BAB IV METODE PENELITIAN
4.4 Pelaksanaan Penelitian
Hal yang pertama dilakukan adalah menyiapkan tempat perlakuan berupa kotak
plastik berdiameter 7 cm dan tinggi 4 cm. Tingkat konsentrasi spora jamur
M. anisopliae, yaitu 105, 106, 107, 108, 109 spora/ml yang telah disiapkan, diinfeksikan
2 . 2 1 . 1N V N V b ml a K 5 ml b a b P 5
pada larva C. pavonana Fab. dengan cara diteteskan langsung ke atas tubuh larva.
Metode tetes langsung ini merupakan modifikasi dari metode yang digunakan Milner,
(1994). Suspensi spora diteteskan dengan menggunakaan volume pipet berukuran 1 ml.
Masing-masing larva ditetesi 0,05 ml suspensi spora. Larva C. pavonana Fab. tersebut
diamati sampai mati atau menjadi imago. Masing-masing perlakuan menggunakan lima
ekor larva instar tiga dan dilakukan empat kali ulangan. Pengukuran parameter fisik
meliputi suhu tempat perlakuan. Pengamatan terhadap larva C. pavonana Fab. yang
diinfeksi oleh berbagai konsentrasi spora jamur M. anisopliae dilakukan setiap hari.
4.5. Parameter yang Diukur
Parameter yang diukur pada penelitian ini adalah kematian, berat badan dan
konsumsi pakan larva C. pavonana Fab. yang diuraikan pada subbab berikut.
4.5.1 Kematian Larva Crocidolomia pavonana Fabricius
Pengamatan terhadap kematian larva C. pavonana Fab. meliputi mortalitas dan
waktu kematian larva. Mortalitas merupakan parameter pengukuran terhadap banyaknya
larva C. pavonana Fab. yang mati akibat infeksi oleh jamur M. anisopliae. Mortalitas
juga dapat digunakan untuk mengetahui efektivitas jamur ini dalam mengendalikan
serangga hama C. pavonana Fab. Larva yang mati akibat terinfeksi jamur M. anisopliae
memperlihatkan tanda berupa tubuh larva ditumbuhi oleh hifa jamur berwarna putih yang
diikuti dengan tumbuhnya spora jamur berwarna hijau. Hifa tersebut membungkus tubuh
Persentase mortalitas larva C. pavonana Fab. dihitung dengan menggunakan
rumus perhitungan sebagai berikut :
M adalah mortalitas (%), n adalah jumlah larva yang mati karena jamur (ekor), dan N adalah jumlah larva yang diuji (ekor).
Pengamatan terhadap waktu kematian larva dilakukan dengan menghitung jumlah
larva yang mati setiap hari pengamatan. Perhitungan waktu kematian menggunakan
rumus sebagai berikut :
W adalah waktu kematian, a adalah banyaknya larva yang mati pada hari infeksi, b adalah hari pada saat larva mati, dan n adalah banyaknya larva yang mati tiap
perlakuan.
4.5.2. Berat Badan Larva Crocidolomia pavonana Fabricius
Pengamatan terhadap berat badan larva bertujuan untuk mengetahui pertumbuhan larva C. pavonana Fab., meliputi pengamatan terhadap berat badan maksimum. Pengamatan dilakukan dengan cara menimbang larva C. pavonana Fab. setiap hari, dari saat larva diinfeksi hingga larva mati atau menjadi pupa. Larva C pavonana Fab. ditimbang dengan menggunakan timbangan analitik. Perhitungan berat badan maksimum larva C. pavonana
% 100 N n M
n a xb n a WFab. dilakukan dengan merata-ratakan berat badan maksimum larva uji pada setiap konsentrasi.
4.5.3. Konsumsi Pakan Larva Crocidolomia pavonana Fabricius
Pengamatan terhadap konsumsi pakan bertujuan untuk mengetahui jumlah pakan
yang dikonsumsi oleh larva C. pavonana Fab. normal dan larva yang diinfeksi spora
jamur. Pengamatan terhadap konsumsi pakan larva C. pavonana Fab. meliputi konsumsi
pakan total dan konsumsi pakan relatif.
Konsumsi pakan larva C. pavonana Fab. yang telah diinfeksi dihitung
berdasarkan berat kering pakan, untuk menghindari perbedaan kadar air. Berat kering
makanan diperoleh dengan cara membuat potongan daun kubis berjumlah 50 potongan
yang diberi nomor berurutan. Kemudian masing-masing potongan daun kubis tersebut
ditimbang dan diperoleh data berat basah awal. Setelah ditimbang, potongan daun-daun
tersebut dikeringkan di dalam oven dengan suhu 75oC selama 72 jam. Daun yang telah
dikeringkan tersebut ditimbang kembali dan diperoleh berat kering daun. Dari data yang
diperoleh, dapat dihitung kadar berat kering PBK dengan menggunakan rumus sebagai berikut :
PBK adalah persentase berat kering pakan (%), BK adalah berat kering pakan (g) dan BB adalah berat basah pakan (g).
Tata kerja perhitungan konsumsi pakan adalah potongan daun kubis yang akan
diberikan pada larva C. pavonana Fab. yang telah diinfeksi oleh jamur M. anisopliae %
100 BB BK
ditimbang untuk diperoleh berat basah awal. Satu hari setelah pemberian pakan 24 jam, sisa daun kubis yang tidak dimakan oleh larva C. pavonana Fab. ditimbang. Dari data
berat daun kubis tersebut kemudian dihitung konsumsi pakan larva C. pavonana Fab.
dengan cara :
KMT adalahkonsumsi pakan total (g BK/ekor), BBi adalah berat basah pakan pada hari ke-i (g), % BK adalah persentase berat kering pakan, dan BKS adalahberat kering pakan sisa (g).
KMReladalah konsumsi pakan relatif (g BK/g berat badan/hari), dan j adalah jumlah hari.
j 0 i%
i ix BK BKS
BB
KMT
1 % 0
j BKS BK x BB KMH j i i i
%
1
i i i el RB
B
BKS
BK
x
BB
KM
BAB V HASIL PEMBAHASAN
5.1. Tingkat Kematian Larva Crocidolomia pavonana Fabricius
Tingkat kematian larva C. pavonana Fab. merupakan parameter pengukuran
terhadap jumlah larva uji yang mati akibat infeksi jamur M. anisopliae. Hasil perhitungan
tingkat kematian larva dapat digunakan untuk mengetahui efektivitas jamur M. anisopliae
dalam mengendalikan populasi serangga hama C. pavonana Fab. Pada penelitian ini
beberapa tingkat konsentrasi spora jamur M. anisopliae diinfeksikan pada larva serangga
C. pavonana Fab. instar tiga. Konsentrasi spora yang digunakan adalah 105 spora/ml, 106
spora/ml, 107 spora/ml, 108 spora/ml dan 109 spora/ml. Hasil penelitian menunjukkan
bahwa infeksi spora jamur M. anisopliae pada berbagai konsentrasi tersebut
menyebabkan mortalitas pada larva C. pavonana Fab. dengan rentang 75% – 95%.
Hasil uji statistik (Sidik Ragam) menunjukkan bahwa infeksi dengan rentang
konsentrasi 105 – 109 spora/ml berpengaruh terhadap mortalitas larva C. pavonana Fab.
Adapun untuk mengetahui perbedaan persentase mortalitas antara larva normal dan larva
yang diinfeksi, maka dilakukan analisis Sidik Ragam yang ditampilkan pada Tabel 3.
Tabel 3. Sidik Ragam Pengujian Perlakuan Infeksi Spora Jamur M. anisopliae Menurut Konsentrasi Terhadap Mortalitas Larva C. pavonana Fab.
Ftabel Sumber Keragaman Db JK KT Fhitung 5% Perlakuan 5 25083,334 5016,67 Galat 18 6099,999 338,89 14,80** 2,77 Total 23 31183,333
Keterangan : db : derajat bebas, JK : Jumlah Kuadrat, KT : Kuadrat Tengah, * : berbeda nyata pada α 5%, ** : berbeda sangat nyata pada α 5%,
tn
Meskipun terdapat perbedaan yang nyata antara persentase mortalitas larva
normal dan larva yang diinfeksi spora jamur, namun hasil uji jarak berganda Duncan
(pada taraf nyata 5%) menunjukkan tidak ada pengaruh dari tiap-tiap konsentrasi yang
diinfeksikan terhadap mortalitas larva. Data penelitian tentang pengaruh infeksi spora
jamur terhadap larva C. pavonana Fab. pada berbagai tingkat konsentrasi dapat dilihat
pada Gambar 4.
Gambar 4. Diagram persentase mortalitas larva C. pavonana Fab. akibat infeksi spora jamur M. anisopliae pada berbagai tingkat konsentrasi
Pada Gambar 4, terlihat bahwa persentase mortalitas tertinggi larva C. pavonana
Fab. yang diinfeksi spora jamur M. anisopliae adalah pada konsentrasi 109 spora/ml,
yaitu sebesar 95%. Nilai persentase mortalitas ini paling tinggi dibandingkan dengan
konsentrasi spora jamur M. anisopliae lain yang digunakan, yaitu pada rentang
konsentrasi 105 – 108 spora/ml masing-masing persentase kematian larva hanya sebesar
75%, 90%, 80%, dan 85%. 95.00 b 85.00 b 80.00 b 75.00 b 0.00 a 90.00 b 0.00 10.00 20.00 30.00 40.00 50.00 60.00 70.00 80.00 90.00 100.00 0 10 5 10 6 10 7 10 8 10 9 Persentase Motalitas (%) 0 105 106 107 108 109 Konsentrasi (spora/ml)
Banyaknya jumlah spora yang menginfeksi mengakibatkan tubuh larva tidak
mampu bertahan dari serangan patogen. Semakin banyak spora yang melekat pada
kutikula larva serangga, maka semakin banyak pula spora yang melakukan penetrasi
terhadap kutikula tersebut. Semakin banyak larva yang mati, maka akan meningkatkan
persentase tingkat kematian.
Hasil penelitian ini memperlihatkan bahwa terjadi kenaikan mortalitas larva yang
diinfeksi spora jamur seiring dengan semakin tinggi tingkat konsentrasi spora. Hal ini
sejalan dengan penelitian yang dilakukan oleh Prayogo dan Tengkano, (2004), terhadap
Spodoptera litura. Konsentrasi spora jamur yang digunakan adalah 104 – 108 spora/ml
dengan mortalitas larva berturut-turut pada hari kedelapan setelah aplikasi adalah
44,33%, 54%, 60%, 79% dan 70,67%. Pada penelitian tersebut diketahui bahwa
semakin tinggi konsentrasi spora jamur M. anisopliae yang diinfeksikan, maka semakin
tinggi pula mortalitas S. litura.
Pada stadium pre pupa, larva yang diinfeksi spora jamur banyak yang mengalami
kematian. Hal ini diperjelas oleh data pengamatan rata-rata waktu kematian larva yang
diinfeksi spora jamur. Banyak larva yang mati pada saat pre pupa dikarenakan pada
stadium ini pertahanan larva terhadap serangan jamur cenderung rendah, selain itu pada
masa ini pula spora jamur yang telah berhasil melakukan penetrasi mulai berkembang di
dalam tubuh larva. Akibatnya banyak larva yang mati pada stadium pre pupa dan
meskipun larva tersebut berhasil menjadi pupa, maka pupa yang terbentuk pun tidak akan
membentuk imago. Pupa yang tidak berhasil menjadi imago berwarna coklat gelap,
keriput dan kering. Ada pula larva yang terinfeksi yang berhasil membentuk pupa dan
Keberhasilan proses infeksi bergantung pada kondisi lingkungan, seperti
kelembaban dan suhu. Suhu pada waktu infeksi berkisar antara 23oC – 25oC. Kisaran
suhu ini masih berada pada kisaran suhu optimum pertumbuhan jamur M. anisopliae
yaitu pada suhu 22oC – 27oC (Prayogo, et al., 2005; Burgner, 1998). Selain itu, faktor
lain yang berpengaruh adalah faktor ganti kulit (molting) pada serangga (Prayogo, et al.,
2005).
Larva serangga C. pavonana Fab. yang mati disebabkan oleh jamur ditandai
dengan tubuh lunak dan memiliki integumen yang rapuh. Hal ini disebabkan spora jamur
yang melekat pada kutikula larva telah berhasil melakukan penetrasi. Spora yang melekat
pada kutikula berkecambah membentuk hifa penetrasi. Hifa penetrasi menghasilkan
sejumlah enzim diantaranya, enzim lipase, protease dan kitinase yang mampu
mendegradasai kutikula. Selanjutnya, spora akan berkembang di dalam hemocoel dengan
menyerap hemolimf dan menghasilkan destruksin yang dapat mengakibatkan kematian
larva. Beberapa hari setelah larva mati, tubuh larva mulai mengeras dan kaku. Hal ini
dikarenakan seluruh tubuh larva diselimuti oleh miselium (Prayogo, et al., 2005).
Selain mengeras, tubuh larva juga berubah menjadi hitam. Perubahan warna
hitam yang terjadi pada tubuh larva disebabkan oleh proses melanisasi yang merupakan
suatu bentuk pertahanan tubuh serangga melawan patogen (Boucias dan Pendland, 1998).
Perubahan warna hitam atau melanisasi tersebut akibat dari aktivitas enzim
phenoloksidase. Enzim ini diketahui berperan dalam proses penyembuhan luka,
sklerotisasi kutikula, dan berperan dalam proses melanisasi terhadap benda asing yang
Mekanisme melanisasi diawali dengan hemosit mengenali benda asing berupa sel
jamur yang masuk ke dalam hemocoel. Hemosit secara aktif berkumpul dan mengelilingi
permukaan sel jamur membentuk kapsul (proses ini disebut enkapsulasi). Kapsul
tersebut menghambat pertumbuhan dan pergerakan sel jamur, serta mengisolasi sel jamur
tersebut agar tidak menginfeksi jaringan lain. Sel jamur yang masuk ke dalam hemocoel
sekaligus mengaktifkan prophenoloksidase (proPO). Prophenoloksidase (proPO)
membentuk phenoloksidase yang merupakan katalis dalam pembentukan melanin.
Melanin yang dibentuk bersifat racun bagi sel jamur, sehingga menghambat
perkembangan sel jamur. Saat proses melanisasi, terjadi reaksi oksidasi yang
menyebabkan sel jamur mati. Namun demikian, jamur juga memiliki pertahanan
tersendiri untuk melawan sistem pertahanan serangga. Pertahanan jamur dilakukan
dengan membentuk blastospora yang dapat bermultiplikasi dan menyebar dengan cepat
ke seluruh tubuh larva (Tanada dan Kaya, 1993). Hal tersebut tidak dapat diantisipasi
oleh sistem pertahanan tubuh larva, sehingga larva tetap mengalami kematian.
Pada hari ketiga setelah larva mati, dari tubuh larva tersebut muncul hifa
berwarna putih membentuk jalinan hifa yang disebut miselium. Selanjutnya, sekitar tiga
hari setelah muncul hifa, tumbuh spora berwarna hijau menutupi permukan tubuh larva.
Boucias dan Pendland, (1998), menyatakan bahwa pada rayap, proses penetrasi hifa
hanya memerlukan waktu 48 jam (2 hari). Hifa mulai menyerang badan lemak sekitar 72
jam (3 hari) setelah serangga mati. Sekitar 96 jam (4 hari), padatan hifa atau miselium
berkembang melalui lubang tubuh dan mulai tumbuh pada permukaan serangga. Pada
umumnya hifa tumbuh ke luar permukaan serangga melalui spirakel, mulut dan membran