• Tidak ada hasil yang ditemukan

PELAKSANAAN TRANSAKSI

Dalam dokumen Mudharabah dan Musyarakah kajian teoriti (Halaman 75-121)

MUDHARABAH DAN MUSYARAKAH

Pembahasan dibawah ini mengenai pelaksanaan

mudharabah dan musyarakah yang pernah dijalankan oleh salah satu lembaga swadaya masyarakat. Untuk menggambarkan pelaksanaan bagi hasil di lembaga tersebut akan diuraikan satu persatu tentang ketentuan-ketentuan mudharabah dan musyarakah.1

Untuk kemudian dielaborasi dan dianalisis dari sudut pandang hukum islam (pendapat ahli fiqh), yang telah dibahas pada bab sebelumnya dalam tulisan ini.

1. Ketentuan-Ketentuan Mudharabah

Dalam melaksanakan transaksi bagi hasil sistem mudharabah, lembaga menerapkan 8 (delapan) ketentuan. Ketentuan ini diterapkan jika lembaga akan melakukan kerjasama dengan salah sorang mitra usaha. Berikut ketentuan-ketentuan tersebut dan akan dikupas dari sudut pandang hukum islam.

a. Keseluruhan modal disediakan oleh lembaga sebagai pemilik modal(shohibul maal)dan pelaksanaan usaha dilakukan oleh mitra usaha sebagaishohibul’a mal.

Dari ketentuan ini dipahami bahwa yang bertindak sebagai pemilik modal adalah lembaga. Sedangkan modal yang disediakan berasal dari seluruh pengurus,

1

Penulis pernah melakukan kajian tentang pelaksanaan transaksi bagi hasil di Yayasan Bina Sektor Informal Tasikmalaya pada tahun 1997. Dalam pembahasannya penulis tidak menyebutkan lembaga tersebut, melainkan hanya mengisitilahkan dengan kata ”lembaga” saja.

artinya modal yang ada merupakan modal bersama yang disatukan untuk dimudharabahkan pada pihak lain. Dalam pelaksanaanya lembaga mengangkat salah seorang pengurus untuk melakukan akad (perjanjian) dengan mitra usaha.

Mengenai pemilik modal terdiri dari beberapa orang sah saja, hal ini menurut Ali Al-Khafif sebagaimana dikutip M. Nejatullah Siddiqi, dan boleh juga pihak pelaksana terdiri dari beberapa orang dan pemilik modal hanya satu orang.2

Jenis modal yang disediakan lembaga berbentuk uang tunai, yaitu rupiah.

Mengenai jenis modal berbentuk uang tunai dalam hal ini rupiah (bukan emas dan perak), menurut ulama madzhab Hambali tidak boleh, mereka hanya membatasi dengan uang emas dan uang perak yang telah distempel raja (pemerintah).

Sementara itu dikalangan ulama madzhab Syafi’i terdapat dua pendapat, sebagian membolehkan dan sebagian lagi melarang. Pendapat yang membolehkan modal selain uang emas dan uang perak mensyaratkan agar uang tersebut telah dijadikan alat tukar menukar.

Dengan menggunakan rupiah sebagai modal yang disediakannya, berarti yang dipakai dalam hal ini adalah pendapat sebagian ualama madzhab Syafi’i.

Pada prinsipnya jenis modal ini termasuk kepada hukum yang senantiasa berubah sesuai dengan kondisi

yang ada. Sebagaimana salah satu qaidah fiqhiyah menyebutkan:

ِلا َوْﺣَﻷا َو ِﺔَﻧِﻛْﻣَﻷا َو ِﺔَﻧِﻣْزَﻷا ِرﱡﯾَﻐَﺗِﺑ ِمﺎَﻛْﺣَﻷا ُرﱡﯾَﻐَﺗ

Artinya: Hukum itu bisa berubah sesuai dengan perubahan zaman, tempat dan keadaan.

b. Jangka waktu kerjasama maksimal 12 bulan

Dengan ketentuan ini lembaga berharap agar mitra usaha (binaan) setelah satu tahun mampu mandiri dengan modal sendiri, namun bila mitra usaha masih menginginkan (membutuhakan) maka dilakukan perjanjian (akad) mudharabah yang baru atau jika mitra usaha memiliki sebagian modal tapi masih membutuhkan sebagiannya lagi, maka bisa dilakukan perjanjian musyarakah.

Meskipun ada batas waktu yang ditentukan, tapi tidak menutup kemungkinan salah satu pihak membatalkan perjanjian (fasakh) sebelum akhir waktu, hal ini bisa dilakukan jika lembaga atau mitra usaha menginginkannya.

Penggunaan ketentuan ini dimaksudkan untuk mengimplementasikan program pengembangan sebagai misi lembaga, relevan dngan firman Allah surat Al-Hasyr ayat 7:

ْمُﻛْﻧِﻣ ِءﺎَﯾِﻧْﻏَﻷا َنْﯾَﺑ ًﺔَﻟ ْوُد َن ْوُﻛَﯾَﻻ ﻰَﻛ

Artinya: Supaya harta itu tidak beredar diantara orang-orang kaya diantara kamu.

Para ahli fiqh berbeda pendapat mengenai adanya pembatasan waktu dalam perjanjian mudharabah. Ulama madzhab Syafi’i dan Maliki tidak

membolehkan hal ini, pendapat ini juga diakui oleh Sayyid Sabiq dengan alasan bahwa akad mudharabah merupakan akad jaiz, yang bisa fasakh kapan saja.

Sementara itu ulama madzhab Hambali membolehkannya, namun demikian bukan berarti menutup kemungkinan adanya fasakh sebelum akhir bisnis. Bahkan meskipun mereka (Hambaliyah) membolehkan adanya batas waktu pada saat perjanjan, tetapi melarang adanya persyaratan yang melarang salah satu pihak membatalkan perjanjian pada saat mereka berkehendak.

Jika ditelaah dari pernyataan diatas, menunjukkan bahwa adanya ketentuan batas waktu yang ditetapkan lembaga, sesuai dengan pendapat madzhab Hambali.

Adanya ketentuan batas waktu dengan tidak menutup kemungkianan salah seorang fasakh sebelum akhir bisnis (habis batas waktu), sesuai dengan qaidah: ﱞبَﺣَﺗْﺳُﻣ ِفَﻼِﺧْﻟا َنِﻣ ُج ْوُرُﺧْﻟَا

Artinya: Keluar dari perbedaan pendapat disukai.

c. Besarnya prosentase pembagian keuntungan berdasarkan hasil kesepakatan antara lembaga dengan pihak mitra.

Dengan adanya bahasa ”pembagian keuntungan”, maka dipahami bahwa pembagian masing-masing menggunakan bentuk serikat bukan nilai uang (nominal), karena bagaimana mungkin menentukan pembagian keuntungan dengan jumlah tertentu, sementara keuntungan yang diperolehnya belum terwujud. Mengenai kesepakatan pembagian keuntungan dalam bentuk serikat seperti sepertiga, seperempat, semua ulama madzhab menyepakatinya

dan melarang penentuan bagian dengan jumlah tertentu.

Dari ketentuan inipun dipahami bahwa kedua pihak diberi kebebasan untuk menegosiasikan prosentase keuntungan yang akan menjadi bagian masing-masing, sehingga kesepakatan yang dicapai betul-betul atas kerelaan masing-masing. Hal ini penting, karena prinsip utama dalam perniagaan dalam islam adalah keadilan dan kerelaaan (suka sama suka). Sebagaimana diperintah Allah dalam Al-Qur’an surat An-Nisaa ayat 29:

ًةَرﺎَﺟِﺗ َن ْوُﻛَﺗ ْنَا ﱠﻻِا ِل ِطﺎَﺑْﻟﺎِﺑ ْمُﻛَﻧْﯾَﺑ ْمُﻛَﻟا َوْﻣَا ا ْوُﻠُﻛْﺄَﺗ َﻻ ا ْوُﻧَﻣآ َنْﯾِذﱠﻟا ﺎَﮭﱡﯾَاﺎَﯾ ْمُﻛْﻧِﻣ ٍضاَرَﺗ ْنَﻋ

Artinya: Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu memakan harta sesamamu dengan jalan bathil, kecuali dengan jalan perniagaan yang dilakukan suka sama suka diantara kamu.

d. Pembagian keuntungan dilakukan setiap kali usaha telah menghasilkan laba (satu kali putaran produksi)

Dalam ketentuan ini menunjukan bahwa pembagian keuntungan dilakukan sebelum akhir bisnis. Namun bila terjadi kerugian yang menanggung adalah lembaga selaku pemilik modal.

Mengenai pembagian keuntungan sebelum akhir bisnis (modal dikembalikan kepada pemilik), ulama madzhab Syafi’i menganggap hal itu sah, dengan ketentuan jika terjadi kerugian, pelaku berkewajiban mengembalikan keuntungan yang telah diterimanya, tujuannya untuk menutupi modal dan keuntungan yang diterima pemilik dianggap sebagai bagian dari

modal. Mengenai kepemilikan keuntungan tersebut sebagian ulama Syafi’iyah melarangnya dan sebagian membolehkannya, hanya kepemilikan itu bersifat sementara.

Sedangkan ulama madzhab Hambali dan Hanafi melarang pembagian keuntungan sebelum akhir bisnis apalagi memilikinya.

Dari beberapa pendapat diatas jelaslah bahwa ketentuan yang diterapkan oleh lembaga sesuai dengan madzhab Syafi’i.

e. Tingkat prosentase pembagian keuntungan ditentukan pada waktu penandatanganan akad.

Ketentuan ini merupakan tindak lanjut atas kesepakatan dari hasil negosiasi, sebagaimana disebutkan sebelumnya (point c).

Adanya penandatanganan ini dimaksudkan untuk menghindari adanya pengingkaran dari kedua belah pihak terhadap hal-hal yang telah disepakati. Hal ini sejalan dengan firman Allah dalam Al-Qur’an surat Al-Baqarah ayat 282:

ْمُﻛَﻧْﯾَﺑ ْبُﺗْﻛَﯾْﻟ َو ُه ْوُﺑُﺗْﻛﺎَﻓ ﻰﱠﻣَﺳُﻣ ٍلَﺟَأ ﻰَﻟِا ٍنْﯾَدِﺑ ْمُﺗْﻧَﯾاَدَﺗ اَذِا ا ْوُﻧَﻣآ َنْﯾِذﱠﻟا ﺎَﮭﱡﯾَاﺎَﯾ ِلْدَﻌْﻟﺎِﺑ ٌبِﺗﺎَﻛ

Artinya: Hai orang-orang yang beriman, apabila kamu bermu’amalah tidak secara tunai untuk waktu yang ditentukan, hendaklah kamu menuliskannya. Dan hendaklah seorang penulis diantara kamu menuliskannya dengan benar.

Mengenai adanya penulisan dan penandatanganan akad dikalangan ulama fiqh, tidak ada pembahasan secara rinci, karena umumnya mereka menganggap cukup dengan lafadz (perkataan) yang menunjukan maksud dan tujuan diadakannya perjanjian. Namun demikian tidak ada larangan untuk itu. Karenanya ketentuan yang ada ini sesuai dengan qaidah:

ِﺢَﻠْﺻَﻷْا ِدْﯾِدَﺟْﻟﺎِﺑ ُذْﺧَﻷا َو ِﺢِﻟﺎﱠﺻﻟا ِمْﯾِدَﻘْﻟا ﻰَﻠَﻋ ُﺔَظَﻓﺎَﺣُﻣْﻟَا

Artinya: Menjaga (melestarikan) tradisi lama yang baik dan mengambil tradisi baru yang lebih baik.

f. Keuntungan yang dibagikan adalah pendapatan usaha-usaha setelah dikurangi biaya-biaya operasional (laba bersih).

Ketentuan ini akan sangat meringankan pelaksanaan (mitra usaha), karena biaya-biaya operasional seperti ongkos-ongkos tidak menggunakan biaya sendiri.

Ketentuan ini didasarkan pada salah satu prinsip bisnis, bahwa keuntungan adalah konsekwensi dari kesuksesan usaha bisnis itu sendiri. Untuk kesuksesan bisnis memerlukan biaya-biaya yang dikeluarkan, karena itulah maka antara keuntungan, bisnis, dan biaya-biaya operasional merupakan tiga mata rantai yang tidak dapat dipisahkan. Manakala pemilik modal sanggup menyerahkan hartanya untuk mendapat keuntungan, harus disertai kerelaan konsekwensi dari bisnis berupa kerugian maupun biaya-biaya operasional bisnis. Sebagaimana dinyatakan dalam satu qaidah:

َر ِﺊْﯾﱠﺷﻟﺎِﺑ ﺎَﺿﱢرﻟَا ُﮫْﻧِﻣ ُدﱠﻟ َوَﺗَﯾ ﺎَﻣِﺑ ﺎَﺿ

Artinya: Rela terhadap sesuatu, dibarengi dengan kerelaan terhadap sesuatu yang ditimbulkannya (konsekwensinya).3

g. Apabila terjadi kerugian, maka pemilik modal (shohibul maal) dalam hal ini lembaga yang mengalami kerugian secara finansial, sedangkan mitra usaha (shohibul ‘amal) mengalami kerugian dari sisi tenaga dan nama baik atas kegagalannya dalam menjalankan usaha

Hal ini didasarkan atas prinsip bahwa kerugian merupakan reduksi dari modal yang diberikan pemilik modal. Sehingga lembaga wajib menaggung kerugian yang ditimbulkan dan mitra usaha tidak berkewajiban mengganti, kecuali kerugian tersebut akibat kelalaian mitra usaha.

Apabila lembaga meragukan pengakuan mitra usaha, bahwa kerugian bukan diakibatkan oleh kelalaiannya, maka lembaga berhak mengambil sumpah dari mitra usaha tersebut. Sesuai dengan qaidah:

َرَﻛْﻧَا ْنَﻣ ﻰَﻠَﻋ ُنْﯾِﻣَﯾْﻟا َو ﻰِﻋﱠدُﻣْﻟا ﻰَﻠَﻋ ُﺔَﻧﱢﯾَﺑْﻟَا

Artinya: Pembuktian (alat bukti) wajib bagi yang mendakwa dan sumpah wajib bagi orang yang inkar (mengingkari dakwaan).4

h. Divestasi atau pengambilan modal hanya dapat dilakukan jika kerjasama akan berakhir

3Jalaluddin Abdul Rahman bin Abi Bakar, Al- Asybah wa an-Nadloir, (Darul Ihya, tanpa tahun), hal. 97

Dalam hal ini, tidak terdapat perbedaan pendapat dikalangan ahli fiqh, karena bila modal telah dikembalikan, maka secara otomatis perjanjian tersebut berakhir. Ketentuan ini didasarkan atas tujuan dilaksanakannya perjanjian adalah untuk pengelolaan modal.

2. Ketentuan-Ketentuan Musyarakah

Dalam melaksanakan transaksi bagi hasil dalam sistem musyarakah, lembaga menerapkan tujuh ketentuan. Berikut tujuh ketentuan tersebut, untuk kemudian diulas dan diberikan komentar berdasarkan hukum islam.

a. Adanya ketentuan waktu yang didentukan, tetapi tidak mengikat.

Diberlakukannya ketntuan ini dimaksudkan agar jika telah sampai batas waktu yang telah ditentukan, lembaga bisa memberikan pelayanan kepada masyarakat lain yang membutuhkan. Hal ini merupakan salah satu cara dalam mengimplementasikan komitmen sosial berupa pengembangan masyarakat.

Mengenai adanya pembatasan waktu dalam perjanjian musyarakah, para ulama berbeda pendapat. Ulama madzhab Syafi’i dan Maliki melarangnya, dengan alasan karena musyarakah merupakan akad jaiz yang bisa berakhir kapan saja, bila salah seorang diantara mereka (anggota syirkah) menghendakinya.

Namun sebagian ulama madzhab Syafi’i yang membolehkannya.5

Adapun ulama yang membolehkan adanya penentuan waktu dalam perjanjian musyarakah adalah ulama madzhab Hambali dan Hanafi.6

Meskipun dibolehkan adanya penentuan waktu, tetapi setiap anggota syirkah mempunai hak untuk mengakhiri kontraknya sewaktu-waktu. Sebagaimana dinyatakan Ibnu Qudama salah seorang pengikut madzhab Hambali.7

b. Kedua belah pihak sama-sama dalam pengelolaan usaha

Ketentuan ini menunjukan bahwa kedua belah pihak baik lembaga maupun mitra usaha ikut serta dalam usaha bisnis. Usaha ini ada yang bersifat langsung dan proses pengelolaan modal yang tersedia, juga ada yang bersifat tidak langsung seperti pengelolaan manajemen. Dalam hal ini lembaga lebih banyak terlibat dalam pengelolaan manajemen.

Dari pernyataan diatas dipahami bahwa dalam pengelolaan usaha tidak disyaratkan adanya kesamaan jenis dan bentuk usaha yang dilakaukan.

Mengenai usaha (pekerjaan) dalam perjanjian musyarakah, dikalangan ulama fiqh terjadi perbedaan pendapat. Dalam hal ini ulama madzhab Maliki mensyaratkan bahwa pekerjaan yang dilakukan

5M. Nejatullah Siddiqi, op. cit. hal. 99

6

ibid : hal. 99

masing-masing anggota syirkah harus disesuaikan dengan prosentase modal yang diinvestasikan.

Sementara ulama madzhab Syafi’i, Hambali dan Hanafi berpendapat bahwa pekerjaan yang dilakukan tidak mesti disesuaikan dengan prosentase modal yang diinvestasikan, sebab bila disyaratkan demikian, maka jika modal yang ditanamkan jumlahnya sama berarti pekerjaan mereka harus sama, sedangkan tiap orang memiliki kemampuan yang berbeda-beda.

Meskipun ulama madzhab Syafi’i, Hambali dan Hanafi berpendapat sama mengenai tidak mesti disyaratkan samanya dalam pekerjaan, namun mereka berbeda pendapat mengenai pengaruhnya terhadap pembagian keuntungan.

Madzhab Syafi’i berpendapat bahwa keuntungan yang dihasilkan dalam perjanjian syirkah harus tetap disesuaikan dengan prosentase modal yang diinvestasikan, tanpa mempertimbangkan adanya perbedaan pekerjaan (usaha). Adanya perbedaan pekerjaan dipandang sebagai sebuah kebaikan saja.

Sedangkan ulama madzhab Hambali dan Hanafi berpandangan bahwa adanya perbedaan pekerjaan bisa berpengaruh kepada keuntungan yang diperoleh masing-masing anggota syirkah, meskipun hal ini (pengaruh terhadap keuntungan) bukan suatu keharusan, artinya boleh saja keuntungan tetap disesuaikan dengan modal yang diinvestasikan tanpa memperhitungkan pekerjaan yang berbeda.

c. Modal usaha ditanggung oleh kedua belah pihak tergantung kemampuan masing-masing.

Dengan ketentuan ini lembaga bisa bekerjasama dengan pihak yang memiliki modal namun tidak mencukupi.

Mengenai ketentuan ini ulama fiqh sepakat bahwa modal berasal dari masing-masing pihak dan disatukan pada saat dilakukan akad dan dimulainya pekerjaan musyarakah.

d. Pembagian keuntungan dibagi antara kedua belah pihak berdasarkan proposional modalnya masing-masing.

Mengenai hal ini dikalangan ulama fiqh tidak terjadi perbedaan pendapat. Namun mereka berbeda pendapat, apakah pembagian keuntungan berdasarkan jumlah modal yang ditanamkan merupakan suatu keharusan atau salah satu alternatif?.

Ulama madzhab Syafi’i dan Maliki berpendapat bahwa pembagian keuntungan berdasarkan prosentase modal yang ditanamkan adalah merupakan suatu keharusan, artinya kedua belah pihak tidak mempunyai pilihan lain untuk menentukan rasio atas pembagian keuntungan selain berdasarkan modal yang diinvestasikan.

Lain halnya dengan ulama madzhab Hanafi dan Hambali, mereka berpendapat bahwa pembagian keuntungan berdasarkan prosentase modal bukan merupakan suatu keharusan, melainkan hanya merupakan suatu alternatif, artinya pembagian keuntungan bisa berdasarkan kesepakatan antara anggota syirkah tanpa memperdulikan prosentase modal yang ditanamkan oleh masing-masing anggota.

e. Pembagian keuntungan dilakukan setiap kali usaha telah menghasilkan laba (keuntungan) (satu kali putaran produksi)

Pada prinsipnya ketentuan ini sama dengan yang diterapkan lembaga pada perjanjian mudharabah, bedanya dalam hal terjadi kerugian.

Jika terjadi kerugian dalam mudharabah, maka lembaga sebagai pemilik modal harus menganggap keuntungan yang diperoleh sebelumnya merupakan bagian dari modal dan mitra usaha (pelaksana) harus mengembalikan keuntungan tersebut untuk menutupi kerugian yang timbul. Sementara dalam musyarakah kedua belah pihak baik lembaga maupun mitra usaha (anggota syirkah yang lain) harus menganggap keuntungan yang telah diperolehnya merupakan bagian dari modal, karena kedua belah pihak sama-sama menanamkan modal.

Mengenai pembagian keuntungan dalam musyarakah sebelum akhir bisnis, tidak ditemukan pembahasan secara rinci yang dikemukakan para ahli fiqh.

Namun demikian, jika dalam mudharabah ulama madzhab Syafi’i membolehkan hal ini, tentu dalam musyarakah hal ini lebih leluasa lagi, karena dalam musyarakah keduanya sama-sama menanamkan modal, dan musyarakah statusnya lebih tinggi dibanding mudharabah. Sebagaimana dikemukakan oleh Ibnu Qudama (pengikut madzhab Hambali) yang dikutip oleh M. Nejatullah Siddiqi.8

f. Keuntungan yang dibagikan adalah pendapatan usaha setelah dikurangi biaya-biaya.

Ketentuan ini akan meringankan kedua belah pihak, dimana biaya-biaya operasional dalam usaha-usaha yang dilakukannya sebagai suatu proses untuk mendapatkan keuntungan tidak ditanggung oleh pribadi, karena keuntungan yang akan diperoleh kedua belah pihak ditimbulkan oleh adanya bisnis yang menggunakan biaya-biaya tersebut.

g. Apabila terjadi kerugian, maka kerugian tersebut ditanggung oleh kedua belah pihak berdasarkan proposional modalnya masing-masing.

Sebagaimana telah dibahas sebelumnya, bahwa kerugian merupakan reduksi dari modal, maka kedua belah pihak, baik lembaga maupun mitra usaha berkewajiban menanggung kerugian tersebut berdasarkan prosentase modal yang diinvestasikannya. Mengenai kerugian ditanggung bersama berdasarkan prosentase modal yang diinvestasikan, dikalangan ulama fiqh tidak terjadi perbedaan pendapat, sebagaimana pernyataan Syaikh Ali Al-Khafif yang dikutip M. Nejatullah Siddiqi berikut ini:

”Kerugian selalu akan dibagi sesuai ukuran terhadap modal sebenarnya. Semua Imam sepakat akan hal ini, meskipun mereka berasal dari kelompok yang berbeda. Jika ada ketentuan yang dipertentangkan dengan prinsip ini maka akan dianggap batal, tidak diberlakukan dan tidak akan dilaksanakan”.9

Penutup

Setelah mengupas beberapa ketentuan yang diberlakukan oleh lembaga diatas, bisa dinyatakan bahwa ketentuan-ketentuan tersebut sesuai dengan hal-hal yang dikemukakan para ahli fiqh.

Namun demikian, bila ditelaah lebih lanjut, dalam pelaksanaannya terdapat penggabungan (pengambilan) hukum dari berbagai pendapat serta madzhab yang berbeda, yang dikenal dengan istilahtalfiq.

Dalam tulisan ini tidak akan diuraikan secara terperinci, melainkan hanya akan dikemukakan tentang talfiq yang ada kaitannya dengan pembahasan diatas (penggabungan ketentuan-ketentuan mudharabah dan musyarakah).

Untuk kepentingan dimaksud, berikut ini dikemukakan pendapat salah seorang pakar yang ahli dalam bidang Ushul Fiqh, yaitu DR. H. Rachmat Syafe’i, Lc.MA. dalam bukunya pengantar Ushul Fiqh Perbandingan.

Dalam pembahasannya tentang talfiq, beliau membagi tiga golongan ulama berdasarkan pendapat yang dikemukakan oleh mereka, yaitu:

1. Golongan yang melarang

2. Golongan yang membolehkan dengan syarat 3. Golongan yang membolehkan tanpa adanya syarat Setelah menguraikan pendapat-pendapat ketiga golongan tersebut berikut alasan-alasannya, kemudian beliau berpendapat bahwa talfiq yang berkaitan dengan individu-individu tidak diperbolehkan bagi orang awam, lain halnya dengan orang yang memilki daya pikir dan

memahami permasalahan fiqh. Alasan ketidakbolehan talfiq bagi orang awam kaitannya dengan individu-individu karena dikhawatirkan membuka pintu peremehan dan lari dari kewajiban-kewajiban.

Sementara kaitannya dengan talfiq yang berhubungan dengan jama’ah beliau berpendapat:

”Akan halnya bila dikaitkan dengan jama’ah, maka apabila dalam hal menerapkan peraturan-peraturan dari fiqh islam itu ada hal yang membolehkan mengikuti yang paling ringan, yang memudahkan para pembuat peraturan itu, untuk mencari hukum yang sesuai dengan kondisi dan lingkungan yang diambil dari kumpulan madzhab-madzhab, maka yang demikian itu jelas baik dilakukan, dan tidak diragukan lagi kebaikannya bila dihubungkan dengan kepentingan jama’ah dan upaya kembali kepada fiqh islam dan bernaung dibawahnya, manakala kita mempersempit gerak orang banyak yang menyebabkan mereka harus mengikuti madzhab tertentu dan yang lainnya mengikuti madzhab yang lain lagi, yang merupakan sikap yang tidak sesuai lagi dengan kondisi dan situasi sekarang. Dalam pada itu Allah juga tidak memerintahkan kepada kita agar menyembahnya mengikuti salah satu madzhab saja, dan menundukkan hukun-hukum kita kepada madzhab tersebut, sedangkan mengikuti hukum yang paling ringan adalah merupakan masalah yang dibicarakan para mujtahid dan pula dalil-dalil yang hukum-hukumnya disimpulkan dari dari pendapat-pendapat ulama. Sikap ini juga lebih baik ketimbang kita kembali kepada perundang-undangan yang asing bagi aqidah dan linkungan kita, untuk itu kita terapkan dalam kehidupan dan lingkungan kita”.10

10

Rachmat Syafe’i, Pengantar Ushul Fiqh Perbandingan, (Piara Bandung, tahun 1994), hal 106-107

Pendapat ini sesuai dengan qaidah fiqhiyah:

ِلا َوْﺣَﻷْا َو ِﺔَﻧِﻛْﻣَﻷْا َو ِﺔَﻧِﻣْزَﻷْا ِرﱡﯾَﻐَﺗِﺑ ِمﺎَﻛْﺣَﻷْا ُرﱡﯾَﻐَﺗ

Artinya: Hukum-hukum itu bias berubah sesuai dengan perubahan zaman, tempat dan keadaan.

Qaidah lain yang bisa dijadikan pertimbangan tentang pelaksanaan ketentuan-ketentuan mudharabah dan musyarakah diatas, antara lain:

ﺎَﮭِﻣْﯾ ِرْﺣَﺗ ﻰَﻠَﻋ ُلْﯾِﻟﱠدﻟا ﱠلُدَﯾ ﻰﱠﺗَﺣ ِﺔَﺣﺎَﺑِﻹَا ِﺔَﻠَﻣﺎَﻌُﻣْﻟا ﻰِﻓ ُلْﺻَﻷَا

Artinya: Asal (pokok) dalam mu’amalah adalah boleh selama tidak ada dalil yang menunjukan keharamannya.

Dengan memperhatikan dan -jika- menyepakati kutipan pendapat diatas, yakni tentang kebolehan talfiq kaitannya dengan kepentingan jama’ah (masholihu al-‘ammah) serta mengacu kepada salah satu qaidah pada dasarnya hukum dalam mu’amalah itu boleh selama tidak ada yang menunjukan keharamannya, maka dapat dinyatakan bahwa pelaksanaan transaksi mudharabah dan musyarakah dengan ketntuan-ketentuan tersebut diatas relevan dan tidak bertentangan dngan hukum islam. Selebihnya diserahkan sepenuhnya kepada pembaca untuk menyikapinya.

Contoh Kasus:

Atas saran dari teman santeri penulis, untuk menambah pemahaman tentang pelaksanaan mudharabah dan musyarakah, berikut ditulis mengenai contoh-contoh kasus teknis pembagian dan penghitungan keuntungan yang disesuaikan dengan modal yang ditanamkan..

Mudharabah

1. Pemilik modal dari 1 (satu) orang dan pelaksana satu orang.

Zaed menyerahkan modal sebesar Rp. 1.000.000,- (satu juta rupiah) kepada Umar untuk diniagakan. Pada saat perjanjian (akad) disepakati bahwa keuntungan akan dibagi 40% untuk Zaed (pemilik modal) dan 60% untuk Umar, dan keuntungan dibagikan setiap usaha setelah mendapatkan keuntungan (1 kali putaran produksi). Jika Untung:

Setelah dilakukan usaha, keuntungan bersih (setelah dikurangi biaya-biaya) yang diperoleh sebesar Rp.

500.000,-Maka keuntungan yang diperoleh masing-masing adalah:

Zaed :40% x Rp. 500.000 = Rp. 200.000,-Umar :60% x Rp. 500.000 = Rp.

300.000,-Dengan keuntungan tersebut, diakhir bisnis uang yang diterima Zaed adalah:

(seluruh modal + bagian)

Jika Rugi:

Pada saat akhir bisnis mengalami kerugian (ingat menentukan kerugian setelah kerjasama mau berakhir/penyerahan modal kepada pemilik) yang bukan diakibatkan oleh kelalaian Umar, maka kerugian tersebut ditanggung oleh Zaed selaku pemilik modal. Untuk mengembalikannya maka komoditi yang ada dijual seluruhnya sehingga menjadi bentuk uang tunai. Dan keuntungan yang telah diperoleh Zaed selama ini dihitung menjadi bagian modal dan yang bagian Umar diserahkan kepada Zaed untuk menutupi kerugian pada modal.

Jika seluruh komoditi telah dijual dan memiliki kelebihan dari Rp. 1000.000,- (modal usaha) maka selebihnya itu dianggap keuntungan dan dibagi sesuai prosentase yang telah disepakati.

2. Pemilik modal terdiri dari beberapa orang dan pelaksana 1 orang

Zaed, Umar dan Bakar bersepakat mengumpulkan modal, kemudian akan diserahkan kepada Husen dengan sistem mudharabah. Modal yang dibutuhkan Husen sebesar Rp. 12.000.000,- (dua belas juta rupiah). Mereka (Zaed, Umar, Bakar) bersepakat bahwa keuntungan akan disesuaikan dengan modal yang diinvestasikan masing-masing.

Rincian prosentase dari modal yang ditanam masing-masing sebesar Rp. 12.000.000,- adalah:

Zaed :40% (Rp. 4.800.000,-) Umar :25% (Rp. 3.000.000,-) Bakar :35% (Rp. 4.200.000,-)+

Selanjutnya uang tersebut diserahkan kepada Husen untuk diniagakan dengan akad mudharabah. Pada saat akad disepakati bahwa keuntungan dibagi 60% untuk pemilik modal (Zaed, Umar, Bakar) dan 40% untuk pelaksana (Husen). Keuntungan dibagikan (dihitung) setiap usaha telah memperoleh laba (satu kali putaran produksi).

Jika untung:

Setelah satu kali putaran produksi, diperoleh keuntungan sebesar Rp.

2.500.000,-Maka cara pembagian keuntungannya: Langkah 1

Dalam dokumen Mudharabah dan Musyarakah kajian teoriti (Halaman 75-121)

Dokumen terkait