• Tidak ada hasil yang ditemukan

PELAKSANAAN KEGIATAN COREMAP II

2.1

K

EGIATAN

M

ATA

P

ENCAHARIAN

A

LTERNATIF

(MPA)

egiatan MPA sebagai program binaan COREMAP II di Katurai cukup beragam. Ada 9 (sembilan) kegiatan yang dilakukan di Desa Katurai sejak Tahun 2006 sampai dengan Tahun 2009. Kegiatan MPA yang telah berlangsung sekitar 4 (empat) tahun dengan nilai anggaran hampir 400 juta rupiah.

K

Jenis Kegiatan dan Proses Pelaksanaan

Kegiatan MPA diawali dengan budidaya kepiting bakau, penangkapan ikan dan pembuatan batu es. Pada awalnya ketiga kegiatan ini dinilai sangat sesuai dengan kondisi lokal terutama dilihat dari sisi karakteristik program COREMAP yang berkaitan dengan kehidupan masyarakat pesisir atau perikanan. Namun demikian, jika dilihat dari kesesuaian dengan dengan karakteristik mata pencaharian penduduk Katurai yang lebih berorientasi ke darat atau perkebunan, program kegiatan ini telah menimbulkan permasalahan sendiri. Dalam kenyataan program kegiatan MPA yang berorientasi ke budidaya perikanan memerlukan proses alih pengetahuan, alih ketrampilan dan perubahan kelembagan masyarakat. Penduduk Katurai pada umumnya dan peserta program MPA khususnya meskipun tidak menolak kegiatan COREMAP tetapi dalam kenyataan kegiatan yang ada tidak berlanjut atau berhenti.

Kegiatan budidaya kepiting bakau tampaknya dipilih sebagai salah satu program khas COREMAP Kabupaten Kepulauan Mentawai dan sejalan dengan program kegiatan Dinas Perikanan dan Kalautan Kabupaten Kepulauan Mentawai. Ini penting karena ada dana pendukung APBD untuk kegiatan COREMAP II di Mentawai. Oleh sebab itu, kegiatan budidaya kepiting bakau adalah kegiatan Pokmas yang mendapat alokasi

anggaran paling besar dari total anggaran yang diberikan selama ini dan berlansung sampai 2 (dua tahun). Selain itu, kegiatan budidaya kepiting bakau merupakan kegiatan binaan COREMAP II yang paling banyak membentuk Pokmas yaitu sebanyak 12.

Budidaya kepiting berbeda dengan kegiatan MPA yang lain. Kegiatan budidaya kepiting bakau adalah kegiatan MPA yang sebenarnya cocok atau sesuai dengan habitatanya Seperti diketahui bahwa di perairan sekitar Desa Katurai ditumbuhi tanaman bakau yang kondisinya masih baik. Oleh sebab itu, benih atau bibit kepiting bakau mudah diperoleh di daerah tersebut. Bahkan mencari kepiting bakau sudah merupakan matapencaharian kaum perempuan di Desa Katurai. Namun demikian dalam kenyataannya kegiatan Pokmas budidaya kepiting bakau tidak berjalan dengan baik atau gagal. Banyak faktor yang menyebabkan kegagalan kegiatan MPA ini.

Faktor pertama adalah kurang pengalamannya anggota Pokmas kepiting dalam melakukan budidaya kepiting sekalipun mereka memiliki kegiatan matapencaharian mencari kepiting bakau. Dalam hal ini mereka memerlukan alih iptek penanganan yang mampu merubah perilaku dari kegiatan berburu dengan mengambil kepiting di alam dan beralih dalam budidaya pamembesaran di lokasi yang telah dibuat. Semua anggota Pokmas budidaya kepiting bakau tidak ada yang menguasai teknik budidaya kepiting bakau.

Selain itu, penyuluhan atau pendampingan teknis budidaya kepiting tidak berjalan dengan baik. Kegiatan budidaya kepiting memang pada awalnya diusulkan dan diperkenalkan oleh Universitas Riau (UNRI) tetapi belakangan kehadiran UNRI tidak bertahan lama dimana masyarakat tidak mengetahui secara persis keberlanjutan pendampingan UNRI tersebut dan masyarakat juga tidak mengetahui keberadan UNRI sebagai sebagai lembaga yang ditunjuk dalam pendampingan budidaya kepeting bakau. Jadi dengan demikian demplot Budidaya Kepiting gagal. Di lain pihak, ada Yayasan Kirekat yang ditunjuk Dinas Perikanan dan Kelautan Mentawai sebagai pendamping masyarakat namun hanya sebatas membentuk kelompok

masyarakat. Yayasan yang ditunjukan tersebut dalam kenyataan tidak melakukan kegiatan fasilitasi secara optimal dan tidak mampu melakukan pendampingan teknis budidaya kepiting.

Pokmas budidaya kepiting yang dibentuk tampaknya tidak dibangun dari sebuah kebutuhan warga, melainkan warga masyarakat melihat sebagai kesempatan mendapatkan bantuan dana. Warga peserta Pokmas ini mengaku ditawari untuk menjalankan kegiatan budidaya kepiting. Pengajuan proposal program dan anggaran sudah disiapkan. Warga masyarakat yang dipilih atau ditunjuk tinggal menjalankan. Jadi dengan demikian warga masyarakat tidak mengusulkan melainkan ditawari. Pokmas diberikan uang untuk belanja bibit kepiting dengan harga 2-3 juta rupiah untuk 100 ekor. Usia budidaya kepiting ini tidak berlangsun lama. Salah seorang ketua Pokmas budidaya kepiting menuturkan bahwa bahwa umur kegiatan ini hanya satu minggu. Bibit kepiting banyak yang mati karena tidak bisa memeliharanya dan mengalami kesulitan mendapatkan pakan. Umur kegiatan budidaya kepiting yang sangat singkat rupanya terjadi di semua tempat di Pokmas.

Tidak jauh berbeda dengan budidaya kepiting, kegiatan MPA lainnya di desa ini mengalami nasib yang sama, yakni kegiatan penangkapan ikan. Bantuan untuk kegiatan penangkapan ikan juga tidak jalan dengan alasan hasil tangkapan ikan tidak bisa dijual kareana tidak ada pembeli. Namun demikian, program ini tetap mendapat kucuran dana 2 tahap, yakni tahun 2006 dan tahun 2008. Kegagalan tahun pertama tampaknya tidak dijadikan pelajaran dalam mengkucurkan dana program COREMAP II. Akhirnya keramba apung disewakan kepada warga lain yang bukan anggota Pokmas yang memiliki profesi sebagai penampung ikan. Dari kasus ini jelas bahwa program dana bantuan COREMAP II tidak memiliki desain yang baik. Kegagalan program tahun pertama tetap diberikan lagi pada tahun berikutnya dan tidak mengikutserakan potensi yang dimiliki warga desa lain karena alasan bukan warga asli desa Katurai. Namun demikian, dari wawancara ketua Pokmas penangkapan ikan bahwa dana bantuan sebesar Rp. 35 juta ini pernah diangsur dua

kali, yakni masing-masing Rp. 100.000,- dan diserahkan ke bendahara LPSTK tetapi setelah itu berhenti mengangsur.

Kegiatan pembuatan batu es dan pencaharian ikan juga tidak berjalan dengan baik. Es untuk pendingin ikan hasil tangkapan di desa ini belum menjadi kebutuhan mendesak karena desa Katurai bukan desa nelayan. Informasi diperoleh bahwa tidak ada kegiatan pembuatan batu es. Demikian pula untuk kegiatan penangkapan ikan tidak berjalan dengan baik. Warga Desa Katurai menangkap ikan hanya untuk konsumsi pangan di rumah dan umumnya kegiatan menakap ikan dilakukan oleh kalangan perempuan desa.

Pembentukan Pokmas dalam kegiatan penangkapan ikan dan kegiatan pembuatan batu es sebenarnya tidak sesuai dengan kebutuhan jika di lihat dari profil matapencaharian penduduk yang sebagian besar bukan nelayan. Oleh sebab itu kedua kegiatan tersebut belum layak dikembangkan sebagai kegiatan matapencaharian aklternatip. Mencari ikan masih terbatas untuk kebutuhan subsisten. Di Desa Katurai hanya ada 1-2 keluarga pendatang yang benar-benar sebagai nelayan tetapi mereka ini justru tidak pernah mendapat bantuan COREMAP II selama ini. Salah seorang informan yang berasal dari Tapanuli, Sumatera Utara mengemukakan bahwa selama disini belum pernah menerima bantuan dari program COREMAP II padahal dirinya merasa siap mengembalikan dana COREMAP yang bersifat bergulir. Informan ini merasa sebagai warga Katurai yang menekuni kegiatan kenelayanan. Program COREMAP II pada akhirnya ditujukan kepada warga Katurai yang satu suku atau marga sekalipun tidak memiliki kegiatan penangkapan ikan. Begitu pula dengan program pembuatan es. Program pembuatan es ini tidak diberikan kepada penampung hasil tangkapan ikan yang lebih layak secara ekonomis dan bisa berkembang namun penampung hasil tangkapan merupakan penduduk pendatang maka tidak ditetapkan menjadi anggota Pokmas pembuatan batu es. Anggota Pokmas pembuatan batu es pada umumnya penduduk asli desa Katurai. Jadi dengan demikian, secara sadar penetapan anggota Pokmas mempertimbangkan latar suku atau etnis. Kecenderungan seperti ini

menjadi sebuah permasalahan implementasi program COREMAP II di Katurai. Seperti diketahui di satu sisi warga desa Keturei yang memiliki matapencaharian yang berorientasi ke laut pada umumnya adalah penduduk pendatang tetapi disisi lain program bantuan COREMAP II menghendaki kegiatan yang berhubungan dengan perikanan dan kelautan.

Ketidaktepatan sasaran program pembuatan batu es dan usaha penangkapan ikan program ini tidak dilanjutkan lagi pada tahun berikutnya. Program yang masih berlanjut di tahun kedua justru budidaya kepiting bakau sekalipun tidak berhasil di tahun pertama. Kegiatan budidaya kepiting ini menjadi perhatian COREMAP II karena dianggap bentuk MPA yang sesuai dengan kondisi lokal. Ada 8 Pokmas budidaya kepiting bakau yang terbentuk di tahun 2007 sekalipun sekarang ini kegiatan itu tidak lagi berjalan. Selain budidaya kepiting, pada tahun 2007 dikembangkan pula Pokmas pertanian nilam dan ternak itik yang lebih berorientasi ke darat atau pertanian namun demikian, pokmas pertanian ini tidak berjalan dengan baik. Kegiatan kedua Pokmas ini tampaknya kegiatan MPA tambahan karena hanya 3 kelompok. Dengan demikian pada tahun 2007, kegiatan MPA lebih dikonsentrasikan pada budidaya kepiting bakau.

Tabel. 2.1.

Kegiatan Pokmas Binaan COREMAP di Desa Katurae, 2005-2009

No. Jenis Kegiatan 2006 2007 2008 2009 Nilai Anggaran (Rp) 1. Budidaya Kepiting Bakau 4 8 134.280.000 2. Penangkapan ikan 1 1 35.000.000 3. Pembuatan batu es 1 20.000.000 4. Tani nilam 2 13.200.000 5. Ternak itik 1 14.450.000 6. Mesin longtile 2 33.332.000

7. Budidaya rumput laut 5 100.000.000 8. Usaha Ekonomi Mikro 1 20.000.000

9. Usaha Souvenir 1 20.000.000

Jumlah 6 11 3 7 390.262.000

Kegiatan nilam juga mengalami nasib yang sama sekalipun jenis kegiatan sangat sesuai dengan kondisi lokal. Seperti diketahui kegiatan penyulingan nilam adalah aktivitas ekonomi desa yang sudah lama berlangsung. Jadi dengan demikian pilihan kegiatan usaha minyak nilam sangat sesuai. Ada dua kelompok tani nilam yang dibentuk LPSTK. Setiap kelompok mendapat 6,15 juta rupiah tetapi sekitar 5,75 juta rupiah yang diterima yang diberikan secara bertahap (Tahap I diterima 2 juta; Tahap 2 diterima 2 juta; dan tahap 3 diterima 1,250 juta). Uang itu menjadi berkurang karena dipotong untuk bunga dan dan lain-lain. Setiap anggota harus mencicil sekitar 75 ribu rupiah. Oleh karena alat suling tidak ada, maka minyak nilan tidak pernah dihasilkan sekalipun masing anggota telah menanam nilam dengan luas sekitar 0,5 hektar. Usaha souvenir tidak terlihat aktivitasnya. Tidak ada pendampingan pembuatan souvenir di desa Katurai. Tampaknya bantuan souvenir ini tidak dipersiapkan dengan baik dan bagi warga diterima begitu saja karena sifatnya bantuan.

Foto1. Bantuan Mesin dan Perahu Patroli Pokwasmas

Kegiatan Pokwasmas tidak berjalan dengan baik. Sarana perahu untuk patroli Pokwasmas kondisinya telah rusak. Bangkai perahu telah hanyut dimakan ombak, sementara bantuan mesin kapal juga telah rusak dan dimakan rayap (Lihat, Foto 1). Menurut ketua Pokwasmas, sebelumnya kondisi sarana patroli tidak layak pakai dan menganggu pelaksanaan patroli di lapangan. Mesin perahu sering diperbaikai yang membutuhkan biaya, sementara pos anggaran untuk pemeliharaan tidak ada. Oleh sebab itu, ketika bantuan biaya penunjang kegiatan patroli turun, maka praktis digunakan untuk

membayar biaya perbaikan mesin. Dengan kondisi sarana yang hancur maka kegiatan patroli praktis tidak berjalan.

Persoalan lain yang dihadapi adalah antara lokasi Pos Pengawasan dengan lokasi kawasan konservasi (Daerah Perlindungan Laut) tidak menyatu. Lokasi kawasan konservasi (Daerah Perlindungan Laut) berada di Pulau Siloina, sementara di sisi lain Pos Pengawasan DPL yang dibangun pada tahun 2008 dan memiliki luas bangunan 42 meter persegi berada di pulau lain (Karangmajat). Jarak tempuh antara lokasi Daerah Perlindungan Laut dengan Pos Pengawasan memakan waktu satu jam. Jadi, tidak efektif. Tidak ada alasan jelas mengapa lokasi DPL dan Pos Pengawasan tidak dibangun dalam satu pulau. Yang jelas bahwa lokasi pos pengawasan dibangun di dekat resort pariwisata. Dalam konteks ini, LPSTK tidak pernah membahas persoalaan yang dihadapi Pokwasmas. LPSTK tidak pernah rapat. Begitu pula peranan kepala desa dalam pembinaan COREMAP II masih kurang optimal. Peraturan Desa tentang DPL sampai sekarang masih belum ada. Menurut kepala desa bahwa belum adanya Perdes tentang DPl dikarenakan belum ada petunjuk dari pemerintah daerah.

Partisipasi dan Manfaat

Soal partisipasi dalam kegiatan MPA juga sangat bervariasi di dalam merespon kegiatan COREMAP II. Namun demikian, secara umum warga masyarakat yang terlibat dalam program bantuan dana bergulir usaha ekonomi mikro termasuk minimal. Hal ini terlihat dari penilaian responden sebagaimana terlihat pada Grafik 2.2. bahwa lebih dari 70 persen responden yang menyatakan tidak pernah mendapatkan bantuan dana bergulir dari COREMAP II. Kecenderungan ini bisa dimengerti jika kita melihat proses penentuan calon penerima bantuan dana bergulir yang berputar-putar pada warga masyarakat tertentu yang dekat dengan pengambil keputusan, seperti pengurus LPSTK dan kepala desa. Sementara itu, warga yang mengaku mendapat bantuan dana bergulir mengatakan bahwa dana bergulir telah digunakan untuk membeli atau memperbaiki alat tangkap, menambah bantuan modal usa rumah tangga

dan usa budidaya perikanan. Namun demikian, ironisnya lebih dari 75 persen responden tersebut menyatakan bahwa dana bantuan tersebut tidak memberikan dampak pada peningkatan pendapatan kegiatan usaha (Grafik 2.3).

Ada beberapa faktor yang menyebabkan mengapa dana bantuan modal usaha belum menyentuh perubahan ekonomi usaha yang signifikan.

Pertama, adalah terjadi kegagalan usaha sehingga menyebabkan

bantuan modal usaha tidak memberikan dampak pendapatan usaha.

Kedua, kegagalan usaha ini disebabkan pemilihan kegiatan usaha tidak

sesuai dengan ketrampilan dan kondisi sumberdaya lokal. Ketiga, ada intervensi dari luar dalam penentuan jenis usaha yang bisa mendapat bantuan sehingga dalam usahanya tidak berjalan dengan baik. Keempat, adalah bantuan modal yang diberikan terlalu kecil. Kecilnya bantuan modal ini kemungkinan berkaitan dengan upaya untuk membagi bantuan modal usaha agar terjadi pemerataan sehingga tidak layak untuk pengembangan usaha. Oleh sebab itu, usaha yang dikembangkan tidak berhasil. Kecendrungan ini dapat di lihat pada grafik bawah ini.

Grafik 2.1

Presentase RT Responden Menurut Keterlibatan Bantuan Program Coremap (Non-Fisik) 0 10 20 30 40 50 60 70 80 90 100 % Dan a B erg ulir B udida ya Program COREMAP Menerima Tidak

Grafik 2.2

Prosentase RT yang Menyatakan Bantuan Modal Pinjaman Menurut Dapat Meningkatkan Pendapatan RT

Ya, 23.1

Tidak, 76.9

Grafik 2.3.

Prosentase RT Tentang Alasan Tidak Ada Dampak Bantuan Modal Pinjaman

Usaha blm berhasil, 14.3 Usaha gagal, 57.1 Blm menerima dana, 7.1 Dana kecil, 21.4

Permasalahan dan Kendala

Permasalahan yang menonjol kegiatan program yang bersifat non fisik terletak pada proses penentuan target dan pilihan sasaran program tidak menurut kelayakan dalam kegiatan penerima program. Target sasaran ditentukan berdasarkan kedekatan dengan pengelola program. Seperti bantuan dana bergulir tidak diberikan kepada warga yang benar-benar membutuhkan untuk membantu perekonomian rumah tangga.

Dalam kasus COREMAP II di Desa Katurai, kelembagaan pengelolaan bantuan kredit telah menjadi kegiatan program tidak berjalan dengan baik. Hubungan antara LPSTK dengan kelompok masyarakat tidak pernah terjalin, Di satu sisi LPSTK tidak pernah melakukan aktivitas kegiatan sementara di pihak lain sebagian warga merasa tidak diikutkan dalam kegiatan program karena bukan bagian dari kelompoknya. Demikian pula, pemerintah desa tidak pernah melakukan tanggungjawab pengawasan pasca pemberian program.

2.2 PROGRAM BANTUAN FISIK DESA Jenis Kegiatan dan Proses Pelaksanaan

Jenis kegiatan fisik yang masuk di Desa Katurai sejak tiga tahun terakhir berasal dari program COREMAP II kecuali program bantuan solar sel yang berasal dari luar COREMAP II yaitu bantuan dari Kementerian ESDM. Jika dilihat berdasarkan jenis bantun fisik tersebut dapat dibedakan berdasarkan kepentingan, yaitu : (1) program bantuan fisik yang dibangun untuk kepentingan pelaksanaan program COREMAP II, seperti pondok informasi; (2), bantuan fisik untuk kepentingan publik, seperti dermaga; dan (3) bantuan fisik untuk kepentingan perorangan, seperti listrik tenaga surya. Namun demikian terdapat bantuan fisik yang seharusnya untuk kepentingan pereorangan/RT tetapi menjadi sarana publik, seperti MCK. Hal ini dilakukan kemungkinan hanya diperuntukan rumah yang belum memiliki sarana MCK.

Foto 2. Bangunan Pondok Indoermnasi dan Sarana Komunikasi

Program bantuan fisik yang bertujuan untuk kepentingan program COREMAP II yang cukup lama dibangun (2006) adalah pondok informasi yang dilengkapi dengan radio komunikasi yang sekarang masih berdiri kokoh (Lihat Foto 2.). Peralatan lainnya yang masih terdapat di ruangan Pondok Informasi adalah Mesin Ketik, Radio, Mesin penerangan tenaga surya, Lampu siga /sirene yang kondisinya sudah rusak, meja tulis, lemari 2 unit dan 20 buah kursi pelastik. Sarana fisik lainnya adalah Puskesdes yang belum berjalan karena belum ada tenaga medisnya.

Sarana fisik lainnya adalah dermaga yang dibangun yang diperuntukan untuk tambatan perahu sehingga dapat meningkatkan mobilitas penduduk. Namun jika melihat kebutuhan penduduk sebenarnya belum mendesak karena mobilitas penduduk masih rendah. Warga yang memiliki warung yang biasa belanja ke kota (Muara Siberut). Warga desa lain yang ingin bepergian biasanya numpang perahu milik pedagang/pemilik warung tersebut. Dalam kenyataan tambatan perahu tersebut tidak digunakan oleh masyarakat setempat.

Partisipasi dan Manfaat

Pembedaan fasilitas fisik ini penting jika dikaitkan dengan partisipasi warga masyarakat dalam kegiatan fisik. Partisipasi yang dimaksud di sini seberapa jauh warga masyarakat mengetahui manfaat pembangunan fisik, pelibatan dalam pembangunan fisik dan merasa ada manfaat dari pembangunan sarana pembangunan fisik itu. Tabel di bawah ini memperlihat gambaran keragamanan gambaran partisipasi warga Katurai dalam pembangunan fisik. Dari Grafik 2.4 ini dapat dilihat ada dua jenis

program fisik yang diresponden warga masyarakat dan sebaliknya kurang direspon warga masyarakat.

Foto 3. Sarana MCK.

Selama penelitian di lapangan bangunan pondok informasi tidak pernah dibuka dan terlihat tidak ada tanda-tanda aktivitas kegiatan COREMAP II. Tetapi salah satu informasi yang diperoleh pondok indormasi dapat berfungsi sebagai tempat penginapan tamu dari luar dalam jumlah besar

dan sekaligus dekat dengan lokasi MCK yang dibangun COREMAP. Begitu pula bantuan radio komunikasi tidak pernah diaktifkan dan informasi dari kepala desa kondisinya rusak. Kepala Desa Katurai menginginkan sebaiknya radio komunikasi ini dipasang di kantor kelurahan yang bisa lebih bermanfaat. Selain itu, jika radio komunikasi dipasang di kantor kelurahan dapat diaktifkan karena ada staf kelurahan yang hadir. Bantuan fisik lainnya adalah MCK. MCK adalah satu-satunya village grant yang terlihat jelas manfaatnya terutama bagi warga sekitar lokasi MCK (Lihat, Foto 3). Warga yang memanfaatkan MCK terlihat antri untuk memanfaatkan MCK. Kalangan anak-anak dan kaum perempuan disekitarnya yelah terbantu dengan adanya sarana ini.

Jenis program yang direspon adalah pembangunan Pondok Informasi, Pondok Pengawasan Masyarakat, MCK dan Tenaga Surya (lihat, Grafik 2.5). Sementara itu fasilitas Bak Air Bersih, Pos Kesehatan Desa dan Dermaga kurang banyak diketahui dan melibatkan masyarakat (lihat, Grafik 2.6). Ini menandakan bahwa Kegiatan Bak Air Bersih dan Pos Kesehatan Desa dan Dermaga belum di lihat sebagai sarana umum yang dapat memberikan kemanfaatan. Bak Air Bersih belum merata di di

bangun di desa di Keturei, begitu pula dermaga/tambat perahu untuk perikanan belum menjadi kebutuhan masayarakat desa. Mobiltas ke kota kecamatan dilakukan pada hari pasar saja dengan menggunakan perahu milik pedagang penampung atau kepala desa. Begitu pula dengan Pos Kesehatan Desa. Di desa ini masih kuat kepercayaan bahwa kesehatan berkaitan dengan perilaku ”magik” yang dilakukan oleh orang lain daripada berkaitan dengan perilaku tidak sehat. Di desa ini pernah terjadi pembunuhan yang disebabkan balas dendam karena terjadi kecurigaan kepada orang lain yang membuat anggota keluarganya sakit yang tidak sembuh.

Grafik 2.4.

Keterlibatan Responden dalam Pembangunan Fisik di Desa Katurai

0 20 40 60 80 100 120 P o nd ok In fo rma s i MC K Ba k A ir Bers ih Po k W a s Ma s Po s K e s Des Der m a ga T e na ga Su rya Tidak Ya

Grafik 2.5.

Presentase RT Responden Menurut Keterlibatan Bantuan Program Coremap (Fisik).

0 10 20 30 40 50 60 70 80 90 100 % Fisik MCK Po nd ok Wa sm as De rm ag a Program COREMAP Menerima Tidak Grafik 2.6.

Prosentase RT Yang Berpendapat tentang Kemanfaatan Bantuan Program Coremap

0 10 20 30 40 50 60 70 80 90 100 % Mo da l U saha Al at t angk ap Al at p erta ni an Sa rana pe rtani an So lar s el Program COREMAP Manfaat Tidak

Program fisik tidak pernah melibatkan masyarakat baik dalam bentuk pengembangan keswadayaan masyarakat dalam bentuk partisipasi dana masyarakat ataupun gotong royong. Pembangunan program fisik didekati dengan model pembangunan proyek fisik. Kontraktornya adalah orang yang memiliki relasi dengan pejabat di DKP Kabupaten Kepulauan Mentawai. Dengan demikian desain kegiatan pembangunan infrastruktur fisik berupa tambatan atau darmaga, bak air bersih, dan Puskesdes tidak berbasiskan pertisipasi masyarakat. Kegiatan ini juga bukan kegiatan padat karya. Dalam kasus ini, warga masyarakat hanya sebagai penonton. Pekerjaan fisik telah melibatkan tukang dari luar desa. Namun demikian, ada kegiatan fisik lain yang dirasakan oleh warga masyarakat, seperti MCK, listrik tenaga surya. Kegiatan ini merupakan cerminan dari kebutuhan yang langsung menyentuh kebutuhan warga masyarakat. Indentifikasi infrastuktur fisik yang menyentuh langsung kebutuhan masyarakat belum diperhatikan dalam program bantuan fisik.

BAB III

Dokumen terkait