• Tidak ada hasil yang ditemukan

Pelaksanaan Pembayaran Upah Dengan Sistem Perjanjian Dhodhos di Desa Cukilan Kecamatan Suruh Kabupaten Semarang

BAB II KAJIAN TEORI KAJIAN TEORI

KABUPATEN SEMARANG DAN PELAKSANAAN PEMBAYARAN UPAH DENGAN SISTEM DHODHOS

B. Pelaksanaan Pembayaran Upah Dengan Sistem Perjanjian Dhodhos di Desa Cukilan Kecamatan Suruh Kabupaten Semarang

Manusia merupakan makhluk sosial yang membutuhkan orang lain dalam memenuhi kebutuhan hidupnya. Banyak interaksi yang dilakukan agar kebutuhannya dapat terpenuhi. Disinilah hubungan timbal balik antara individu satu dengan yang lainnya dapat terjalin dengan baik. Pada prinsipnya setiap orang yang bekerja pasti akan mendapatkan imbalan dari apa yang dikerjakannya dan masing-masing tidak akan dirugikan.

Pemilk sawah merupakan seorang yang memiliki lahan pertanian, sedangkan buruh tani adalah yang menggarap lahan pertanian yang bukan miliknya. Seperti halnya yang terjadi di desa Cukilan Kecamatan Suruh Kabupaten Semarang yang rata-rata masyarakatnya bermata pencaharian sebagai petani dan buruh tani.

Tabel. 9

Data yang menggunakan sistem Dhodhos

No Pekerjaan Laki-laki Perempuan Jumlah

1. Pemilik Sawah 177 93 210

2. Pekerja / Buruh 251 76 327

3. Buruh Harian Lepas 301 219 520

Ada yang beda mengenai sistem pembayaran upah yang dilakukan oleh pemilik sawah dengan pekerja atau buruh tani di desa cukilan. Berikut hasil wawancara yang dilakukan penulis dengan beberapa narasumber yang berkenaan dengan hal tersebut dalam hal ini sebagai narasumbernya ialah pemilik sawah dan pekerja atau buruh tani.

1. Data Narasumber

Pemilik sawah adalah orang yang memiliki hak penuh atas tanah sawahnya untuk ditanami padi, kacang, jagung ataupun tanaman palawija lainnya. Pada saat tanah sawah siap untuk ditanami ataupun siap untuk memanen itu pemilik sawah biasanya meminta bantuan kepada buruh tani untuk membantu menyelesaikan pekerjaannya di sawah. Karena pemilik sawah tidak mungkin bisa menyelesaikan sendiri baik pada saat menanam ataupun memanen.

Dalam penelitian ini terdapat informan atau narasumber terkait dengan pelaksanaan pembayaran upah dengan sistem dhodhos di desa Cukilan Kecamatan Suruh Kabupaten Semarang, ada tiga narasumber atau informan dari pihak pemilik sawah antara lain sebagai berikut:

Tabel. 10

Data Informan Pemilik Sawah

No Nama Usia Pekerjaan

1. Bapak Diyono 50 Tahun PNS

2. Bapak Eko 37 Tahun Wiraswasta

3. Bapak Sardjono 45 Tahun PNS

Buruh tani adalah orang yang melakukan pekerjaan untuk menyesaikan pekerjaan pemilik sawah, dalam hal ini memanen padi. Pada saat padi siap untuk dipanen, pemilik sawah mulai mencari buruh tani untuk membantunya memanen. Biasanya untuk memanen padi itu

membutuhkan waktu 3-4 hari tergantung luas lahan sawahnya dan jumlah buruh tani yang bekerja. Semakin banyak buruh tani yang bekerja semakin cepat pula memanen padinya.

Terdapat 8 (delapan) informan atau narasumber dari para buruh tani atau pekerja yan terlibat dalam pekerjaan mengelola sawah menggunakan sistem pembayaran upah dengan sistem dhodhos, antara lain sebagai berikut:

Tabel. 11

Data Informan Buruh Tani/Pekerja

No Nama Usia

1. Ibu Siti Aminah 33 Tahun

2. Bapak Rebin 50 Tahun

3. Bapak Syamsudin 40 Tahun

4. Ibu Tuminah 45 Tahun

5. Bapak Pardjono 50 Tahun

6. Bapak Komaruddin 35 Tahun

7. Ibu Siti Jamilah 30 Tahun

8. Bapak Mujito 35 Tahun

Dari data tabel di atas dapat disimpulkan bahwa pelaksanaan perjanjian pembayaran upah dengan system dhodhos ini masih dilakukan di Desa Cukilan Kecamatan Suruh Kabupaten Semarang.

Perjanjian yang dilakukan oleh pemilik sawah dengan para buruh tani atau pekerja di desa Cukilan Kecamatan Suruh kabupaten Semarang dengan sistem dhodhos ini sebenaranya bukan merupakan kebiasaan dari masyarakat desa Cukilan. Kebiasaan tersebut dibawa oleh seorang dari daerah Bogor Jawa Barat yang pernah tinggal di desa Cukilan, sebagaimana temuan peneliti dalam wawancara dengan informan.

“Sistem pembayaran upah dhodhos ini bukan dari masyarakat desa Cukilan mbak, sistem ini dulu katanya (orang tua) dibawa oleh seorang pendatang dari daerah Bogor Jawa Barat dan akhirnya digunakan oleh masyarakat desa Cukilan ”. (Wawancara dengan Bapak Diyono Pemilik Sawah pada tanggal 27 November 2017).

Sistem pembayaran upah yang dilakukan pemilik sawah kepada para buruh tani atau pekerja bahwa sistem yang digunakan oleh kedua belah pihak adalah menggunakan sistem dhodhos.

“Sistem pembayaran upah disini dari dulu menggunakan sistem

dhodhos mbak, dimana pembayaran dibayarkan setelah semua

pekerjaan selesai” (Wawancara dengan Bapak Sardjono Pemilik Sawah pada tanggal 7 Januari 2018).

Mengenai perjanjian atau akad yang dibuat oleh kedua belah pihak, bahwa telah terjadi ijab dan qobul antara pemilik sawah dengan buruh tani atau pekerja dari awal sebelum dilakukan perkerjaanan dan telah dianggap sah dan memenui unsur perjanjian, sebagaimana temuan peneliti dalam wawancara dengan informan.

“Mengenai perjanjian disini mbak, yaitu telah sepakat dengan sistem dhohos. Dimana perjanjian atau akad antara pemilik sawah dan buruh tani atau pekerja dilakukan diawal sebelum memulai

menggarap sawah. Di dalam perjanjian tersebut dijelaskan pula mengenai pekerjaan dan pembayaran upah atau bagi hasil dan perjanjian ini sudah sah mbak”. (Wawancara dengan Bapak Eko Pemilik Sawah pada tanggal 6 Januari 2018).

Perjanjian pembayaran upah dengan sistem dhodhos, dilakukan kesepakatan antara pemilik sawah dengan buruh tani atau pekerja. Dalam perjanjian tersebut dibahas mengenai sistem pembayaran upah dengan bagi hasil dan mengenai pengelolaan sawahnya, sebagaimana hasil wawancara dengan informan.

“Mengenai perjanjiannya mbak, itu sudah ada kesepakatan diawal mengenai pembayaran upah bagi hasil dengan sistem dhodhos, dan mengenai pengelolaan sawahnya” (Wawancara dengan Bapak Syamsudin dan Ibu Tuminah Buruh Tani/Pekerja pada tanggal 29 November 2017).

“Perjanjiannya dengan sistem dhodhos mbak, diawal sebelum mengolah sawah dengan pembayaran upahnya bagi hasil setelah panen” (Wawancara dengan Bapak Komarudin Buruh Tani/Pekerja pada tanggal 9 Januari 2018).

Kekuatan hukum menurut para pemilik sawah terkait dengan sistem dhodhos ini, bahwa sistem ini sudah sesuai dengan hukum karena telah terjadi kesepakatan antara pemilik sawah dengan para pekerja atau buruh tani dan tidak ada paksaan atau tekanan dan sudah memenuhi unsur perjanjian atau akad, sebagaimana hasil wawancara dengan informan.

“Menurut saya ya mbak, sistem pembayaran dhodhos ini sudah sesuai dengan hukum, karena sudah ada kesepakatan antara pemilik sawah dengan para buruh tani atau pekerja. Jadi ya sistem ini tidak bertentangan dengan hukum dan sah sah saja mbak”. (Wawancara dengan Bapak Eko pada tanggal 6 Januari 2018). 3. Alasan perjanjian dhodhos

Pemilik sawah yang mempunyai sawah yang sangat luas biasanya dilakukan dengan perjanjian dengan sistem dhodhos, atau oleh kebayanyakan masyarakat di desa Cukilan disebut juga dengan bagi hasil panen. Rata-rata yang melakukan dengan sistem dhodhos oleh pemilik sawah karena sawahnya besar dan tidak bisa mengerjakan sendiri yang kemudian diharuskan pemilik sawah menawarkan atau diminta oleh para Buruh tani atau pekerja dengan sistem dhodhos. Seperti yang di temukan oleh peneliti ketika mewawancara narasumber:

“Sawah saya sangat luas sekitar 2 hektar yang semuanya hanya bisa dibuat menananam padi. Karena saya kurang mampu mengelola sendiri maka saya tawarkan kepada para buruh untuk mengerjakan sawah dengan sistem dhodhos atau bisa dibilang bagi hasil setelah panen tiba.” (Wawancara dengan Bapak Diyono Pemilik Sawah pada tanggal 27 November 2017).

“Karena saya PNS mbak jadi tidak memiliki bisa membagi waktu dalam mengurus sawah. Dan mengenai perjanjian pembayaran buruh biasanya disini perjanjian dilakukan di awal mengenai pembayaran upah dan penjualan, serta lain-lain terkait pengelolaan sawah dengan sistem dhodhos ini mbak.” (Wawancara dengan Bapak Sardjono Pemilik Sawah pada tanggal 7 Januari 2018). Pada umumnya para buruh tani atau pekerja ini melakukan pekerjaanya adalah tidak memiliki sawah yang luas dan tidak bisa memenuhi kebutuhan mereka. Alasan lainnya dikarenakan tidak ada pekerjaan lain. Sebagaimana temuan peneliti dalam wawancara dengan informan.

“Pertama karena sawah saya berdekatan dengan sawah Bapak Diyono, yang kedua beliaunya sibuk dengan urusan pekerjaan beliau sebagai pegawai negeri sipil” (Wawancara dengan Bapak Rebin dan Ibu Siti Aminah Buruh Tani/Pekerja pada tanggal 29 November 2017).

“Karena tidak ada pekerjaan lain mbak, mau kerja lain ya ndak ada mbak”. (Wawancara dengan Bapak Mujito dan Ibu Siti Jamilah Buruh Tani/Pekerja pada tanggal 28 November 2017).

“Awalnya dulu ditawari oleh Bapak Sardjono mbak, dan kebetulan saya juga butuh tambahan ya akhirnya saya terima tawaran beliau” (Wawancara dengan Bapak Pardjono Buruh Tani/Pekerja pada tanggal 8 Januari 2018).

Dapat disimpulkan bahwa buruh tani atau pekerja melakukan pelaksanaan sistem bagi hasil pengelolaan sawah karena sebagai berikut: a. Pemilik sawah tidak ada waktu

b. Pemilik sawah tidak mampu mengelola sendiri

c. Buruh tani atau pekerja mempunyai sawah berdekatan dengan pemilik sawah garapan

d. Buruh tani atau pekerja tidak memiliki pekerjaan tetap e. Buruh tani atau pekerja tidak mempunyai sawah sendiri

f. Buruh tani atau pekerja melakukan pekerjaannya karena faktor ekonomi.

4. Proses Pengelolaan Sawah di Desa Cukilan Dengan Sistem Dhodhos Sampai Tahap Penjualan

Proses perjanjian pengelolaan sawah di desa Cukilan dengan sistem dhodos atau bagi hasil (bagi dua) antara pemilik dengan buruh tani atau pekerja, pemilik memberikan semua kepercayaan kepada buruh tani atau pekerja untuk mengurus semua proses pengelolaan sawah sampai tahap panen selesai hingga tahap penjualan. Buruh tani atau pekerja memiliki hak penuh terhadap pengelolaan sawah.

Proses pertama yang dilakukan para buruh tani atau pekerja adalah mencangkul sawah atau bisa dengan brujul (sejenis mengolah sawah dengan traktor tetapi dengan menggunakan tenaga sapi). Kemudian membuat penyemaian bibit padi, setelah sekian dikira sudah layak untuk dipindahkan kesawah baru bisa langsung ditanam di sawah yang sudah digemburkan dengan brujul. Sebagaimana temuan peneliti dalam wawancara dengan buruh tani atau pekerja.

“Proses pertama adalah mencangkul dan brujul mbak. Membuat semaian padi, setelah itu dipindahkan ke sawah yang sudah digemburkan mbak.”(Wawancara dengan Bapak Syamsudin dan Ibu Tuminah buruh tani atau pekerja pada tanggal 19 Januari 2018).

Tahap yang kedua adalah merawat padi dengan pengairan secukupnya, membersihkan atau mencabuti rumput-rumput liar, kemudian pemberian pupuk dan menyemprot padi dengan pestisida untuk menghilangkan hama belalang dan sejenisnya serta mengusir hama tikus dan burung yang memakan padi. Kegiatan tersebut dilakukan sampai sekiranya padi mulai menguning dan siap untuk dipanen. Sebagaimana temuan peneliti dengan narasumber:

“Pengairan secukupnya, mencabuti suket (rumput-rumput liar), pemberian pupuk, menyemprot pestisida untuk menghilangkan hama belalang dan sejenisnya dan mengusir hama tikus dan burung mbak” (Wawancara dengan Bapak Syamsudin dan Ibu Tuminah buruh tani atau pekerja pada tanggal 19 Januari 2018).

Proses selanjutnya adalah yang dinantikan oleh para buruh tani atau pekerja, yaitu panen raya. Biasanya untuk memanen padi para buruh

tani tidak kesusahan, karena pada saat itu para pencari damen (tanaman padi) yang nantinya akan dibuat untuk memberi makan pada hewan ternak mereka. Setelah selesai memanen padi yaitu dilakukan pemisahan biji padi dengan menggunakan alat tradisional ngedos (alat untu memisahkan padi dari tangkainya yang dibuat secara tradisional). Kemudian dilakukan proses pengirikan (memisahkan padi yang berisi dan yang tidak berisi). Sebagaimana wawancara dengan narasumber:

“Yang saya tunggu-tunggu ketika panen mbak. Kalau panen saya biasanya dibantu orang ngarit damen (mencari rumput dari tanaman padi). Setelah selesai memanen padi yaitu ngedos. Kemudian pengirikan mbak” (Wawancara dengan Bapak Syamsudin dan Ibu Tuminah buruh tani atau pekerja pada tanggal 19 Januari 2018).

Tahap berikutnya adalah proses penjemuran, proses tersebut dilakukan untuk menghindari biji padi yang sudah dipanen tumbuh lagi. Setelah kering padi di timbang untuk mengetahui berapa hasil dari panen tersebut. Setelah itu baru dibawa ke pemilik sawah untuk bisa dijual secara bersama-sama dengan buruh tani atau pekerja. Sebagaimana temuan peneliti dalam wawancara.

“Setalah panen padi dijemur mbak, biar biji padi yang sudah dipanen tidak tumbuh lagi. Setelah kering padi di timbang kemudian dibawa ke pemilik sawah untuk bisa dijual secara bersama-sama” (Wawancara dengan Bapak Syamsudin dan Ibu Tuminah buruh tani atau pekerja pada tanggal 19 Januari 2018).

Rincian biaya pengelolaan sawah yang dilakukan di desa Cukilan dengan sistem dhodhos, berdasarkan wawancara dengan salah satu narasumber Bapak Syamsudin dan Ibu Tuminah buruh tani/pekerja pada tanggal 23 Januari 2018, sebagai berikut:

Tabel. 11

Biaya Pengelolaan Sawah dan Bagi Hasil Modal

No Uraian Satuan (Rp) Jumlah (Rp)

1. Benih 30 Kg Rp. 8.000,- Rp. 240.000,- 2. Pupuk Kandang 1000 Kg Rp. 1.000,- Rp. 1.000.000,- 3. Pupuk Urea 150 Kg Rp. 1.300,- Rp. 195.000,- 4. Pupuk SP36 100 Kg Rp. 2.200,- Rp. 220.000,- 5. Pupuk NPK Ponska 300 Kg Rp. 2.300,- Rp. 690.000,- 6. Petrogaik 1000 Kg Rp. 500,- Rp. 500.000,- 7. Pestisida/Insektisida 2 liter Rp. 75.000,- Rp. 150.000,- Jumlah Modal Rp. 2.995.000,-

Biaya Operasional/Upah Kerja

No Uraian Satuan (Rp) Jumlah (Rp)

1. Pengolahan Lahan 30 Orang Rp. 30.000,- Rp. 900.000,- 2. Pencabutan dan Penanaman

Bibit 20 Orang

Rp. 17.500,- Rp. 350.000,-

3. Penyiangan dan Pemupukan ke 1 16 Orang

4. Penyiangan dan Pemupukan ke 2 16 Orang

Rp. 30.000,- Rp. 480.000,-

5 Penyemprotan 4 Orang Rp. 30.000,- Rp. 120.000,- 6. Panen dan Pasca Panen 12 Orang Rp. 30.000,- Rp. 360.000,- 7. Biaya Pengeringan 8 Orang Rp. 30.000,- Rp. 240.000,-

Jumlah Modal Rp. 2.930.000,-

Modal : Rp. 2.995.000,-

Biaya Operasional : Rp. 2.930.000,- +

TOTAL : Rp. 5.325.000,-

a. Pendapatan

Hasil panen biasanya 7,5 ton/ hektar. Sesudah dikeringkan susut 18%, jadi akhir 6,15 ton/hektar.

Harga 1 Kg gabah kering = Rp. 3.500,-

Jadi Hasil yang didapat = 6.150 Kg x Rp. 3.500,- = Rp. 21.525.000,- b. Keuntungan

Keuntungan = Pendapatan – Biaya Pengeluaran = Rp. 21.525.000- Rp. 5.325.000 = Rp. 16.200.000,-

c. Bagi Hasil

Bagi hasilnya yakni sebesar 50:50, dimana Pemilik sebesar 50 % dan buruh tani sebesar 50%

= Rp. 8.100.000 6. Dampak Pengelolaan Sawah Dengan Sistem Dhodhos

a. Pemilik sawah

Sistem pembayaran upah dhodhos ini sangat menguntungkan bagi para pemilik sawah, karena hanya bermodalkan meminjamkan sawahnya untuk digarap atau di gunakan untuk bercocok tanam. Selain itu biaya yang dikeluarkan tidak terlalu besar dan tidak menyita waktu bekerja, sebagaimana temuan dalam wawancara peneliti dengan informan.

“Ya, sangat menguntungkan mbak, karena sudah diperjanjiakan di awal antara saya dengan para buruh tani mengenai bagi hasil dan pembayaran upah dengan sistem dhodhos ini mbak ”. (Wawancara dengan Bapak Diyono pada tanggal 27 November 2017)

“Sistem dhodhos ini sangat menguntungkan mbak, karena saya tidak usah repot-repot mengelola sawah dan tinggal nunggu hasilnya saja” (Wawancara dengan Bapak Eko pada 6 Januari 2018).

“Saya menggunakan sistem dhodhos ini karena menguntungkan, tidak menyita waktu bekerja saya sebagai pegawai negara sipil (PNS), sehingga sawah saya tidak bero (tidak terurus) dan tidak terlalu banyak keluar modal mbak ” (Wawancara dengan Bapak Sardjono pada tanggal 7 Januari 2018).

b. Buruh tani atau pekerja

Keuntungan yang didapat oleh buruh tani atau pekerja tidak menentu atau tidak pasti setiap mengelola sawah. Terkadang untung terkadang rugi tergantung pada hasil panen, sebagaimana temuan penulis dalam wawncara dengan informan.

“Bicara masalah keuntungan, dibilang untung ya untung mbak kalau hasil penennya bagus, tapi ya Alhamdulillahnya bisa buat tambahan pemasukan mbak.” (Wawancara dengan Bapak Rebin dan Ibu Siti Aminah pada tanggal 29 November 2017). “Ya terkadang untung kalau hasil panennya bagus, dan terkadang juga tidak untung” (Wawancara dengan Bapak Mujito dan Ibu Siti Jamilah pada tanggal 28 November 2017). Dalam suatu perkerjaan pasti terdapat masalah, seperti halnya yang dialami oleh para buruh tani atau pekerja di Desa Cukilan yang mengerjakan sawah orang lain dengan sistem pembayaran upahnya melalui bagi hasil setelah panen, seperti temuan hasil wawancara dengan informan.

“Masalah dalam pekerjaan ini biasanya ya gagal panen itu mbak, terus jika dihitung dari biaya yang saya tanggung dalam operasional mengelola sawah dari awal sampai panen” (Wawancara dengan Bapak Pardjono pada tanggal 8 Januari 2018).

“Ketika gagal panen atau ketika hasil panenya jelek itu mbak.” (Wawancara dengan Bapak Syamsudin dan Ibu Tuminah pada tanggal 29 November 2017).

Para buruh tani atau pekerja di Desa Cukilan dalam memperoleh pembayaran dari mengelola sawah milik orang lain yaitu menunggu dari hasil panen tiba, dan besaran upah yang tidak bias di perkirakan jumlahnya, sebagaimana temuan penulis dalam hasil wawancara dengan informan.

“Dapat upahnya ya dari bagi hasil setelah panen itu mbak, mengenai besaranya tergantung atau tidak pasti mbak” (Wawancara dengan Ibu Tuminah pada tanggal 29 November 2017).

“Upahnya nunggu panen mbak” (Wawancara dengan Bapak Komarudin pada tanggal 9 Januari 2018) .

Dapat disimpulkan bahwa pelaksanaan pembayaran upah di desa Cukilan Kecamatan Suruh Kabupaten Semarang ini menggunakan sistem dhodhos dengan sistem bagi hasil setelah pekerjaan yang dibebabkan kepada para buruh tani. Penulis menyimpulkan bahwa praktik pembayaran upah dengan system dhodhos di Desa Cukilan Kecamatan Suruh Kabupaten Semarang ini adalah menggunakan akad Muzaraah. Dimana pemilik sawah meminjamkan sawahnya untuk dikelola oleh buruh tani atau pekerja yang mana dari hasil pengelolaan tersebut nantinya sebagai pembayara upahnya yakni dari bagi hasil setelah panen tiba. Dan dari hasil wawancara di atas dapat dikatakan bahwa pemilik sawah lebih di untungkan di bandingkan pekerja / buruh.

BAB IV

TINJAUAN HUKUM ISLAM TERHADAP PEMBAYARAN UPAH

Dokumen terkait