HASIL DAN PEMBAHASAN
PEKERJAAN JUMLAH PERSENTASE (Orang) (%)
Petani 3,763 36.84 Nelayan 5,658 55.39 Pengusaha 10 0.10 Pengrajin 45 0.44 Buruh 510 4.99 PNS 204 2.00 TNI/ Polisi 7 0.07 Pensiunan 18 0.17 Jumlah 10,215 100.00 Sumber: Kecamatan Karimunjawa dalam Angka 2009
2005 sampai 2009 tercatat rara-rata sebesar 426,8 ton/tahun. Pemasaran hasil tangkapan ikan, dilakukan dalam 3 bentuk, yaitu ikan basah untuk kebutuhan lokal dan ikan kering untuk dijual diluar Karimunjawa serta ikan hidup. Namun, kondisi pasar kurang menguntungkan bagi nelayan, karena kurangnya pembeli dan ongkos transportasi yang mahal. Sifat ikan yang mudah busuk mengharuskan para nelayan untuk menjualnya dengan harga yang murah ke tengkulak, apalagi jika nelayan tersebut terjerat hutang.
Perkembangan Alat Tangkap dan Nelayan
Perairan Karimunjawa merupakan daerah kepulauan terdiri dari 27 pulau, hanya 5 pulau yang didiami penduduk dan terdiri dari 3 desa. Penduduk Karimunjawa sebagian besar menggantungkan hidupnya dari hasil laut, baik sebagai penangkap ikan, pengolah ikan, pembudi daya ikan ataupun petani rumput laut. Menurut data Kecamatan Karimunjawa tahun 2009, mata pencaharian sebagai nelayan paling banyak, yaitu 5.658 orang (55,39%), diikuti oleh petani 3.763 orang (36,84%), buruh 510 orang (4,99%), pengrajin 45 orang (0,44%), dan pengusaha 10 orang (0,1%) Sebagaimana ditunjukkan pada Tabel 2 berikut.
Tabel 2. Mata Pencaharian Penduduk Karimunjawa
Kapal-kapal yang ada di perairan Karimunjawa ukurannya lebih kecil dari 5 GT. Menurut laporan Dinas Kelautan dan Perikanan Kabupaten Jepara (2009), Kecamatan Karimunjawa mempunyai perahu tanpa motor sebanyak 12 unit, motor tempel 125 unit dan kapal motor 682 unit. Alat tangkap yang digunakan nelayan Karimunjawa menurut data statistik Kecamatan Karimunjawa Tahun 2009, jumlah alat tangkap Pancing sebanyak 932 unit, Jaring 168 unit, Bubu 573 unit dan Muro-ami 3 unit. Alat tangkap Pancing mempunyai target ikan Kerapu, Tenggiri, Badong, Kakap Merah dan Tongkol.
NO ALAT TANGKAP JUMLAH BIAYA PER TRIP RATA-RATA HARGA PENDAPATAN LAMA TRIP PENDAPATAN
ABK (Rp) CPUE PER KG CPUE RATA-RATA (JAM) PER NELAYAN
(ORANG) (KG) (Rp/Kg) PER TRIP (Rp) PER TRIP (Rp)
1 Moroami 20 s/d 24 550,000 150 9,667 1,450,000 9 s/d 13 37,500
2 Handline/ Pancing 1 75,000 16 16,250 260,000 6 185,000
3 Gill Net/ Jaring Insang 12 sd 18 375,000 100 7,000 700,000 8 21,667
4 Trap/Bubu 4 200,000 20 15,000 300,000 7 25,000
Sumber: Hasil Wawancara 2010
Alat tangkap Bubu memiliki target ikan Kerapu, Ekor Kuning dan Badong. Alat tangkap jaring mempunyai target ikan Tongkol, Tanggiri, Cumi-cumi dan Kakap. Sedangkan alat tangkap Muro-ami mempunyai target ikan Ekor Kuning dan Badong.
Tabel 3. Profil Jenis Alat Tangkap di Perairan Karimunjawa
Tabel 3 diatas menunjukkan bahwa tingkat eksploitasi alat tangkap Muro-ami paling besar sekali trip, yaitu 150 kg/trip. Disusul oleh alat tangkap Jaring 100 kg/trip, Bubu 20 kg/trip dan Pancing 16 kg/trip. Namun dari segi pendapatan per nelayan per trip, kontribusi terbesar diberikan oleh alat tangkap Pancing, yaitu sebesar Rp 185 ribu setelah dikurangi biaya per trip dan dibagi jumlah nelayan. Kemudian Muro-ami Rp 37.500,- Bubu Rp 25 ribu dan Jaring Rp 21.667,-
Hal ini disebabkan karena target ikan alat tangkap Pancing (ikan Kerapu, Tenggiri, Badong, Kakap dan Tongkol) mempunyai nilai ekonomis tinggi dibandingkan dengan alat tangkap yang lain. Selain itu jumlah nelayan pembagi hasil tangkapan setelah dikurangi biaya operasional per trip lebih sedikit. Padahal dibandingkan dengan alat tangkap yang lain, alat tangkap Pancing lebih ramah lingkungan.
Khusus untuk perkembangan alat tangkap Muro-ami (Marnane et al. 2004), bahwa
pada akhir tahun 2002, adanya surat edaran Pemerintah Kabupaten Jepara No. 523/2813 tanggal 28 Juni 2002 mengenai Usaha Penangkapan di Karimunjawa yang mengindikasikan diperbolehkannya Muro-ami beroperasi di perairan Karimunjawa. Nelayan Karimunjawa mulai mengoperasikan Muro-ami pada bulan September-November 2002, hasil tangkapan yang didapat sangat banyak untuk ukuran nelayan Karimunjawa
berkisar antara 2 ton ikan ekor kuning (Caesio cuning) perminggu, atau Rp 12 juta per
unit per minggu. Pada saat itu baru terdapat tiga unit armada yang beroperasi. Pada bulan Januari 2003 jumlah total Muro-ami yang beroperasi di seluruh Kepulauan
Karimunjawa sebanyak 27 unit. Pada bulan tersebut hasil tangkapan rata-rata sekitar 700 kg/unit/minggu.
Pada bulan Mei 2003 dikarenakan musim barat, penurunan hasil tangkapan dan tingginya biaya operasi, jumlah Muro-ami mulai berkurang, hingga hanya tinggal 6 unit yang masih beroperasi dengan hasil tangkapan rata-rata 398 kg/unit/minggu. Pada awal September 2003 beberapa unit armada mulai beroperasi kembali secara reguler dengan hasil tangkapan rata-rata sekitar 814 kg/unit/minggu. Satu kelompok operasi Muro-ami terdapat 1 hingga 5 orang penyelam yang berpotensi menimbulkan kerusakan pada terumbu karang, selain itu dampak buruk terhadap kesehatan mulai dirasakan oleh para
nelayan penyelam (Marnane et al. 2004).
Namun, menurut Mukminin et al. (2006) pada tahun 2004 turun lagi menjadi 5 unit
hingga tinggal 2 unit pada tahun 2005. Hasil wawancara dengan nelayan Karimunjawa, bahwa mulai tahun 2008, alat tangkap Muro-ami yang jumlahnya 2 unit tersebut dapat dikatakan “mati tak mau, hidup pun enggan”, karena nelayan penyelam mulai merasakan gangguan kesehatan pada pernafasan.
Kawasan Pemanfaatan Perikanan Tangkap
Produksi perikanan di Indonesia didominasi oleh perikanan tangkap, kontribusinya mencapai 85% (Dahuri 2003). TNK merupakan salah satu daerah penangkapan perikanan artisanal penting di Laut Jawa, dengan keanekaragaman terumbu karang dan ikan karang yang tinggi. TNK merupakan salah satu kawasan yang dapat mewakili kondisi
terumbu karang dengan kategori baik dari Kawasan Barat Indonesia (Mukminin et al.
2006). Tekanan penangkapan ikan mempunyai pengaruh yang paling besar terhadap sumberdaya populasi ikan di TNK. Lokasi dengan keragaman ikan tertinggi di Karimunjawa adalah di P. Cemara Besar dan P. Sintok. Kedua lokasi ini merupakan daerah terumbu karang yang terisolasi dan dapat memberikan perlindungan terhadap spesies ikan non-target (Marnane 2005).
Luasan area penangkapan ikan dengan alat tangkap pancing untuk tekanan tinggi seluas 1.370 ha, tekanan sedang 760 ha dan tekanan rendah 11.801 ha. Adapun luasan area penangkapan ikan dengan alat tangkap jaring untuk tekanan tinggi 993 ha, tekanan sedang 3.238 ha dan tekanan rendah 11.425 ha. Sedangkan luasan area penangkapan ikan dengan alat tangkap bubu untuk tekanan tinggi 575 ha, tekanan sedang 872 ha dan tekanan rendah 11.533 ha. Jumlah luasan area penangkapan ikan dengan alat tangkap pancing 12.698 ha, sedangkan alat tangkap jaring 15.656 ha dan alat tangkap bubu
12.980 ha. Alat tangkap jaring mempunyai luasan area penangkapan ikan yang paling besar 15.656 ha.
Area penangkapan (fishing ground) ikan alat tangkap Pancing yang paling tinggi
tekanannya berada di P. Karang, sedangkan tekanan sedang berada pada P. Nyamuk, P. Parang, P. Kembar dan P. Kumbang dan tekanan rendah menyebar di P. Karimunjawa, P. Kemujan. Sedangkan area penangkapan ikan alat tangkap Jaring yang paling tinggi tekanannya berada di P. Nyamuk, P. Karang, P. Kembar dan P. Parang, dan tekanan sedang berada di P. Karang, P. Nyamuk, P. Parang, P. Kumbang, P. Bengkoang, P. Karang Kapal, P. Galean, P. Burung, P. Menjangan Besar dan P. Kemujan. Adapun area penangkapan ikan alat tangkap Bubu, yang paling tinggi tekanannya berada di P. Karang dan P. Nyamuk, sedangkan tekanan sedang berada di P. Parang, P. Kumbang, P. Karang dan P. Nyamuk.
Dari ketiga area penangkapan alat tangkap pancing, bubu dan jaring setelah di- overlay didapatkan bahwa area penangkapan dengan tekanan rendah seluas 7.343,65 ha, tekanan sedang seluas 8.638,32 ha dan tekanan tinggi seluas 990,68 ha, sehingga total area penangkapan ketiga alat tangkap tersebut seluas 16.972,65 ha. Sebagaimana ditunjukkan pada Tabel 4. Sedangkan Sebaran area penangkapan alat tangkap pancing, bubu dan jaring dapat dilihat pada Gambar 3.
Tabel 4. Luasan Area Penangkapan Alat Tangkap Pancing, Bubu dan Jaring
Analisis Bioekonomi Sumberdaya Perikanan di TNK
AREA PENANGKAPAN LUAS (ha) Rendah 7,343.65 Sedang 8,638.32 Tinggi 990.68 Jumlah 16,972.65
Data time series produksi dan upaya tahun 1993-2009 alat tangkap meliputi alat
tangkap pancing, bubu dan jaring. Alat tangkap pancing digunakan sebagai acuan (standar), karena paling banyak digunakan oleh nelayan Karimunjawa. Alat tangkap jaring menghasilkan tekanan paling besar terhadap sumberdaya perikanan di perairan TNK. Sedangkan alat tangkap bubu dan pancing relatif sedang terhadap sumberdaya perikanan di perairan Karimunjawa sebagaimana ditunjukkan pada Gambar 4.
Sumber Peta: 1. Bakosurtanal
2. Balai Taman Nasional Karimunjawa 2005
Perbandingan CPUE Alat Tangkap Pancing, Bubu dan Jaring - 20.00 40.00 60.00 80.00 100.00 120.00 140.00 1993 1994 1995 1996 1997 1998 1999 2000 2001 2002 2003 2004 2005 2006 2007 2008 2009 Tahun CP UE ( Kg / T ri p )
CPUE Pancing CPUE Bubu CPUE Jaring
TOTAL PRODUKSI TOTAL UPAYA TOTAL CPUE
TAHUN (h) STANDAR (E) STANDAR
(KG) (TRIP) (KG/TRIP) 1993 91,561.36 5,873 15.59 1994 71,700.55 8,664 8.28 1995 65,166.30 5,323 12.24 1996 55,990.42 3,681 15.21 1997 88,990.47 5,323 16.72 1998 54,578.42 5,047 10.81 1999 128,025.26 3,359 38.12 2000 141,996.93 4,986 28.48 2001 111,536.76 12,167 9.17 2002 98,529.40 6,754 14.59 2003 118,252.08 10,017 11.80 2004 129,573.92 8,660 14.96 2005 30,669.27 738 41.56 2006 60,255.24 1,909 31.56 2007 83,858.88 6,533 12.84 2008 98,164.68 8,201 11.97 2009 73,587.33 5,936 12.40
Gambar 4. Perbandingan CPUE Alat Tangkap Pancing, Bubu dan Jaring
Adapun perhitungan standarisasi efektivitas alat tangkap dapat dilihat pada Lampiran 1 Hasil Perhitungan Standarisasi Alat Tangkap Pancing, Bubu dan Jaring. Sedangkan hasil total produksi (h), Total upaya standar (E) dan Total CPUE standar sebagaimana ditunjukkan pada Tabel 5.
- 2,000 4,000 6,000 8,000 10,000 12,000 14,000 1993 1994 1995 1996 1997 1998 1999 2000 2001 2002 2003 2004 2005 2006 2007 2008 2009 Tahun U p aya S tan d ar ( T ri p )
Upaya Standar Upaya Lestari Optimal
Perhitungan besarnya variabel Y, X1 dan X2 dapat dilihat pada halaman Lampiran
1 Tabel 2 Variabel Y, X1, dan X2 untuk Perhitungan Model Bioekonomi CYP (Clark,
Yoshimoto dan Pooley) dan pada Lampiran 2 Hasil Regresi dengan Software SPSS 13.0 ,
maka didapatkan nilai kofisien pertumbuhan alami ikan (r)= 3,142, koefisien daya tangkap (q)= 0,000527 dan koefisien daya dukung (K)= 262.189,799. Setelah memasukkan nilai harga hasil tangkapan per satuan berat alat tangkap Pancing (p)= Rp 16.250,- dan biaya operasional Pancing (c)= Rp 75.000,- maka didapatkan nilai upaya optimal lestari (E*) = 2.883 trip serta produksi optimal lestari (h*)= 205.935 kg, manfaat ekonomi optimal Lestari
(π*)= Rp 3,3464 milyar. Pada tahun 2009, dengan besarnya upaya (E) sebesar 5.936 trip
dapat dilihat posisinya dalam kurva MSY pada Lampiran 3.
Perbandingan antara upaya lestari optimal dengan total upaya standarisasi alat tangkap, maka didapatkan bahwa pada tahun 1993 (5.873 trip) , 1994 (8.664 trip), 1995 (5.323 trip), 1996 (3.681 trip), 1997 (5.323 trip), 1998 (5.047 trip), 1999 (3.359 trip), 2000 (4.986 trip), 2001 (12.167 trip), 2002 (6.754 trip), 2003 (10.017 trip), 2004 (8.660 trip), 2007 (6.533 trip), 2008 (8.201 trip), dan 2009 (5.936 trip) telah terjadi over-fishing, karena total upaya alat tangkap pancing, bubu dan jaring melebihi upaya lestari optimal (2.883 trip) yang disarankan. Untuk lebih jelasnya dapat dilihat pada Gambar 5 berikut ini.
Gambar 5. Perbandingan Upaya Lestari Optimal dengan Total Upaya Standarisasi Alat Tangkap Pancing, Bubu dan Jaring.
Kemudian dengan memasukkan variabel luasan kawasan konservasi laut (KKL)
(σ) sebesar 0 sampai dengan 0,9 didapatkan hasil simulasi persamaan model
LUASAN KKL (σ) UPAYA OPTIMAL LESTARI (E*) MANFAAT EKONOMI OPTIMAL LESTARI (π*) PRODUKSI LESTARI (h*) σ (Trip) (Rp) (Kg) 0 2,883 3,346,442,190.99 205,934.90 0.1 2,872 3,102,495,014.29 205,650.87 0.2 2,858 3,072,650,687.03 205,575.42 0.3 2,840 3,034,491,350.31 205,465.37 0.4 2,817 2,983,983,131.73 205,295.82 0.5 2,783 2,913,983,748.05 205,014.62 0.6 2,734 2,810,542,440.15 204,496.96 0.7 2,650 2,642,294,307.26 203,378.57 0.8 2,484 2,321,375,717.59 200,183.15 0.9 1,986 1,483,241,357.35 182,927.87 - 500,000,000.00 1,000,000,000.00 1,500,000,000.00 2,000,000,000.00 2,500,000,000.00 3,000,000,000.00 3,500,000,000.00 4,000,000,000.00 0 0.1 0.2 0.3 0.4 0.5 0.6 0.7 0.8 0.9 Luasan Kawasan Konserv asi Laut
M an faat E ko no m i O pt im al L est ar i ( R p)
Tabel 6. Hasil Simulasi dengan Memasukkan Variabel Luasan KKL
Hubungan antara luasan KKL dengan manfaat ekonomi optimal lestari ditunjukkan dalam Gambar 6 dibawah ini.
Gambar 6. Kurva Hubungan Luasan KKL dengan Manfaat Ekonomi Optimal Lestari
Gambar 6 tersebut menunjukkan bahwa pada saat perairan Karimunjawa yang digunakan sebagai area penangkapan ikan bagi alat tangkap pancing, bubu dan jaring dikurangi sebesar 10% untuk KKL, maka manfaat ekonomi optimal lestari akan turun sebesar Rp 243.947.177,- (0,0729%). Jika dikurangi 20% sampai dengan 90%, maka manfaat ekonomi optimal lestari akan turun sebagaimana ditunjukkan Tabel 7 berikut.
LUASAN PENURUNAN MANFAAT LESTARI OPTIMAL PERSENTASE KKL (Rp) PENURUNAN (%) 10% 243,947,176.71 0.0729 20% 273,791,503.96 0.0882 30% 311,950,840.68 0.1015 40% 362,459,059.26 0.1194 50% 432,458,442.94 0.1449 60% 535,899,750.84 0.1839 70% 704,147,883.73 0.2505 80% 1,025,066,473.40 0.3879 90% 1,863,200,833.65 0.8026
Tabel 7. Penurunan Manfaat Optimal Lestari
Menurut Fauzi dan Anna (2005), hubungan antara luasan kawasan konservasi dengan manfaat ekonomi bersifat kuadratik. Luasan zona inti dan perlindungan akan meningkatkan nilai ekonomi pada kisaran luasan 40% dari total luasan kawasan konservasi. Jika melewati dari 40%, maka nilai ekonomi akan semakin menurun. Pada kondisi area penangkapan ikan dengan alat tangkap pancing, bubu dan jaring dengan luas 16.972,65 ha dikurangi 40% (6.789,06 ha) untuk kawasan konservasi laut (zona inti dan zona perlindungan) dan 10.183,59 ha (60%) sebagai zona pemanfaatan, maka akan menurunkan manfaat ekonomi optimal lestari sebesar Rp 362.459.059,- (0,1194%) dan upaya optimal menjadi 2.817 trip. Keadaan tersebut akan dicapai dengan asumsi, bahwa alat tangkap yang dioperasikan 3 jenis (pancing, bubu dan jaring). Apabila jumlah alat tangkap berubah, maka luasan kawasan zona inti dan zona perlindungan pun berubah.
Penurunan manfaat lestari akibat luasan area penangkapan ikan alat tangkap pancing, bubu dan jaring berkurang untuk kawasan konservasi laut merupakan suatu konsekuensi akibat berkurangnya hasil tangkapan. Namun ada manfaat lain yang lebih besar bagi nelayan, yaitu adanya perlindungan bagi habitat dan stok ikan yang dapat dimanfaatkan secara berkelanjutan. Adapun manfaat secara ekonomi ekosistem terumbu karang, Dahuri (2003) memaparkan hasil penelitian yang mengungkap besarnya nilai ekonomi terumbu karang. Nilai ekonomi terumbu karang di perairan Indonesia sebesar
US $ 70,000 per km2 per tahun. Jika luasan ekosistem terumbu karang yang
diperuntukkan Kawasan Konservasi Laut di perairan Karimunjawa seluas 6.789,06 ha
(67,89 km2), maka perhitungan nilai manfaat ekonomi per km2
Menurut Sanchirico et al. (2002), penerapan kebijakan KKL akan memberikan
manfaat pada peningkatan nilai dan hasil tangkap, memperbaiki catch mix (frekwensi
tangkapan ikan dewasa yang lebih tinggi), namun mengurangi keragaman hasil tangkap. per tahun diperkirakan sebesar US $ 4,752,300 dapat dilihat pada Lampiran 4.
Sedangkan kerugian yang dialami nelayan adalah penurunan hasil tangkap,
berkurangnya fishing ground, adanya konflik pemanfaatan, biaya yang meningkat sejalan
dengan jauhnya lokasi penangkapan ikan, juga peningkatan resiko keselamatan karena lokasi penangkapan yang semakin jauh. Bagaimanapun, seharusnya ada biaya sosial yang substansial dari keberadaan KKL, karena sebagai subsidi adanya kesempatan kerja yang terbatas dari nelayan dan pendapatan yang menurun/ berkurang.
Tabel 7 tersebut diatas menunjukkan bahwa ketika area penangkapan dikurangi untuk kawasan konservasi laut (zona inti dan zona perlindungan), maka berdampak pada penurunan upaya optimal lestari, manfaat ekonomi optimal lestari dan produksi optimal lestari pada waktu itu. Jadi penurunan tersebut terjadi dalam waktu yang dekat, belum
mempertimbangkan variabel waktu, dampak spill-over dan biaya kebutuhan masyarakat
(social cost). Adanya pengurangan area penangkapan sebesar 40% untuk kawasan
konservasi laut (KKL) dapat memberikan dampak limpahan (spill-over) yang kemudian
akan menjadi manfaat ekonomi yang dapat dimanfaatkan secara berkelanjutan. Di perairan Karimunjawa belum dapat dirasakan manfaat keberadaan KKL, karena nelayan masih melakukan penangkapan ikan di zona inti maupun zona perlindungan.
Hasil penelitian Pezzey et al. (2000) menyatakan, bahwa di tiga lokasi KKL
perairan Karibia terjadi peningkatan catch mix (frekwensi tangkapan ikan dewasa yang
lebih tinggi) sebesar 20-40% dan meningkatkan pendapatan sebesar US $ 1 milyar per tahun. Efek limpahan ikan (Spiil-over) dari suatu zona larangan ambil (no-take) di zona inti
atau perlindungan sangat dipengaruhi oleh aspek keterkaitan (Connectivity) zona di suatu
perairan. Keterkaitan zona sangat dipengaruhi oleh jarak antar zona, pertumbuhan larva
ikan, kekuatan pergerakan arus (dinamika perairan) dan karakteristik jenis ikan (Weeks et
al. 2009).
Keberadaan kawasan konservasi laut berfungsi untuk melindungi keberadaan keanekaragaman hayati ekosistem perikanan yang berhubungan dengan pertumbuhan
alami populasi dan keterkaitan antar habitat (Planes et al. 2009). Parameter koefisien
pertumbuhan alami ikan berpengaruh dominan terhadap peningkatan efek spill-over
akibat adanya KKL sebesar 40%. Hal ini akan berdampak pada terjadinya perubahan peningkatan upaya optimal lestari, produksi optimal lestari dan manfaat ekonomi optimal lestari. Jika diasumsikan bahwa Luasan KKL sebesar 40% dengan koefisien pertumbuhan alami ikan (r) meningkat 2% per tahun, maka dihasilkan perhitungan upaya optimal lestari, produksi optimal lestari dan manfaat optimal lestari sebagaimana pada Tabel 8 sebagai berikut.
TAHUN KOEFISIEN PERTUMBUHAN UPAYA OPTIMAL LESTARI PRODUKSI OPTIMAL LESTARI MANFAAT OPTIMAL LESTARI
ALAMI IKAN E* (Trip) h* (kg) π* (Rp)
0 3.141768369 2,817 205,295.82 2,983,983,131.73 1 3.204603737 2,873 209,401.74 3,043,662,794.37 2 3.268695811 2,930 213,589.77 3,104,536,050.25 3 3.334069727 2,989 217,861.57 3,166,626,771.26 4 3.400751122 3,049 222,218.80 3,229,959,306.68 5 3.468766144 3,110 226,663.17 3,294,558,492.82 6 3.538141467 3,172 231,196.44 3,360,449,662.67 7 3.608904297 3,235 235,820.37 3,427,658,655.93 8 3.681082383 3,300 240,536.77 3,496,211,829.05 9 3.754704030 3,366 245,347.51 3,566,136,065.63 10 3.829798111 3,433 250,254.46 3,637,458,786.94 - 0.5000 1.0000 1.5000 2.0000 2.5000 3.0000 3.5000 4.0000 0 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 Tahun M an f aat O p t im al L est ar i ( M il yar R p )
Manfaat Optimal Lestari
Tabel 8. Perhitungan Upaya Optimal Lestari, Produksi Optimal Lestari dan Manfaat Optimal Lestari dengan Luasan KKL 40% dan Koefisien Pertumbuhan
Alami Ikan (r) meningkat 2% per tahun
Dari Tabel 8 diatas dapat dilihat bahwa pengaruh peningkatan koefisien
pertumbuhan ikan sebesar 2% per tahun dengan KKL 40% berdampak pada efek spill-
over di perairan TNK. Jika pada tahun ke-0 tanpa adanya KKL nilai upaya optimal (E*)=
2.883 trip, manfaat ekonomi optimal lestari (π*)= Rp 3,3464 milyar dan produksi optimal
lestari (h*)= 205.935 kg, maka pada tahun ke-6 dengan KKL 40% akan didapatkan
manfaat ekonomi optimal lestari sebesar Rp 3,36 milyar, upaya optimal lestari 3.172 trip dan produksi optimal lestari 231.196,44 kg. Secara diagramatis, dapat digambarkan peningkatan manfaat optimal lestari pada Gambar 7.
Fauzi dan Anna (2005) menjelaskan tentang beberapa hasil penelitian manfaat KKL terhadap masyarakat disekitarnya dan kelestarian ekosistem:
(1) Hasil studi Halpern (2003) menunjukkan bahwa KKL meningkatkan
kelimpahan biomas sebesar dua kali lipat dan keanekaragaman hayati meningkat tiga kali lipat serta meningkatkan CPUE dalam kisaran 30%-
60% dari hasil tangkapan sebagai dampak limpahan (spill-over) sebelum
adanya KKL.
(2) Hasil perhitungan White dan Cruz-Trinidad (1998) KKL di Apo Island
memberikan kontribusi bagi pendapatan masyarakat sebesar US $ 400 ribu yang dimanfaatkan untuk beasiswa pendidikan anak-anak penduduk sekitar dalam menempuh pendidikan formal yang lebih tinggi.
(3) KKL di kepulauan Pasifik dapat meningkatkan keharmonisan antar
penduduk dan mengurangi konflik pengguna sumberdaya serta meningkatkan kebanggaan dan rasa percaya diri terhadap pengelolaan sumberdaya yang lestari.