• Tidak ada hasil yang ditemukan

PERKEMBANGAN PENDAPATAN MASYARAKAT DI LOKASI COREMAP II

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "PERKEMBANGAN PENDAPATAN MASYARAKAT DI LOKASI COREMAP II"

Copied!
71
0
0

Teks penuh

(1)
(2)

PERKEMBANGAN PENDAPATAN

MASYARAKAT DI LOKASI COREMAP II

Desa Katurai, Kabupaten Kepulauan Mentawai

Oleh:

SUKO BANDIYONO

ARI WAHYONO

Coral Reef Rehabilitation and Management Program Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia

(COREMAP II – LIPI) Jakarta, 2009

(3)

KATA PENGANTAR

Pelaksanaan COREMAP fase II di beberapa lokasi di Indonesia

Bagian Barat telah berjalan kurang lebih lima tahun. Selama

kurun waktu pelaksanaan COREMAP tersebut, berbagai program

dan kegiatan berkaitan dengan penyadaran masyarakat tentang

pentingnya pengelolaan terumbu karang, pengelolaan berbasis

masyarakat dan pengawasan telah dilakukan.

Untuk melihat keberhasilan COREMAP dari aspek sosial —

ekonomi, dilakukan kajian BME sosial - ekonomi. Kajian ini

dilakukan pada awal, tengah dan akhir program. Kajian pada

awal dan tengah program telah dilakukan pada tahun 2005 dan

2007. Kajian sosial — ekonomi tahun 2005 (T0) bertujuan untuk

melihat kondisi sosial — ekonomi masyarakat sebelum program dan

kegiatan COREMAP dilakukan. Sedangkan kajian BME sosial —

ekonomi pada tahun 2007 (T1) bertujuan untuk mengkaji

pelaksanaan COREMAP di daerah dan mengumpulkan data

mengenai kondisi sosial ekonomi masyarakat, khususnya tingkat

pendapatan, untuk memantau dampak program COREMAP

terhadap tingkat kesejahteraan masyarakat. Kajian BME sosial —

ekonomi pada tahun 2009 dilakukan untuk mengkaji capaian

pelaksanaan COREMAP, khususnya perubahan pendapatan

masyarakat yang dikaitkan dengan kegiatan mata pencaharian

alternatif (MPA).

Buku ini merupakan hasil dari kajian

BME sosial-ekonomi (T2)

yang dilakukan pada tahun 2009 di lokasi-lokasi COREMAP di

Indonesia Bagian Barat. BME sosial-ekonomi ini dilakukan oleh

CRITC-LIPI bekerjasama dengan tim peneliti dari Pusat Penelitian

(4)

Kependudukan - LIPI (PPK-LIPI) dan beberapa peneliti sosial dari

kedeputian IPSK - LIPI.

Terlaksananya kegiatan penelitian dan penulisan buku ini

melibatkan berbagai pihak. Penghargaan dan ucapan terima kasih

kami sampaikan kepada Kepala Pusat Penelitian Kependudukan —

LIPI yang telah memberikan dukungan kepada tim peneliti

melakukan studi ini. Kepada para informan yang terdiri atas

masyarakat nelayan, ketua dan pengurus LPSTK dan POKMAS,

pemimpin formal dan informal, tokoh masyarakat di lokasi di Desa

Katurai, kami ucapkan terima kasih atas segala bantuannya.

Ucapan terima kasih juga kami sampaikan kepada para

pewawancara yang telah membantu pelaksanaan survai. Kami

juga memberikan penghargaan setinggi-tingginya kepada semua

narasumber dari berbagai unsur pengelola COREMAP di tingkat

kabupaten: Kepala Dinas Kelautan dan Perikanan Kabupaten

Kepulauan Mentawai, CRITC Kabupaten Kepulauan Mentawai dan

berbagai pihak yang ada di daerah yang telah membantu

memberikan data dan informasi.

Jakarta, Desember 2009

Direktur NPIU CRITC COREMAP II-LIPI

Susetiono

(5)

RINGKASAN

alah satu dari 34 desa pantai di Kabuapaten Kepulauan Mentawai adalah Desa Katurai. Penduduk Desa Katurai kendati tinggal di daerah pantai namun lebih dari delapan puluh persen menggantungkan hidupnya dari usaha perkebunan rakyat dan pertanian. Hal ini menunjukkan bahwa budaya masyarakat Katurai masih kental dengan budaya darat yang masih pada tahap subsisten. Pada umumnya mereka masih terbiasa bekerja dalam kelompok keluarga sendiri. Artinya, mereka tidak biasa bekerja sama antar keluarga atau bekerja kelompok seperti dalam Pokmas. Sementara itu mereka masih terikat dalam hubungan kekerabatan yang mendasarkan pada hubungan kesukuan atau marga. Oleh larena itu mereka mempunyai kecenderungan untuk memprioritaskan anggota sukunya untuk menguasai suatu kekuasaaan. Dalam sistem yang demikian akan hidup jiwa nepotisme, tidak berjalannya sistem kontrol dan keterbukaan.

S

Kendati hanya sebagian kecil penduduk yang bekerja sebagai nelayan tradisional namun mereka menghadapi masalah yaitu makin sulitnya memperoleh ikan. Hal ini menunjukkan bahwa ekositem perairan dan terumbu karang di daerah Katurai telah mengalami degradasi. Praktik mengambil batu karang dan pasir laut masih berjalan.Penggunaan potasium untuk menangkap biota laut masih dilakukan secara diam-diam.

Kondisi umum di Indonesia menunjukkan bahwa untuk Indonesia hampir sepertiga kulitas terumbu karang tergolong kurang baik, bahkan untuk Indonesia bagian barat persentasenya mencapai 36,33. Adapun berdasarkan hasil penelitian CRITC Sumatera Barat Tahun 2000, di Kabupaten Kepulauan Mentawai yang mempunyai ekosistem terumbu karang seluas 1.220,62 km² dengan kondisi baik hanya 4 % (5.517,36 km²) dan kondisi rusak berat 70% (14.854,43 km). Kerusakan terumbu karang di beberapa wilayah di Mentawai seperti halnya daerah lain Indonesia terutama disebabkan oleh ulah manusia

(6)

Pada tahap COREMAP II pendekatan lebih menekankan pada terciptanya pengelolaan ekosistem terumbu karang secara berkelanjutan agar sumber daya laut dapat direhabilitasi, diproteksi dan dikelola. Dalam hal ini gilirannya dapat meningkatkan kesejahteraan masyarakat dan mengurangi kemiskinan.

Dalam pelaksanaan pengelolaan ekosistem terumbu karang telah didesentralisasi kepada pemerintah Kabupaten Kepulauan Mentawai dengan sistem pendanaan yang berkelanjutan, namun tetap dikoordinir secara nasional. Selanjutnya kegiatan COREMAP yang didanai oleh Asian Development Bank (ADB) untuk Kabupaten Kepulauan Mentawai didesentralisaikan ke bawah di 6 desa COREMAP II antara lain Desa Katurai. Desentralisasi pengelolaan ini dilakukan untuk mendukung dan memberdayakan masyarakat pantai, melakukan co-manajemen secara berkelanjutan agar kerusakan terumbu karang dapat dicegah dan dampak positif selanjutnya akan meningkatkan pendapatan masyarakat. Dalam praktik pelaksanaan kegiatan COREMAP II ternyata telah mengalami banyak masalah sehingga telah menentukan kinerja keberhasilan program. Dalam program COREMAP II versi ADB indikator keberhasilan program dilihat dari aspek sosial-ekonomi adalah : Pendapatan dan jumlah penduduk yang menerima pendapatan dari kegiatan ekonomi berbasis terumbu karang dan kegiatan alternatif lainnya mengalami kenaikkan sebesar 10 persen pada akhir program. Paling sedikit 70 persen dari masyarakat nelayan (beneficiary)merasakan dampak positif program COREMAP II terhadap tingkat kesejahteraan dan status ekonomi mereka.

Hasil penelitian BME tahun 2009 telah menunjukkan bahwa program UEP di Desa Katurai telah menunjukkan kinerja yang buruk yang bermuara pada kegagalan program. Banyak faktor yang telah menentukan kegagalan kinerja antara lain :

• Keterbatasan dalam Managemen Pengelolaan

(7)

• Kendala Budaya

• Kegagalan kinerja Pokmas UEP

• Pendapatam yang naik turun

• Praktik Pemotasan Ikan dan Penambanganan Karang serta Penebangan Mangrove

• DPL yang tidak berhasil

Bertolak dari uraian pelaksanaan UEP di Desa Kaurei dan beberapa kesimpulan, berikut ini dapat direkomenasikan :

• Program UEP di Desa Katurai telah menunjukkan kinerja yang buruk yang bermuara pada kegagalan program. Banyak faktor yang menyebabkan kegagalan tersebut antara lain lemahnya managemen, kendala budaya dan kualitas SDM. Atas dasar kenyataan tersebut maka hasil BME ini merekomendasikan agar program UEP di Desa Katurai tersebut tidak didanai lagi atau dihentikan sampai pada suatu saat ada kesadaran budidaya dan mampu menyerap alih iptek tentang pengelolaan program UEP.

• Untuk dapat memberi pelajaran tentang bagaimana melaksanakan UEP, kami sarankan agar di desa tersebut dibuat satu jenis proyek percontohan/demonstrasi plot yang dapat dikelola secara profesional sehingga dapat dipastikan dapat berproduksi dan secara ekonomi menguntungkan. Misalnya di Desa Katurai diadakan proyek percontohan tentang budidaya kepiting bakau. Pengelola langsung ditangani oleh kelompok usaha kepiting dan udang yang beroperasi di Km.2,5 Desa Tuapejat. Beberapa orang yang potensial dari Desa Katurai diajak sebagai pekerja tidak tetap dalam usaha tersebut. Usaha percontohan sekaligus merupakan tempat belajar bagi warga yang ingin memperoleh pengetahuan. Dengan memberi kesempatan bagi warga setempat untuk melihat dan bertanya diharapkan akan terjadi alih iptek tentang pengelolaan kepiting bakau. Kesuksesan usaha percontohan diharapkan akan diikuti oleh proses peniruan yang bisa dikerjakan sendiri oleh warga Katurai.

(8)

• Perlu dijalin kemitraan dengan resort pariwisata jika ingin terjadi peranserta penduduk Katurai dalam pelestarian terumbu karang. Selama ini belum ada upaya untuk melakukan pengelolaan resort yang berbasis masyarakat sebagai solusi daripada mengembangkan UEP yang tidak pernah berhasil. Memfokuskan pengawasan nelayan yang berusak terumbu karang lebih diutamakan dengan menjalin kemitraan dengan resort daripada pengembangan UEP yang menghadapi problem pemasaran dan kelembagaan sosial.

(9)

DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR iii

RINGKASAN v

DAFTAR ISI ix

DAFTAR TABEL xi

DAFTAR GRAFIK xiii

DAFTAR PETA DAN FOTO xv

BAB I PENDAHULUAN 1

1.1 Latar Belakang 1

1.2 Tujuan dan Metodologi 5 1.3 Gambaran Desa Katurai 7

1.4 Ruang Lingkup

10

BAB II PELAKSANAAN KEGIATAN COREMAP II 13

2.1 Kegiatan Mata Pencaharian Alternatif (MPA) 13 2.2 Program Bantuan Fisik Desa 22

BAB III PERUBAHAN PENDAPATAN MASYARAKAT 29

3.1 Perubahan Pendapatan Rumah Tangga 30 3.2 Perubahan Pendapatan Rumah Tangga Nelayan 35 3.3 Pendapatan Rumah Tangga Anggota Pokmas 40 3.4 Capaian Ekonomi COREMAP 42

BAB IV PENUTUP 45

4.1 Kesimpulan 46

4.2 Rekomendasi 51

(10)
(11)

DAFTAR TABEL

Tabel 1.1. Kerusakan Karang Nasional 1 Tabel 2.1. Kegiatan Pokmas Binaan COREMAP di Desa

Katurae, 2005-2009 17

Tabel 3.1. Statistik Pendapatan Rumah Tangga dan Per Kapita, Desa Katurai, Kec. Siberut Selatan, Tahun 2005,

2007 dan 2009 33

Tabel 3.2. Distribusi Rumah Tangga Menurut Kelompok Pendapatan/Bulan, Desa Katurai, Kec. Siberut Selatan, 2005, 2007 dan 2009 34 Tabel 3.3. Statistik Pendapatan Rumah Tangga dari Kegiatan

Kenelayanan Tahun 2005, 2007 dan 2009 Menurut Musim, Desa Katurai, Kec. Siberut Selatan 37 Tabel 3.4. Distribusi Rumah Tangga Nelayan Menurut

Kelompok Pendapatan dan Musim, Desa Katurai, Kec. Siberut Selatan, Tahun 2005,2007 dan 2009 39 Tabel 3.5. Pendapatan Kelompok Pokmas di Desa Katurai,

2009 41 Tabel 3.6. Distribusi Rumah Tangga Pokmas Menurut

(12)
(13)

DAFTAR GRAFIK

Grafik 2.1. Presentase RT Responden Menurut Keterlibatan Bantuan Program Coremap (Non-Fisik) 20 Grafik 2.2. Prosentase RT yang Menyatakan Bantuan Modal

Pinjaman Menurut Dapat Meningkatkan Pendapatan

RT 21 Grafik 2.3. Prosentase RT Tentang Alasan Tidak Ada Dampak

Bantuan Modal Pinjaman 21 Grafik 2.4. Keterlibatan Responden dalam Pembangunan Fisik

di Desa Katurai 25

Grafik 2.5. Presentase RT Responden Menurut Keterlibatan Bantuan Program Coremap (Fisik). 26 Grafik 2.6. Prosentase RT Yang Berpendapat tentang

Kemanfaatan Bantuan Program Coremap 26 Grafik 3.1. Pendapatan RT/Bulan & Pendapatan per

Kapita/Bulan di Desa Katurai, Tahun 2005, 2007,

dan 2009 32

Grafik 3.2. Pendapatan Rumah Tangga Kenelayanan Menurut Musim, Tahun 2005, 2007 dan 2009 36

(14)
(15)

DAFTAR PETA DAN FOTO

Peta 1. Kabupaten Kepulauan Mentawai 8 Foto 1. Bantuan Mesin dan Perahu Patroli Pokwasmas 18 Foto 2. Bangunan Pondok Informasi dan Sarana Komunikasi 23

(16)
(17)

BAB I

PENDAHULUAN

1.1

L

ATAR

B

ELAKANG

abupaten Kepulauan Mentawai merupakan kabupaten termuda di Provinsi Sumatera Barat sebagai hasil dari UU No. 49 Tahun 1999 tentang pemekaran daerah. Sebelumnya daerah kepulauan Mentawai adalah bagian dari wilayah Kabupaten Padang Pariaman. Kabupaten Mentawai merupakan gugusan kepulauan yang terdiri dari 4 pulau besar dan 319 pulau kecil, dengan garis pantai lebih dari 750 Km. Hal ini berarti bahwa kepulauan Mentawai seperti halnya Indonesia, mempunyai perairan beserta ekosistemnya, mengandung kekayaan sumberdaya laut yang besar dan beraneka ragam, sehingga telah menjadi asset dasar bagi pembangunan. Salah satu dari tiga ekosistem penting daerah pesisir dan sekaligus suatu sistem ekologi laut yang mempunyai sifat kompleks yaitu terumbu karang (Bandiyono, dkk. 2009).

K

Saat ini masalah yang dihadapi dalam ekosistem laut adalah kerusakan serius terumbu karang. Tim Ekologi LIPI telah mengukur kerusakan karang di 686 lokasi stasiun di Indonesia. Hasil pengukuran dapat dilihat pada Tabel 1.1 berikut ini.

Tabel 1.1. Kerusakan Karang Nasional

Kualitas karang Wilayah

Indonesia

Jumlah lokasi

stasiun Sangat baik Baik Cukup Kurang

Barat 278 5,40 24,10 34,17 36,33

Tengah 213 6,10 31,92 45,07 16,30

Timur 195 6,15 21,03 30,77 42,05

Indonesia 686 5,83 25,66 36,59 31,92 Sumber: Suharsono.2005 (www.coremap.go.id)

Catatan: Nilai kategori:

Sangat baik : 75-100 % Cukup : 25-49,9% Baik : 50-74,9% Kurang : 0 -24,9%

(18)

Atas dasar hasil penelitian tersebut jelas menunjukkan bahwa hampir sepertiga karang di Indonesia kualitasnya tergolong kurang baik, bahkan untuk wilayah Indonesia Barat (termasuk daerah Mentawai) persentasenya telah mencapai 36,33 persen. Di wilayah Indonesia Barat kondisi karang yang tergolong sangat baik hanya 5,4 persen, lebih rendah daripada kondisi nasional sebesar 5,83 % (Bandiyono.dkk.2009). Kerusakan terumbu karang di beberapa wilayah di Mentawai seperti halnya daerah lain Indonesia terutama disebabkan oleh ulah manusia, antara lain adanya penangkapan ikan dan biota terumbu karang lain secara terus-menerus dan dalam kuantitas yang berlebihan (over fishing). Kemudian penggunaan alat tangkap ikan berupa bom dan racun juga telah memberi andil kerusakan terumbu karang. Selain itu kerusakan ekosistem terumbu karang juga dipengaruhi oleh pembangunan yang meningkat di daerah pesisir, sehingga memerlukan material karang laut, kebutuhan kayu dengan penebangan hutan bakau, penebangan hutan di sepanjang sungai yang menyebabkan terjadinya endapan sedimentasi di daerah terumbu karang dan mematikan terumbu karang (Widayatun dkk, 2002 dan Hidayati dkk, 2002) .

Pada saat ini puluhan ribu penduduk Mentawai yang tinggal di 34 desa pantai kehidupannya sebagian kecil telah memanfaatkan hasil penangkapan biota laut pada ekosistem terumbu karang dan sebagian besar berasal dari usaha perkebunan serta pertanian, termasuk masyarakat di daerah penelitian yaitu Desa Katurai, Kecamatan Siberut Barat Daya. Khusus untuk Desa Katurai kerusakan terumbu karang terutama karena masih terjadinya praktik penangkapan ikan dengan menggunakan potassium dan masih terjadinya penggalian karang laut untuk bangunan rumah penduduk lokal. Mereka memanfaatkan karang laut karena di daerah tersebut sulit diperoleh batu gunung. Saat ini di Desa Katurai telah beroperasi keramba jaring apung (KJA) yang menampung ikan untuk keperluan ekspor terutama jenis kerapu. Untuk dapat mengisi keramba jaring apung tersebut pengusaha KJA tersebut telah menampung hasil tangkapan ikan oleh nelayan yang umumnya masih menggunakan racun potassium.

(19)

Selain itu untuk masa mendatang perlu diantisipasi dampak kerusakan ekosistem daratan. Di daerah pegunungan telah terjadi proses alih hutan untuk kebun kakao oleh masyarakat setempat dan kerusakan hutan akibat telah beroperasinya HPH beberapa dekade sebelumnya. Kemungkinan lain adalah kerusakan hutan dan semak belukar sejalan adanya rencana masuknya investor yang akan bergerak pada usaha perkebunan kelapa sawit dengan memanfaatkan lahan bekas HPH yang dulu dikelola oleh PT.Makarani dan PT.Sindo dan memanfaatkan lahan penduduk. Izin HPH tersebut berhenti pada tahun 2003. Sampai tahun 2010 rencana perkebunan kelapa sawit tersebut masih tahap persiapan berupa survei dan pendekatan dengan tokoh-tokoh lokal. Manakala rencana perkebunan kelapa sawit dapat terealisir, diperkirakan akan mempercepat proses sedimentasi yang akan masuk ke Teluk Katurai. Hal lain yang mengancam daerah tersebut adalah kemungkinan terjadinya bencana gempa dan tsunami. Daerah Siberut seperti halnya daerah lain di kepulauan sebelah barat P. Sumatera umumnya mempunyai resiko tinggi kemungkinan terjadinya gempa bumi yang dapat menimbulkan gelombang tsunami, termasuk Desa Katurai meskipun sebagian daerahnya berada di Teluk Katurai. Kepulauan Mentawai terdapat sesar atau jalur patahan yang memanjang sekitar 600 km dari wilayah laut barat Lampung kearah utara menuju kepulauan Andaman. Sesar Mentawai tersebut dikhawatirkan telah dipengaruhi oleh peristiwa gempa 7,9 skala Richter yang terjadi pada tanggal 12 September 2007. Gempa tersebut ternyata telah diikuti puluhan gempa susulan yang telah menimbulkan berbagai kerusakan bangunan di Mentawai, termasuk rumah-rumah di Muara Siberut.

Pada bulan-bulan Mei-Oktober daerah kepulauan Mentawai keadaan cuaca seringkali tidak bersahabat, karena banyak terjadi badai kencang yang disertai hujan lebat. Kejadian tersebut tentunya sangat mempengaruhi kegiatan nelayan yang pada gilirannya mempengaruhi pendapatan rumah tangga nelayan. Pada saat itu angin bertiup dari Samudera Hindia menuju daratan P. Sumatera. Di daerah tersebut curah hujan tahunan sangat tinggi yaitu berkisar antara 2.500-4.700 mm dan

(20)

temperatur harian juga tinggi. Udara yang panas terutama pada siang hari antara lain karena lokasi daerah tersebut berada dekat ekuator. Manakala terjadi badai, gelombang laut dapat mencapai tiga meter, sehingga para nelayan tidak ada yang pergi melaut, bahkan kapal motor yang secara rutin menghubungkan antara pelabuhan Muara Batang Arau di Padang dengan pelabuhan Siberut Selatan tidak berani berlayar. Kondisi laut yang kadang-kadang tidak bersahabat tersebut dengan sendirinya merupakan kendala mobilitas penduduk termasuk aktifitas kenelayanan bahkan telah mempengaruhi proses pembangunan di daerah tersebut.

Untuk mengatasi masalah kerusakan terumbu karang tersebut pada awal tahun 2000-an Pemerintah Indonesia telah menentukan suatu program pengelolaan yang dinamakan COREMAP (Coral Reef Rahabilitation and Management Program). Program tersebut bermaksud untuk menggerakan dan meningkatkan usaha pengelolaan serta rehabilitasi terumbu karang agar sumber daya laut dapat dimanfaatkan secara lestari bagi peningkatan pendapatan dan kesejahteraan masyarakat, terutama masyarakat pesisir Indonesia. Program COREMAP pada prinsipnya mendasarkan pada partisipasi masyarakat atau dapat dikatakan ‘pengelolaan berbasis masyarakat’. Pengelolaan tersebut menggunakan sistem terpadu yang perencanaannya dilaksanakan dengan pendekatan dari bawah berdasarkan aspirasi masyarakat dan untuk kepentingan masyarakat sendiri.

Kemudian pada tahap COREMAP II lebih menekankan pada terciptanya pengelolaan ekosistem terumbu karang secara berkelanjutan agar sumber daya laut dapat direhabilitasi, diproteksi dan dikelola. Dalam hal ini gilirannya dapat meningkatkan kesejahteraan masyarakat dan mengurangi kemiskinan. Dalam pelaksanaan pengelolaan ekosistem terumbu karang telah didesentralisasi kepada pemerintah Kabupaten Kepulauan Mentawai dengan sistem pendanaan yang berkelanjutan, namun tetap dikoordinir secara nasional. Selanjutnya kegiatan COREMAP yang didanai oleh Asian Development Bank (ADB) untuk Kabupaten Kepulauan Mentawai didesentralisaikan ke bawah di 6 desa

(21)

COREMAP II yaitu Desa Tuapejat, Desa Bosua, Desa Sikakap, Desa Katurai, Desa Saibi Samukop, dan Desa Saliguma. Desentralisasi pengelolaan ini dilakukan untuk mendukung dan memberdayakan masyarakat pantai, melakukan co-manajemen secara berkelanjutan agar kerusakan terumbu karang dapat dicegah dan dampak positif selanjutnya akan meningkatkan pendapatan masyarakat. Dalam praktik pelaksanaan kegiatan COREMAP II ternyata telah mengalami banyak masalah sehingga telah menentukan kinerja. Bagaimana kendala kegiatan dan kinerja kelembagaan COREMAP II di Desa Katurai akan dikemukakan dalam tulisan bab dua.

1.2

T

UJUAN DAN

M

ETODOLOGI

Untuk dapat memberi masukan tentang arah yang lebih layak dalam mengimplementasikan program COREMAP II dan untuk memberi masukan tentang kegiatan yang sedang berjalan, maka diperlukan lebih dahulu data empirik aspek sosial-ekonomi dengan melakukan penelitian. Dengan kata lain penelitian ini bermaksud melakukan monitoring atas pelaksanaan program COREMAP II 2005-2009. Oleh karena itu tujuan umum penelitian ini adalah mengkaji pelaksanaan COREMAP khususnya perubahan pendapatan masyarakat yang dikaitkan dengan kegiatan matapencaharian alternatif (MPA).

Adapun yang menjadi tujuan khusus adalah :

• Mengkaji jenis kegiatan mata pencaharian alternatif (MPA) dan permasalahan serta kendala dalam pelaksanaannya.

• Menggambarkan perubahan pendapatan masyarakat dan mengkaji faktor-faktor yang berpengaruh.

• Menganalisis keterkaitan antara perubahan pendapatan masyarakat dan capaian kegiatan COREMAP

Untuk mencapai tujuan penelitian, lebih dahulu dengan melakukan pengumpulan data dan informasi dengan menggunakan beberapa metode: (1) observasi; (2) survei; (3) wawancara mendalam; (4) diskusi

(22)

kelompok; dan (5) pengumpulan data sekunder. Pengumpulan data dilapangan dilakukan pada akhir minggu kedua hingga minggu terakhir bulan Desember 2009. Sebelum survei di Desa Katurai lebih dahulu tim peneliti mengumpulkan data dan informasi pada instansi terkait pada tataran kabupaten yaitu Dinas DKP dan Yayasan Kirekat di Tuapejat. Selanjutnya setelah berakhir penelitian lapangan tim mengumpulkan data dan informasi Dinas DKP Provinsi Sumatera Barat di Kota Padang. Sebagai langkah awal penelitian tim peneliti melakukan observasi terhadap berbagai obyek yang dianggap relevan yaitu daerah perairan sepanjang Muara Siberut-Desa Katurai, daerah permukiman dan kondisi Desa Katurai, alat transportasi/komunikasi dan observasi keadaan lingkungan laut termasuk adanya usaha KJA, dan alat tangkap. Observasi juga dilakukan di pasar Muara Siberut yang beroperasi tiap hari Selasa. Pasar tersebut merupakan satu-satunya untuk berbelanja dan sekaligus untuk memasarkan komoditi dari perdesaan. Daerah yang menjadi obyek observasi tersebut kemudian direkam dengan foto digital. Bersamaan dengan waktu observasi di Desa Katurai kegiatan yang dilakukan adalah melakukan survei aspek sosial-ekonomi rumah tangga penduduk untuk tujuan Benefit Monitoring Evaluation (BME).

Survei dilakukan dengan lebih dahulu menentukan kerangka sampel, yaitu daftar keluarga yang pada tahun 2007 telah menjadi responden. Dalam penelitian ini telah ditetapkan target responden yaitu sebanyak 100 keluarga, termasuk keluarga yang menjadi anggota Pokmas Usaha Ekonomi Produktif. Dalam melakukan survei tim peneliti dibantu oleh pewawancara setempat, yang semuanya adalah bapak-bapak Sebelum mereka melakukan tugasnya terlebih dahulu diadakan pelatihan, guna mengetahui latar belakang penelitian, tujuan penelitian, memahami tata cara wawancara dan konsep yang digunakan. Dalam penelitian ini apabila calon responden telah pindah atau pergi dalam waktu lama maka penghuni rumah tersebut atau tetangga terdekat digunakan sebagai pengganti. Tiap hasil wawancara yang menggunakan instrumen kuesioner, diperiksa oleh tim peneliti. Manakala isian kuesioner dianggap diragukan atau tidak wajar, wawancara ulang dilakukan

(23)

kembali. Dengan melakukan teknik pengumpulan data tersebut maka dapat diperoleh variasi responden sesuai dengan kondisi riil di daerah tersebut dan responden menyebar.

Wawancara mendalam dilakukan terhadap beberapa informan yang dianggap mengerti tentang daerah tersebut dan masalah terumbu karang, antara lain Kepala DKP Kabupaten Mentawai, pegawai Yayasan Kirekat, kepala-kepala Pokmas dan kepala LPSTK. Di samping itu juga diadakan wawancara dengan kelompok masyarakat setempat. Dengan melakukan wawancara mendalam telah diperoleh pengetahuan yang meluas tentang daerah tersebut, terutama isu yang terkait dengan implementasi program COREMAP II. Dengan berbagai teknik wawancara antara lain dapat diperoleh informasi antara lain , kinerja kegiatan MPA, kondisi dan pemanfaatan bantuan fisik (Kapal, Pondok Informasi, MCK, Tambatan Perahu, Tangki Air, Balai Pengobatan Pesisir) dan informasi tentang kegiatan Pokmas lainnya serta faktor yang mempengaruhi pendapatan keluarga.

1.3

G

AMBARAN

D

ESA

K

ATURAI

Desa Katurai terletak di ujung bagian selatan P.Seberut tepatnya berada di 1° 35´00” LS - 1° 55´ 10” LS dan 99° 11´ 00” BT - 99° 20´ 00” BT. Desa tersebut 190 km² merupakan daratan dan 243 km² merupakan lautan. Desa tersebut terletak 15 km selatan dari pelabuhan Muara Siberut. Untuk mencapai Desa Katurai dari Muara Siberut harus dengan transportasi air, umumnya menggunakan sampan atau perahu speed boat ukuran 15 PK. Jarak tersebut dapat ditempuh melalui sungai dan menembus terusan dan masuk teluk Katurai dengan waktu tempuh 1,5 jam. Perjalanan juga dapat melalui laut bila keadaan laut tidak bergelombang besar misalnya bulan Januari. Jarak Desa Katurai ke Kecamatan Siberut Barat Daya di Pei-Pei 12 km, ke ibukota provinsi di Kota Padang 140 km dan ke ibukota kabupaten di Tuapejat 50 km. Di Desa Katurai terdapat beberapa pulau yang terdapat resort asing. Resort yang ada yaitu Candui, Siloinok, Seumakakangh, Kadui. Makarolus dan Saranakot. Pulau-pulau kecil yang ada antara lain P.

(24)

Masolok, P. Nyangnyang, P. Silainak, P. Mainuk dan P.Kramajat. Secara keseluruhan jumlah resor ekowisata sekitar 15.

Peta 1.

Kabupaten Kepulauan Mentawai

Secara administratif pada tahun 1953 Katurai menjadi status desa di bawah Kecamatan Siberut Selatan. Kemudian pada tahun 2008 Desa Katurai manjadi bagian dari Kecamatan Siberut Barat Daya. Desa Katurai terdiri atas empat dusun yaitu Dusun Tiop, Dusun Sarausau, Dusun Tolougoggo dan Dusun Malilimok yang sekaligus sebagai pusat pemerintahan desa. Dusun-dusun tersebut semua menghadap teluk Katurai yang dipinggirnya ditumbuhi hutan mangrove yang kondisinya masih bagus. Dibelakang hutan mangrove ditumbuhi tanaman sagu yang kondisinya makin buruk. Desa tersebut berada di dataran rendah yang sempit dan dibelakangnya merupakan perbukitan yang masih terdapat hutan. Hutan yang ada telah banyak ditebang dan diganti tanaman keras berupa cengkih, kakao, kalapa, kopi dan durian. Akhir-akhir ini

(25)

penduduk setempat cenderung memperluas tanaman kakao karena harga kakao kering yang cukup tinggi yaitu 22 ribu rupiah per kilogram. Pada awal tahun 2009 masyarakat Katurai mulai memperluas areal tanaman kakao ke arah perbukitan dan disekitar pekarangan. Tanaman cengkih dikembangkan di Desa Katurai sekitar tahun 1980-an. Tanaman cengkih tumbuh di berbagai tempat terutama di sekitar pinggiran perkampungan.

Potensi sumber daya darat lain yang cukup prospektif adalah tanaman nilam. Daun tanaman nilam adalah bahan baku pembuatan minyak atsiri untuk bahan industri farmasi dan kosmetik. Hasil minyak nilam dari Mentawai ini sebagian besar diekspor ke Singapura dan Jepang lewat Medan. Tanaman ini cukup prospektif, sebab telah ditetapkan menjadi salah satu program unggulan Pemerintah Daerah Kabupaten Kepulauan Mentawai. Kendala yang dihadapi masyarakat petani nilam adalah harga minyak nilam yang telah merosot dari satu juta rupiah per kilogram tahun 2007 menjadi 300 ribu rupiah per kilogram pada tahun 2009. Kendatipun tanaman nilam memiliki prospek, namun belum secara instensif dikembangkan di desa Katurai, antara lain karena harganya yang tidak ekonomis.

Menurut data sekunder, pada akhir tahun 2009 jumlah penduduk Desa Katurai berjumlah 1.670 jiwa terdiri atas 870 laki-laki dan 800 perempuan dengan jumlah KK sebanyak 570. Hal ini berarti bahwa jumlah rata-rata anggota rumah tangga sebanyak 2,9 jiwa. Penduduk Desa Katurai sebagian besar atau 80 persen berpendidikan rendah yaitu tamat SD ke bawah. Hal ini mengindikasikan bahwa di daerah tersebut masih mengalami keterbatasan sarana dan prasarana pendidikan sehingga belum mampu meningkatkan kualitas pendidikan.

Menurut penuturan masyarakat, penduduk desa tersebut diakui berasal dari daerah Siberut Utara tepatnya daerah Simatalu. Karena adanya konflik perang antar suku kemudian mereka pindah ke Bat Koko atau Pumuijat. Di daerah ini mereka berladang menanam ubi-ubian dan kelapa. Untuk memperoleh lauk mereka managkap ikan di teluk Katurai. Kemudian terjadi konsentrasi pemukiman menjadi dusun yang disebut

(26)

Tiop, pada tahun 1940an. Pada tahun 1986 Departemen Sosial melaui program PMKT melakukan pembukaan permukiman di Malilimok, kemudian masyarakat di daerah Mabukkuk bergabung pindah ke Dusun Malilimok ( DKP kerjasama LPPM Univ.Bung Hatta. 2006).

Dengan adanya program PMKT tersebut permukiman penduduk telah ditata sehingga kelihatan rapi, semua rumah menghadap jalan lingkungan. Sejak tahun 2009 di Dusun Malilimok telah masuk program listrik tenaga surya bantuan Kemenrian ESDM sehingga semua rumah tangga telah menikmati listrik. Selain itu jalan lingkungan dusun telah disemen sehingga kondisi jalan lingkungan dengan lebar 2 meter tidak becek. Selain itu Program COREMAP II telah membantu village grant

berupa MCK, Pondok Informasi, Bak air bersih, Tambatan Perahu, Pos Jaga DPL dan Rumah kesehatan. Bantuan tersebut dimaksudkan untuk memberi kontribusi upaya peningkatkan kesejahteraan masyarakat sekaligus menunjang program COREMAP II.

1.4

R

UANG

L

INGKUP

Buku ini disusun melalui sebuah proses yang terdiri dari atas beberapa tahapan penelitian yang berkesinambungan yaitu tahun 2005, tahun 2007 dan 2009 dimana tahap-tahap tersebut menjadi bahan penulisan buku ini. Berikut adalah deskripsi singkat ruang lingkup isi buku ini. Dalam Bab I telah dijelaskan tentang hal-hal yang melatarbelakangi pentingnya penelitian BME Sosek Terumbu Karang dalam konteks penyelamatan terumbu karang dan meningkatkan kesesejahteraan masyarakat pesisir. Kemudian uraian bab satu dilanjutkan dengan menentukan tujuan dan metodologi penelitian untuk tahun 2009 dan bagian terakhir dari bab satu tersebut menjelaskan ruang lingkup buku ini.

Bab II menjelaskan tentang pelaksanaan kegiatan Mata Pencaharian Alternatif (MPA) di Desa Katurai. Uraian bab ini mengutarakan jenis kegiatan Pokmas dan bantuan fisik desa (village grant) serta proses pelaksanaannya. Selain itu dalam sub-bab ini juga dikemukan tentang

(27)

berbagai permasalahan dan kendala dalam pelaksanaan COREMAP. Atas hasil uraian kemudian telah disimpulkan tentang kinerjanya.

Bab III, merupakan inti dari buku yaitu memberikan penjelasan yang rinci tentang perubahan pendapatan masyarakat dalam kurun waktu 2005-2007 dan 2007-2009. Bab ini juga menerangkan tentang faktor yang berpengaruh terhadap perubahan pendapatan yang diukur dari perubahan pendapatan rumah tangga dan pendapatan per kapita. Selain itu uraian juga mengemukakan perubahan pendapatan khusus keluarga nelayan dan keluarga anggota Pokmas. Dengan demikian, bab tersebut dilengkapi dengan tabel pendapatan menurut kurun waktu yang berbeda. Dengan demikian dam bab ini dapat diketahu secara jelas seberapa jauh capaian keberhasilan program COREMAP II di Desa Katurai.

Bab IV merupakan penutup dan sekaligus rekomendasi hasil penelitian ini. Sebelum disimpulkan lebih dahulu akan dibuat jahitan atas kegiatan COREMAP di Desa Katurai sejak tahun 2005 hingga akhir tahun 2009. Kegagalan merupakan pelajaran paling baik unruk melangkah kedepan yang lebih baik. Untuk itu dalam bagian penutup akan dikemukakan beberapa kesimpulan dan rekomendasi.

(28)
(29)

BAB II

PELAKSANAAN KEGIATAN

COREMAP II

2.1

K

EGIATAN

M

ATA

P

ENCAHARIAN

A

LTERNATIF

(MPA)

egiatan MPA sebagai program binaan COREMAP II di Katurai cukup beragam. Ada 9 (sembilan) kegiatan yang dilakukan di Desa Katurai sejak Tahun 2006 sampai dengan Tahun 2009. Kegiatan MPA yang telah berlangsung sekitar 4 (empat) tahun dengan nilai anggaran hampir 400 juta rupiah.

K

Jenis Kegiatan dan Proses Pelaksanaan

Kegiatan MPA diawali dengan budidaya kepiting bakau, penangkapan ikan dan pembuatan batu es. Pada awalnya ketiga kegiatan ini dinilai sangat sesuai dengan kondisi lokal terutama dilihat dari sisi karakteristik program COREMAP yang berkaitan dengan kehidupan masyarakat pesisir atau perikanan. Namun demikian, jika dilihat dari kesesuaian dengan dengan karakteristik mata pencaharian penduduk Katurai yang lebih berorientasi ke darat atau perkebunan, program kegiatan ini telah menimbulkan permasalahan sendiri. Dalam kenyataan program kegiatan MPA yang berorientasi ke budidaya perikanan memerlukan proses alih pengetahuan, alih ketrampilan dan perubahan kelembagan masyarakat. Penduduk Katurai pada umumnya dan peserta program MPA khususnya meskipun tidak menolak kegiatan COREMAP tetapi dalam kenyataan kegiatan yang ada tidak berlanjut atau berhenti.

Kegiatan budidaya kepiting bakau tampaknya dipilih sebagai salah satu program khas COREMAP Kabupaten Kepulauan Mentawai dan sejalan dengan program kegiatan Dinas Perikanan dan Kalautan Kabupaten Kepulauan Mentawai. Ini penting karena ada dana pendukung APBD untuk kegiatan COREMAP II di Mentawai. Oleh sebab itu, kegiatan budidaya kepiting bakau adalah kegiatan Pokmas yang mendapat alokasi

(30)

anggaran paling besar dari total anggaran yang diberikan selama ini dan berlansung sampai 2 (dua tahun). Selain itu, kegiatan budidaya kepiting bakau merupakan kegiatan binaan COREMAP II yang paling banyak membentuk Pokmas yaitu sebanyak 12.

Budidaya kepiting berbeda dengan kegiatan MPA yang lain. Kegiatan budidaya kepiting bakau adalah kegiatan MPA yang sebenarnya cocok atau sesuai dengan habitatanya Seperti diketahui bahwa di perairan sekitar Desa Katurai ditumbuhi tanaman bakau yang kondisinya masih baik. Oleh sebab itu, benih atau bibit kepiting bakau mudah diperoleh di daerah tersebut. Bahkan mencari kepiting bakau sudah merupakan matapencaharian kaum perempuan di Desa Katurai. Namun demikian dalam kenyataannya kegiatan Pokmas budidaya kepiting bakau tidak berjalan dengan baik atau gagal. Banyak faktor yang menyebabkan kegagalan kegiatan MPA ini.

Faktor pertama adalah kurang pengalamannya anggota Pokmas kepiting dalam melakukan budidaya kepiting sekalipun mereka memiliki kegiatan matapencaharian mencari kepiting bakau. Dalam hal ini mereka memerlukan alih iptek penanganan yang mampu merubah perilaku dari kegiatan berburu dengan mengambil kepiting di alam dan beralih dalam budidaya pamembesaran di lokasi yang telah dibuat. Semua anggota Pokmas budidaya kepiting bakau tidak ada yang menguasai teknik budidaya kepiting bakau.

Selain itu, penyuluhan atau pendampingan teknis budidaya kepiting tidak berjalan dengan baik. Kegiatan budidaya kepiting memang pada awalnya diusulkan dan diperkenalkan oleh Universitas Riau (UNRI) tetapi belakangan kehadiran UNRI tidak bertahan lama dimana masyarakat tidak mengetahui secara persis keberlanjutan pendampingan UNRI tersebut dan masyarakat juga tidak mengetahui keberadan UNRI sebagai sebagai lembaga yang ditunjuk dalam pendampingan budidaya kepeting bakau. Jadi dengan demikian demplot Budidaya Kepiting gagal. Di lain pihak, ada Yayasan Kirekat yang ditunjuk Dinas Perikanan dan Kelautan Mentawai sebagai pendamping masyarakat namun hanya sebatas membentuk kelompok

(31)

masyarakat. Yayasan yang ditunjukan tersebut dalam kenyataan tidak melakukan kegiatan fasilitasi secara optimal dan tidak mampu melakukan pendampingan teknis budidaya kepiting.

Pokmas budidaya kepiting yang dibentuk tampaknya tidak dibangun dari sebuah kebutuhan warga, melainkan warga masyarakat melihat sebagai kesempatan mendapatkan bantuan dana. Warga peserta Pokmas ini mengaku ditawari untuk menjalankan kegiatan budidaya kepiting. Pengajuan proposal program dan anggaran sudah disiapkan. Warga masyarakat yang dipilih atau ditunjuk tinggal menjalankan. Jadi dengan demikian warga masyarakat tidak mengusulkan melainkan ditawari. Pokmas diberikan uang untuk belanja bibit kepiting dengan harga 2-3 juta rupiah untuk 100 ekor. Usia budidaya kepiting ini tidak berlangsun lama. Salah seorang ketua Pokmas budidaya kepiting menuturkan bahwa bahwa umur kegiatan ini hanya satu minggu. Bibit kepiting banyak yang mati karena tidak bisa memeliharanya dan mengalami kesulitan mendapatkan pakan. Umur kegiatan budidaya kepiting yang sangat singkat rupanya terjadi di semua tempat di Pokmas.

Tidak jauh berbeda dengan budidaya kepiting, kegiatan MPA lainnya di desa ini mengalami nasib yang sama, yakni kegiatan penangkapan ikan. Bantuan untuk kegiatan penangkapan ikan juga tidak jalan dengan alasan hasil tangkapan ikan tidak bisa dijual kareana tidak ada pembeli. Namun demikian, program ini tetap mendapat kucuran dana 2 tahap, yakni tahun 2006 dan tahun 2008. Kegagalan tahun pertama tampaknya tidak dijadikan pelajaran dalam mengkucurkan dana program COREMAP II. Akhirnya keramba apung disewakan kepada warga lain yang bukan anggota Pokmas yang memiliki profesi sebagai penampung ikan. Dari kasus ini jelas bahwa program dana bantuan COREMAP II tidak memiliki desain yang baik. Kegagalan program tahun pertama tetap diberikan lagi pada tahun berikutnya dan tidak mengikutserakan potensi yang dimiliki warga desa lain karena alasan bukan warga asli desa Katurai. Namun demikian, dari wawancara ketua Pokmas penangkapan ikan bahwa dana bantuan sebesar Rp. 35 juta ini pernah diangsur dua

(32)

kali, yakni masing-masing Rp. 100.000,- dan diserahkan ke bendahara LPSTK tetapi setelah itu berhenti mengangsur.

Kegiatan pembuatan batu es dan pencaharian ikan juga tidak berjalan dengan baik. Es untuk pendingin ikan hasil tangkapan di desa ini belum menjadi kebutuhan mendesak karena desa Katurai bukan desa nelayan. Informasi diperoleh bahwa tidak ada kegiatan pembuatan batu es. Demikian pula untuk kegiatan penangkapan ikan tidak berjalan dengan baik. Warga Desa Katurai menangkap ikan hanya untuk konsumsi pangan di rumah dan umumnya kegiatan menakap ikan dilakukan oleh kalangan perempuan desa.

Pembentukan Pokmas dalam kegiatan penangkapan ikan dan kegiatan pembuatan batu es sebenarnya tidak sesuai dengan kebutuhan jika di lihat dari profil matapencaharian penduduk yang sebagian besar bukan nelayan. Oleh sebab itu kedua kegiatan tersebut belum layak dikembangkan sebagai kegiatan matapencaharian aklternatip. Mencari ikan masih terbatas untuk kebutuhan subsisten. Di Desa Katurai hanya ada 1-2 keluarga pendatang yang benar-benar sebagai nelayan tetapi mereka ini justru tidak pernah mendapat bantuan COREMAP II selama ini. Salah seorang informan yang berasal dari Tapanuli, Sumatera Utara mengemukakan bahwa selama disini belum pernah menerima bantuan dari program COREMAP II padahal dirinya merasa siap mengembalikan dana COREMAP yang bersifat bergulir. Informan ini merasa sebagai warga Katurai yang menekuni kegiatan kenelayanan. Program COREMAP II pada akhirnya ditujukan kepada warga Katurai yang satu suku atau marga sekalipun tidak memiliki kegiatan penangkapan ikan. Begitu pula dengan program pembuatan es. Program pembuatan es ini tidak diberikan kepada penampung hasil tangkapan ikan yang lebih layak secara ekonomis dan bisa berkembang namun penampung hasil tangkapan merupakan penduduk pendatang maka tidak ditetapkan menjadi anggota Pokmas pembuatan batu es. Anggota Pokmas pembuatan batu es pada umumnya penduduk asli desa Katurai. Jadi dengan demikian, secara sadar penetapan anggota Pokmas mempertimbangkan latar suku atau etnis. Kecenderungan seperti ini

(33)

menjadi sebuah permasalahan implementasi program COREMAP II di Katurai. Seperti diketahui di satu sisi warga desa Keturei yang memiliki matapencaharian yang berorientasi ke laut pada umumnya adalah penduduk pendatang tetapi disisi lain program bantuan COREMAP II menghendaki kegiatan yang berhubungan dengan perikanan dan kelautan.

Ketidaktepatan sasaran program pembuatan batu es dan usaha penangkapan ikan program ini tidak dilanjutkan lagi pada tahun berikutnya. Program yang masih berlanjut di tahun kedua justru budidaya kepiting bakau sekalipun tidak berhasil di tahun pertama. Kegiatan budidaya kepiting ini menjadi perhatian COREMAP II karena dianggap bentuk MPA yang sesuai dengan kondisi lokal. Ada 8 Pokmas budidaya kepiting bakau yang terbentuk di tahun 2007 sekalipun sekarang ini kegiatan itu tidak lagi berjalan. Selain budidaya kepiting, pada tahun 2007 dikembangkan pula Pokmas pertanian nilam dan ternak itik yang lebih berorientasi ke darat atau pertanian namun demikian, pokmas pertanian ini tidak berjalan dengan baik. Kegiatan kedua Pokmas ini tampaknya kegiatan MPA tambahan karena hanya 3 kelompok. Dengan demikian pada tahun 2007, kegiatan MPA lebih dikonsentrasikan pada budidaya kepiting bakau.

Tabel. 2.1.

Kegiatan Pokmas Binaan COREMAP di Desa Katurae, 2005-2009

No. Jenis Kegiatan 2006 2007 2008 2009 Nilai Anggaran (Rp) 1. Budidaya Kepiting Bakau 4 8 134.280.000 2. Penangkapan ikan 1 1 35.000.000 3. Pembuatan batu es 1 20.000.000 4. Tani nilam 2 13.200.000 5. Ternak itik 1 14.450.000 6. Mesin longtile 2 33.332.000

7. Budidaya rumput laut 5 100.000.000

8. Usaha Ekonomi Mikro 1 20.000.000

9. Usaha Souvenir 1 20.000.000

Jumlah 6 11 3 7 390.262.000

(34)

Kegiatan nilam juga mengalami nasib yang sama sekalipun jenis kegiatan sangat sesuai dengan kondisi lokal. Seperti diketahui kegiatan penyulingan nilam adalah aktivitas ekonomi desa yang sudah lama berlangsung. Jadi dengan demikian pilihan kegiatan usaha minyak nilam sangat sesuai. Ada dua kelompok tani nilam yang dibentuk LPSTK. Setiap kelompok mendapat 6,15 juta rupiah tetapi sekitar 5,75 juta rupiah yang diterima yang diberikan secara bertahap (Tahap I diterima 2 juta; Tahap 2 diterima 2 juta; dan tahap 3 diterima 1,250 juta). Uang itu menjadi berkurang karena dipotong untuk bunga dan dan lain-lain. Setiap anggota harus mencicil sekitar 75 ribu rupiah. Oleh karena alat suling tidak ada, maka minyak nilan tidak pernah dihasilkan sekalipun masing anggota telah menanam nilam dengan luas sekitar 0,5 hektar. Usaha souvenir tidak terlihat aktivitasnya. Tidak ada pendampingan pembuatan souvenir di desa Katurai. Tampaknya bantuan souvenir ini tidak dipersiapkan dengan baik dan bagi warga diterima begitu saja karena sifatnya bantuan.

Foto1. Bantuan Mesin dan Perahu Patroli Pokwasmas

Kegiatan Pokwasmas tidak berjalan dengan baik. Sarana perahu untuk patroli Pokwasmas kondisinya telah rusak. Bangkai perahu telah hanyut dimakan ombak, sementara bantuan mesin kapal juga telah rusak dan dimakan rayap (Lihat, Foto 1). Menurut ketua Pokwasmas, sebelumnya kondisi sarana patroli tidak layak pakai dan menganggu pelaksanaan patroli di lapangan. Mesin perahu sering diperbaikai yang membutuhkan biaya, sementara pos anggaran untuk pemeliharaan tidak ada. Oleh sebab itu, ketika bantuan biaya penunjang kegiatan patroli turun, maka praktis digunakan untuk

(35)

membayar biaya perbaikan mesin. Dengan kondisi sarana yang hancur maka kegiatan patroli praktis tidak berjalan.

Persoalan lain yang dihadapi adalah antara lokasi Pos Pengawasan dengan lokasi kawasan konservasi (Daerah Perlindungan Laut) tidak menyatu. Lokasi kawasan konservasi (Daerah Perlindungan Laut) berada di Pulau Siloina, sementara di sisi lain Pos Pengawasan DPL yang dibangun pada tahun 2008 dan memiliki luas bangunan 42 meter persegi berada di pulau lain (Karangmajat). Jarak tempuh antara lokasi Daerah Perlindungan Laut dengan Pos Pengawasan memakan waktu satu jam. Jadi, tidak efektif. Tidak ada alasan jelas mengapa lokasi DPL dan Pos Pengawasan tidak dibangun dalam satu pulau. Yang jelas bahwa lokasi pos pengawasan dibangun di dekat resort pariwisata. Dalam konteks ini, LPSTK tidak pernah membahas persoalaan yang dihadapi Pokwasmas. LPSTK tidak pernah rapat. Begitu pula peranan kepala desa dalam pembinaan COREMAP II masih kurang optimal. Peraturan Desa tentang DPL sampai sekarang masih belum ada. Menurut kepala desa bahwa belum adanya Perdes tentang DPl dikarenakan belum ada petunjuk dari pemerintah daerah.

Partisipasi dan Manfaat

Soal partisipasi dalam kegiatan MPA juga sangat bervariasi di dalam merespon kegiatan COREMAP II. Namun demikian, secara umum warga masyarakat yang terlibat dalam program bantuan dana bergulir usaha ekonomi mikro termasuk minimal. Hal ini terlihat dari penilaian responden sebagaimana terlihat pada Grafik 2.2. bahwa lebih dari 70 persen responden yang menyatakan tidak pernah mendapatkan bantuan dana bergulir dari COREMAP II. Kecenderungan ini bisa dimengerti jika kita melihat proses penentuan calon penerima bantuan dana bergulir yang berputar-putar pada warga masyarakat tertentu yang dekat dengan pengambil keputusan, seperti pengurus LPSTK dan kepala desa. Sementara itu, warga yang mengaku mendapat bantuan dana bergulir mengatakan bahwa dana bergulir telah digunakan untuk membeli atau memperbaiki alat tangkap, menambah bantuan modal usa rumah tangga

(36)

dan usa budidaya perikanan. Namun demikian, ironisnya lebih dari 75 persen responden tersebut menyatakan bahwa dana bantuan tersebut tidak memberikan dampak pada peningkatan pendapatan kegiatan usaha (Grafik 2.3).

Ada beberapa faktor yang menyebabkan mengapa dana bantuan modal usaha belum menyentuh perubahan ekonomi usaha yang signifikan.

Pertama, adalah terjadi kegagalan usaha sehingga menyebabkan bantuan modal usaha tidak memberikan dampak pendapatan usaha.

Kedua, kegagalan usaha ini disebabkan pemilihan kegiatan usaha tidak sesuai dengan ketrampilan dan kondisi sumberdaya lokal. Ketiga, ada intervensi dari luar dalam penentuan jenis usaha yang bisa mendapat bantuan sehingga dalam usahanya tidak berjalan dengan baik. Keempat, adalah bantuan modal yang diberikan terlalu kecil. Kecilnya bantuan modal ini kemungkinan berkaitan dengan upaya untuk membagi bantuan modal usaha agar terjadi pemerataan sehingga tidak layak untuk pengembangan usaha. Oleh sebab itu, usaha yang dikembangkan tidak berhasil. Kecendrungan ini dapat di lihat pada grafik bawah ini.

Grafik 2.1

Presentase RT Responden Menurut Keterlibatan Bantuan Program Coremap (Non-Fisik) 0 10 20 30 40 50 60 70 80 90 100 % Dan a B erg ulir B udida ya Program COREMAP Menerima Tidak

(37)

Grafik 2.2

Prosentase RT yang Menyatakan Bantuan Modal Pinjaman Menurut Dapat Meningkatkan Pendapatan RT

Ya, 23.1

Tidak, 76.9

Grafik 2.3.

Prosentase RT Tentang Alasan Tidak Ada Dampak Bantuan Modal Pinjaman

Usaha blm berhasil, 14.3 Usaha gagal, 57.1 Blm menerima dana, 7.1 Dana kecil, 21.4

(38)

Permasalahan dan Kendala

Permasalahan yang menonjol kegiatan program yang bersifat non fisik terletak pada proses penentuan target dan pilihan sasaran program tidak menurut kelayakan dalam kegiatan penerima program. Target sasaran ditentukan berdasarkan kedekatan dengan pengelola program. Seperti bantuan dana bergulir tidak diberikan kepada warga yang benar-benar membutuhkan untuk membantu perekonomian rumah tangga.

Dalam kasus COREMAP II di Desa Katurai, kelembagaan pengelolaan bantuan kredit telah menjadi kegiatan program tidak berjalan dengan baik. Hubungan antara LPSTK dengan kelompok masyarakat tidak pernah terjalin, Di satu sisi LPSTK tidak pernah melakukan aktivitas kegiatan sementara di pihak lain sebagian warga merasa tidak diikutkan dalam kegiatan program karena bukan bagian dari kelompoknya. Demikian pula, pemerintah desa tidak pernah melakukan tanggungjawab pengawasan pasca pemberian program.

2.2 PROGRAM BANTUAN FISIK DESA

Jenis Kegiatan dan Proses Pelaksanaan

Jenis kegiatan fisik yang masuk di Desa Katurai sejak tiga tahun terakhir berasal dari program COREMAP II kecuali program bantuan solar sel yang berasal dari luar COREMAP II yaitu bantuan dari Kementerian ESDM. Jika dilihat berdasarkan jenis bantun fisik tersebut dapat dibedakan berdasarkan kepentingan, yaitu : (1) program bantuan fisik yang dibangun untuk kepentingan pelaksanaan program COREMAP II, seperti pondok informasi; (2), bantuan fisik untuk kepentingan publik, seperti dermaga; dan (3) bantuan fisik untuk kepentingan perorangan, seperti listrik tenaga surya. Namun demikian terdapat bantuan fisik yang seharusnya untuk kepentingan pereorangan/RT tetapi menjadi sarana publik, seperti MCK. Hal ini dilakukan kemungkinan hanya diperuntukan rumah yang belum memiliki sarana MCK.

(39)

Foto 2. Bangunan Pondok Indoermnasi dan Sarana Komunikasi

Program bantuan fisik yang bertujuan untuk kepentingan program COREMAP II yang cukup lama dibangun (2006) adalah pondok informasi yang dilengkapi dengan radio komunikasi yang sekarang masih berdiri kokoh (Lihat Foto 2.). Peralatan lainnya yang masih terdapat di ruangan Pondok Informasi adalah Mesin Ketik, Radio, Mesin penerangan tenaga surya, Lampu siga /sirene yang kondisinya sudah rusak, meja tulis, lemari 2 unit dan 20 buah kursi pelastik. Sarana fisik lainnya adalah Puskesdes yang belum berjalan karena belum ada tenaga medisnya.

Sarana fisik lainnya adalah dermaga yang dibangun yang diperuntukan untuk tambatan perahu sehingga dapat meningkatkan mobilitas penduduk. Namun jika melihat kebutuhan penduduk sebenarnya belum mendesak karena mobilitas penduduk masih rendah. Warga yang memiliki warung yang biasa belanja ke kota (Muara Siberut). Warga desa lain yang ingin bepergian biasanya numpang perahu milik pedagang/pemilik warung tersebut. Dalam kenyataan tambatan perahu tersebut tidak digunakan oleh masyarakat setempat.

Partisipasi dan Manfaat

Pembedaan fasilitas fisik ini penting jika dikaitkan dengan partisipasi warga masyarakat dalam kegiatan fisik. Partisipasi yang dimaksud di sini seberapa jauh warga masyarakat mengetahui manfaat pembangunan fisik, pelibatan dalam pembangunan fisik dan merasa ada manfaat dari pembangunan sarana pembangunan fisik itu. Tabel di bawah ini memperlihat gambaran keragamanan gambaran partisipasi warga Katurai dalam pembangunan fisik. Dari Grafik 2.4 ini dapat dilihat ada dua jenis

(40)

program fisik yang diresponden warga masyarakat dan sebaliknya kurang direspon warga masyarakat.

Foto 3. Sarana MCK.

Selama penelitian di lapangan bangunan pondok informasi tidak pernah dibuka dan terlihat tidak ada tanda-tanda aktivitas kegiatan COREMAP II. Tetapi salah satu informasi yang diperoleh pondok indormasi dapat berfungsi sebagai tempat penginapan tamu dari luar dalam jumlah besar

dan sekaligus dekat dengan lokasi MCK yang dibangun COREMAP. Begitu pula bantuan radio komunikasi tidak pernah diaktifkan dan informasi dari kepala desa kondisinya rusak. Kepala Desa Katurai menginginkan sebaiknya radio komunikasi ini dipasang di kantor kelurahan yang bisa lebih bermanfaat. Selain itu, jika radio komunikasi dipasang di kantor kelurahan dapat diaktifkan karena ada staf kelurahan yang hadir. Bantuan fisik lainnya adalah MCK. MCK adalah satu-satunya village grant yang terlihat jelas manfaatnya terutama bagi warga sekitar lokasi MCK (Lihat, Foto 3). Warga yang memanfaatkan MCK terlihat antri untuk memanfaatkan MCK. Kalangan anak-anak dan kaum perempuan disekitarnya yelah terbantu dengan adanya sarana ini.

Jenis program yang direspon adalah pembangunan Pondok Informasi, Pondok Pengawasan Masyarakat, MCK dan Tenaga Surya (lihat, Grafik 2.5). Sementara itu fasilitas Bak Air Bersih, Pos Kesehatan Desa dan Dermaga kurang banyak diketahui dan melibatkan masyarakat (lihat, Grafik 2.6). Ini menandakan bahwa Kegiatan Bak Air Bersih dan Pos Kesehatan Desa dan Dermaga belum di lihat sebagai sarana umum yang dapat memberikan kemanfaatan. Bak Air Bersih belum merata di di

(41)

bangun di desa di Keturei, begitu pula dermaga/tambat perahu untuk perikanan belum menjadi kebutuhan masayarakat desa. Mobiltas ke kota kecamatan dilakukan pada hari pasar saja dengan menggunakan perahu milik pedagang penampung atau kepala desa. Begitu pula dengan Pos Kesehatan Desa. Di desa ini masih kuat kepercayaan bahwa kesehatan berkaitan dengan perilaku ”magik” yang dilakukan oleh orang lain daripada berkaitan dengan perilaku tidak sehat. Di desa ini pernah terjadi pembunuhan yang disebabkan balas dendam karena terjadi kecurigaan kepada orang lain yang membuat anggota keluarganya sakit yang tidak sembuh.

Grafik 2.4.

Keterlibatan Responden dalam Pembangunan Fisik di Desa Katurai

0 20 40 60 80 100 120 P o nd ok In fo rma s i MC K Ba k A ir Bers ih Po k W a s Ma s Po s K e s Des Der m a ga T e na ga Su rya Tidak Ya

(42)

Grafik 2.5.

Presentase RT Responden Menurut Keterlibatan Bantuan Program Coremap (Fisik).

0 10 20 30 40 50 60 70 80 90 100 % Fisik MCK Po nd ok Wa sm as De rm ag a Program COREMAP Menerima Tidak Grafik 2.6.

Prosentase RT Yang Berpendapat tentang Kemanfaatan Bantuan Program Coremap

0 10 20 30 40 50 60 70 80 90 100 % Mo da l U saha Al at t angk ap Al at p erta ni an Sa rana pe rtani an So lar s el Program COREMAP Manfaat Tidak

(43)

Program fisik tidak pernah melibatkan masyarakat baik dalam bentuk pengembangan keswadayaan masyarakat dalam bentuk partisipasi dana masyarakat ataupun gotong royong. Pembangunan program fisik didekati dengan model pembangunan proyek fisik. Kontraktornya adalah orang yang memiliki relasi dengan pejabat di DKP Kabupaten Kepulauan Mentawai. Dengan demikian desain kegiatan pembangunan infrastruktur fisik berupa tambatan atau darmaga, bak air bersih, dan Puskesdes tidak berbasiskan pertisipasi masyarakat. Kegiatan ini juga bukan kegiatan padat karya. Dalam kasus ini, warga masyarakat hanya sebagai penonton. Pekerjaan fisik telah melibatkan tukang dari luar desa. Namun demikian, ada kegiatan fisik lain yang dirasakan oleh warga masyarakat, seperti MCK, listrik tenaga surya. Kegiatan ini merupakan cerminan dari kebutuhan yang langsung menyentuh kebutuhan warga masyarakat. Indentifikasi infrastuktur fisik yang menyentuh langsung kebutuhan masyarakat belum diperhatikan dalam program bantuan fisik.

(44)
(45)

BAB III

PERUBAHAN PENDAPATAN MASYARAKAT

1

alah satu tujuan khusus dari penelitian ini adalah melihat perubahan pendapatan masyarakat. Perubahan tersebut digunakan untuk memantau dampak program COREMAP II terhadap kesejahteraan masyarakat/ rumah tangga. Dalam hal ini ada asumsi bahwa semakin tinggi pendapatan maka semakin tinggi pula tingkat kesejahteraan rumah tangga. Jadi pendapatan rumah tangga juga merupakan salah satu indikator untuk mengetahui tingkat kemajuan ekonomi rumah tangga, daerah dan tingkat keberhasilan program yang masuk daerah tersebut. Apabila pendapatan rumah tangga kecenderungannya meningkat, maka ekonomi daerah tersebut makin meningkat yang berarti program yang diberikan mulai dirasakan penduduk. Hanya perlu hati-hati untuk mengatakan ada peningkatan ekonomi yang berarti peningkatan kesejahteraan. Sebab peningkatan pendapatan bisa saja tidak hanya disebabkan oleh masuknya program peningkatan pendapatan rumah tangga, seperti kegiatan COREMAP II, namun ada program lain di luar Dinas Kelautan dan Perikanan dan dari pihak swasta. Hal tersebut juga dapat dipengaruhi oleh adanya faktor inflasi, kenaikan harga dan lain-lain.

1

Penelitain akhir tahun 2009 ini merupakan kelanjutan dari penelitian tahun 2005 dan tahun 2007 yang laporannya ditulis oleh tim peneliti yang komposisinya tidak sama, namun ada seorang anggota yang terus berpartisipasi sejak tahun 2005. Oleh karena itu dalam melihat perubahan pendapatan telah disesuaikan dengan dokumen hasil penelitian sebelumnya. Harus diakui bahwa kuesioner yang digunakan pada tahun 2009 tidak persis sama dengan instrumen kuesioner sebelumnya sehingga ada perbedaan error. Namun dalam kajian ini dapat deketahui adanya kecenderungan adanya perubahan pendapatan.

(46)

Penelitian pada akhir tahun 2009 dimaksudkan untuk melihat perkembangan lebih lanjut pengaruh program COREMAP II terhadap pendapatan penduduk selama 5 tahun pelaksanaan program (2005-2009). Perubahan pendapatan penduduk dalam tulisan ini meliputi perubahan pendapatan penduduk dari semua sektor dan pendapatan khusus dari kegiatan kenelayanan. Khusus tentang pendapatan anggota Pokmas dapat dijelaskan hanya berdasarkan hasil survei tahun 2009. Pada penelitian sebelumnya yaitu tahun 2005 dan 2007 tidak terdapat data dan informasi tentang pendapatan anggota Pokmas. Perubahan pendapatan selama 5 tahun pelaksanaan program diharapkan dapat menjelaskan tingkat keberhasilan program karena ada sebagian besar program telah berjalan dan secara langsung dapat berdampak pada masyarakat baik dampak negatif maupun positif. Penghitungan pendapatan dalam penelitian ini masih berdasarkan harga yang berlaku,sesuai dengan pertanyaan dalam kuesioner.

Dalam tulisan ini perubahan pendapatan akan menyoroti untuk tingkat rumah tangga, untuk rumah tangga nelayan. Adapun untuk rumah tangga anggota Pokmas hanya akan dilihat perubahan pada kurun waktu 2007-2009, sesuai dengan ketersediaan data yang ada. Bagian terakhir bab ini menyajikan tentang capaian ekonomi COREMAP II.

3.1

P

ERUBAHAN

P

ENDAPATAN

M

ASYARAKAT

Uraian pada sub-bab berikut ini menjelaskan tentang perubahan pendapatan masyarakat hasil penelitian tahun 2005, 2007 dan 2009. Dengan membandingkan hasil penelitian tersebut akan menggambarkan dinamika tingkat kesejahteraan rumah tangga desa COREMAP II di Katurai.

Secara umum rata-rata pendapatan rumah tangga per bulan di daerah penelitian telah terjadi peningkatan selama dua tahun (2005 — 2007). Peningkatan dari Rp 404.609 tahun 2005 menjadi Rp 656.732 pada tahun 2007 (Tabel 3.1) atau terjadi peningkatan sebesar 62,3 persen. Dalam kurun waktu tersebut ada peningkatan pendapatan yang cukup besar yang berarti ada peningkatan kesejahteraan bagi rumah tangga di

(47)

daerah penelitian, apabila tidak ada inflasi dan kenaikan harga yang berarti. Dalam kenyataan di daerah tersebut telah terpengaruh inflasi. Menurut data BPS (2005 dan 2006) tingkat inflasi di Sumatra Barat tahun 2005 cukup tinggi mencapai 19,03 persen, namun pada tahun 2006 turun menjadi 7,81 persen.

Hal yang diluar perkiraan, ternyata dalam kurun waktu 2007-2009 tingkat pendapatan rumah tangga telah mengalami penurunan. Kalau pada tahun 2007 pendapatan rumah tangga per bulan sebesar Rp 656.732, pada tahun 2009 pendapatan rumah tangga turun menjadi Rp 619.760 atau terjadi penurunan sebesar -5,6 persen. Sedangkan rata-rata pendapatan per kapita mengalami kenaikan yang tajam, yaitu dari Rp 98.719 tahun 2005 menjadi Rp 202.507 tahun 2007 atau terjadi kenaikan lebih dari 100 persen. Data menunjukkan bahwa hasil survei Desember 2009, pendapatan per kapita telah turun menjadi Rp 165.194 atau -18,4 persen.

Hal ini sejalan pula dengan rata-rata median pendapatan rumah tangga juga telah meningkat dari Rp 330.208 menjadi Rp 369.166 pada kurun waktu 20052007 dan kembali turun ke tingkat Rp 337.500 atau turun -8,6 persen. Demikian pula rata-rata minimum pendapatan rumah tangga telah meningkat dari Rp 11.666 menjadi Rp 18.333 per bulan atau dengan kenaikan 57,1 persen dan pada tahun 2009 menjadi Rp 21.667 atau terjadi peningkatan + 18,2 persen. Hal ini berarti bahwa pada tahun 2009 pendapatan rumah tangga pada papan bawah telah mengalami kenaikkan yang cukup siginifikan. Besar kemungkinan pendapatan mereka dapat terangkat karena adanya program pemerintah pusat untuk rumah tangga miskin seperti Bantuan Langsung Tunai (BLT), Askeskin dan Raskin.

Pada kurun waktu 2005-2007 maksimum rata-rata pendapatan rumah tangga telah meningkat cukup mencolok dari Rp 1.800.000 menjadi Rp 4.666.666 atau kenaikan sebesar 159,2 persen dan kemudian pada tahun 2010 turun menjadi Rp 3.500.000 atau mengalami penurunan -24,9 persen. Dengan melihat perbedaan antara rata-rata pendapatan rumah tangga minimum dan rata-rata pendapatan rumah tangga

(48)

maksimum tersebut yang tidak begitu lebar (Grafik 3.1. dan Tabel 3.1) menunjukkan bahwa pada umumnya kehidupan ekonomi mereka umumnya cenderung homogen meskipun ada beberapa rumah tangga dengan pendapatan relatif tinggi. Berdasarkan observasi dan wawancara, kelompok kecil rumah tangga dengan pendapataan relatif tinggi adalah mereka yang mempunyai pekerjaan pokok sebagai guru, Kades, pekerja resort dan mereka yang bekerja sebagai pengusaha penampung ikan dan penangkap tripang.

Grafik 3.1

Pendapatan RT/Bulan & Pendapatan per Kapita/Bulan di Desa Katurai, Tahun 2005, 2007, dan 2009

Rp0 Rp100,000 Rp200,000 Rp300,000 Rp400,000 Rp500,000 Rp600,000 Rp700,000 2005 2007 2009 Pdpt/kapita Rata-rata RT

(49)

Tabel 3.1

Statistik Pendapatan Rumah Tangga dan Per Kapita, Desa Katurai, Kec. Siberut Selatan, Tahun 2005, 2007 dan 2009

Jumlah (dalam rupiah) Pendapatan Tahun 2005 Tahun 2007 Tahun 2009 Tingkat Pertam-bahan (persen) 2005-2007 Tingkat Pertam-bahan (persen) 2007-2009 (1) (2) (3) (4) (5) (5) Per Kapita 98.719 202.509 165.194 +105,1 -18,4 Rata-rata rumah tangga 404.609 656.732 619.760 + 62,3 -5,6 Median 330.208 369.166 337.500 + 11,8 -8,6 Minimum rumah tangga 11.666 18.333 21.667 + 57,1 +18,2 Maksimum rumah tangga 1.800.000 4.666.666 3.500.000 + 159,2 -24,9

Sumber : Penelitian BME Terumbu Karang Desa Katurai, Kec. Siberut Selatan, 2007 dan 2009

Bagaimana distribusi pendapatan rumah tangga menurut kelompok pendapatan? Ada kecenderungan rata-rata pendapatan rumah tangga semakin bervariasi menurut kelompok pendapatan dan ada kecenderungan makin meningkat. Pada tahun 2005 rata-rata pendapatan rumah tangga yang terkonsentrasi pada kelompok pendapatan di bawah 2 juta rupiah dan sebagian besar (77 persen) berada pada kelompok pendapatan di bawah Rp 500.000,00 (Tabel 3.2). Sementara pada tahun 2007 dan 2010 pendapatan rumah tangga tersebar di semua kelompok pendapatan. Kendatipun sekitar 64 persen dan 62 persen rumah tangga tahun 2007 dan 2009 masih pada kelompok pendapatan di bawah Rp 500.000, namun rumah tangga yang lain masih menyebar ke kelompok pendapatan Rp 500.000 sampai di atas Rp 3.500.000.

Dalam tahun 2005-2007 rumah tangga yang memperoleh pendapatan di atas Rp 1.000.000 makin meningkat dan kembali menurun pada tahun

(50)

2009 terutama pada kelompok rumah tangga berpendapatan antara 1-1,5 juta rupiah. Penurunan pendapatan ini masih belum memperhitungkan inflasi di daerah, sehingga penurunan pendapatan riil yang diterima masyarakat sebenarnya lebih rendah dari angka tersebut. Besar kemungkinan peningkatan pendapatan tersebut karena pada kurun waktu 2005-2007 masih banyak anggota rumah tangga yang menjadi Pokmas dan masih mengelola dana. Kemudian pada kurun waktu 2007-2009 semua Pokmas terjadi proses pembusukan sehingga mengalami kegagalan dan tidak ada lagi dana COREMAP II yang turun sehingga secara otomatis telah terjadi penurunan pendapatan rumah tangga karena berkurangnya uang yang beredar di Desa Katurai.

Kemudian pada tahun 2005 belum ada rumah tangga yang memperoleh pendapatan rata-rata per bulan Rp 2.000.000 ke atas, namun pada tahun 2007 telah ada meskipun baru mencapai 8 persen dan pada tahun 2009 proporsinya mengalami perubahan yaitu menurun menjadi 6 persen. Data tersebut juga mencerminkan bahwa kurun waktu 2005-2007 telah terjadinya peningkatan pendapatan rumah tangga dan kemudian mengalami penurunan.

Tabel 3.2

Distribusi Rumah Tangga Menurut Kelompok Pendapatan/ Bulan, Desa Katurai, Kec. Siberut Selatan, 2005, 2007 dan 2009

Jumlah (dalam persen) Kelompok Pendapatan

(dalam rupiah)

Tahun 2005 Tahun 2007 Tahun 2009

(1) (2) (3) (4) < 500.000 77,0 64,0 62,6 500.000 — 999.999 20,0 13,0 20,2 1.000.000 — 1.499.999 1,0 12,0 4,0 1.500.000 — 1.999.999 2,0 3,0 7,1 2.000.000 — 2.499.999 - 4,0 2.0 2.500.000 — 2.999.999 - 1,0 1.0 3.000.000 — 3.499.999 - 2,0 2,0 3.500.000 + - 1,0 1,0 Jumlah 100,0 100,0 100,0

Sumber : Penelitian BME Terumbu Karang Desa Katurai, Kec. Siberut Selatan, 2007 dan 2009

(51)

3.2

P

ERUBAHAN

P

ENDAPATAN

R

UMAH

T

ANGGA

N

ELAYAN

Sebagaimana telah diungkapkan dalam sub bab sebelumnya bahwa rata-rata pendapatan rumah tangga per bulan dari kenelayanan telah mengalami kenaikkan dari tahun 2005 — 2007. Bagaimana gambaran rata-rata pendapatan rumah tangga kenelayanan tersebut menurut musim? Grafik 3.2 menunjukkan bahwa pendapatan rumah tangga kenelayanan mengalami penurunan hanya pada musim gelombang/ ombak kuat. Hal ini terkait dengan kendala melaut sehingga hasil tangkapan mengalami penurunan. Namun pada musim ombak tenang dan musim pancaroba ternyata tetap mengalami peningkatan. Hasil survei Desember 2009 menunjukkan bahwa pendapatan rumah tangga nelayan per bulan pada musim ombak tenang justru mengalami penurunan -28,9. Penurunan pendapatan rumah tangga nelayan juga sedikit menurun pada musim pancaroba. Sebaliknya pada musim ombak besar pendapatan nelayan justru mengalami kenaikkan +33,3 yaitu mereka yang berpendapatan rendah yaitu antara 500- 999 ribu rupiah per bulan. Kenaikkan tersebut besar kemungkinan terkait dengan harga hasil tangkapan yang lebih tinggi daripada musim tenang maupun pada musim pancaroba Pada saat itu persediaan ikan untuk konsumsi mengalami penurunan daripada persediaan ikan pada saat musim yang lain sehingga harga naik.

Pada musim ombak kuat baik dilihat dari rata-rata pendapatan rumah tangga per bulan maupun pendapatan rata-rata per kapita mengalami penurunan. Rata-rata pendapatan rumah tangga per bulan telah mengalami penurunan dari Rp 197.962 tahun 2005 menjadi Rp 110.704 tahun 2007 atau mengalami penurunan sebesar 44,1 persen. Dalam tahun yang sama rata-rata pendapatan per kapita telah mengalami penurunan dari Rp 43.806 menjadi Rp 31.076 atau tingkat penurunan sebesar 29 persen. Penurunan rata-rata pendapatan tersebut ternyata juga terjadi pada rata-rata median, rata-rata pendapatan rumah tangga minimum maupun maksimum.

(52)

Grafik 3.2

Pendapatan Rumah Tangga Kenelayanan Menurut Musim, Tahun 2005, 2007 dan 2009 Rp0 Rp100,000 Rp200,000 Rp300,000 Rp400,000 Rp500,000 Rp600,000 2005 2007 2009 G.Tenang Pancaroba G.Kuat

Mengapa hanya pada musim ombak kuat, pendapatan kenelayanan mengalami penurunan. Pada musim ombak kuat saja telah terjadi penurunan rata-rata pendapatan rumah tangga nelayan, dari Rp 197.962 menjadi Rp 110.704 (Grafik 3.2 dan Tabel 3.3). Penjelasannya konsisten dengan uraian di atas, di mana kebanyakan nelayan di daerah penelitian yang hanya menggunakan armada dan alat tangkap sederhana tidak mungkin berani mencari tangkapan di laut dalam, sementara populasi ikan di daerah pinggiran pantai atau laut dangkal sudah semakin tipis. Pendapatan per kapita rumah tangga nelayan menurut musim juga nampak adanya variasi, di mana pada musim ombak lemah/tenang jauh lebih tinggi dibandingkan dengan pada bulan-bulan ombak kuat. Membandingkan pendapatan per kapita tahun 2005 dengan tahun 2007 juga mengalami peningkatan, kecuali pada musim ombak kuat ternyata juga mengalami penurunan seperti rata-rata pendapatan rumah tangga. Perubahan tersebut ternyata juga kecenderungannya sama untuk rata-rata pendapatan rumah tangga minimum dan maksimum.

Kenaikan pendapatan rumah tangga kenelayanan terjadi pada musim ombak tenang dan musim pancaroba. Kenaikan ini tercermin pada rata-rata pendapatan per bulan, pendapatan per kapita, rata-rata-rata-rata pendapatan median, rata-rata minimum pendapatan rumah tangga dan rata-rata

(53)

maksimum pendapatan rumah tangga. Hanya besarnya pendapatan rumah tangga kenelayanan lebih tinggi pada musim ombak tenang dibandingkan dengan musim pancaroba. Pada musim ombak tenang rata-rata pendapatan rumah tangga telah mengalami kenaikan dari Rp 372.647 tahun 2005 menjadi Rp 554.857 pada tahun 2007 atau mengalami tingkat kenaikan sebesar 48,9 persen. Sementara kenaikan pendapatan per kapita mengalami peningkatan dari Rp 83.201 menjadi Rp 161.979 atau mengalami tingkat kenaikan yang cukup tinggi 94,7 persen. Rata-rata minimum pendapatan rumah tangga telah meningkat 100 persen, sementara rata-rata maksimum pendapatan rumah tangga meningkat 61,3 persen. Pada musim pancaroba masih mengalami peningkatan antara tahun 2005 ke tahun 2007, hanya rata-rata pendapatan rumah tangga tersebut lebih rendah. Rata-rata pendapatan rumah tangga per bulan tahun 2005 sebesar Rp 164.096 meningkat menjadi Rp 279.906 tahun 2007 atau meningkat sebesar 70,6 persen. Sementara peningkatan pendapatan per kapita dari kenelayanan telah meningkat Rp 43.064 menjadi Rp 78 .598 atai 82,5 persen. Median pendapatan juga mengalami peningkatan 45,7 persen. Minimum pendapatan rumah tangga tidak mengalami peningkatan, namun maksimum pendapatan rumah tangga telah mengalami peningkatan cukup tinggi, yakni 244,8 persen.

Tabel 3.3

Statistik Pendapatan Rumah Tangga dari Kegiatan Kenelayanan Tahun 2005, 2007 dan 2009 Menurut Musim, Desa Katurai,

Kec. Siberut Selatan

Pendapatan Tahun 2005 Tahun 2007 Tahun 2009 Tingkat Pertambahan 2005-2007 (persen) Tingkat Pertambahan 2007-2009 (persen) (1) (2) (3) (4) (5) (6)

1. Musim Ombak Lemah

Per Kapita 83.201 161.979 106.480 +94,7 - 34,3

Rata-rata RT 372.647 554.857 394.369 +48,9 -28,9

Median 205.000 237.500 267.500 +15,9 +12,6

Minimum RT 10.000 20.000 14.000 +100,0 -30

Gambar

Foto 2. Bangunan Pondok Indoermnasi  dan Sarana Komunikasi

Referensi

Dokumen terkait

Namun, mengingat lemahnya komitmen Para Pihak dalam Konvensi Perubahan Iklim, Conference of the Perties (COP) III yang diselenggarakan di Kyoto pada bulan desember tahun

Berbeda dengan nomor lain, hasil analisis pada nomor 3 menunjukkan nilai p = 0,083 yang berarti tidak terdapat perbedaan bermakna antara skor pengetahuan responden mengenai

Berdasarkan uraian diatas, akan dilakukan perancangan dan simulasi reaktor tangki alir berpengaduk atau juga sering disebut CSTR pada kondisi non adiabatis untuk reaksi

Berdasarkan hasil penelitian terhadap kuat tekan beton Self Compacting Concrete (SCC) yang menggunakan Limbah Pecahan beton sebagai pengganti aregat kasar dalam

dilarang untuk menjadi anggota Pembina karena peraturan perundang-undangan yang berlaku;- (3) Anggota Pembina tidak boleh merangkap sebagai anggota Pengurus dan atau

Akta asli yang dibuat di kepaniteraan dikecualikan penyimpanan akta catatan sipil dan pemasukan atau pemindahan sesuatu akta tersebut begitu pula segala keterangan-keterangan

• Permasalahan lain di bidang penegakan Qanun jinayat di Aceh adalah terhambatnya pelaksanaan eksekusi putusan MS yg telah berkuatan hukum tetap. • Hal ini juga antara lain

a) Membangun kembali infrastruktur perekonomian di seluruh Aceh sehingga akhirnya seluruh teritorial Aceh dapat menjadi satu kesatuan politik dan satu kesatuan ekonomi. b)