﺃَﻭَ ﺓِﺩَﺎﻬَشّﻠﻟِ ﻡُﻮَﻗْﺃَﻭَ ﻢٌﻴﻠِﻋَ ءٍﻲْ ﺷَ ﻞّكُﺑِ ﷲُّ ﺍﻭَ ﷲُّ ﺍ ﻢُكُﻤُﻠّﻌَﻳُﻭَ ﷲَّ ﺍ ﺍﻮﻘُﺗّﺍﻭَ ﻢْكُﺑِ ﻕٌ ﻮﺴُﻓُ ﻪُﻧّﺈِﻓَ ﺍﻮﻠُﻌَﻔْﺗَ نْﺇِﻭَ دٌﻴﻬِﺷَ ﻻَﻭَ بٌ ﺗِﺎﻛَ ﺭّﺎﻀَ ﻳُ ﻻَﻭَ ﻢْﺘُﻌْﻳَﺎﺒَﺗَ ﺍذَﺇِ ﺍﻭدُﻬِﺷْﺃَﻭَ
Arti : Hai orang-orang yang beriman, apabila kamu bermu’amalah[179] tidak secara tunai untuk
antara kamu menuliskannya dengan benar. Dan janganlah penulis enggan menuliskannya sebagaimana Allah mengajarkannya, meka hendaklah ia menulis, dan hendaklah orang yang berhutang itu mengimlakkan (apa yang akan ditulis itu), dan hendaklah ia bertakwa kepada Allah Tuhannya, dan janganlah ia mengurangi sedikitpun daripada hutangnya. Jika yang
berhutang itu orang yang lemah akalnya atau lemah (keadaannya) atau dia sendiri tidak mampu mengimlakkan, maka hendaklah walinya mengimlakkan dengan jujur. Dan persaksikanlah dengan dua orang saksi dari orang-orang lelaki (di antaramu). Jika tak ada dua oang lelaki, maka (boleh) seorang lelaki dan dua orang perempuan dari saksi-saksi yang kamu ridhai, supaya jika seorang lupa maka yang seorang mengingatkannya. Janganlah saksi-saksi itu enggan (memberi keterangan) apabila mereka dipanggil; dan janganlah kamu jemu menulis hutang itu, baik kecil maupun besar sampai batas waktu membayarnya. Yang demikian itu, lebih adil di sisi Allah dan lebih menguatkan persaksian dan lebih dekat kepada tidak (menimbulkan) keraguanmu. (Tulislah mu’amalahmu itu), kecuali jika mu’amalah itu perdagangan tunai yang kamu jalankan di antara kamu, maka tidak ada dosa bagi kamu, (jika) kamu tidak menulisnya. Dan persaksikanlah apabila kamu berjual beli; dan janganlah penulis dan saksi saling sulit menyulitkan. Jika kamu lakukan (yang demikian), maka sesungguhnya hal itu adalah suatu kefasikan pada dirimu. Dan bertakwalah kepada Allah; Allah mengajarmu; dan Allah Maha Mengetahui segala sesuatu.
Dalam tafsir Al Misbah disebutkan bahwa surat Al Baqarah ayat 282 ini dimulai dengan seruan Allah SWT kepada kaum yang menyatakan beriaman, Hai orang-orang yang beriman, apabila kamu bermuamalah tidak secara tunai untuk waktu yang ditentukan, hendaklah kamu
menulisanya.
Perintah ayat ini secara redaksional ditujukan bagi orang yang beriman, tetapi yang dimaksud adalah mereka yang melakukan transaksi hutang piutang, bahkan secara lebih khusus adalah berhutang. Ini agar yang member piutang merasa lebih tenang dengan penulisan itu.
Kata tadayantum yang ada pada ayat diterjemahkan dengan bermuamalah. Kata ini memiliki banyak arti tetapi makna yang terkandung di dalamnya selalu menggambarkan hubungan antar dua pihak, salah satunya berkedudukan lebih tinggi dan satunya berkedudukan lebih rendah. Muamalah yang dimaksud adalah muamalah yang tidak secara langsung, yakni hutang piutang. Selanjutnya Allah menegaskan : Dan hendaklah seorang penulis diantara kamu menulisnya dengan adil, yakni dengan benar, tidak menyalahi ketentuan Allah dan perundangan yang berlaku di masyarakat. Tidak juga merugikan salah satu pihak yang bermuamalah. Selanjutnya kepada para penulis diingatkan, agar janganlah enggan menulisnya sebagai tanda syukur, sebab Allah telah mengajarkannya hendaklah ia menulis.
Setelah menjelaskan tentang penulisan, maka uraian berikut adalah menyangkut persaksian, baik dalam menulis maupun selainnya. Dan persaksikanlah dengan dua orang saksi laki-laki di antara kamu. Ini berarti bahwa saksi yang dimaksud adalah benar-benar yang wajar serta telah dikenal kejujurannya sebagai saksi.
Pada kelanjutan ayat disebutkan : Dan janganlah saksi-saksi itu enggan apabila dipanggil, karena kengganannya dapat mengakibatkan hilangnya hak atau terjadi korban. Kata kalimat berikutnya : Janganlah yang bermuamalah memudharatkan para saksi dan penulis, karena dengan hal tersebut membuat para saksi dan penulis kehilangan pekerjaannya, oleh itu tidak ada salahnya
memberikan mereka biaya transportasi atau semacamnya. Lalu di lanjutkan dengan kata-kata : Jika kamu melakukan yang demikian maka sesungguhnya itu adalah kefasikan pada dirimu.[8]
Dalam ayat ini, jelas tergambar bahwa segala transaksi yang terjadi di upayakan untuk mengadakan pencatatannya. Seperti dalam “ariyah diharapkan segala hal yang terjadi di catat
dengan mendatangkan saksi sehingga tidak terjadi kesalahan di kemudian hari dengan adanya pencatatan tersebut. Karena jika suatu hari peminjam berkilah bahwa ia tidak pernah meminjam dapat dibuktikan dengan adanya catatan tersebut serta dengan adanya saksi.
‘ARIYAH ( Pinjam-meminjam )
Sebagai manusia kita tidak akan pernah dipisahkan dengan yang namanya
pinjam-meminjam atau ‘ariyah. Karena kita bahwa semua yang kita butuhkan itu tidak
semuanya kita memilikinya. Oleh karena itulah maka adanya pinjam-meminjam atau ‘ariyah. Dalam makalah ini kami akan menjelaskan rukun, syarat, dan dalil-dalil yang membahas mengenai ‘ariyah atau pinjam-meminjam.
Menurut Bahasa ‘ariyah adalah memberi manfaat tanpa imbalan. Sedangkan ‘ariyah menurut syara’ ialah memberikan manfaat dari sesuatu yang halal dimanfaatkan kepada orang lain, dengan tidak merusakkan zatnya, agar zat barang itu nantinya bisa dikembalikan lagi kepada yang mempunyai. Tiap-tiap yang mungkin diambil manfaatnya dengan tidak merusakkan zat barang itu, boleh dipinjam atau dipinjamkan.
‘Ariyah disyariatkan berdasarkan dalil-dalil berikut : - Firman Allah Ta’ala
“Dan tolong-menolonglah kalian dalam kebajikan dan taqwa kepada Allah dan janganlah kamu bertolong-tolongan dalam berbuat dosa dan bermusuhan.” (Al Maidah : 2)
- Firman Allah Ta’ala
“Dan enggan(menolong dengan) barang berguna.” (Al Ma’un : 7) - Sabda Rosulullah SAW
“Pinjaman wajib dikembalikan dan orang yang menjamin sesuatu harus membayar” (riwayat Abu Daud dan Tirmidzi)
Hukum ‘Ariyah
Hukum ‘ariyah adalah sunnah berdasarkan firman Allah Ta’ala dalam surat Al Maidah ayat 2, akan tetapi bisa jadi ‘ariyah itu hukumnya menjadi wajib, misalnya meminjamkan pisau untuk menyembelih binatang yang hampir mati. Dan hukumnya bisa haram apabila barang yang dipinjam itu digunakan untuk sesuatu yang haram atau dilarang oleh agama. Karena jalan menuju sesuatu, hukumnya sama dengan hukum yang dituju.
Diantara hukum-hukum ‘ariyah adalah sebagai berikut :
1. Sesuatu yang dipinjamkan harus sesuatu yang mubah(diperbolehkan). Jadi seseorang tidak boleh meminjamkan budak wanita kepada orang lain untuk digauli atau seseorang tidak boleh meminjamkan orang muslim untuk melayani orang kafir
atau meminjamkan parfum haram atau pakaian yang diharamkan, karena Allah Ta’ala berfirman :
“Dan jangan kalian tolong-menolong dalam berbuat dosa dan pelanggaran.” (Al Maidah:2)
2. Jika mu’ir (pihak yang meminjamkan) mengisyaratkan bahwa musta’ir (peminjam) berkewajiban mengganti barang yang dipinjam jika dia merusak barang yang dipinjam, maka musta’ir wajib menggantinya, karena Rosulullah SAW bersabda :
“Kaum muslimin itu berdasarkan syarat-syarat mereka.”(riwayat Abu Daud dan Al Hakim)
Jika mu’ir tidak mengisyaratkan, kemudian barang pinjaman rusak bukan karena kesalahan musta’ir atau tidak karena disengaja, maka musta’ir tidak wajib mengganti, hanya saja dia disunnahkan untuk menggantinya, karena Rosulullah SAW bersabda kepada salah seorang istrinya yang telah memecahkan salah Satu tempat makanan.
“makanan dengan makanan dan tempat dengan tempat.” (diriwayatkan Al Bukhari).
Namun jika kerusakannya hanya sedikit disebabkan karena dipakai dengan izin tidaklah patut diganti, karena terjadinya sebab pemakaian yang diizinkan.(ridlo kepada sesuatu berarti ridlo pula kepada akibatnya).
Jika barang pinjaman mengalami kerusakan karena kesalahan dan disengaja oleh musta’ir, dia wajib menggantinya dengan barang yang sama atau dengan uang seharga barang pinjaman tersebut, karena Rosulullah SAW bersabda :
“Tangan berkewajiban atas apa yang diambilnya hingga ia menunaikannya.” (Diriwayatkan Abu Daud, At Tirmidzi dan Al Hakim yang men-shahih-kannya).
3. Musta’in (peminjam) harus menanggung biaya pengangkutan barang pinjaman ketika ia mengembalikannya kepada mu’ir jika barang pinjaman tersebut tidak bisa diangkut kecuali oleh kuli pengangkut atau dengan taksi.
Rosulullah bersabda :
“Tangan berkewajiban atas apa yang diambilnya hingga ia menunaikannya.”(diriwayatkan Abu Daud, At Tarmidzi dan Al Hakim)
4. Musta’in tidak boleh menyewakan barang yang dipinjamnya. Adapun meminjamkannya kepada orang lain dibolehkan, dengan syarat mu’in merelakannya.
5. Pada tiap-tiap waktu, yang meminjam ataupun yang meminjamkan boleh memutuskan aqad asal tidak merugikan kepada salah seorang di antara keduanya. Jika seseorang meminjamkan kebun untuk dibuat tembok, ia tidak boleh meminta pengembalian kebun tersebut hingga tembok tersebut roboh. Begitu juga orang yang meminjamkan sawah untuk ditanami, ia tidak boleh meminta pengembalian sawah tersebut hingga tanaman yang ditanam diatas sawah tersebut telah dipanen, karena menimbulkan mudharat kepada seorang muslim itu haram.
6. Barang siapa meminjamkan sesuatu hingga waktu tertentu, dia disunahkan tidak meminta pengembaliannya kecuali setelah habisnya batas waktu peminjaman. Rukun Meminjamkan :
1. Ada yang meminjamkan, syaratnya yaitu :
a. Ahli (berhak) berbuat kebaikan sekehendaknya. Anak kecil dan orang yang dipaksa, tidak sah meminjamkan.
b. Manfaat barang yang dipinjamkan dimiliki oleh yang meminjamkan, sekalipun dengan jalan wakaf atau menyewa karena meminjam hanya bersangkutan dengan manfaat, bukan bersangkutan dengan zat. Oleh karena itu, orang yang meminjam tidak boleh meminjamkan barang yang dipinjamnya karena manfaat barang yang dipinjamnya bukan miliknya. Dia hanya diizinkan mengambilnya tetapi membagikan manfaat yang boleh diambilnya kepada yang lain, tidak ada halangan. Misalnya dia meminjam rumah selama 1 bulan tetapi hanya ditempati selama 15 hari, maka sisanya boleh diberikan kepada orang lain.
2. Ada yang meminjam, hendaklah seorang yang ahli (berhak) menerima kebaikan. Anak kecil dan orang gila tidak sah meminjam sesuatu karena ia tidak ahli (tidak berhak) menerima kebaikan.
3. Ada barang yang dipinjam, syaratnya : a. Barang yang benar-benar ada manfaatnya
b. Sewaktu diambil manfaatnya, zatnya tetap (tidak rusak).
4. Ada lafadz. Menurut sebagian orang sah dangan tidak berlafadz. Syarat Sahnya ‘Ariyah :
Untuk sahnya ‘ariyah ada empat syarat yang wajib dipenuhi :
1. Pemberi pinjaman hendaknya orang yang layak berbaik hati. Oleh karena itu, ‘ariyah yang dilakukan oleh orang yang sedang ditahan hartanya tidak sah.
2. Manfaat dari barang yang dipinjamkan itu hendaklah milik dari yang meminjamkan. Artinya, sekalipun orang itu tidak memiliki barang, hanya memiliki manfaatnya saja, dia boleh meminjamkannya, karena meminjam hanya bersangkut
dengan manfaat, bukan bersangkut dengan zat.
3. Barang yang dipinjamkan hendaklah ada manfaatnya. Maka tidak sah meminjamkan barang yang tidak berguna. Karena sia-sia saja tujuan peminjaman itu.
4. Barang pinjaman harus tetap utuh, tidak boleh rusak setelah diambil manfaatnya, seperti kendaraan, pakaian maupun alat-alat lainnya. Maka tidak sah meminjamkan barang-barang konsumtip, karena barang itu sendiri akan tidak utuh, seperti meminjamkan makanan, lilin dan lainnya. Karena pemanfaatan barang-barang konsumtip ini justru terletak dalam menghabiskannya. Padahal syarat sahnya ‘ariyah hendaklah barang itu sendiri tetap utuh.
http://de-kill.blogspot.com/2008/11/ariyah-pinjam-meminjam.html
Mu'amalat : Pinjam-meminjam ('ariyah)
Al-'ariyah menurut bahasa artinya sama dengan pinjaman, sedangkan menurut istilah syara' aialah aqad berupa pemberian manfaat suatu benda halal dari seseorang kepada orang lain tanpa ada imbalan dengan tidak mengurangi atau merusak benda itu dan dikembalikannya setelah diambil manfaatnya.
Allah SWT berfirman :
"Dan menolonglah kamu dalam (mengerjakan) kebajikan dan takwa, dan jangan tolong-menolong dalam berbuat dosa dan pelanggaran." (QS. Al-Maidah : 2)
Rasulullah SAW bersabda :
"Dan Allah mennolong hamba-Nya selam hamba itu mau menolong sudaranya."
Dari Abu Umamah ra, dari Nabi SAW, beliau bersabda : "Pinjaman itu harus dikembalikan dan orang yang meminjam dialah yang berhutang, dan hutang itu wajib dibayar". (HR.
At-Turmudzi).
Hukum asal pinjam-meminjam adalah sunnah sebagaimana tolong-menolong yang lain. Hukum tersebut dapat berubah menjadi wajib apabila orang yang meminjam itu sangat memerlukannya. Hukum pinjam-meminjam juga bisa menjadi haram bila untuk mengerjakan kemaksiatan.
Rukun Pinjam-meminjam
Orang yang meminjamkan syaratnya :
Berhak berbuat kebaikan tanpa ada yang menghalangi. Orang yang dipaksa atau anak kecil tidak sah meminjamkan.
Barang yang dipinjamkan itu milik sendiri atau menjadi tanggung jawab orang yang meminjamkan.
Orang yang meminjam syaratnya :
Berhak menerima kebaikan. Oleh sebab itu orang gila atau anak kecil tidak sah meminjam karena keduanya tidak berhak menerima kebaikan.
Barang yang dipinjam syaratnya :
Ada manfaatnya.
Barang itu kekal (tidak habis setelah diambil manfaatnya). Oleh sebab itu makanan yang setelah diambil manfaatnya menjadi habis atau berkurang zatnya tidak sah dipinjamkan.
Aqad, yaitu ijab qabul.
Pinjam-meinjam berakhir apabila barang yang dipinjam telah diambil manfaatnya dan harus segera dikembalikan kepada yang memilikinya. Pinjam-meminjam juga berakhir apabila salah satu dari kedua pihak meninggal dunia atau gila. Barang yang dipinjam dapat diminta kembali sewaktu-waktu, karena pinjam-meinjam bukan merupakan perjanjian yang tetap.
Jika terjadi perselisihan pendapat antara yang meminjamkan dan yang meminjam barang tentang barang itu sudah dikembalikan atau belum, maka yang dibenarkan adalah yang meminjam dikuatkan dengan sumpah. Hal ini didasarkan pada hukum asalnya, yaitu belum dikembalikan.
Kewajiban Peminjam
Mengembalikan batang itu kepada pemiliknya jika telah selesai. Rasulullah SAW bersabda :
"Pinjaman itu wajib dikembalikan dan yang meminjam sesuatu harus membayar". (HR. Abu Dawud)
Mengganti apabila barang itu hilang atau rusak.
Dalam satu hadits yang diriwayatkan oleh Shafwan bin Umayyah, bahwa Nabi SAW pada waktu perang Hunain meminjam beberapa buah baju perang kepada Shafwan. Ia bertanya kepada Rasulullah : "Apakah ini pengambian paksa wahai Rasulullah?" Rasulullah SAW menjawab : "Bukan, tetapi ini adalah pinjaman yang dijamin (akan diganti apabila rusak atau hilang)". (HR. Abu Dawud)
Merawat barang pinjaman dengan baik.
Rasulullah SAW bersabda :
"Kewajiban meminjam merawat yang dipinjamnya, sehingga ia kembalikan barang itu". (HR. Ahmad)
http://tarbiyatulmujahidin.comze.com/html/2%20FIQIH%20muamalat %207%20ariyah.htm
http://zonaekis.com/search/ariyah-dalam-ekonomi-islam
Pengertian Hiwalah
Hiwalah (ﻪﻟﻭﺤﻟﺍ) berarti pengalihan, pemindahan, berubah kulit dan
memikul sesuatu diatas pundah.
Pemindahan hak atau kewajiban yang dilakukan seseorang (pihak pertama)
kepada pihak kedua untuk menuntut pembayaran hutang dari atau membayar
hutang kepada pihak ketiga. Karena pihak ketiga berhutang kepada pihak pertama.
Baik pemindahan (pengalihan) itu dimaksudkan sebagai ganti pembayaran maupun
tidak.
Ulama mazhab Hanafi (Ibnu Abidin) mendefinisikan Hiwalah ialah
pemindahan membayar hutang dari orang yang berhutang (al-muhiil = ﻞﻴﺤﻣﻟﺍ
Kepada
yang
berhutang
lainya(muhaal
alaih=
ﻪﻴﻠﻋ ﻝلﺎﺤﻣﻟﺍ)Ulama mazhab Hanafi lainya (Kamal bin Humman)mendefinisikanya
dengan : ”Pengalihan kewajiban membayarkan hutang dari pihak pertama kepada
pihak lainya yang berhutang kepadanya atas dasar saling mempercayai”.
1.2.
Dasar Hukum Hiwalah
Pelaksanaan Al-Hiwalah dibenarkan dalam islam. Sebagaimana sabda
Rosullah saw:
ﻡﻠﻃﻰﻧغﻠﺍلﻄﻣ
ﻊﺘﺒﻠ ﺎﻓﺀﻰﻠﻣﻰﻠﻋﻊﺒﺗﺍﺍذﺇﻭ
ﺔﻋﻪﻣﺠﻠﺍﻩﺍﻭﺭ)
)
“Memperlambat pembayaran hukum yang dilakukan oleh orang kaya merupakan
perbuatan zalim. Jika salah seorang kamu dialihkan kepada orang yang mudah
membayar hutang, maka hendaklah ia beralih(diterima pengalihan tersebut)”.(HR
Jama’ah)
7
Sabda Rosullah saw:
ﻰﻘﻬﻴﺑﻠﺍﻭﺩﻣﺣﺃﻩﺍﻭﺭ) لﺣﻴﻠﻓ ﺀﻰﻠﻣﻰﻀﻋﻡﻛ دﺣﺃلﻴﺣﺃ ﺍذ ﺀﺎﻨﻡﻠﻃﻰﻨغﻠﺍ لﻄﻣ)
“Orang yang mampu membayar hutang haram atasnya melalaikan hutangnya.
Apabila salah seorang diantara kamu memindahkan hutangnya kepada orang lain,
hendaklah diterima pilihan itu, asal yang lain itu mampu membayar”.(HR Ahmad
dan Baihaqi)
1.3.
Jenis Hiwalah
Mazhab Hanafi membagi hiwalah dalam beberapa bagian, ditinjau dari segi
objek aqad maka hiwalah dapat sibagi dua:
Apabila dipindahkan itu merupakan hak menuntut hutang,maka pemindahan itu
disebut hiwalah Al haqq(ﻕﺤﻠﺍﺔﻠﺍﻭﺣ)atau pemindahan hak.
Apabila dipindahkan itu kewajiban untuk membayar hutang, maka pemindahan itu
disebut hiwalah Al-Dain(ﻦﻴﺩﻠﺍﺔﻠﺍﻭﺣ)atau pemindahan hutang
Ditinjau dari sisi lain hiwalah terbagi dua pula yaitu:
Pemindahan sebagai ganti dari pembayaran hutang pihak pertama kepada pihak
kedua yang disebut hiwalah al-muqayyadah ( ﺓﺩﻴﻘﻣﻠﺍﺔﻠﺍﻭﺣ ) atau
pemindahan bersyarat
Pemindahan hutang yang tidak ditegaskan sebagai ganti dari pembayaran hutang
pihak pertama kepada pihak keduayang disebut hiwalahal- muthadah( )atau
pemindahan mutlak.
8
Menurut mazhab hanafi, rukun hiwalah hanya ijab (pernyataan melakukan
hiwalah) dari pohak pertama, dan qabul (penyataan menerima hiwalah) dari pihak
kedua dan pihak ketiga.
Menurut mazhab Maliki, Syafi’i dan Hambali rukun hiwalah ada enam yaitu:
Pihak pertama
Pihak kedua
Pihak ketiga
Ada hutang pihak pertama pada pihak kedua
Ada hutang pihak ketiga kepada pihak pertama
Ada sighoh (pernyataan hiwalah)
1.5.
Syarat Hiwalah
Semua imam mazhab (Hanafi, maliki, Syafi’i dan Hambali) berpendapat bahwa
hiwalah menjadi syah apabila sudah terpenuhi Syarat-syaratnya yang berkaitan
dengan pihak pertama, kedua, dan ketigaserta yang berkaitan hutang itu.
I.
Syarat bagi pihak pertama
a.
Cukup dalam melakukan tindakan hukum da;lam bentuk aqad yaitu baliqh dan
berakalhiwalah tidak syah dilakuakan oleh anak kecil walaupun ia sudah
mengerti(mumayyiz)
b.
Ada persetujuan jika pihak pertama dipaksa untuk melakuakan hiwalah maka aqad
tersebut tidak syah
a.
Cukup melakukan tindakan hukum yaitu baliq dan berakal
9
b.
Dinyaratkan ada persetujuan dari pihak kedua terhadap pihak pertama yang
melakukan hiwalah (mazhab Hanafi sebagian besar mazhab Maliki dan syafi’i)
III.
Syarat bagi pihak ketiga
a.
Cukup melakukan tindakan hukum dalam bentuk akad, sebagai syarat bagi pihak
pertama dan kedua
b.
Disyaratkan ada pernyataan persetujuan dari pihak ketiga(mazhab hanafi)
sedangkan mazhab lainya (Maliki, Syafi’i dan Hambali) tidak mensyaratkan hal
ini, sebab dalam aqad hiwalah pihak ketiga dipandang sebagai objek aqad
c.
Imam Abu Hanifah dan Muhammad bin hasan asy-syaibani menambahkan bahwa
kabul tersebut dilakukan dengan sempurna oleh pihak ketiga didalam suatu
majelis aqad
IV.
Syarat yang dilakukan terhadap hutang yang dialihkan
a.
Sesuatu yang dialihkan itu adalah sesuatu yang sudah dalam bentuk hutang piutang
yang sudah pasti
b.
Apabila mengalihkan hutang itu dalam bentuk hiwalah al-muqayyadah semua
ulama fiqih menyatakan bahwa baik hutang pihak pertama kepada pihak kedua
maulun hutang kepada pihak ketiga kepada pihak pertama meski sama jumlah dan
kwalitasnya
c.
Mazhab syafi’i menambahkan bahwa kedua hutang tersebut mesti sama pula,
waktu jatuh temponya, jika tidak sama maka tidak sah
E. HIWALAH 1. Pengertian Hiwalah Secara etimologi Hiwalah bearti pengalihan,
pemindahan, perubhan warna kulit, memikul sesuatu diatas pundak. Secara terminologi hiwalah adalah: Memindahkan hutang dari tanggungan Muhil menjadi tanggungan Muhal alaih( orang yang berhutang lainnya, sedangkan jumhur ulama mendefinisikan dengan: Akad yang
menghendaki pengalihan utang dari tanggung jawab seseorang kepada tanggungjawab orang yang lainnya Contoh. Apabila ada hutang pada seseorang, sedangkan orang tersebut mempunyai harta pada orang lain. Lalu ketika orang yang meminjamkan pinjaman menagih, sipeminjam mengatakan" aku persilahkan tuan mengambil pada siAnu, karena dia mempunya hutang kepada saya sebanyak hutang saya kepada tuan" jika orang yang meeminjamkan rela dengan hal itu maka si peminjam bebas dari tanggung jawab. Muhil (sebagai yang berhutang) Muhal (orang yang menghutangkan) Muhal alaih (orang yang melakukan pembayara hutang) 2. Landasan Hukum Islam membenarkan Hiwalah dan membolehkannya, karena ai diperlukan. Imam Bukhari dan Muslim meriwayatkan dari Abu Hurairah bahwa rasulullah saw bersabda: "menunda pembayaran bagi orang yang mampu adalah kezaliman. Dan jika salah seseorang kamu dikutkan (dihiwalahkan) kepada orang yang kaya yang mampu, maka turutlah" Mazhab Hanafi membagi Hiwalah kepada beberapa bagian[10], yaitu: a. Al-Hiwalah al-Muqayyadah (pemindahan bersyarat) yaitu pemindahan sebagai ganti dari pembayaran utang dari pihak pertama kepada pihak kedua. Contoh: Syarif berpiutang kepada basuki sebesar satu juta rupiah, sedangkan basuki juga berpiutang pada rahman satu juta rupiah. Basuki kemudian memindahkan haknya untuk untuk menagih piutangnya yang terdapat pada rahman, kepada Syarif. 14
b. Al-Hiwalah al-Muthlaqah (pemindahan mutlak) yaitu pemindahan yang tidak ditegaskan sebagai ganti pembayaran utang pihak pertama kepada pihak keua. Contoh: Ahmad berutang kepada Burhan sebesar satu juta rupiah. Karena Karna juga berhutang kepada Ahmad sebesar satu rupiah. Ahmad mengalihkan utangnya kepada Karna shingga Karna berkewajiban membayar utang Ahmad kepada Burhan, tanpa menyebutkan bahwa pemindahan utang itu sebagai ganti utang Karna kepada Ahmad 3. Syarat-Syarat Hiwalah Syarat-syarat yang
diperlukan pihak pertama, yaitu: a. Cakap melakukan tindakan hukm dalam bentuk akad, yaitu balig dan berakal b. Ada pernyataan persetujuan. Jika pihak pertama dipaksa melakukan hiwalah mak hiwalah tidak sah Syarat-syarat yang diperlukan pihak kedua, yaitu: a. Cakap melakukan tindakan hukm dalam bentuk akad, yaitu balig dan berakal sebagaiman pihak pertama b. Mazhab Hanafi, sebagian besar Mazhab Malik dan Mazhab Syafi'I mensyaratkan ada persetujuan pihak kedua terhadap pihak yang pertama dalam melakukan hiwalah. Syarat-syarat yang diperlukan pihak ketiga, yaitu: a. Cakap melakukan tindakan hukm dalam bentuk akad, yaitu balig dan berakal sebagaiman pihak pertama b. Ulama hanafi mensyaratkan adanya persetujuan dari pihak ketiga. Sedangkan ketiga Mazhab yang lainnya tidak mensyaratkan hal yang itu Syarat-syarat utang yang dialihkan 1. Sama kedua halnya baik jenis maupun kadarnya, penyelesaian tempo waktu, mutu baik dan buruknya. 2. Utang yang berada ditangan peminjam adalah utang yang sudah jelas menjadi tanggung jawab pihak pemberi pinjaman yang hendak memindahkah
pinjaman kepadanya. 4. Cara Pelaksanaan Hiwalah Dalam cara pelaksanaan Hiwalah yang perlu kita perhatikan, antara lain: 15
a. Pihak yang membayar utang hendaknya orang yang betul-betul mampu memenuhinya. b. Bila dipersilahkan menagih kepada seseorang, namun ternyata orang tersebut jatuh melarat, mati atau pergi jauh maka haknya dikembalikan lagi kepada orang yang memerintahkan untuk
menagihnya itu c. Jika seseorang menyuruh menagih kepada orang lain, namun orang lain itu menyuruh pula menagih kepada orang lain lagi, maka hiwalah tersebut boleh dilakukan, selama persyaratan dapat dipenuhi dan tidak merugikan pihak yang menagih. Akibat hukum Hiwalah
Jka akad Hiwalah terjadi, maka akibat hukum dari akad adalah sebagai berikut: a. Jumhur ulama berpendapat bahwa kewajiban pihak pertama untuk membayae hutang kepada pihak kedua menjadi terlepas. b. Akad Hiwalah menyebabkan lahirnya hak bagi pihak kedua untuk menuntut pembayaran hutang kepada pihak ketiga. Berakhirnya akad hiwalah Para ulama fiqih
mengemukakan bahwa akad Hiwalah akan berakhir apabilaSalah satu pihak yang sedang
melakukan akad membatalkan akad a. Pihak ketiga melunasi utang kepada pihak kedua b. Pihak kedua wafat, sedangkan pihak ketiga merupakan Ahli waris harta pihak kedua. c. Pihak kedua mnghibahkan, harta yang merupakan akad Hiwalah kepada pihak ketiga. d. Pihak kedua membebaskan pihak ketiga dari kewajiban untuk membayar utang dari yang dialihkan 5. HUKUM MENERIMA HAWALAH Barangsiapa yang mempunyai hutang namun dia mempunyai piutang pada orang lain yang mampu, kemudian dia memindahkan kewajiban membayar hutangnya kepada orang lain yang mampu itu, maka orang yang mampu tersebut wajib menerima kewajiban itu. Nabi saw bersabda: “Penundaan orang yang mampu (melunasi hutang) itu adalah zhalim, dan apabila seorang di antara kamu menyerahkan (kewajiban
pembayaran hutangnya) kepada orang kaya, maka terimalah.” (Shahih: Shahihul Jami’us Shaghir no: 5876). 16
http://www.slideshare.net/rohimkaya/makalah-2891357
Ar-Rahn merupakan perjanjian penyerahan barang untuk menjadi agunan dari fasilitas
pembayaran yang diberikan. Ada beberapa definisi yang dikemukakan oleh ulama fiqh. Ulama Mazhab Maliki mendefinisikan rahn sebagai harta yang bersifat mengikat. Ulama Mazhab Hanafi mendefinisikan rahn dengan, “menjadikan sesuatu (barang) sebagai jaminan terhadap hak (piutang) yang mungkin dijadikan sebagai pembayar hak (piutang) tersebut, baik seluruhnya maupun sebagiannya”. Sedangkan ulama Mazhab Syafi’i dan Mazhab Hanbali mendefinisikan rahn dalam arti akad, yaitu “menjadikan materi (barang) sebagai jaminan utang yang dapat dijadikan pembayar utang apabila orang yang berutang tidak bisa membayar utangnya itu”. Rahn di tangan murtahin (pemberi utang kreditur) hanya berfungsi sebagai jaminan utang dari rahin (orang yang berutang debitur). Barang jaminan itu baru dapat dijual/dihargai apabila dalam waktu yang disetujui oleh kedua belah pihak utang tidak dapat dilunasi oleh debitur. Oleh sebab itu, hak kreditur terhadap barang jaminan hanya apabila debitur tidak melunasi utangnya
(Sjahdeini, 1999: 76).
Perjanjian gadai dalam Islam disebut rahn, yaitu perjanjian menahan sesuatu barang sebagai tanggungan utang. Kata rahn menurut bahasa berarti “tetap”, “berlangsung” dan “menahan”. Sedangkan menurut istilah berarti menjadikan sesuatu benda bernilai menurut pendangan syara’ sebagai tanggungan utang; dengan adanya tanggungan utang itu seluruh atau sebagaian utang dapat diterima (Basyir, 1983: 50).
Dalam buku lain juga didefinisikan bahwa rahn adalah menahan sesuatu dengan hak yang memungkinkan pengambilan manfaat darinya atau menjadikan sesuatu yang bernilai ekonomis pada pandangan syari’ah sebagai kepercayaan atas hutang yang memungkinkan pengambilan hutang secara keseluruhan atau sebagian dari barang itu (Tim Pengembangan Perbankan Syari’ah Institut Bankir Indonesia, 2001: 73).
Menurut ta’rif yang lain dalam bukunya Muhammad Syafi’i Antonio (1999: 213) dikemukakan sebagai berikut: “menahan salah satu harta milik si peminjam sebagai jaminan atas pinjaman yang diterimannya. Barang yang ditahan tersebut memiliki nilai ekonomis. Dengan demikian, pihak yang menahan memperoleh jaminan untuk dapat mengambil kembali seluruh atau sebagian piutangnya. Secara sederhana dapat dijelaskan bahwa rahn adalah semacam jaminan hutang atau gadai.
Sedangkan menurut Imam Abu Zakaria Al-Anshori (Syafi’i dalam Chuzaimah, 1997: 60) dalam kitabnya Fathul Wahhab mendefinisikan rahn sebagai berikut: “Menjadikan barang yang bersifat harta sebagai kepercayaan dari suatu utang yang dapat dibayarkan dari harga benda itu bila utang tidak dibayar”.
Selanjutnya Imam Taqiyyuddin Abu-Bakar Al-Husaini dalam kitabnya Kifayatul Ahyar Fii Halli Ghayati Al-Ikhtisar berpendapat bahwa definisi rahn adalah: “Akad/perjanjian utang-piutang dengan menjadikan harta sebagai kepercayaan/penguat utang dan yang memberi pinjaman berhak menjual barang yang digadaikan itu pada saat ia menuntut haknya.”
Lebih lanjut Imam Taqiyyuddin mengatakan bahwa barang-barang yang dapat dijadikan jaminan utang adalah semua barang yang dapat dijual-belikan, artinya semua barang yang dapat dijual itu dapat digadaikan.
Ar-Rahn adalah menahan salah satu harta milik si peminjam sebagai jaminan atas pinjaman yang diterimanya.
Dari berbagai definisi di atas dapat disimpulkan bahwa rahn merupakan suatu akad utang-piutang dengan menjadikan barang yang mempunyai nilai harta menurut pandangan syara’ sebagai jaminan, hingga orang yang bersangkutan boleh mengambil uang.
Gadai untuk menanggung semua hutang. Kalau orang yang berhutang mengembalikan sebagian hutangnya, ia tidak boleh mengambil barang yang digadaikan sebelum melunasi semua
hutangnya. Boleh menggadaian barang milik serikat untuk tanggungan hutang seseorang asal mendapat izin dari serikat. Juga boleh menggadaikan barang pinjaman, sebab barang itu sudah menjadi hak sementara (Rifa’i. 1978: 197-198).
http://zonaekis.com/pengertian-gadai-rahn#more-2268
KONSEP GADAI SYARIAH (AR-RAHN) DALAM PERSPEKTIF EKONOMI ISLAM DAN FIQH MUAMALAH
Posted: 24/01/2011 by muhamad mujahidin in Ekonomi Syariah, Fiqh Muamalah
Tag:ekonomi syariah, fiqh muamalah, gadai, gadai syariah, pegadaian, pegadaian syariah,
rahn
0
I. LATAR BELKANG MASALAH
Kehadiran lembaga pegadaian di Indonsia bukanlah hal yang asing lagi. Bahkan lembaga ini menjadi sangat populer dikalangan masyarakat (khususnya Jakarta), ketika menjelang lebaran tiba. Sudah merupakan tradisi bagi pemudik di ibukota untuk menggadaikan barang berharga mereka menjelang bulan syawal.
Dengan menitipkan emas, kendaraan bermotor atau barang berharga lainnya sebagai jaminan atas uang yang dipinjam, keinginan untuk bertemu sanak saudara dikampung dengan kerinduan yang sangat pun terobati. Bukan tanpa alasan karena disaat ongkos dan harga kebutuhan untuk oleh-oleh yang semakin menggila yang tidak lagi dapat diatasi oleh gaji maupun pendapatan selama di Jakarta, maka pegadaian merupakan alternatif yang dapat menjawab tersebut. Sekilas lembaga ini memang terlihat sangat membantu. Dan tentu saja dengan menyuarakan motto “ mengatasi masalah tanpa masalah”-nya, lembaga ini berhasil menafsir dan mencitrakan dirinya di mata masyarakat sangat baik. Akan tetapi, disadari atau tidak ternyata dalam
prakteknya lembaga ini belum dapat terlepas dari persoalan.Dengan berkaca mata pada syariat islam, ketika perjanjian gadai ditunaikan terdapat unsur-unsur yang dilarang syariat. Hal ini dapat terlihat dari praktek gadai itu sendiri yang menentukan adanya bunga gadai, yang mana pembayarannya dilakukan setiap 15 hari sekali. Dan tentu saja pembayarannya haruslah tepat waktu karena jika terjadi keterlambatan pembayaran, maka bunga gadai akan bertambah menjadi dua kali lipat dari kewajibannya.Bukan hanya riba, ketidak jelasan (gharar), dan qimar juga ikut serta menghiasi aktifitas lembaga ini. Yang secara jelas terdapat kencenderungan merugikan salah satu pihak.
Memang hal ini tidaklah terlalu diperhatikan oleh masyarakat. Tetapi, ketika mereka terjebak dengan bunga yang membengkak serta ketidak sanggupan uintuk membayar,maka di sinilah masalah letak permasalahan itu muncul.Oleh karena itu, berangkat dari uraian yang telah dikemukakan di atas,maka saya selaku penulis membuat esai ini dengan maksud untuk
menganalisa dan memberikan sebuah solusi dengan pendekatan fiqh islam sebagai jawaban atas ketidak syari’an atas praktek pegadaian saat ini.
II. POKOK-POKOK PERMASALAHAN
Dengan melihat latar belakang di atas maka yang akan menjadi pokok-poko permasalahan yang akan dibahas dalamn esai ini adalah
1. Apa definisi dari gadai menurut konvensional dan syari’at Islam? 2. apa yang menjadi dasar hukum gadai konvensional dan syariah? 3. Bagaimana pandangan syari’at Islam terhadap gadai?
III. ANALISIS
A. Pengertian Gadai Konvensional dan Gadai Syariah 1. Pengertian Gadai Konvensional
Mengutip pendapat Susilo (1999), pengertian pegadaian adalah suatu hak yang diperoleh seseorang yang mempunyai piutang atas suatu barang bergerak. Barang bergerak tersebut diserahkan kepada orang yang berpiutang oleh seorang yang mempunyai utang atau oleh orang lain atas nama orang yang mempunyai utang. Seseorang yang berutang tersebut memberikan kekuasaan kepada orang yang berpiutang untuk menggunakan barang bergerak yang telah diserahkan untuk melunasi utang apabila pihak yang berutang tidak dapat melunasi kewajibannya pada saat jatuh tempo.
Jadi dapat disimpulkan bahwa gadai adalah suatu hak yang diperoleh oleh orang yang berpiutang atas suatu benda bergerak yang diberikan oleh orang yang berpiutang sebagai suatu jaminan dan barang tersebut bisa dijual jika orang yang berpiutang tidak mampu melunasi utangnya pada saat jatuh tempo.Sedangkan pengertian Perusahaan Umum Pegadaian adalah suatu ban usaha di
Indonesia yang secara resmi mempunyai izin untuk melaksanakan kegiatan lembaga keuangan berupa pembiayaan dalambentuk penyaluran dana ke masyarakat atas dasar hukum gadai.[1]
2. Pengertian Gadai Syariah
Gadai Syariah sering diidentikkan dengan Rahn yang secara bahasa diartikan tsubut wa al-dawam (tetap dan kekal) sebagian Ulama Luhgat memberi arti al-hab (tertahan).[2] Sedangkan definisi al-rahn menurut istilah yaitu menjadikan suatu benda yang mempunyai nilai harta dalam pandangan syar’a untuk kepercayaan suatu utang, sehingga memungkinkan mengambil seluruh atau sebagaian utang dari benda itu.[3]
Istilah rahn menurut Imam Ibnu Mandur diartikan apa-apa yang diberikan sebagai jaminan atas suatu manfaat barang yang diagunkan.[4] Dari kalangan Ulama Mazhab Maliki mendefinisikan rahn sebagai “harta yang dijadikan pemiliknya sebagai jaminan hutang yang bersifat mengikat“, ulama Mazhab Hanafi mendefinisikannya dengan “menjadikan suatu barang sebagai jaminan terhadap hak (piutang) yang mungkin dijadikan sebagai pembayar hak tersebut, baik seluruhnya maupun sebagiannya“. Ulama Syafii dan Hambali dalam mengartikan rahn dalam arti akad yakni menjadikan materi (barang) sebagai jaminan utang, yang dapat dijadikan pembayar utang apabila orang yang berhutang tidak bisa membayar hutangnya.[5]
Dalam bukunya: Pegadaian Syariah, Muhammad Sholikul Hadi (2003) mengutip pendapat Imam Abu Zakariya al-Anshari dalam kitabnya Fathul Wahhab yang mendefenisikan rahn sebagai: “menjadikan benda bersifat harta sebagai kepercayaan dari suatu utang yang dapat dibayarkan dari (harga) benda itu bilautang tidak dibayar.” Sedangkan menurut Ahmad Baraja, rahn adalah jaminan bukan produk dan semata untuk kepentingan sosial, bukan kepentingan bisnis, jual beli mitra.[6]
Adapun pengertian rahn menurut Imam Ibnu Qudhamah dalam kitab Al-Mughni adalah sesuatu benda yang dijadikan kepercayaan dari suatu hutang untuk dipenuhi dari harganya, apabila yang berhutang tidak sanggup membayarnya dari yang berpiutang. [7]
Dari ketiga defenisi tersebut dapat disimpulkan bahwa rahn merupakan suatu akad utang piutang dengan menjadikan barang yang mempunyai nilai harta menurut pandangan syara’ sebagai jaminan, hingga orang yang bersangkutan boleh mengambil utang.[8]
B. Landasan Hukum Gadai Konvensional dan Gadai Syariah 1. Landasan Hukum Gadai Konvensional
Pada awalnya lembaga pegadaian pertamakali didirikan pada tanggal 1 April 1901. Tetapi seiring dengan perkembangan zaman, pegadaian beberapakali berubah status mulai sebagai Perusahaan Jawatan (1901), Perusahaan di bawah IBW (1928),Perusahaan Negara (1960),dan kembali ke perusahan jawatan 1969. baru sekitar tahun 1990 dengan lahirnya PP10/1990 tanggal 10 April 1990, sampai dengan terbitnya PP103 tahun 2000, pegadaian berstatus sebagai
Perusahaan Umum dan masuk sebagai salah satu BUMN dalam lingkungan Dep. Keuangan RI. hingga sekarang.Dalam Undang-undang Nomor 9 Tahun 1969 pasal 6, dijelaskan bahwa sifat usaha pegadaian adalah menyediakan pelayanan bagi kemanfaatan umum dan sekaligus memupuk keuntungan berdasarkan prinsip pengelolaan perusahaan. Sedangkan isi pasal
7,dijabarkan:(1) Turut meningkatkan kesejahteraan masyarakat terutama golonganmenengah ke bawah melalui penyediaan dana atas dasar hukum gadai, dan jasa di bidang keuangan lainnya berdasarkan ketentuan perundang-undangan yang berlaku.(2) Menghindarkan masyarakat dari gadai gelap,praktek riba dan pinjaman tidak wajar.[9]
Dasar hukum yang digunakan para ulama untuk membolehkannya rahn yakni bersumber pada al-Qur’an (2): 283 yang menjelaskan tentang diizinkannya bermuamalah tidak secara tunai.[10]
Dan Hadis yang diriwayatkan oleh Bukhari dan Muslim dari Aisiyah binti Abu Bakar, yang menjelaskan bahwa Rasulullah Saw pernah membeli makanan dari seorang Yahudi dengan menjadikan baju besinya sebagai jaminan.[11]
Berdasarkan dua landasan hukum tersebut ulama bersepakat bahwa rahn merupakan transaksi yang diperbolehkan dan menurut sebagian besar (jumhur) ulama, ada beberapa rukun bagi akad rahn yang terdiri dari, orang yang menggadaikan (ar-rahn), barang-barang yang digadai
(marhun), orang yang menerima gadai (murtahin) sesuatu yang karenanya diadakan gadai, yakni harga, dan sifat akad rahn.[12] Sedangkan untuk sahnya akad rahn, ada beberapa syarat yang harus dipenuhi oleh para pihak yang terlibat dalam akad ini yakni: berakal, baligh, barang yang dijadikan jaminan ada pada saat akad, serta barang jaminan dipegang oleh orang yang menerima gadai (marhun) atau yang mewakilinya.[13]
Dengan terpenuhinya syarat-syarat di atas maka akad rahn dapat dilakukan karena kejelasan akan rahin, murtahin dan marhun merupakan keharusan dalam akad rahn. Sedangkan mengenai saat diperbolehkan untuk menggunaan akad rahn, al-Qur’an dan al-Sunah serta ijma ulama tidak menetapkan secara jelas mengenai akad-akad atau transaksi jual beli yang diizinkan untuk
menggunakan akad rahn.
Sebagian kecil ulama, sebagaimana yang dikemukakan Ibn Rusdy bahwa mazhab Maliki beranggapan bawa gadai itu dapat dilakukan pada segala macam harga dan pada semua macam jual beli, kecuali jual beli mata uang, dan pokok modal pada akad salam yang berkaitan dengan tanggungan, hal ini disebabkan karena pada shaf pada salam disyaratkan tunai, begitu pula pada harta modal. Sedangkan kelompok Fuqaha Zahiri berpendapat bahwa akad gadai (rahn) tidak boleh selain pada salam yakni pada salam dalam gadai, hal ini berdasar pada ayat yang
berkenaan dengan gadai yang terdapat dalam masalah hutang piutang barang jualan, yang diartikan mereka sebagai salam.[14]
Dari bebrapa pendapat di atas dapat diartikan bahwa sebagian ulama beranggapan bahwa rahn dapat digunakan pada transaksi dan akad jual beli yang bermacam-macam, walaupun ada
perbedaan ulama mengenai waktu dan pemanfaatan dari barang yang dijadikan jaminan tersebut. Sedangkan benda Rahn yang digadai, dalam konsep fiqh merupakan amanat yang ada pada murtahin yang harus selalu dijaga dengan sebaik-baiknya, dan untuk menjaga serta merawat agar benda (barang) gadai tersebut tetap baik, kiranya diperlukan biaya, yang tentunya dibebankan kepada orang yang menggadai atau dengan cara memanfaatkan barang gadai tersebut. Dalam hal pemanfaatan barang gadai, beberapa ulama berbeda pendapat karena masalah ini sangat
berkaitan erat dengan hakikat barang gadai, yang hanya berfungsi sebagai jaminan utang pihak yang menggadai.
C. Solusi Mekanisme Operasional Pegadaian dengan Penerapan berdasarkan Prinsip Syariah
Seperti yang telah dikemukakan pada bab sebelumnya, sungguh merupakan suatu hal yang ironis, ketika terdapat sebuah lembaga keuangan formal ( pemerintah) tidak bisa memperoleh pendapatan yang dapat menunjang kelangsungan hidup perusahaan tersebut. Adapun lembaga pegadaian, seandainya dalam aktivitasnya tidak menggunakan sistem bunga ( memungut bunga dari pinjman pokok ), maka tentunya lembaga tersebut akan mengalami hal yang demikian. Akan tetapi, di sisi lain sistem tersebut sangat memberatkan bagi nasabah, karena pemungutan
Memang hal ini tidaklah terlihat berat jika pinjaman tersebut bersifat kecil, namun jika uang yang dipinjamkan tersebut sangat besar jumlahnya, maka akan sangat memberatkan bagi nasabah.Persoalan ini cukup kompleks. Jika salah satu dimenangkan, maka hal ini akan terlihat tidak adil. Karena pihak penerima gadai yang saat ini bestatus lembaga pegadaian, akan merasa dirugikan jika dalam operasional usahanya tidak mendapay keuntungan yang akan menunjang kegiatan usahanya. Sedangkan pihak yang menggadaikan diwajibkan membayar berupa bunga setiap 15 harinya, maka hal ini juga akan merugikan pihak penggadai.
Karena barang atau hartanya telah ditahan oleh penerima gadai. Selain itu hal yang menjadi sangat pokok dalam persoalan ini adalah penerapan bunga yang berbuntut riba yang jelas-jelas dilarang oleh syara’.Berangkat dari persolan tersebut, maka berikut sebuah solusi yang bisa dijalankan guna lembaga pegadaian yang merupakan lembaga penolong dapat tetap eksis dalam menjalankan mottonya “ mengatasi masalah tanpa masalah.”
1. Kategori Barang Gadai
Muhammad Shalikul hadi mengutip pendapat Basyir (2003) bahwa jenis barang gadai yang dapat digadaikan sebagai jaminan adalah semua jenis barang bergerak dab tak bergerak, sehingga barang yang dapat digadaikan bisa semua barang asal memenuhi syarat:
(1) Merupakan benda bernilai menurut hukum syara’ (2) Ada wujudnya ketika perjanjian terjadi
(3) Mungkin diserahkan seketika kepada murtahin.
2. Pemeliharaan Barang Gadai
Ada perbedaan pendapat para ulama dalam halpemeliharaaan barang gadai. Ulama Syafi’iah dan Hanabilah berpendapat biaya pemeliharaan barang gadai menjadi tanggung jawab pemberi gadai karena barang tersebut merupakan miliknya dan akan kembali kepadanya. Sedangkan para ulama Hanafiah berpendapat bahwa biaya pemeliharaan barang gadai menjadi tanggungan penerima gadai yang mana dalam posisinya sebagai penerima amanat. Berdasarkan pendapat di atas maka dapat ditarik kesimpulan bahwa biaya pemeliharaan barang gadai adalah hak rahin dalam kedudukannya sebagai pemilik yang sah. Akan tetapi jika harta atau barang jaminan tersebut menjadi kekuasaan murtahin dan di izinka oleh maka biaya pemeliharaan jatuh pada murtahin. Sedangkan untuk mengganti biaya tersebut nantinya, apabila murtahin mendapat izin dari rahin maka murtahin dapat memungut hasil marhun sesuai dan senilai dengan yang telah ia keluarkan. Tetapi apabila rahin tidak mengizinkannya maka biaya pemeliharaan menjadi utang rahin kepada murtahin. Pendapat ini dikutip oleh Muhammad Shalikul Hadi dari Sabiq (2003).
[15]Resiko Atas Kerusakan Menurut para ulama Syafi’iah dan Hanabilah berpendapat bahwa murtahin tidak bertanggung jawab atas rusaknya barang gadai jika tidak disengaja. Sedangkan ulama Hanafiah berpendapat bahwa hal tersebut menjadi tanggungan murtahin sebesar harga barang minimum, dihitung mulai waktu diserahkannya barang gadai kepada murtahin sampai barang tersebut rusak.
Shalikul Hadi mengutip Basyir (2003: 84) Pembayaran Atau Pelunasan Hutang GadaiApabila sudah samapai jatuh tempo dan rahin belum membayarkan kembali utangnya maka murtahin boleh memaksa rahin untuk menjual barangnya. Kemudian hasilnya digunakan untuk menebus utang tersebut sedangkan jika terdapat sisa atas penjualan barang tersebut, maka akan
dikembalikan kepada rahin.Prosedur Pelelangan GadaiJika ada persyaratan akan menjual barang gadai pada saat jatuh tempo, maka ini diperbolehkan dengan ketentuan:[16]