• Tidak ada hasil yang ditemukan

Produktivitas tanaman sangat dipengaruhi oleh kegiatan budidaya yang diterapkan. Kegiatan budidaya yang dilakukan di Agrowisata Krisna antara lain peremajaan, perompesan, pemangkasan, pelengkungan cabang, pengendalian hama dan penyakit tanaman, pengendalian gulma, pemanenan, serta pasca panen.

Peremajaan Tanaman

Apel mencapai produktivitas optimumnya pada umur 10 tahun dan akan menurun pada tahun-tahun berikutnya. Apel biasanya dipelihara sampai umur 25-30 tahun, setelah itu dibongkar dan ditanami kembali. Tanaman apel di Agrowisata Krisna sudah berumur 36-41 tahun. Kondisi tanaman sudah tua dan banyak terkena penyakit sehingga banyak cabang yang harus dipangkas. Selain mempengaruhi produksivitas, umur juga mempengaruhi biaya operasional perawatan masing-masing tanaman.

Produksi tanaman apel empattahun terakhir di Agrowisata Krisna dapat dilihat pada Tabel 5. Produksi tersebut merupakan produksi dari kultivar Rome Beauty dan Manalagi. Produksi yang dihasilkan masih rendah dibandingkan dengan produksi rata-rata per pohon per musim yang ditetapkan Dinas Pertanian Provinsi Jawa Timur (Tabel 6). Produktivitas yang ingin dicapai perusahaan sebesar 10 kg/pohon/musim belum tercapai. Produksi yang berfluktuasi disebabkan karena terdapat tanaman yang dipanen tiga kali dalam satu tahun dan hanya dipanen satu kali pada tahun berikutnya, sehingga produksi cenderung menumpuk di tahun tertentu dan tahun berikutnya mengalami penurunan.

Tabel 5. Produksi dan Produktivitas Apel Tahun 2006-2009 di Agrowisata Krisna

Tahun Produksi total

(kg) Produktivitas (kg/pohon/musim) 2006 40 630 8.83 2007 28 485 5.37 2008 38 378 8.92 2009 22 487 5.35

Tabel 6. Produksi Rata-Rata Tanaman Apel berdasarkan Umur Tanaman Umur Tanaman Produksi Rata-rata per Pohon per Musim (kg)

Rome Beauty Manalagi

5 tahun 10 15

10 tahun 25 30-40

Sumber: Dinas Pertanian Provinsi Jawa Timur (2008)

Peremajaan tanaman total tidak dilakukan atas pertimbangan biaya. Peremajaan hanya dilakukan pada tanaman yang rusak oleh penyakit. Peremajaan dilakukan dengan menyambung batang atas secara langsung di tempat tumbuh batang bawah. Batang bawah maupun batang atas diperoleh dari kebun sendiri.

Batang bawah menggunakan apel liar/apel alas (Malus pumilla). Prihatman (2000) menyatakan, apel liar mempunyai sistem perakaran yang luas dan kuat, pohonnya kokoh, dan mempunyai daya adaptasi tinggi terhadap lingkungan. Anakan atau siwilan tumbuh dari pangkal batang bawah tanaman produktif.

Apel liar yang siap digunakan untuk batang bawah adalah siwilan dari batang bawah tanaman yang akan disulam dengan tinggi lebih kurang 60 cm, diameter lebih kurang 1 cm, dan kulit batangnya mudah dikelupas dari kayunya sehingga mudah untuk dilakukan penempelan atau penyambungan (Prihatman, 2000). Batang atas diambil dari cabang/batang kultivar unggul yang sehat. Teknik penyambungan yang digunakan di Agrowisata Krisna adalah sambung pucuk (top

grafting). Jarak tanam antar tanaman berkisar antara 2.5 m x 2.5 m sampai

Gambar 1. Penyambungan Tanaman; a) Trubus Malus pumilla sebagai batang bawah, b) Hasil Sambungan Batang Atas dan Batang Bawah

19 3 m x 3 m. Kultivar Manalagi ditanam dalam satu lahan dengan kultivar Rome Beauty karena adanya self incompatibility pada kultivar Manalagi.

Secara umum cara penyambungan sudah dilakukan dengan baik. Batang bawah dan batang atas yang digunakan sudah sesuai dengan anjuran Prihatman (2000). Peremajaan tanaman tetap perlu dilakukan secara bertahap untuk menggantikan tanaman yang sudah rusak sehingga produksi dapat ditingkatkan.

Defoliasi Buatan

Apel merupakan tanaman asli daerah temperate yang akan mengalami pengguguran daun secara alami di musim gugur. Di daerah tropika, defoliasi dilakukan secara buatan (perompesan) untuk mematahkan dormansi tunas seperti di daerah asalnya.

Perompesan di Agrowisata Krisna dilakukan sebanyak satu kali per musim sekitar 10 hari setelah panen. Soelarso (1997) menyatakan, perompesan yang dilakukan sebelum waktunya tidak akan membentuk bunga, melainkan daun yang tumbuh kurang subur. Tanaman yang sudah siap dirompes ditandai dengan tunas yang sudah padat dan daun-daun yang sudah tua tapi belum menguning.

Perompesan dapat dilakukan secara manual dan kimiawi. Perompesan secara manual dapat mengakibatkan luka yang memungkinkan tanaman menjadi peka terhadap serangan hama dan penyakit, sedangkan perompesan secara kimiawi harus dilakukan dengan dosis yang tepat karena konsentrasi yang terlalu tinggi dapat menjadikan tanaman menjadi kering (Soelarso, 1997). Agrowisata Krisna menggunakan cara manual dengan pertimbangan lahan yang ada tidak terlalu luas dan sumber daya manusia yang tersedia termasuk murah. Secara teknis, perompesan di Agrowisata Krisna sudah dilakukan dengan baik, namun perlu ditingkatkan pengawasan sehingga efisiensi kerja dapat ditingkatkan.

Pemangkasan Tanaman

Pemangkasan pada apel dibagi menjadi pemangkasan bentuk, pemangkasan pemeliharaan, dan pemangkasan produksi. Pemangkasan bentuk dilakukan pada tanaman berumur lebih kurang tiga bulan untuk membentuk rangka tajuk tanaman apel menjadi perdu sehingga memudahkan pelaksanaan

pemeliharaan dan kegiatan budidaya. Tanaman apel yang tidak dipangkas akan tumbuh ke atas karena dominansi tunas terminal.

Pemangkasan cabang yang sakit termasuk pemangkasan pemeliharaan. Pemangkasan ini bertujuan untuk menghindari penyebaran penyakit yang lebih luas ke bagian pohon yang lain. Sebagian besar penyakit menyerang melalui cabang yang luka, baik akibat kesalahan teknik budidaya maupun akibat lingkungan. Luka bekas pemangkasan dapat menjadi sarana penyebaran penyakit sehingga harus dilumuri dengan cat minyak. Alat pangkas yang digunakan harus tajam dan licin sehingga pemangkasan dapat dilakukan sekali potong untuk memperkecil luka yang dihasilkan dan menghindari luka memar pada kulit. Ranting dan cabang sisa pemangkasan dimanfaatkan sebagai kayu bakar. Pemeriksaan kebun dilakukan beberapa hari sekali oleh manajer untuk melihat kondisi kebun, apakah pemangkasan pemeliharaan perlu dilakukan atau tidak.

Pemangkasan produksi dilakukan dengan memotong mata tunas yang kecil atau mati, tangkai-tangkai bekas petikan buah, serta cabang yang kurus, tidak produktif, atau terserang penyakit. Tujuan dari pemangkasan produksi adalah untuk mendorong pecahnya tunas dan mempengaruhi banyaknya tunas bunga dan daun yang terbentuk.

Pemangkasan tidak boleh terlalu dekat dengan mata tunas karena dapat menyebabkan luka pada mata tunas dan mengundang penyakit. Arah pangkas miring ke atas dan keluar dari mata tunas (Gambar 2).

Pemangkasan produksi di Agrowisata Krisna pada umumnya dilakukan setelah perompesan daun, akan tetapi tidak menutup kemungkinan pemangkasan dilakukan sebelum perompesan untuk menghemat tenaga kerja. Kekurangan dari

a b

Gambar 2. Hasil Pemangkasan pada Apel; a) Terlalu Dekat dengan Mata Tunas, b) Hasil Pangkasan yang Benar

21 pemangkasan yang dilakukan sebelum perompesan daun adalah pemangkasan menjadi kurang optimal karena pandangan pekerja tertutup daun yang masih lebat sehingga sulit membedakan tunas yang produktif atau tidak. Penulis tidak membandingkan hasil pemangkasan yang dilakukan sebelum perompesan dengan pemangkasan setelah perompesan karena keterbatasan waktu.

Secara teknis pemangkasan sudah dilakukan dengan baik, tenaga kerja yang digunakan merupakan tenaga kerja terlatih yang sudah berpengalaman dalam mengerjakan pemangkasan. Pemangkasan sangat menentukan produksi yang dihasilkan sehingga perlu dilakukan dengan benar.

Pelengkungan Cabang

Pelengkungan cabang dilakukan satu kali per musim setelah pemangkasan. Cabang dilengkungkan dengan menggunakan tali yang diikatkan longgar pada tengah cabang, kemudian ditarik kearah luar tajuk dan diikatkan pada patok atau batang bagian bawah apel itu sendiri.

Pelengkungan cabang dilakukan untuk mempercepat tumbuhnya tunas-tunas baru dan mengatur bentuk pohon agar tidak tumbuh terlalu tinggi. Cabang yang dilengkungkan adalah cabang yang sudah gemuk berwarna coklat tapi masih lentur sehingga tidak patah ketika dilengkungkan. Arah pelengkungan cabang sebaiknya ke bidang yang masih kosong sehingga antar cabang tidak saling tumpang tindih dan menghalangi sinar matahari masuk (Gambar 3).

Gambar 3. Pelengkungan Cabang

Posisi pelengkungan cabang belum terlalu diperhatikan oleh pekerja di Agrowisata Krisna, masih banyak cabang yang pelengkungannya tidak horizontal sehingga menyebabkan tunas lateral tumbuh tidak merata pada cabang. Hal ini menunjukkan pengawasan pekerja yang masih perlu ditingkatkan.

Pemberian Zat Perangsang Tumbuh (ZPT)

Pemberian ZPT perlu diikuti dengan pemupukan dan pengairan intensif untuk mengimbangi laju pertumbuhan dan kebutuhan hara pada tanaman. Zat pengatur tumbuh yang digunakan adalah Dormex 520 SL dengan kandungan bahan aktif hidrogen sianamida (CH2N2) 520 g/l. Notodimedjo (1995) menyatakan, pemberian hidrogen sianamida pada tanaman apel dapat meningkatkan jumlah daun, luas daun, panjang tunas dan diameter tunas. Dormex diberikan satu kali dalam setiap musim, paling lambat 10 hari setelah rompes.

Pemberian ZPT yaitu dengan cara disemprotkan ke tanaman dengan konsentrasi 30 ml/l atau dapat dioleskan (ditutul) ke mata tunas. Agrowisata Krisna menggunakan cara tutul. Penutulan membutuhkan waktu dan tenaga kerja lebih banyak, tapi membutuhkan volume larutan yang lebih kecil daripada penyemprotan.Selain itu ZPT yang diberikan lebih tepat sasaran, hanya diberikan ke mata tunas yang akan ditumbuhkan, karena pemberian ZPT yang berlebihan dapat menyebabkan mata tunas tumbuh terlalu banyak dan berukuran kecil.

Penutulan di musim hujan dicampur dengan bahan perekat agar ZPT tidak tercuci

oleh hujan.

Curah hujan yang terlalu tinggi merupakan penyebab utama gagalnya bunga menjadi buah, karena bunga rontok sebelum maupun sesudah penyerbukan. Presentase rontok yang tinggi dapat menurunkan hasil panen. ZPT tambahan dengan merk dagang Stop Drop diberikan untuk mempertahankan bunga agar menjadi buah. Perlakuan ini hanya diberikan jika hujan cukup lebat, berlangsung lama pada siang hari, dan tanaman terkena serangan penyakit. Stop drop mengandung bahan aktif 1-Napthaleneacetic acid sodium salt 3.5 %. Dosis yang digunakan sebesar 25-50 g/200 l air. Zat tersebut diaplikasikan sebanyak satu kali yaitu 3-4 hari sebelum bunga mekar untuk mencegah kerontokan bunga.

Zat pengatur tumbuh dengan merk Atonik, dan Fujiwan diberikan dengan tujuan untuk menambah bobot buah dan meningkatkan jumlah bunga. Atonik mempunyai kandungan bahan aktif natrium orto-nitrofenol 2 g/l, natrium para-nitrofenol 3 g/l, natrium 2-4 dipara-nitrofenol 0.5 g/l, dan natrium 5 nitroguaiakol 1 g/l dengan dosis 1-2 ml/ l. Fujiwan mengandung bahan aktif isoprothiolane 400 g/l

23 0.5-2 ml/l. Selain sebagai ZPT, Atonik dan Fujiwan juga berfungsi sebagai fungisida. Cara pemberiannya yaitu disemprot seminggu sekali setelah rompes sampai waktu muncul bunga.

Mata tunas mulai terdiferensiasi dan mengalami pecah tunas 1-2 minggu setelah perompesan dan pemangkasan (Gambar 4). Tunas yang muncul antara lain tunas campuran, tunas tumpul yang ruasnya rapat seperti taji, dan tunas vegetatif (Kusumo, 1986).

Gambar 4. Mata Tunas yang Mulai Terdiferensiasi; a) Tunas Campuran, b) Tunas Vegetatif

Pemupukan

Pemupukan di Agrowisata Krisna umumnya menggunakan pedoman pemupukan dari Kebun Bibit Hortikultura Nongkojajar untuk tanaman dengan umur lebih dari enam tahun. Saat magang dilakukan, pemupukan yang dilakukan hanya pemberian pupuk kandang dari kotoran sapi sebanyak dua pikul per pohon (lebih kurang 20 kg). Pupuk kandang dapat memperbaiki dan mempertahankan kesuburan fisik, kimia, dan biologi tanah. Untung (1994) menyatakan, kandungan pupuk kandang dari kotoran sapi yaitu air 85 %, N 0.4 %, P 0.08 %, dan K 0.08%. Cara pemupukan yang digunakan yaitu dengan membenamkan pupuk kandang melingkari tanaman dengan radius satu meter (Gambar 5). Pemupukan dilakukan setelah perlakukan perompesan karena perompesan menyebabkan kandungan nitrogen di dalam daun-daun hilang sebelum sempat disimpan di dalam jaringan kulit batang Soelarso (1997).

Gambar 5. Pemberian Pupuk Kandang

Tanaman apel untuk pertumbuhannya membutuhkan air yang memadai sepanjang musim. Pertanaman apel di Nongkojajar pada musim kemarau masih tumbuh baik tanpa pengairan karena iklimnya tergolong tropika basah dan tanahnya mempunyai daya kapiler yang baik sehingga mampu mengikat air.

Pengendalian Organisme Pengganggu Tanaman (OPT)

Pengendalian OPT yang tidak dilakukan secara berkala akan menyebabkan produktivitas dari tanaman apel menurun dan membutuhkan biaya perawatan yang lebih besar. Kehadiran gulma di sekitar tanaman apel menimbulkan persaingan dalam memperebutkan unsur hara, mengundang hama penyakit dan merusak perakaran tanaman apel.

Pengendalian gulma dilakukan setiap dua bulan sekali secara mekanis maupun kimiawi yaitu menggunakan herbisida Round Up 486 SL. Round Up

mengandung bahan aktif isopropilamina glifosat 486 g/l (setara dengan glifosat 360 g/l). Gulma-gulma yang disemprot dengan Round Up akan kering dalam waktu satu minggu. Pengendalian secara manual dilakukan dengan menggunakan cangkul dan arit. Gulma hasil penyiangan secara manual dapat dimanfaatkan sebagai pakan ternak. Pemilihan teknik pengendalian didasarkan oleh pertimbangan biaya dan banyaknya gulma yang perlu diatasi.

Asal tanaman apel yang bukan berasal dari daerah tropika menyebabkan tanaman apel rentan terhadap serangan hama dan penyakit. Hama yang sering

25 menyerang tanaman apel di Agrowisata Krisna antara lain kutu hijau (Aphis

pomii), thrips, ulat grayak (Spodoptera litura), kutu sisik, lalat buah, kelelawar,

dan burung. Penyakit yang sering menyerang tanaman apel yaitu embun tepung, bercak daun, kanker batang, busuk batang, busuk buah, dan mata ayam.

Pengendalian hama dan penyakit dilakukan dengan penyemprotan sekali seminggu. Pestisida yang digunakan bergantung kepada hama dan penyakit yang sedang menyerang. Kutu hijau, thrips, dan ulat grayak dapat diatasi dengan menggunakan insektisida berbahan aktif deltametrin atau beta sifultrin seperti Decis dan Buldok dengan dosis 0.5 ml/l. Pengendalian juga dapat menggunakan Dursban dengan bahan aktif klorpirifos 200 g/l, dosis yang digunakan 2-3 ml/l. Pengendalian kutu sisik menggunakan pestisida berbahan aktif abamektin dicampur dengan kelas penembus jaringan dimana penembus jaringan tersebut yang akan digunakan untuk menembus lapisan lilin pada kutu sisik sehingga pengobatan akan lebih efektif. Contoh serangan hama pada tanaman apel dapat dilihat pada Gambar 6.

Pengendalian penyakit dilakukan selaras teknik budidaya dengan mengatur jarak tanam agar tidak terlalu rapat dan memangkas cabang yang terkena penyakit. Pengendalian secara kimiawi menggunakan penyemprotan dengan pestisida berbahan aktif klorotalonil untuk mengatasi busuk buah, Tebukonazol untuk mengatasi bercak daun, Mancozeb dan Propineb untuk penyakit yang disebabkan oleh jamur. Contoh gejala serangan penyakit pada tanaman apel dapat dilihat pada Gambar 7.

a

Gambar 6. Gejala Serangan Hama pada Tanaman Apel; a) Aphis pomii, b) Spodoptera litura, c) Kutu Sisik, d) Lalat Buah, e) Burung

d e

Serangan hama dan penyakit meningkat di musim hujan sehingga intensitas penyemprotan ditingkatkan menjadi lima hari sekali. Curah hujan yang tinggi selama pengamatan dilakukan membuat penyemprotan menjadi tidak efisien karena pestisida tercuci oleh hujan. Hal ini diatasi dengan penambahan perekat pada larutan pestisida.

Penjarangan Buah

Penjarangan buah dilakukan dengan tujuan untuk meningkatkan kualitas buah agar ukuran buah besar dan seragam, warna kulit baik, buah sehat, memudahkan pemeliharaan buah apel, serta mendapatkan distribusi sinar matahari yang lebih banyak dan merata. Jumlah buah yang terlalu banyak dalam satu tunas dapat terjadi jika digunakan ZPT secara berlebih atau pemangkasan yang tidak tepat sehingga buah mengumpul pada beberapa tunas saja.

Penjarangan buah di Agrowisata Krisna dilakukan secara manual dengan tangan enam minggu sesudah bunga mekar total. Pada setiap dompolan disisakan maksimal tiga buah yang besarnya seragam dan sehat. Penjarangan buah biasa

a b c

d e

Gambar 7. Gejala Serangan Penyakit pada Tanaman Apel; a) Busuk Buah, b) Mata Ayam, c) Nyawo, d) Embun Tepung, e) Bercak Daun, f) Busuk Batang, g) Jamur, h) Nectrina

galligena, i) Kanker Batang

Marsonina

f g

m

27 dilakukan saat musim kemarau. Di musim penghujan, penjarangan buah jarang dilakukan karena persentase fruit set kecil.

Panen

Panen dilakukan pada saat buah matang secara fisiologis. Jika panen dilakukan saat buah belum siap akan berpengaruh buruk terhadap pertumbuhan tanaman dan pembungaan pada musim berikutnya. Tanaman akan menghasilkan tunas vegetatif yang berlebihan dan pembungaan pada musim berikutnya akan banyak gagal terjadi fruit set. Buah yang dipetik terlalu muda akan cepat menjadi keriput. Buah apel yang menjadi keriput beratnya susut mencapai 5.5 %, sedangkan buah apel yang dipetik umur tua makin cepat lunak dan masir, cepat mengalami penurunan padatan total terlarut (PTT) maupun jumlah komponen dan konsentrasi cita rasanya dalam penyimpanan (Soelarso, 1997).

Ciri-ciri buah yang siap dipanen yaitu ujung buah membuka/merekah dan kulit buah mengkilap. Panen dapat dilakukan lebih kurang 150 hari setelah rompes (HSR) untuk kultivar Manalagi dan lebih kurang 165 HSR untuk kultivar Rome Beauty. Apel Anna merupakan apel yang paling cepat dipanen, yaitu 135 HSR.

Apel yang dihasilkan Agrowisata Krisna antara lain Rome Beauty, Manalagi, Anna, Wanglin, dan Princess Noble. Apel yang dijual kepada pengepul hanya apel Rome Beauty, Manalagi, dan Anna, sedangkan Princess Noble, dan Wanglin dikonsumsi untuk pribadi dan pengunjung Agrowisata. Karakteristik apel yang dihasilkan Agrowisata Krisna berdasarkan jenisnya dapat dilihat pada Tabel 7.

Tabel 7. Kultivar dan Karakteristik Apel yang Dihasilkan Agrowisata Krisna

No Kultivar Ciri-ciri

1 Rome

Beauty

1. Rasanya asam manis, segar, tidak beraroma

2. Daging buah putih kekuningan, keras, tekstur kasar 3. Bentuk buah bulat, kulit tebal berwarna hijau kemerahan 4. Bentuk daun panjang dengan ujung menyempit

2 Manalagi 1. Rasanya manis, agak liat dan kering

2. Daging buah berwarna putih, jika telah masak beraroma harum 3. Bentuk buah bulat perpori putih dengan warna hijau merata

hingga kekuningan

4. Berdaun lebar dengan warna hijau tua, halus, dan tipis 3 Wanglin 1. Rasanya manis, segar, teksturnya renyah

2. Bentuknya bulat dengan pangkal buah mendatar, kulit berwarna hijau kecoklatan

3. Daun hijau kelabu, permukaan daun berbulu, dengan ujung daun meruncing

4 Anna 1. Rasanya agak asam manis, agak keset, dan sedikit berair 2. Daging buah berwarna kuning

3. Bentuk buah oval, kulit buah halus, tipis, dan berwarna merah tua kombinasi kuning

4. Berdaun tebal, berujung runcing, dan berwarna hijau muda, tepi daun bergerigi dan agak melipat ke bawah

5. Princess noble

1. Buah berbentuk bulat, warna daging buah putih 2. Warna buah hijau berbintik-bintik putih

3. Rasa buah segar dan agak masam

4. Berdaun tebal, berwarna hijau tua dengan ujung meruncing Agrowisata Krisna melakukan sistem rotasi panen pada setiap bloknya, sehingga dihasilkan kontinuitas produksi apel di kebun. Rotasi panen antar blok satu dengan yang lain berjarak sekitar 2 minggu-1 bulan yang dapat diatur dengan menentukan waktu perompesan dan pemangkasan.

Apel yang dihasilkan oleh Agrowisata Krisna dijual kepada pengepul dengan harga berkisar antara Rp 3.000-12.000. Pengepul untuk daerah Nongkojajar berasal dari daerah sekitar lokasi, Batu, dan Malang. Harga jual apel dipengaruhi musim, apabila bunga mekar saat musim penghujan, produksi akan turun dan harga apel meningkat. Sistem pembayaran dilakukan secara tunai apabila harga panen total setelah ditimbang kurang dari Rp 10 juta, sedangkan apabila penjualan hasil panen total lebih dari Rp 10 juta maka bisa dilakukan dengan cara kredit, pelunasan dilakukan 15 hari kemudian. Apel yang dipanen dibawa oleh pengepul untuk dilakukan sortasi, grading, dan pengemasan untuk

29 didistribusikan ke pasar induk Kramat Jati Jakarta untuk dijual ke pasar-pasar atau supermarket di daerah sekitar Jabodetabek dan Bandung.

Sortasi dan Grading

Agrowisata Krisna tidak melakukan sortasi dan grading sendiri. Sortasi dan grading dilakukan oleh para pengepul. Grade rata-rata pengepul yang mengambil apel di daerah Nongkojajar dapat dilihat pada Tabel 8.

Tabel 8. Grade Apel di Daerah Nongkojajar

Grade Jumlah Buah (buah/kg)

Manalagi Rome Beauty

A 5-6 3-4 B 7-9 5-6 C 10-11 7-8 D 11-15 9-11 E 16-20 12-15 Kriil > 20 > 15

Sumber: Dinas Pertanian Provinsi Jawa Timur (2008)

Secara umum, produksi apel yang dihasilkan Agrowisata Krisna sebagian besar berada pada grade B dan C, masing-masing sebanyak 25-40%, sedangkan

grade A hanya sekitar 5.-.10%. Hal ini menunjukkan masih diperlukan peningkatan pemeliharaan tanaman sehingga dapat grade dapat ditingkatkan.

Hasil panen diletakkan pada keranjang bambu yang berukuran 30.-.35 kg/keranjang untuk kemudian diantar ke tempat sortasi. Proses sortasi

umumnya menggunakan bantuan alat sortasi seperti yang terlihat pada Gambar 8.

Gambar 8. Alat-alat dalam Sortasi dan Grading; a) Keranjang Bambu, b) Alat Sortasi

Pengolahan Pasca Panen

Agrowisata Krisna mulai mengusahakan pengelolaan pasca panen berupa pengolahan apel menjadi cuka apel, teh apel, wine apel, jenang apel, dan wingko apel sejak tahun 2003. Produk-produk olahan apel dari Agrowisata Krisna dapat dilihat pada Gambar 9.

Gambar 9. Produk Olahan Apel Agrowisata Krisna

Pengolahan pasca panen ini bertujuan untuk mengantisipasi banyaknya apel yang rusak dan rontok setiap kali panen dan banyaknya apel yang gugur akibat kelalaian pengunjung agrowisata. Setiap tahunnya, Agrowisata Krisna memanfaatkan lebih kurang 5 % dari jumlah apel yang tidak masuk dalam grade sebagai bahan baku pembuatan apel olahan.

Keunggulan cuka apel yang diproduksi di Agrowisata Krisna adalah semua bahan baku dalam proses pembuatan cuka apel ini merupakan buah-buahan asli tanpa ada tambahan bahan kimia. Apel yang digunakan sebagai bahan baku pembuatan cuka apel tidak dibedakan menurut kultivarnya karena jumlah apel yang digunakan sebagai bahan baku terbatas. Saat proses fermentasi dapat diketahui kultivar apel yang paling banyak digunakan untuk memproduksi cuka apel tersebut dari warna cuka apel yang dihasilkan. Cuka apel yang banyak menggunakan apel Manalagi akan menghasilkan warna kekuning-kuningan dan rasanya tidak terlalu asam dibandingkan dengan cuka apel dari jenis apel lainnya. Princess Noble dan Wanglin akan menghasilkan cuka apel berwarna hijau kekuningan, sedangkan Rome Beauty dan Anna akan menghasilkan cuka apel yang berwarna kuning kehijauan.

31 Tahapan pembuatan cuka apel dapat dilihat pada Gambar 10. Pertama-tama apel dicuci dengan air bersih, diparut menjadi potongan-potongan tipis dan panjang (a), diperas dengan menggunakan mesin pres (b), kemudian difermentasikan selama kurang lebih satu tahun (c). Selama proses fermentasi dilakukan 4-6 kali proses penyaringan endapan. Penyaringan dilakukan agar cuka yang dihasilkan terlihat bersih, jernih, dan bening. Cuka apel yang sudah jadi

Dokumen terkait