• Tidak ada hasil yang ditemukan

Mudharabah dan Musyarakah kajian teoriti

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2018

Membagikan "Mudharabah dan Musyarakah kajian teoriti"

Copied!
121
0
0

Teks penuh

(1)

sebuah kajian teoritis dan praktis

Pengantar

KH. Moch. Ilyas Ruhiat

Udin Sahrudin. HS

U

Diantara nilai-nilai keagamaan yang dikaji melalui kitab kuning di pesantren adalah ilmu fiqh yang didalamnya dibahas mengenai konsep-konsep ekonomi islam (fiqh mu’amalah)

Melalui penerapan konsep ekonomi yang sesuai syari’ah ini diharapkan menjadi entry point dalam menanggulangi kesenjangan sosial yang disebabkan oleh adanya pelaku ekonomi yang terlepas dari kontrol agama, sehingga mengakibatkan terciptanya tatanan dan stratifikasi sosial ekonomi masyarakat yang makin tajam, berkembang dan tak terkendali. Pada kenyataanya justru yang menjadi korban mayoritas umat islam.

Ditingkat masyarakat, peranan pesantren ini akan diambil alih oleh santeri yang sudah muqim (kembali kekampung halaman), sehingga seorang santeri diharapkan mampu menjadi agent of change terhadap perilaku-perilaku masyarakat yang tidak sesuai dengan syari’at, termasuk didalamnya mengenai mu’amalah.

Hal ini didasari atas keyakinan dan kesadaran bahwa setiap muslim dituntut untuk melaksanakan tugas kehambaannya secara utuh, baik bidang ritual (ibadah mahdhah) maupun

sosial (mu’amalah). Pemahaman ini penting, karena

seringkali terjadi adanya anggapan bahwa ritual lebih penting dari mu’amalah, padahal bagaimana mungkin suatu ibadah ritual diterima jika perut kita diisi oleh makanan yang diperoleh dengan cara yang tidak diinginkan syar’i (bathil).

(2)

Kata Pengantar

KH. Moc. Ilyas Ruhiat

Udin Sahrudin. HS

MUDHARABAH DAN MUSYARAKAH

Strategi Bisnis

Kaum Santeri

(3)

MUDHARABAH DAN MUSYARAKAH

Strategi Bisnis Kaum Santeri

sebuah kajian teoritis dan praktis

Penulis

Udin Sahrudin. HS

Pracetak Lela Maulida

Hak Cipta sepebuhnya ada pada penulis Saran penulis :

(4)

ا

ٌثَﻼَﺛ َلﺎَﻗ َمﱠﻠَﺳ َو ِﮫْﯾَﻠَﻋ ُﷲ ﻰﱠﻠَﺻ ﱠﻰِﺑﱠﻧﻟا ﱠن

ُﺔَﺿَرﺎَﻘُﻣْﻟا َو ٍلﺎَﺟَا ﻰَﻟِا ُﻊْﯾَﺑْﻟا ُﺔَﻛَرَﺑْﻟا ﱠنِﮭْﯾِﻓ

ْﻠَﺧ َو

ُﺔ

ِﻊْﯾَﺑْﻠِﻟ َﻻ ِتْﯾَﺑْﻠِﻟ ِرْﯾِﻌﱠﺷﻟﺎِﺑ ﱢرُﺑْﻟا

(5)

iii Pengantar Penulis

Sebagai bagian dari kewajiban kehambaan seorang muslim untuk senantiasa mensyukuri ni’mat yang telah diberikan Allah, maka selayaknya penulis memanjatkan puji dan syukur ke hadirat Allah yang telah memberikan hidayah dan ‘inayah-Nya, sehingga risalah kecil ini dapat terselesaikan.

Shalawat dan Salam semoga tercurah selalu kepada Nabi besar Muhammad Shalallohu ‘Alaihi Wassalam kepada keluaraga dan shabatnya, juga kepada seluruh pengikutnya sampai akhir zaman.

Wab’adu. Penyusunan buku ini dilatarbelakangi oleh adanya sebuah pertanyaan seorang teman penulis mengenai konsep bagi hasil dalam Islam, yakni mengenaimudharabah

dan musyarakah, serta adanya penomena di masyarakat yang seringkali lebih mementingkan ibadah ritual tanpa memperhatikan konsep-konsep keagamaan dalam melakukan usaha bisnisnya.

Penulis pernah mendengar seorang mubaligh mengatakan bahwa seorang yang berprofesi sebagai rentenir sholatnya tidak akan diterima, meskipun secara sah secara fiqh, kaena pakaian yang dikenakannya dihasilkan dengan cara haram. Dari perkataan mubaligh kita ini, jelaslah bahwa baik ibadah ritual (mahdah) maupun social (mu’amalah) memiliki posisi yang sama pentingnya dalam Islam, sehingga seorang muslim dituntut memiliki sifat tawazun

(keseimbangan) dalam hal ini.

Risalah kecil ini menguraikan sekilas tentang konsep dan aturan mengenai bagi hasil system mudharabah dan

(6)

iv

berbagai madzhab, maka jangan heran bila di dalamnya hanya berupa kutipan-kutipan saja. Serta dimuat pula hasil kajian penulis terhadap pelaksanaan bagi hasil di salah satu lembaga pada saat penulis menyelesaikan tugas studynya berupa penyusunan skripsi.

Diyakini dan disasari bahwa risalah kecil ini masih jauh untuk dikatakan lengkap, maka penulis tidak bermaksud memberitahu atau menggurui kepada para pembaca yang budiman, melainkan hanya ingin sekedar mencoba sebuah

proses pembelajaran dalam hal da’wah bil qalam atau paling tidak dapat menjadi rangsangan bagi pembaca untuk lebih mendalami hal-hal yang berhubungan dengan bagi hasil yang sesuai dengan syari’at islam. Karenanya jangan alergi bila dalam buku ini banyak kesalahan-kesalahan, bukankah al-khatau wajibun lil mubtadi (salah merupakan suatu keharusan bagi yang masih belajar/pemula)..? atau bukankah tulislah yang salah maka akan muncul yang benar..?. Pembaca bebas kalau mengomentari hal ini.-sebagai bagian dari pembelaan penulis terhadap kelemahan yang dimilikinya.

Penulis ingin menyampaikan terimakasih yang sebesar-besarnya kepada guru penulis Al-Mukaram Bapak KH. Moc. Ilyas Ruhiat selaku Pimpinan Pondok Pesantren Cipasung yang telah berkenan memberikan kata pengantarnya, sehingga hal ini menjadi motivasi tersendiri bagi penulis, serta menjadikan buku ini sangat berharga baik bagi penulis maupun bagi pembaca.

(7)

v

Terakhir ucapan terimakasih dan penghargaan disampaikan kepada pembaca yang telah bersedia merogoh dompetnya untuk membeli buku ini. Dan kepada pembaca yang meminjam buku ini dari kawannya dan berniat meng-copy-nya, sngatlah bijak jika menghentikan kebiasaan yang kurang bijak itu.

Jika pembaca ingin menyamapaik kritik, penulis sangat terbuka untuk itu, hanya saja mohon maaf bila sebenarnya tujuan penulisan buku ini bukan untuk dikritik semata.

Robbî infa’nâ bimâ ‘allamtanâ wa ‘allimna aladzî yanfa’unâ Robbî faqqihnâ wa faqqih ahlanâ wa qarabâti lanâ fî dîninâ. Amîn yâ rabbal ‘âlamîn.

Tasikmalaya, 25 Dzulqa’dah 1425 H. 6 Januari 2005 M.

(8)

vi Pengantar Penulis (2)

Diinformasikan bahwa risalah yang ada di hadapan pembaca ini merupakan cetakan ke-2, setelah dilakukan perbaikan beberapa tulisan, tanpa mengurangi substansi dari isinya.

Cetakan ke-1 hanya dicetak dengan jumlah yang sangat terbatas, dan lebih diperuntukkan untuk teman-teman penulis.

Terimakasih kepada Panitia Reuni Akbar Pondok Pesantren Cipasung (Juli 2008), yang secara tidak langsung telah mendorong penulis untuk melakukan cetakan ke-2 ini. Seraya berharap semoga para alumni mau merogoh dompetnya untuk membeli buku ini.

Mengantar cetakan ke-2 ini, penulis memohon keikhlasan pembaca untuk mendo’akan Marhum Al-Maghfurllah KH. Ruhiat, Al-Marhum Al-Maghfurllah Moch. Ilyas Ruhiat, serta keluarga besar Pondok Pesantren Cipasung yang telah wafat, semoga senantiasa ada dalam Rahmat Allah SWT. Al-Fatihah...

Tasikmalaya, 4 Jumadilakhir 1429H. 9 Juni 2008 M.

(9)

iii Kata Pengantar

KH. Moch. Ilyas Ruhiat*

Bismillahirrahmanirrohim

Segala puji dan syukur dipanjatkan ke hadirat Allah Subhanahuwata’ala, shalawat dan salam tersurah selalu kepada Nabi besar Muhammad SAW, kepada keluarga dan shabatnya serta semua pengikut ajarannya.

Islam sebagai satu-satunya agama yang bersifat

syâmilah (universal), memiliki ajaran bagi umatnya dalam berbagai aspek kehidupan, termsuk di dalamnya mengenai aturan hokum tentang ber-mu’amalah,

diantaranya konsep bagi hasil dengan jara bekerjasama dalam pengelolaan modal, yakni mudharabah dan

musyarakah.

Buku yang ada di hadapan pembaca ini, disusun oleh salah seorang santeri Pondok Pesantren Cipsung, didalmnya memuat pandangan ulama dari berbagai madzhab tentang aturan-aturan hokum dan tata cara pelaksanaan bagi hasil sistem mudharabah dan

musyarakah.

Buku ini bisa dijadikan salah satu rujukkan bagi para pelaku ekonomi yang ingin menjalankan bisnisnya sesuai syari’at islam. Dengan harapan melalui penerapan konsep-konsep ke-islam-an di berbagai bidang termasuk kegiatan ekonomi, secara bertahap kita bisa menjadi

*

(10)

iv

muslim yang kaffah, sehingga cita-cita luhur islam sebagai agama yangrahmatan lil ’âlamîn bisa terealisir.

Atas nama Pimpinan Pondok Pesantren Cipasung dan secara pribadi, saya menyampaikan penghargaan kepada penulis yang telah berusaha untuk menyusun buku ini, semoga bermanfaat bagi penulis ksususnya dan bagi kita pada umumnya, serta dapat dijadikan motivasi bagi santeri lainnya untuk belajar melakukan da’wah bil qolam. Amîn

Tasikmalaya, 4 Jumadilakhir 1429H. 9 Juni 2008 M.

Pimpinan Pondok Pesantren Cipasung

(11)

DAFTAR ISI

Pengantar Penulis

Kata Pengantar KH. Moch. Ilays Ruhiat Daftar Isi

BAB I

MUQADIMAH

BAB II

TINJAUAN TEORITIS TENTANG MUDHARABAH DAN MUSYARAKAH 1. Mudharabah

Pengertian Mudharabah

Landasan Hukum Mudharabah Ketentuan-ketentuan Mudharabah A. Rukun Mudharabah

B. Syarat Mudharabah

2. Musyarakah

Pengertian Musyarakah

Landasan Hukum Musyarakah Ketentuanketentuan Musyarakah A. Rukun Musyarakah

B. Syarat Musyarakah

BAB III

PELAKSANAAN TRANSAKSI

MUDHARABAH DAN MUSYARAKAH 1. Ketentuan Mudharabah

2. Ketentuan Musyarakah Contoh Kasus

(12)

BAB I

MUQODIMAH

Allah telah menciptakan alam semesta, dan diciptakan-Nya manusia dengan dibekali akal untuk memakmurkan alam semesta ini, sekaligus untuk melaksanakan tugas sebagai khalifah di muka bumi ini. Alam semesta ini Allah tundukan kepada manusia, agar manusia memperoleh sebab-sebab penghidupannya. Dengan bekal akal itulah manusia akan senantiasa memilih dan mencari segala sesuatu yang diinginkan untuk memenuhi kebutuhan hidupnya, baik kebutuhan jasmani (material) maupun rohani (spiritual).

Memiliki keinginan semacam ini telah merupakan naluri dan fitrah manusia, sebagaimana ditegaskan dalam Al-Qur’an surat Ali-Imran ayat 14:

ﱠدﻟا َنِﻣ ِةَرَطْﻧَﻘُﻣْﻟا ِرْﯾِطﺎَﻧَﻘْﻟا َو َنْﯾِﻧَﺑْﻟا َو ِءﺎَﺳﱢﻧﻟا َنِﻣ ِتا َوَﮭﱠﺷﻟا ﱡبُﺣ ِسﺎﱠﻧﻠِﻟ َنﱢﯾُز ِبَھ

ِﺔﱠﺿِﻔْﻟا َو ُنْﺳُﺣ ُهَدْﻧِﻋ ُﷲ َو ﺎَﯾْﻧﱡدﻟا ِةﺎَﯾَﺣْﻟا ُعﺎَﺗَﻣ َكِﻟاَذ ِثْرَﺣْﻟا َو ِمﺎَﻌْﻧَﻷا َو ِﺔَﻣ ﱠوَﺳُﻣْﻟا ِلْﯾَﺧْﻟا َو

ِبﺂَﻣْﻟا

Artinya: Dijadikannya indah pada (pandangan) manusia kecintaan kepada apa-apa yang diingini, yaitu: Wanita-wanita, anak-anak, harta yang banyak dari jenis emas, perak, kuda pilihan, binatang-binatang ternak dan sawah ladang. Itulah kesenangan dunia, disisi Allah lah tempat kembali yang baik (surga).

(13)

Cita-cita ekonomi menurut islam, yakni mampu merubah persaingan yang tidak sehat, egoisme dan monopoli menjadi saling pengertian dan mengeksploitir kekayaan dengan cara terbaik demi kemaslahatan seluruh umat manusia, serta tidak menyimpang dari nilai-nilai kebajikan dan ketaqwaan.

”Ekonomi adalah salah satu ilmu sosial yang bertujuan menerangkan cara-cara menghasilkan, mengedarkan, membagi, memakai barang dan jasa dalam masyarakat. Dan juga bagaimana memperkembangkan cara-cara tersebut agar produksi semakin tumbuh, sirkulasi semakin mudah dan distribusi semakin baik, sehingga kebutuhan-kebutuhan masyarakat bisa terpenuhi sebaik-baiknya, baik sekarang maupun di masa yang akan datang”.1

Berdasarkan depinisi di atas, jelaslah bahwa dalam tatanan kehidupan bermasyarakat,

ekonomi merupakan salah satu gejala yang timbul secara universal. Hal ini berarti bahwa ekonomi tidak dapat dilepaskan keterkaitannya dari kehidupan sosial lainnya, karena hubungan timbal balik yang sangat menentukan itu merupakan kenyataan prinsip yang tidak dapat dihindari. Oleh karena itu, maka aspek hukum yang menyangkut ajaran agama pun harus dilibatkan dalam

pelaksanaannya, dengan harapan munculnya keinginan masyarakat terhadap kegiatan ekonominya selalu didasarkan atas norma-norma agama.

Dalam pandangan agama islam, kegiatan ekonomi bukan semata-mata hanya bertujuan untuk mendapatkan keuntungan materi demi kesenangan duniawi saja, akan tetapi merupakan jembatan bagi tujuan yang lebih besar dan cita-cita yang lebih

1

(14)

luhur, yakni memakmurkan bumi dan untuk mempersiapkan kehidupan insani, sebagai bentuk kepatuhan terhadap perintah Allah, karena meyakini bahwa manusia pasti berdiri dihadapan Penciptanya untuk mempertanggungjawabkan khilafah serta hal-hal yang telah dibaktikan kepada-Nya.

Dengan hal ini diharapkan tercapainya cita-cita ekonomi menurut islam, yakni mampu merubah persaingan yang tidak sehat, egoisme dan monopoli menjadi saling pengertian dan mengeksploitir kekayaan dengan cara terbaik demi kemaslahatan seluruh umat manusia, serta tidak menyimpang dari nilai-nilai kebajikan dan ketaqwaan. Sebagaimana diperintahkan Allah SWT dalam Al-Qur’an surat Al-Maidah ayat 2:

ِنا َوْدُﻌْﻟا َو ِمْﺛﻹا ﻰَﻠَﻋ ا ْوُﻧ َوﺎَﻌَﺗ َﻻ َو ى َوْﻘﱠﺗﻟا َو ﱢرِﺑْﻟا ﻰَﻠَﻋ ا ْوُﻧ َوﺎَﻌَﺗ َو

Artinya: Dan tolong menolonglah kamu dalam hal mengerjakan kebajikan dan taqwa, dan janganlah kamu tolong menolong dalam berbuat dosa dan pelanggaran.

Dalam merealisasikan prinsip ta’awun, islam mengatur cara kerja sama dalam kegiatan ekonomi, diantaranya tentang bagi hasil melalui persekutuan untuk mendapatkan keuntungan dalam hal perniagaan yaituMudharabahdanMusyarakah.

Keijinan konsep bagi hasil ini akan sangat memudahkan manusia, karena kadang-kadang ada sebagian orang yang memiliki modal (kaya), tapi miskin tentang cara (teknik) pengembangannya, dilain pihak ada orang yang tidak memiliki modal (miskin), tapi kaya tentang cara dan kemampuan dalam mengembangkannya.

(15)

ekonomi yang diidealkan islam yakni, kegiatan ekonomi yang berwawasan ethika, tidak eksploratif, hubungan budaya yang tidak dominatif dan proses penciptaan hubungan antara sesama umat (si kaya dan si miskin) yang secara pundamental dapat lebih baik dan harmonis.

Pelaksanaan kegiatan ekonomi dinegara indonesia yang mayoritas penduduknya beragama islam, saat ini justru menghadapi kenyataan bahwa persoalan-persoalan keagamaan mendapat tempat terpenting yang tidak dapat dikesampingkan dalam melaksanakan kegiatan ekonominya. Hal ini menunjukan pentingnya teori-teori ekonomi yang sesuai dengan syari’at islam.

Kenyataan ini menempatkan pesantren pada posisi strategis untuk melakukan kegiatan ekonomi melalui jalur bahasa agama. Penempatan pesantren sebagai salah satu lembaga keagamaan pada posisi strategis ini disebabkan oleh kemampuannya dalam membentuk watak populis dan etik sosial, artinya apa saja yang diajarkan di pesantren sebagai sesuatu yang baik dan terpuji akan dianggap oleh masyarakat sebagai sesuatu yang wajib untuk dilaksanakan, dan apa saja yang diajarkan di pesantren sebagai sesuatu yang buruk dan tercela, akan dianggap oleh masyarakat sebagai sesuatu yang wajib untuk tidak dilaksanakan.

(16)

Sebagai lembaga pendidikan islam, hubungan sosial fsikologis pesantren dengan komunitasnya mempunyai sistem nilai tersendiri yang berbeda dengan sistem lainnya. Sistem nilai yang berkembang mempunyai ciri watak tersendiri, yakni nilai pokok yang tumbuh dan berkembang bahwa seluruh kehidupan dipandang sebagai ibadah.

Dalam perkembangannya, fungsi pesantren bukan saja sebagai lembaga sosial, tugas yang diemban bukan saja sosial agama (baca akhirat), tetapi juga menyikapi soal kemasyarakatan yang diferennsial.

Tugas kemasyarakatan pesantren ini sebenarnya tidak mengurangi tugas keagamaan, karena justru dengan hal inilah penjabaran nilai-nilai yang dikaji dapat diimplementasikan demi kemaslahatan umat.

Diantara nilai-nilai keagamaan yang dikaji melalui kitab kuning di pesantren adalah ilmu fiqh yang didalamnya dibahas mengenai konsep-konsep ekonomi islam (fiqh mu’amalah). Melalui penerapan konsep ekonomi yang sesuai syari’ah ini diharapkan menjadi entry point dalam menanggulangi kesenjangan sosial yang disebabkan oleh adanya pelaku ekonomi yang terlepas dari kontrol agama, sehingga mengakibatkan terciptanya tatanan dan stratifikasi sosial ekonomi masyarakat yang makin tajam, berkembang dan tak terkendali. Pada kenyataanya justru yang menjadi korban mayoritas umat islam.

Ditingkat masyarakat, peranan pesantren ini akan diambil alih oleh santeri yang sudah muqim (kembali kekampung halaman), sehingga seorang santeri diharapkan mampu menjadi

(17)

Hal ini didasari atas keyakinan dan kesadaran bahwa setiap muslim dituntut untuk melaksanakan tugas kehambaannya secara utuh, baik bidang ritual (ibadah mahdhah) maupun

sosial (mu’amalah). Pemahaman ini penting, karena seringkali terjadi adanya anggapan bahwa ritual lebih penting dari mu’amalah, padahal bagaimana mungkin suatu ibadah ritual diterima jika perut kita diisi oleh makanan yang diperoleh dengan cara yang tidak diinginkan syar’i (bathil).

Untuk kepentingan inilah buku ini disusun, yang didalamnya memuat kutipan-kutipan pendapat para ahli fiqh tentang konsep bagi hasil sistem mudharabahdanmusyarakah.

Dengan harapan paling tidak memunculkan rangsangan-rangsangan untuk mengkaji dan menerapkan konsep-konsep ekonomi islam secara mendalam.

Sebagai bahan perbandingan diuraikan tentang ketentuan-ketentuan perjanjianmudharabahdanmusyarakahyang pernah dilakukan oleh salah satu lembaga swadaya masyarakat di Tasikmalaya, tempat dimana penulis pernah melakukan kajian mengenai hal tersebut. Dengan harapan dapat dijadikan gambaran praktis dalam mengimplementasikan kedua konsep bagi hasil ini.

Diakhir pembahasan dimuat pula tentang contoh pembagian keuntungan dan kerugian dalam transaksi

(18)

BAB II TINJAUAN TEORITIS TENTANG MUDHARABAH DAN MUSYARAKAH

Dalam hukum islam terdapat empat konsep bagi hasil yang sering menjadi pembahasan jumhur (kebanyakan) ulama fiqh, yaitu:

1. Muzaro’ah 2. Musyaqah 3. Mudharabah

4. Musyarakah (Syirkah)

Meskipun keempat konsep ini merupakan aturan bagi hasil, namun memiliki konteks yang berbeda-beda, yakni, dua yang pertama (muzaro’ah dan musyaqah) adalah konsep bagi hasil di bidang pertanian, sedangkan dua yang terakhir (mudharabah dan musyarakah) adalah konsep bagi hasil dalam bidang permodalan (perniagaan).

Sebelum melangkah kepada pembahasan lebih lanjut, sebagaimana dikemukakan di awal tulisan ini, konsep bagi hasil yang akan dibahas adalah yang berkaitan dengan perniagaan, yaitu mudharabah dan musyarakah, dengan pertimbangan bahwa dua konsep inilah yang mulai banyak dilakukan masyarakat, namun aturan-aturan hukumnya seringkali terabaikan.

Secara berturut-turut pembahasan mudharabah dan

(19)

1. Mudharabah

Pengertian Mudharabah

Tentang pengertian mudharabah Abdurrahman Al-Jaziri mengemukakan sebagai berikut:

”Mudharabah menurut pengertian etimologi (bahasa) ialah salah satu pernyataan yang mengandung pengertian bahwa seseorang memberikan modal niaga kepada orang lain agar modal itu diniagakan dengan perjanjian keuntungan dibagi antara dua belah pihak sesuai perjanjiannya, sedangkan kerugian ditanggung oleh pemilik modal.

Perkataan ”mudharabah” (ﮫﺑرﺎﻀﻣ) adalah dikeluarkan dari bentuk masdar (بﺮﻀﻟا) yang artinya pergi. Tentang ma’na ini Allah SWT berfirman:

ِضْرَﻻا ﻰِﻓ ْمُﺗْﺑَرَﺿ اَذِإ َو

Artintya: Dan apabila kamu bepergian di muka bumi

Mudharabah juga disebut ”qiradh” (ضاﺮﻗ)dan “muqaradhah”, yang dibentuk dari masdar (ضﺮﻘﻟا)

yang artinya memotong. Mudharabah disebut qairadh atau muqaradhah karena pemilik modal memotong sebagian hartanya agar diniagakan dengan memperoleh sebagian keuntungan, dan demikian juga yang meniagakan memotong sebagian keuntungan pemilik modal yang diperoleh karena usahanya.

(20)

dimana salah satu pihak memberikan harta yang ia miliki kepada pihak lain agar meniagakannya dengan mendapatkan sebagian keuntungan yang ditentukan seperti setengah atau sepertiga atau semisalnya dengan syarat-syarat yang ditentukan.

Yang jelas pengertian di atas seirama dengan pengertian etimologi. Hanya saja dibatasi dengan syarat-syarat yang mengakibatkan sah dan batalnya perjanjian tersebut dalam pandangan syar’i”.1

Sedangkan Sayyid Sabiq mengemukakan tentang pengertian mudharabah sebagai berikut:

”Mudharabah disebut juga mu’amalah. Yang dimaksud disini, ialah: Akad antara kedua belah pihak, salah seorangnya (salah satu pihak) mengeluarkan uang kepada pihak lainnya untuk diperdagangkan/ diniagakan. Dan laba dibagi dua sesuai dengan kesepakatan.”2

Sementara itu seorang ahli fiqh, yaitu Syaikh Zainuddin bin Abdul Aziz al-Malibariy menyebutkan mudharabah dengan sebutan qiradh dan memberikan pengertian sebagai berikut:

”Qiradh yaitu suatu akad penyerahan harta oleh pemiliknya kepada orang lain untuk diperdagangkan dengan keuntungan dimiliki berdua”.3

1

Abdurrahman Al-Jaziri, Al-Fiqh ‘Ala Madzahibil Al-‘Arba’ah, Zuz III (Al-Maktabah Tijariyah Kubra, 1976), hal. 34

2

Sayyid Sabiq, Fiqh Sunnah, Zuz III (Darul Tsaqofah Islamiyah, tanpa tahun). Hal. 147

3

(21)

Setelah menelaah beberapa pendapat para ahli fiqh diatas, kiranya dapat dinyatakan, bahwa mudharabah atau qiradh adalah perjanjian kerjasama (kontrak) antara kedua belah pihak untuk mendapatkan keuntungan dengan bekerjasama dimana salah satu pihak bertindak sebagai pemilik modal (shohibul maal) yang menyerahkan modalnya kepada pihak lain dengan permintaan agar meniagakannya dan pihak penerima modal tersebut bertindak sebagai pengelola (shohibul ’amal). Sedangkan mengenai pembagian keuntungan disesuaikan dengan hasil kesepakatan antara kedua belah pihak pada saat mengadakan perjanjian.

Landasan Hukum Mudharabah

Dalil yang dijadikan landasan tentang pelaksanaan mudharabah atau qiradh adalah ijma’, sebagai mana diuraikan oleh Syaikh Sayyid Sabiq berikut ini:

”Hukum mudharabah jaiz (boleh) menurut ijma’.

Rasulullah Sholallohu ’Alaihi Wasalam pernah melakukan mudharabah dengan Khodijah, dengan modal daripadanya (Khodijah). Beliau (Rasulullah) pergi ke Syam dengan membawa modal tersebut untuk diperdagangkan. Ini sebelum beliau diangkat menjadi Rasul.

Pada zaman Jahiliyah, mudharabah telah ada dan setelah datang islam, maka islam mengakuinya/menetapkannya.

(22)

Rasulullah tidak akan membolehkannya sama sekali (melarang).

Diriwayatkan bahwa Abdullah dan Ubaidillah putra-putra Umar bin al-Khatab. r.a., keluar bersama pasukan Irak. Ketika mereka kembali, mereka singgah kepada bawahan Umar yaitu Abu Musa Al-’Asy’ari, gubernur Bashrah. Ia menerima mereka dengan senang hati dan berkata ”Sekiranya aku dapat memberikan pekerjaan kepada kalian yang bermanfaat, aku akan melakukannya”. Kemudian ia berkata: ”Sebetulnya begini, ini adalah sebagian dari harta Allah yang ingin aku kirimkan kepada Amirul Mu’minin. Aku pinjamkan kepada kalian untuk dipakai membeli barang-barang yang ada di Irak, kemudian kalian jual di Madinah. Kalian kembalikan modal pokoknya kepada Amirul Mu’minin, dengan demikian kalian akan mendapat keuntungannya”. Keduanya lalu berkata: ”Kami senang melakukannya”. Selanjutnya Abu Musa melakukannya, dan menulis surat kepada Umar agar beliau menerima harta dari keduanya. Setelah mereka tiba, mereka menjual dan mendapatkan laba. Umar lalu berkata: ”Adakah semua pasukan telah dipinjamkan uang seperti kamu?”. Mereka menjawab: ”Tidak”. Umar kemudian berkata: ”Dua anak Amirul Mu’minin, karenanya mereka meminjamkan kepada keduanya. Serahkan harta dan labanya”.

(23)

yang hadir di majlis Umar berkata: ”Wahai Amirul Mu’minin, bagaimana sekiranya harta itu anda anggap qiradh?”, Umar lantas menyetujui pendapat ini dan mengambil modal berikut setengah dari labanya”.4

Dalam kitab Subulu as-Salaam dinyatakan Imam Malik menulis dalam kitab Al-Muwatho bahwa seseorang pernah mengelola harta Utsman r.a. dan labanya dibagi antara mereka berdua.5

Selain yang disebutkan oleh Sayyid Sabiq diatas, ada salah satu hadits Rasulullah yang dijadikan dasar hukum mudharabah oleh ulama fiqh, yaitu hadits yang diriwayatkan oleh Ibnu Majah diterima dari Shuhaib r.a.:

ا

ٍلﺎَﺟَا ﻰَﻟِا ُﻊْﯾَﺑْﻟا ُﺔَﻛَرَﺑْﻟا ﱠنِﮭْﯾِﻓ ٌثَﻼَﺛ َلﺎَﻗ َمﱠﻠَﺳ َو ِﮫْﯾَﻠَﻋ ُﷲ ﻰﱠﻠَﺻ ﱠﻰِﺑﱠﻧﻟا ﱠن َ◌ ُﺔَﺿَرﺎَﻘُﻣْﻟا َو ْﻠَﺧ َو

ُﺔ ِﻊْﯾَﺑْﻠِﻟ َﻻ ِتْﯾَﺑْﻠِﻟ ِرْﯾِﻌﱠﺷﻟﺎِﺑ ﱢرُﺑْﻟا

Artinya: “Bahwa Nabi SAW. Telah bersabda: “Ada tiga perkara yang didalamnya terdapat keberkatan (1) menjual dengan pembayaran cicilan (tidak kontan) (2) muqaradhah (nama lain dari mudharabah) dan (3) mencampur gandum untuk keperluan rumah bukan untuk dijual”.6

4

Sayyid Sabiq, op. cit. hal. 148

5Sayyid Al-Imam Muhammad bin Isma’il Al-Kahlany, Subulu as-Salaam Zuz

III, (Dahlan Bandung, tanpa tahun), hal. 77

(24)

Ketentuan-Ketentuan Mudharabah

Yang dimaksud dengan ketentuan-ketentuan mudharabah dalam buku ini meliputi rukun dan syarat mudharabah menurut sebagian fuqaha.

A. Rukun Mudharabah

Sayyid Sabiq berpendapat bahwa rukun mudharabah ada dua yaitu:

1. Ijab 2. Qabul

Dalam hal ini beliau tidak mensyaratkan adanya lafadz (shigat) tertentu, tetapi bisa dengan bentuk apa saja yang menunjukan ma’na mudharabah. Alasannya karena yang dimaksudkan akad adalah tujuan dan ma’nanya bukan lafadz dan susunan kata.

Pendapat Sayyid Sabiq ini. Sama halnya dengan pendapat ulama madzhab Hanafi, sebagaimana diterangkan oleh Abdurrahman Al-Jaziri.7

Sedangkan ulama madzhab Maliki berpendapat rukun mudharabah itu ada lima, yaitu:

1. Modal 2. Pekerjaan 3. Keuntungan

4. Dua orang yang melakukan kerjasama (Al’Aqidani) 5. Shigat (ijab qabul).8

7

Abdurrahman Al-Jaziri, op.cit. hal. 36

(25)

Menurut ulam madzhab Syafi’i, rukun mudharabah ada enam, yaitu:

1. Pemilik modal

2. Modal yang diserahkan 3. Orang yang berniaga 4. Perniagaan yang dilakukan 5. Ijab (pernyataan penyerahan) 6. Qabul (pernyataan penerimaan)9

Menelaah beberapa kutipan diatas terlihat perbedaan pada penentuan jumlah rukun mudharabah diantara para ulama, mengenai hal ini Abdurrahman Al-Jaziri menjelaskan sebagai berikut:

”....bahwa rukun terbagi menjadi dua macam yaitu:

a. Asli (pokok) yaitu sesuatu hal masuk dalam hakikat perkara, ialah ijab qabul

b. Bukan asli (bukan pokok) yaitu suatu hal dimana perkara lain bisa terwujud lantaran terwujudnya hal tersebut.

Orang yang berpandangan dengan rukun pertama, maka ia tentu mengatakan bahwasannya rukun kerjasama (mudharabah) hanyalah ijab qabul semata. Sedangkan orang yang berpandangan dengan rukun kedua, maka ia tentu menghitung rukun-rukun mudharabah sesuai dengan yang disampaikan oleh ulama madzhab Syafi’i. Pandangan seperti ini berlaku pada setiap perjanjian kerjasama”.10

9

Ibid : hal. 44

(26)

B. Syarat Mudharabah

Mengenai pembahasan tentang syarat-syarat mudharabah, di bawah ini akan dikutip sebagian pendapat para ahli fiqh terhadap persyaratan-persyaratan mudharabah tersebut, yang meliputi: Permodalan, keuntungan dan kerugian, pemilik modal, pelaku dan pekerjaan. Hal ini akan diuraikan satu persatu secara terpisah, dengan tidak menutup kemungkinan akan dikutip ketentuan-ketentuan lain menurut para ahli, meskipun mereka tidak memasukannya secara langsung kepada persyaratan mudharabah.

1. Permodalan

Untuk kesahan mudharabah Sayyid Sabiq memberikan syarat-syarat terhadap permodalan, antara lain:

a. Modal harus berbentuk uang tunai, jika berbentuk emas atau perak yang masih batangan, atau masih berbentuk barang, maka tidak sah.

b. Modal harus diketahui dengan jelas, agar dapat dibedakan antara modal dan keuntungan.11

Sementara itu selain dua syarat diatas, ulama madzhab Hanafi mensyaratkan bahwa:

a. Modal itu harus benar-benar berada dipihak pemilik modal, karena itu tidak sah mudharabah dengan modal hutang yang ada pada penerima modal. Lain halnya bila modal itu berada di tangan orang lain (bukan penerima modal),

(27)

kemudian orang yang memiliki modal tersebut memerintahkan kepada penerima modal untuk mengambil harta tersebut dan meminta untuk melakukan mudharabah, maka perjanjian itu sah, dengan syarat modal tersebut ditentukan jumlahnya dan harus diterima seluruhnya (sesuai jumlah yang telah ditentukan)

b. Modal tersebut diserahkan kepada penerima modal, sehingga ia (penerima) mendayagunakannya. Bila keduanya mendayagunakannya maka perjanjian itu batal.12

Mengenai jenis modal, ulama madzhab Hambali membatasi, bahwa modal hanya berupa emas dan perak yang telah distempel raja. Maka tidak boleh dengan mata uang selain emas dan perak.13Demikian juga dengan ulama madzhab Syafi’i, namun demikian ada juga sebagian ulama madzhab Syafi’i yang membolehkan dengan mata uang yang terbuat dari tembaga yang sudah dijadikan alat tukar menukar kebutuhan hidup seperti emas dan perak.14

Mengomentari tentang jenis modal yang akan diniagakan, Ibnu Rusyd mengemukakan:

”Para ulama sepakat bahwa mudharabah boleh dengan uang emas (dinar) dan uang perak (dirham). Kebanyakan (jumhur) ulama di berbagai tempat berpendapat mudharabah dengan barang tidak boleh, sementara Ibnu Abi Laili membolehkannya.

12Abdurrahman Al-Jaziri, op.cit. hal. 36 13

iIbid : hal. 43

(28)

Adapun alasan jumhur, bahwa bila modal berbentuk barang, maka mencakup barang lain yang seharga dan ada pula barang yang serupa namun harganya berbeda, maka modal dan keuntungan akan menemui kesamaran”.15

2. Keuntungan dan Kerugian

Keuntungan

Sayyid Sabiq mengemukakan syarat mudharabah yang berhubungan dengan keuntungan, hanya satu syarat saja, yaitu: Bahwa keuntungan yang menjadi milik kedua belah pihak harus jelas prosentasenya, seperi setengah, sepertiga, atau seperempat.16

Hal ini berarti bahwa menentukan keuntukan tidak boleh disebutkan dalam nilai uang (nominal), melainkan penyebutannya (penentuannya) masih berbentuk serikat.

Mengenai hal ini ulama dari empat madzhab sepakat, sebagaimana dikemukakan oleh DR. M. Netajullah Siddiqi sebagai berikut:

”Keempat imam ahli fiqh menyetujui bahwa baik dalam mudharabah ataupun syirkah, pembagian keuntungan tidak boleh ditetapkan dengan jumlah yang tetap (nilai uang), juga dalam hal yang sama dalam mudharabah pihak-pihak tersebut boleh menentukan berapapun jumlah keuntungan dengan adanya perjanjian bersama”.17

15

Ibnu Rusyd, Bidayatul Hidayah, Zuz II (Darul Ihya, tanpa tahun), hal. 178

16Sayyid Sabiq, op. cit. hal. 149 17

(29)

Dari pernyataan di atas dipahami bahwa kedua belah pihak tidak boleh menentukan jumlah keuntungan dengan nilai uang pasti sekecil apapun (seperti satu juta atau lainnya), namun kedua belah pihak diberi kebebasan untuk menentukan jumlah keuntungan dalam bentuk serikat, seperti setengah, sepertiga dan seperempat, sesuai dengan kesepakatan bersama.

Dalam hal ini Ibnu Munjir, sebagaimana dikutip oleh Sayyid Sabiq mengemukakan:

”Semua yang ilmunya kami pelihara sependapat untuk membatalkan qiradh, apabila salah satu pihak atau kedua belah pihak menjadikan dirham tertentu untuk dirinya”.18

Setelah terjadi kesepakatan pembagian keuntungan, tidak diperbolehkan salah satu pihak mensyaratkan adanya keuntungan lebih (tambahan) dari bagian yang telah ditentukan. Mengenai hal ini di kalangan ulama tidak terjadi perbedaan pendapat.19

Lain halnya bila si pelaku mensyaratkan bahwa seluruh keuntungan diserahkan baginya (si pelaku), dalam hal ini ulama berbeda pendapat, sebagaimana dijelaskan oleh Ibnu Rusyd berikut ini:

”....Imam Malik mengatakan boleh, dan Imam Syafi’i mengatakan tidak boleh, sementara Abu Hanifah berpendapat bahwa hal itu termasuk qardh (hutang) bukan qiradh (mudharabah). Adapun alasan Imam Maliki

18

Sayyid Sabiq, op. cit. hal 149

(30)

menganggap bahwa hal itu berupa kebaikan dari si pemilik harta, karena dia (pemilik modal) boleh mengambil sebagian kecil dari harta yang banyak. Imam Syafi’i beralasan bahwa dalam hal itu ada bahaya (merugikan), karena bila terjadi kerugian harus ditanggung oleh pemilik modal, dan dengan hal ini jelas berbeda dengan qardh (hutang) dan seandainya ada keuntungan si pemilik modal tidak mendapatkan apa-apa (keuntungan), dalam hal ini ada keanehan”.20

Pembagian keuntungan

Ketentuan lain yang berkaitan dengan keuntungan yaitu tentang pengambilan keuntungan oleh pekerja. Mengenai hal ini Ibnu Rusyd mengemukakan:

”Tidak terdapat perbedaan pendapat dikalangan ulama fiqh tentang pihak yang bekerja dengan modal yang diperoleh melalui mudharabahnya boleh mengambil bagian atas keuntungan tersebut, apabila semua modal yang ditanamkannya itu telah dialihkan ke dalam bentuk uang tunai, apabila dalam hal terjadi kerugian dan ia akan melanjutkan pekerjaan sampai memperoleh keuntungan, maka keuntungan tersebut pertama-tama digunakan untuk menutupi kerugian yang timbul”.21

20

ibid : hal 179

(31)

Para ahli fiqh sepakat bahwa keuntungan dan kerugian yang sebenarnya bagi pihak-pihak tersebut ditetapkan pada akhir bisnis.22

Namun para ahli fiqh berbeda pendapat tentang diperbolehkan atau tidaknya bila membagi keuntungan yang ada sebelum bisnis berakhir atau sebelum seluruh modal diserahterimakan kepada pemilik modal. Dalam hal ini ulama madzhab Syafi’i membolehkan, sebagaimana dijelaskan oleh Abdurrahman Al-Jaziriy berikut ini:

”Ulama madzhab Syafi’i menjelaskan bahwa membagi keuntungan sebelum modal diserahkan kepada pemiliknya adalah sah. Hanya saja bila keuntungan dibagi sebelum dijualnya seluruh komoditi dan sebelum berubahnya modal dari komoditi menjadi uang emas atau perak, maka kepemilikan terhadap keuntungan itu belum stabil (bersifat sementara)”.23

Sementara itu ulama madzhab Hanafi dan Hambali menganggap tidak sah terhadap pembagian keuntungan sebelum akhir bisnis.24

Adanya perbedaan pandangan terhadap sah dan tidaknya pembagian keuntungan sebelum akhir bisnis (modal dikembalikan kepada pemilik) menimbulkan perbedaan pendapat mengenai status hukum keuntungan yang telah diambil (dibagikan). Menurut madzhab Syafi’i bagian keuntungan yang sudah diambil bersifat sementara, artinya bila diakhir bisnis

22M. Nejatullah Siddiqi, op. cit. hal. 27 23

Abdurrahman Al-Jaziri, op.cit. hal. 61

(32)

terjadi kerugian pada modal, maka keuntungan yang ada pada si pelaku dikembalikan sebagiannya untuk menutupi kerugian, dan bagian yang diterima si pemilik modal dianggap sebagai modal, namun demikian dengan menganggap sah terhadap pembagian sebelum akhir bisnis, maka si pelaku tetap memiliki keuntungan tersebut dalam kesementaraannya.25

Sedangkan ulama madzhab Hanafi dan Hambali dengan menganggap tidak sah terhadap pembagian keuntungan sebelum akhir bisnis, maka si pelaku tidak boleh memiliki keuntungan tersebut sebelum pengembalian modal (akhir bisnis), artinya pembagian tersebut ditangguhkan lebih dulu sampai pengembalian modal pada pemilik dan si pelaku menggunakan keuntungan sementara tersebut (tanpa memiliki).26

Terkait dengan hal ini Ibnu Qudama, sebagaimana dikutip M. Nejatullah mengemukakan:

”Mengenai persoalan tentang hak mitra usaha pelaksana terhadap bagiannya dari keuntungan seiring dengan bertambahnya keuntungan tersebut, bahkan sebelum pengembalian (modal) menurut pendapat kami yang dominan harus ditetapkan”.27

25ibid : hal. 61 26

ibid : hal. 61 dan 62

(33)

Angsuran pengembalian modal

Ketentuan lain yang berkaitan dengan masalah keuntungan adalah bila pemilik modal meminta pengembalian modal secara angsuran, dalam hal ini ulama madzhab Syafi’i mengemukakan:

”Apabila pemilik modal meminta kembali sebagian dari uang modalnya sebelum jelasnya keuntungan dan kerugian, maka demikian itu tidaklah mengapa. Dan modalnya berarti tinggal sisanya setelah ia minta sebagiannya. Atau seandainya ia minta kembali sebagian modalnya setelah tampak keuntungan, maka yang diminta itu dianggap sebagian dari modalnya dan sebagian dari keuntungannya dengan prosentase modalnya”.28

Pada prinsipnya dalam hal ini tergantung kepada kesepakatan antara kedua belah pihak, sebagaimana ditulis oleh Abu Bakar Jabir berikut ini:

”Keuntungan tidak boleh dibagikan selama akad masih berlangsung (sebelum akhir bisnis), kecuali atas kesepakatan kedua belah pihak”.29

Kerugian

Mengenai kerugian pada saat bisnis berlangsung, maka si pelaku tidak bertanggung jawab, kecuali kerugian tersebut karena kesalahannya. Dalam hal ini Ibnu Rusyd mengemukakan:

28Abdurrahman Al-Jaziri, op.cit. hal. 62 29

(34)

”Tidak ada perbedaan pendapat berkaitan dengan masalah validitas mudharabah, bahwa si pelaku tidak dibebani tanggung jawab bila terjadi kerugian dari modal yang sebenarnya, bila kerugian tersebut tidak diakibatkan oleh kesalahannya”.30

Tentang batasan kerugian Syamsudin As-Sarkhasi, sebagaimana dikutip oleh M. Nejatullah mengemukakan:

”kerugian itu merupakan kehancuran modal”.31

Alasan kerugian tersebut tidak dibebankan kepada pelaku, karena kerugian merupakan reduksi dari modal sehingga pertanggung jawabannya harus dikembalikan kepada pemilik modal.

Bila kerugian terjadi

karena kesalahan/kelalaian si pelaku, seperti menyalahi aturan yang telah disepakati, maka ia wajib mengganti modal tersebut.

3. Pemilik Modal

Dalam hal persyaratan yang berkaitan dengan pemilik modal, semua ahli fiqh sepakat tentang keharusan pemilik modal adalah orang yang telah

30

Ibnu Rusyd, op. cit. hal. 178

31M. Nejatullah Siddiqi, op. cit. hal. 15

(35)

mampu meniagakan (jaizu tasharuf), dan syarat ini menjadi syarat utama dalam setiap perniagaan, demikian juga bagi si pelaku.

4. Pelaku Niaga (pelaksana)

Selain si pelaku harus seseorang yang mampu berniaga (jaizu tasharuf), ada ketenuan lain yang berhubungan dengan pelaksana, yaitu tentang kedudukan dia setelah mengadakan perjanjian dan diserahi modal. Mengenai hal ini Sayyid Sabiq menjelaskan:

”Jika akad telah berlangsung dan pelaksana sudah memegang harta (modal) maka segala tindakan pelaksana itu menjadi amanat. Ia tidak berkewajiban menjamin kecuali dengan sengaja. Dan jika terjadi kerugian tanpa disengaja maka sedikit pun ia tidak berkewajiban apa-apa. Selain itu ucapan yang dipegang adalah ucapannya (pelaksana) yang disertai sumpah jika dituduh menyia-nyiakan harta atau terjadi kerugian. Karena persoalan pertama tidak ada pengkhianatan”.32

Karena si pelaku bertindak sebagai pemegang amanat, menurut Abu Bakar Jabir seorang pelaksana mudharabah harus seorang muslim, sebab seorang muslim selain dapat menjaga amanat juga dapat menjauhi usaha-usaha yang dilarang oleh syara’, jelasnya beliau menulis :

”Mudharabah harus dilakukan diantara dua orang muslim yang telah mampu berniaga

(36)

(usaha), tetapi tidak mengapa dilakukan antara muslim dan kafir dengan ketentuan bahwa harta dari orang kafir dan pelaku orang muslim, karena seorang muslim tidak dikhawatirkan atasnya riba, dan tidak pula harta yang haram”.33

5. Pekerjaan

Terjadi perbedaan pendapat mengenai pekerjaan yang dilakukan pelaku mudharabah itu bersifat mutlaq (tanpa syarat-syarat tertentu) atau muqayyad (terikat). Untuk mengetahui hal ini, berikut pendapat dan penjelasan Sayyid Sabiq:

”Mudharabah itu bersifat mutlaq, pemilik modal tidak mengikat pelaksana (pekerja) untuk berdagang di negara tertentu atau memperdagangkan barang tertentu, atau berdagang pada waktu tertentu, sementara di waktu lain tidak, atau ia hanya bermu’amalah kepada orang-orang tertentu dan syarat-syarat lain semisalnya. Karena persyaratan yang mengikat seringkali dapat menyimpangkan tujuan akad, yaitu keuntungan. Karena itu harus tidak ada persyaratannya, tanpa itu mudharabah menjadi fasid. Demikian menurut madzhab Maliki dan As-Syafi’i.

Adapun Abu Hanifah dan Ahmad, keduanya tidak mensyaratkan syarat tertentu, mereka mengatakan: ”Sesungguhnya sebagaimana mudharabah menjadi sah dengan mutlaq, sah pula dengan muqayyad (terikat)”. Dalam

33

(37)

keadaan mudharabah muqayyad pelaksana tidak boleh melewati syarat-syarat yang telah ditentukan, jika ketentuan itu dilanggar maka ia wajib menjaminnya”.34

Dari pernyataan di atas ditemukan bahwa Abu Hanifah dan Ahmad membolehkan mudharabah muqayyad, namun demikian, dalam hal persyaratan-persyaratan pemilik modal, ulama madzhab Hanafi memberi batasan berikut ini:

”Pemilik modal tidak boleh mensyaratkan satu syarat yang tidak ada faedahnya. Seperti ia melarang pelaku niaga menjual dengan harga tunai. Syarat seperti itu tidak boleh dilaksanakan, sebab syarat itu justru membahayakan keuntungan, sedangkan pelaku niaga merupakan yang berpartisipasi adanya”.35

Demikian juga ulama madzhab Hambali, meskipun mereka membolehkan mudharabah muqayyad dengan memakai persyaratan-persyaratan tertentu, namun mereka memberikan batasan tentang syarat-syarat yang tidak boleh dilaksanakan, berikut ini kutipan Abdurrahman Al-Jaziriy tentang hal itu :

”Ada beberapa macam syarat yang tidak membatalkan perjanjian (mudharabah), namun merupakan persyaratan-persyaratan yang batal dan tidak boleh dilaksanakan, yaitu:

a. Mensyaratkan hendaknya bagian pemilik modal dari segi kerugian lebih banyak dari segi keuntungan

34

Sayyid Sabiq, op. cit. hal. 149

(38)

b. Mensyaratkan hendaknya pemilik modal diperbolehkan mengambil manfaat barang-barang yang dibeli oleh pelaku niaga

c. Mensyaratkan hendaknya tetap berlangsung terus persekutuan kerjasama antara kedua belah pihak dalam jangka waktu yang ditentukan sehingga salah satu pihak tidak bisa membatalkan

d. Pemilik modal melarang pada sekutu niaga, artinya membatasinya dalam pendayagunaan modal seperti ia mensyaratkan hendaknya pelaku niaga tidak melakukan jual beli kecuali dengan barang dagangan tertentu, atau tidak membeli komoditi kecuali dari si fulan saja.

Itu semua adalah syarat-syarat yang batal. Tidak boleh dilestarikan dan tidak boleh dilaksanakan. Tapi perjanjian kerjasama tetap berlangsung sesuai dengan keadaannya. Kerjasama perniagaan ini juga sah dibatasi dengan waktu”.36

Alasan yang berpendapat bahwa pekerjaan mudharabah tidak boleh dibatasi dengan waktu, karena mudharabah merupakan akad jaiz yang boleh memfasakhkan kapan saja, demikian pendapat Sayyid Sabiq.37 Namun bila melihat pernyataan di atas tentang syarat-syarat yang tidak boleh dilaksanakan menurut ulama madzhab Hambali, yaitu point c (batalnya persyaratan berupa tidak boleh memfasakhkan), menunjukan bahwa dengan

36ibid : hal. 43 - 44

(39)

dibatasi jangka waktu bukan berarti tidak boleh memfasakhkan kapan saja.

Me-mudharabah-kan harta mudharabah

Ketentuan lain yang berhubungan dengan pekerjaan mudharabah, yaitu bila si pelaksana me-mudharabah-kan harta mudharabah yang diterimanya dari pemilik modal. Mengenai hal ini Sayyid Sabiq menganggap suatu pelanggaran.38

Mengomentari tentang pelaksana me-mudharabah-kan harta mudharabah, Ibnu Rusyd mengemukakan:

”Dikalangan para fuqoha yang termashur di kota-kota tidak ada perselisihan pendapat, bahwa kalau seseorang pelaksana menyerahkan harta qiradh kepada orang lain, maka dia harus menanggung bila terjadi kerugian. Tapi kalau laba (untung), maka laba itu (dibagi dengan pemilik modal) menurut syarat dia (dengan pelaksana pertama). Kemudian untuk pelaksana kedua diberi bagian sesuai dengan syarat dia (pelaksana kedua) dengan pelaksana pertama yang telah menyerahkan harta kepadanya. Barulah kepada pelaksana pertama diberikan bagian dia, yaitu laba selebihnya dari harta itu”.39

Mengenai hal ini Abu Bakar Jabir berpendapat:

”Bagi pelaksana tidak boleh memudharabahkan harta kepada orang lain

38

ibi: hal 149

39

(40)

(pelaksana kedua), apabila menimbulkan kerusakan pada harta modal tersebut, kecuali ada ijin dari pemilik modal (yang menyerahkan modal pertama kepada pelaksana pertama), dengan alasan haramnya menimbulkan madharat (kerusakan) sesama muslim”.40

Nafakah Pelaksana

Ketentuan lain adalah dalam mengerjakan (meniagakan) harta mudharabah, dalam hal ini Sayyid Sabiq berpendapat bahwa nafakah (bekal) pelaksan diambil dari hartanya sendiri baik selagi muqim (tidak bepergian) ataupun pada saat bepergian, adapun alasan beliau, karena nafakah terkadang sama besarnya dengan jumlah keuntungan, sehingga jika pelaksana mengambil nafakah berarti ia mengambil seluruh keuntungan, maka pemilik modal tidak akan kebagian keuntungan, padahal keuntungan merupakan syarat utama dalam mudharabah. Namun demikian beliau (Sayyid Sabiq) juga membolehkan pelaksanaan mengambil nafakah bila ada ijin dari pemilik modal.

Lebih jelasnya mengenai hal ini, berikut kutipan Ibnu Rusyd:

”Terjadi perbedaan pendapat dikalangan ulama, apakah si ’amil (pelaksana) ada nafakah dalam harta modal atau tidak?, dalam hal ini ada tiga pendapat:

1. As-Syafi’i dalam pendapatnya yang paling kuat berkata: ”Pada pokoknya (ashal) tidak

(41)

ada nafakah bagi pelaksana, kecuali ada ijin dari pemilik modal”.

2. Sekelompok orang (qaum) berkata: ”bagi pelaksana ada nafakah”. Yang mendukung pendapat ini antara lain, Ibrahim An-Nakho’i dan Hasan salah seorang pemikir dari kalangan Madzhab Syafi’i.

3. Ulama yang lain berkata: ”Bagi pelaksana ada nafakah untuk makanan dan pakaian dalam perjalanan, tapi tidak ada (nafakah) pada waktu hadir (muqim)”. Hal ini dikatakan oleh Imam Malik, Abu Hanifah, Ats-Tsauriy dan jumhur ulama, hanya saja Imam Malik mengatakan: ”Bila memungkinkan untuk itu (ada keluangan untuk nafakah)”. Dan As-Tsauriy berkata: ”Nafakah pada waktu berangkat tetapi tidak pada saat pulang”.41

Dari beberapa kutipan diatas, baik dalam hal si pelaksana memudharabahkan harta (modal) mudharabah ataupun tentang nafakah pelaksana, kebolehannya tergantung atas ijin dari pemilik modal.

Fasakh (pembatalan akad)

Pembahasan lain yang berkaitan dengan mudharabah adalah tentang fasakhnya (pembatalan) mudharabah. Selain karena salah seorang dari kedua belah pihak (pemilik modal dan pelaksana) memfasakhkannya, ada sebab lain yang bisa mengakibatkan fasakhnya mudharabah.

(42)

Mengenai fasakhnya mudharabah, Sayyid Sabiq mengemukakan:

”Mudharabah menjadi batal karena hal-hal dibawah ini:

1. Tidak terpenuhinya syarat sahnya mudharabah.

Jika ternyata salah satu syarat mudharabah tidak terpenuhi sedang pelaksana sudah memegang modal dan sudah diperdagangkan, maka dia (pelaksana) berhak mendapatkan sebagian upahnya, karena tindakannya berdasarkan ijin dari pemilik modal.

Jika terdapat keuntungan, maka untuk pemilik modal, demikian juga kerugianpun menjadi tanggungannya. Karena pelaksana tak lebih hanya sebagai orang bayaran (ajir) dan seorang bayaran tidak terkena kewajiban menjamin, kecuali hal itu atas kesengajaannya.

2. Bahwa jika pelaksana bersengaja tidak melakukan tugas sebagaimana mestinya dalam memelihara modal atau melakukan sesuatu yang bertentangan dengan tujuan akad. Dalam keadaan seperti ini pelaksana wajib menjamin modal jika rugi.

3. Salah seorang dari kedua belah pihak meninggal dunia”.42

Tentang fasakh yang diakibatkan oleh meninggalnya salah seorang dari kedua belah pihak,

(43)

Ali Al-Khafif sebagaimana dikutip oleh M. Nejatullah berpendapat:

”Ketika seorang mitra usaha meninggal dunia, maka pengembangan sahamnya dalam kemitraan dan usahanya berakhir, demikian bagian tersebut diserahkan kepada ahli waritsnya, dan kontrak yang telah dilakukan dengan almarhum menjadi terhapus. Ini adalah ketentuan dari kasus kematian dari pemilik modal atau mitra usaha dalam mudharabah”.43

Dalam kasus yang meninggal dunia adalah pemilik modal, maka pelaksana tidak boleh menggunakan modal tersebut jika ia menggunakannya padahal ia tahu bahwa pemilik modal sudah meninggal dan tanpa ijin ahli waritsnya, maka perbuatan itu dianggap sebagai ghasab (merampas) dan ia wajib menjaminnya.44

Perselisihan

Masalah lain yang berkaitan dengan pekerjaan mudharabah adalah jika terjadi perselisihan antara kedua belah pihak. Perselisihan ini bisa terjadi dalam hal kesepakatan pembagian keuntungan atau hal lain seperti terjadi kerugian, sehingga pelaksan dituduh melakukan penghianatan.

Bila terjadi perselisihan dalam pembagian keuntungan yang telah disepakati sebelumnya, Abu Bakar Jabir Al-Jazairiy berpendapat:

43

M. Nejatullah Siddiqi, op. cit. hal. 107

(44)

”Bila ada perselisihan antara kedua belah pihak dalam pembagian yang telah disyaratkan/disepakati, apakah seperempat atau sepertiga misalnya, maka yang diterima pernyataan pemilik modal disertai sumpah”.45

Lain halnya bila perselisihan itu terjadi dalam hal pengelolaan modal, seperti terjadinya kerugian tanpa disengaja, sementara si pelaksana dituduh menyia-nyiakan harta modal, maka dalam hal ini yang diterima adalah perkataan pelaksana dengan disertai sumpah.46

Demikian tentang rukun dan syarat tentang ketentuan-ketentuan yang berkaitan dengan mudharabah.

2. Musyarakah (Syirkah)

Pengertian Musyarakah

Sebelum menguraikan lebih jauh tentang musyarakah, perlu dijelaskan bahwa sebutan musyarakah adalah nama lain dari syirkah yang sering digunakan oleh para pelaku ekonomi islam sekarang, sementara para ulama fiqh terdahulu lebih banyak menggunakan kata syirkah. Maka untuk lebih memudahkan pembahasannya akan menggunakan kata syirkah, hal ini disesuaikan dengan buku atau kitab fiqh yang dijadikan rujukan.

Mengenai pengertian syirkah Abdurrahman Al-Jaziriy mengemukakan sebagai berikut:

45

Abu Bakar Jabir Al-Jaziriy, op. cit. hal. 318

(45)

”Syirkah atau kadang-kadang dikatakan syarikah tetapi yang lebih fasih adalah yang pertama, sehingga sebagian ulama mengatakan yang berlaku hanya perkataan syirkah. Menurut pengertian etimologi (bahasa), syirkah ialah mencampurkan salah satu dari macam harta dengan harta yang lainnya, sehingga tak dapat dibedakan antara keduanya”.47

Sedangkan untuk mengetahui pengertian syirkah secara terminologi (istilah) perlu dipisahkan satu persatu, hal ini disesuaikan dengan macam-macam syirkah yang berbeda-beda dan memiliki pengertian yang berbeda-beda pula. Dibawah ini akan diuraikan tentang macam-macam syirkah menurut sebagian ahli fiqh, berikut pengertiannya masing-masing.

Syaikh Sayyid Sabiq mengemukakan tentang syirkah sebagai berikut:

”Macam-macam syirkah: Syirkah ada dua macam: 1. Syirkah Amlak 2. Syirkah ‘Uqud

Syirkah amlak ialah, bahwa lebih dari satu orang memiliki sesuatu jenis barang tanpa akad”.48

Pembagian syirkah menjadi dua macam ini sama dengan pendapat madzhab Hanafi sebagaimana yang ditulis oleh Abdurrahman Al-Jaziriy.49

47Abdurrahman Al-Jaziriy, op. cit. hal. 61 48

Sayyid Sabiq, op. cit. hal. 202

(46)

Dalam tulisan ini tidak akan diuraikan tentang

syirkah amlak, melainkan hanya menguraikan tentang syirkah yang menggunakan akad(syirkah ’uqud)saja.

Tentang pengertian syirkah ’uqud Sayyid Sabiq mengemukakan:

”Syirkah ’uqud yaitu bahwa dua orang atau lebih melakukan akad untuk menggabungkan dalam suatu kepentingan harta dan hasilnya berupa keuntungan.

Macam-macam Syirkah ’uqud: 1. Syirkah ’Inan

2. Syirkah Mufawadhah 3. Syirkah Abdan 4. Syirkah Wujuh”.50

Tidak semua para ahli fiqih mengkatagorikan syirkah menjadi syirkah amlak dan syirkah ’uqud seperti Sayyid Sabiq, namun demikian mereka sepakat tentang empat macam syirkah yang disebut oleh Sayyid Sabiq sebagai bagian dari syirkah ’uqud. Hal ini seperti dikemukakan oleh Ibnu Rusyd sebagai berikut:

”Para ahli fiqih ternama menyimpulkan bahwa syirkah itu ada empat macam, yaitu Syirkah ’Inan, Syirkah Mufawadhah, Syirkah Abdan, dan Syirkah Wujuh”.51

Tentang pengertian keempat macam syirkah tersebut, dibawah ini dikutip sebagian pendapat ahli fiqih.

50

Sayyid Sabiq, op. cit. hal. 202

(47)

1. Syirkah ’Inan

Dr. Ahmad Muhammad Al-’Assal dan Dr. Fathi Ahmad Abdulkarim mengemukakan :

”Syirkah ’Inan ialah, dua orang atau lebih mengumpulkan hartanya dan mengerjakannya bersama-sama, dan labanya dibagi diantara mereka yang mengerjakan harta kumpulan tersebut, dengan syarat dia mendapat laba lebih dari ukuran hartanya sendiri sesuai dengan tertib administrasi dan kerjanya”.52

Syaikh Sayyid Sabiq mengemukakan sebagai berikut:

”Syirkah ’Inan adalah persekutuan dalam urusan harta oleh dua orang, bahwa mereka akan memperdagangkannya dengan keuntungan dibagi dua”.53

Sedangkan menurut Prof. Drs. H. Masjfuk Zuhdi syirkah ’inan itu ialah:

”Kerja sama antara dua orang atau lebih dalam permodalan untuk suatu bisnis atas dasar

profit and loss sharing (membagi untuk rugi) sesuai dengan modal masing-masing”.54

Dengan memperhatikan pendapat para ahli tentang definisi syirkah ’inan di atas, dapat dinyatakan bahwa syirkah ’inan adalah akad

52

Dr. Ahmad Muhammad Al-’Assal dan Dr. Fathi Ahmad Abdulkarim, Sistem Ekonomi Islam dan Tujuan-tujuannya (PT. Bina Ilmu Surabaya). Hal. 210

53

Sayyid Sabiq, op.cit. hal 210

(48)

(perjanjian) antara dua orang atau lebih untuk melakukan suatu usaha (bisnis) dengan cara menyatukan harta, dimana harta tersebut dijadikan modal bersama agar mendapatkan keuntungan bagi kedua belah pihak sesuai dengan perjanjian, dalam hal besar atau kecilnya keuntungan yang diperoleh masing-masing kedua belah pihak, disesuaikan dengan besar kecilnya modal yang ditanamkan, demikian juga bila terjadi kerugian.

Adapun tentang pengelolaan (meniagakan) modal tersebut, bisa dilakukan secara bersama-sama oleh kedua belah pihak atau salah satu pihak dari mereka, dengan syarat orang yang mengusahakannya mendapat keuntungan lebih dari ukuran modalnya sendiri, disesuaikan dengan tertib administrasi yang disepakati oleh kedua belah pihak.

2. Syirkah Mufawadah

Terkait dengan Syirkah Mufawadah, ulama madzhab Hambali sebagaimana dikutip oleh Abdurrahman Al-Jaziriy, memberikan definisi sebagai berikut:

”Syirkah Mufawadah ialah berserikat dalam mengembangkan harta dengan cara menetapkan masing-masing anggota sebagai ganti teman serikatnya dalam hal membeli, menjual, bekerjasama niaga, mewakilkan, menjual dengan hutang, menawar (transaksi), menggadai menerima gadai, menjamin dan lain sebagainya”55

(49)

Lain halnya dengan Syeikh Sayyid Sabiq, beliau mengemukakan tentang syirkah Mufawadah sebagai berikut :

”Syirkah Mufawadah adalah bergabungnya dua orang atau lebih untuk melakukan kerjasama dalam suatu urusan. Dengan ketentuan syarat-syarat sebagai berikut: Samanya modal masing-masing, mempunyai wewenang bertindak yang sama, mempunyai agama yang sama dan masing-masing menjadi penjamin lainnya atas apa yang ia beli dan ia jual”.56

Sedangkan Prof. Drs. H. Masjfuk Zuhdi mendefinisikan Syirkah Mufawadah sebagai berikut:

”Syirkah Mufawadah, ialah kerjasama antara dua orang atau lebih untuk melakukan suatu usaha dengan modal uang atau jasa dengan syarat sama modalnya, agamanya, punya wewenang melakukan perbuatan hukum, dan masing-masing berhak bertindak atas nama syirkah”.57

Dengan memperhatikan ketiga definisi syirkah mufawadah menurut para ahli diatas, jelaslah bahwa syirkah mufawadah ini merupakan syirkah yang lebih umum, karena dalam syirkah ini bisa dilakukan jenis usaha apa saja yang bisa mendatangkan keuntungan, dan usaha-usaha itu bisa dilakukan atas nama syirkah oleh masing-masing yang berserikat sesuai dengan kehendaknya.

56

Sayyid Sabiq, op.cit. hal. 203-204

(50)

3. Syirkah Abdan

Tentang pengertian Syirkah Abdan, Abu Bakar Jabir Al-Jaziriy menerangkan sebagai berikut:

”Syirkah Abdan ialah bersekutunya dua orang atau lebih dalam suatu pekerjaan yang dikerjakan oleh mereka berdua seperti berserikat dalam membuat sesuatu, menenun, mencuci baju dan lain sebagainya, dalam hal (keuntungan) dari pekerjaan mereka dibagi dua baik separoh-separoh atau disesuaikan dengan kesepakatan mereka”.58

Syaikh Sayyid Sabiq memberikan pengertian sebagai berikut:

”Syirkah Abdan yaitu dua orang bersepakat untuk menerima pekerjaan, dengan ketentuan upah yang mereka terima dibagi menurut kesepakatan”.59

Sementara itu Masjfuk Zuhdi memberikan pengertian sebagai berikut :

”Syirkah Abdan ialah syirkah (kerjasama) antara dua orang atau lebih untuk melakukan suatu usaha/pekerjaan, yang hasilnya/upahnya dibagi antara mereka menurut perjanjian, misalnya usaha konfeksi, bangunan dan sebagainya”.60

58Abu Bakar Al-Jazairiy, op.cit. hal. 316 59

Sayyid Sabiq, op. cit. hal. 204

(51)

Dari kutipan beberapa pendapat para ahli diatas, jelaslah bahwa syirkah abdan adalah syirkah dalam hal melakukan suatu pekerjaan dengan tujuan mendapatkan hasil untuk dibagikan diantara mereka sesuai kesepakatan. Dengan kata lain, mereka bersekutu dengan modal kerja/tenaga untuk mendapatkan upah kerjasama secara bersama-sama.

4. Syirkah Wujuh

Tentang pengertian syirkah wujuh Sayyid Sabiq memberikan pengertian sebagai berikut:

”Syirkah wujuh yaitu bahwa dua orang atau lebih membeli sesuatu tanpa permodalan, yang ada hanya berpegangan pada nama baik mereka dan kepercayaan para pedagang terhadap mereka. Syirkah ini adalah syirkah tanggung jawab, tanpa kerjasama dan modal, dengan catatan keuntungan untuk mereka”.61

Syaikh Al-Hijawi Al-Muqoddasi dalam kitabnya Al-Iqna, seperti yang dikutip oleh Dr. Ahmad Muhammad Al-’Assal dan Dr. Fathi Ahmad Abdulkarim mengemukakan:

”Syirkah wujuh adalah dua orang tanpa modal, menerima penjualan barang yang mereka tanggung bersama karena pengaruh mereka, dimana mereka berdua berserikat tentang labanya, dengan keuntungan apa yang telah mereka beli adalah milik mereka berdua, masing-masing separoh, sepertiga untuk seorang dan dua pertiga untuk yang lainnya atau semisalnya. Jadi

(52)

pemilikan diantara mereka berdua menurut syarat yang mereka tentukan”.62

Sedangkan Masjfuk Juhdi mendefinisikan syirkah wujuh sebagai berikut:

”Syirkah wujuh ialah kerja sama antara dua orang atau lebih untuk membeli sesuatu tanpa modal uang tetapi hanya berdasarkan kepercayaan para pengusaha dengan perjanjian

profit sharing (membagi untung diantara mereka sesuai dengan perjanjian)”.63

Demkianlah kutipan berbagai pendapat para ahli tentang pengertian keempat syirkah (’inan, mufawadhah, abdan, wujuh) tersebut, namun disamping pengertian secara khusus (memberikan pengertian satu persatu), sebagian para ahli ada yang memberikan pengertian secara umum.

Dalam hal ini Sayyid Sabiq mengemukakan sebagai berikut:

”Para ahli mendefinisikan syirkah sebagai: Akad antara orang-orang yang berserikat dalam hal modal dan keuntungan”.64

Jika memperhatikan definisi syirkah secara umum di atas, maka definisi ini pada pokoknya sama dengan syirkah ’inan, yaitu menitikberatkan pada masalah modal dan keuntungan.

62

Dr. Ahmad Muhammad Al-’Assal dan Dr. Fathi Ahmad Abdulkarim, op. cit. hal. 211

63

Masjfuk Zuhdi, op. cit. hal. 119

(53)

2.2. Landasan Hukum Musyarakah

Syirkah disyari’atkan dengan kitabullah sunah dan ijma’. Dibawah ini akan dikutipkan beberapa dalil baik dari Al-qur’an maupun As-Sunnah yang dijadikan dasar hukum syirkah, antara lain:

a. Al-Qur’an surat An-Nisaa ayat 12

ِثُﻠﱡﺛﻟا ﻰِﻓ ُءﺎَﻛَرُﺷ ْمُﮭَﻓ Artinya: Maka mereka bersekutu pada sepertiga.65

b. Al-Qur’an surat Shad ayat 24

ا ْوُﻧَﻣآ َنْﯾِذﱠﻟا ﱠﻻِا ٍضْﻌَﺑ ﻰَﻠَﻋ ْمُﮭُﺿْﻌَﺑ ﻰِﻐْﺑَﯾَﻟ ِءﺎَطَﻠُﺧْﻟا َنِﻣ اًرْﯾِﺛَﻛ ﱠنِا َو ْمُھﺎﱠﻣ ٌلْﯾِﻠَﻗ َو ِتﺎَﺣﻟﺎﱠﺻﻟا ا ْوُﻠِﻣَﻋ َو Artinya: Dan sesunguhnya kebanyakan orang-orang yang berserikat itu sebagian mereka berbuat zalim kepada sebagian yang lain, kecuali orang-orang yang beriman dan beramal shaleh, dan amat sedikitlah mereka ini.66

Kata ءﺎطﻠﺧْﻟا dalam ayat diatas bermakna كرﺷﻟا, demkianlah menurut para ahli, seperti dikutip oleh Abu Bakar Jabir Al-Jazairiy dalam kitab Minhajul al-Muslim.

c. As-Sunnah, Rasulullah bersabda bahwa Allah berfirman:

ْنِﻣ ُتْﺟَرَﺧ َنﺎَﺧَا اَذِﺈَﻓ ُﮫَﺑِﺣﺎَﺻ ﺎَﻣُھُدَﺣَأ ْنَﺧَﯾ ْمَﻟ ﺎَﻣ ِنْﯾَﻛِرﱠﺷﻟا ُثِﻟﺎَﺛ ﺎَﻧَا ﺎَﻣِﮭِﻧْﯾَﺑ Artinya: Aku ini ketiga dari dua orang yang berserikat, selama salah seorang mereka tidak menghianati temannya. Apabila salah seorang telah

65

ibid : hal. 202

(54)

khianat terhadap temannya Aku keluar dari antara mereka.

Menurut Sayyid Sabiq maksud hadits diatas adalah bahwa Allah memberkati dua sekutu dalam urusan harta dan menjaga mereka, selama belum ada yang berhianat.67

d. Hadits yang diriwayatkan oleh Ahmad, Abu Daud dan Ibnu Majah diterima dari Saaib Al-Mahzumiy r.a.

Artinya:Dari As-Saaib Al-Mahzumiy r.a. bahwa dia adalah sekutu Nabi Muhammad SAW. Sebelum Beliau diutus jadi Nabi. Pada saat datang hari penaklukan kota Mekkah (futuh) beliau (Nabi) bersabda: selamat datang saudaraku dan sekutuku.68

Berkaitan dengan hadits diatas Ibnu Abdi Al-Birri seperti yang ditulis oleh Sayyid Al-Imam Muhammad bin Isma’il, mengatakan bahwa, As-Saaib Al-Mahzumiy termasuk yang baru masuk islam (mualaf) dan termasuk yang baik dalam keislamannya, juga ia termasuk orang kaya (makmur), ia hidup sampai zaman Mu’awiyah, As-Saaib jadi sekutu Nabi pada masa permulaan Islam dalam hal perniagaan. Pada saat tiba hari penaklukan Mekkah Nabi menyambut dengan kata-kata : Selamat datang saudaraku dan sekutuku.

67

Abu Bakar Jaabir Al-Jazairiy, op. cit. hal. 315

(55)

e. Hadits riwayat Daruquthniy

ﺎَﻧ َوﺎَﺧَﺗَﯾ ْمَﻟ ﺎَﻣ ِنْﺑَﻛِرﱠﺷﻟا ﻰَﻠَﻋ ِﷲُدَﯾ Artinya: Tangan (perlindungan) Allah berada diatas dua orang yang bersekutu selama mereka tidak berkhianat (saling mengkhianati).69

f. An-Nasa’i meriwayatkan bahwa, Abdullah bin Mas’ud berkata:

ِ◌ِإ ٍرْدَﺑ َم ْوَﯾ ٌبْﯾ ِﺻَﻧ ﺎَﻣْﯾِﻓ ُدْﻌَﺳ َو ُرﺎَﻣَﻋ َو ﺎَﻧَا ُتْﻛَرَﺗْﺷ Artinya: Saya bersekutu dengan ‘Amaar dan Sa’ad mengenai apa yang kami peroleh pada perang Badar.

Dengan bertolak terhadap dalil-dalil tersebut diatas, para ahli fiqh sepakat tentang adanya syari’at tentang keijinan syirkah, namun demikian mereka berbeda pendapat tentang hukum (kebolehan) dari empat jenis syirkah (’inan, mufawadhah, abdan dan wujuh) yang telah kemukakan sebelumnya.

Tentang hal tersebut, di bawah ini dikutip penjelasan Sayyid Sabiq, sebagai berikut :

”Madzhab Hanafi memperbolehkan semua jenis syirkah di atas (’inan, mufawadhah, abdan, wujuh) apabila syarat-syaratnya terpenuhi.

Madzhab Syafi’i membatalkan semua kecuali ’inan dan madzhab Hambali memperbolehkan semua, kecuali syirkah mufawadhah”.70

69

Abu bakar Jaabir Al-Jazairiy, op. cit. hal. 315

(56)

Dengan demikian, maka yang disepakati oleh semua ulama madzhab adalah syirkah ’inan.

2.3. Ketentuan-ketentuan Musyarakah

Sebagaimana dalam pembahasan mudharabah, maka yang dimaksud dengan ketentuan-ketentuan musyarakah pun meliputi rukun dan syarat musyarakah yang dikemukakan sebagian para ahli fiqh.

Dalam pembahasan hukum syirkah, dalam tulisan ini hanya akan diuraikan tetang syirkah ’inan saja, hal ini bertitik tolak terhadap kesepakatan tentang kebolehan jenis syirkah ini-fuqaha berbeda pendapat tentang syirkah yang lain-, meskipun mereka memperselisihkan beberapa syarat dari syirkah ’inan ini. Namun demikian, dalam penulisannya akan menggunakan sebutan syirkah saja (tanpa kata ’inan).

Dalam Bidayatul Al-Mujtahid Ibnu Rusyd menulis.

”Sebagian fuqaha tidak mengenal kata (’inan) tersebut”.71

A. Rukun Syirkah

Mengenai rukun syirkah menurut Sayyid Sabiq hanya ada dua macam yaitu:

a. Ijab b. Qabul

Dalam ijab qabul ini, beliau berpendapat cukup dengan salah satu pihak berkata: ”Aku bersyirkah

(57)

untuk urusan ini dan itu”. Dan yang lain berkata: ”Telah aku terima”.72

Lain halnya dengan Abdurrahman Al-Jaziriy beliau mengemukakan:

”Syirkah secara umum mempunyai beberapa rukun yaitu:

1. Aqidani (dua orang yang berserikat) 2. Shighat (Ijab qabul)

3. Mahal (tempat atau sasaran dalam syirkah), yaitu

a. Harta

b. Pekerjaan.”73

Ibnu Rusyd menlis tentang rukun syirkah sebagai berikut:

”Rukun-rukun syirkah itu ada tiga macam. Pertama, macam harta modal. Kedua, keuntungan yang disesuaikan dengan harta modal. Ketiga, pekerjaan dari dua orang yang berserikat”.74

Pada beberapa pendapat para ahli diatas terdapat perbedaan jumlah rukun syirkah, hal ini disebabkan adanya pembagian rukun terhadap dua bagian, yaitu rukun asli (pokok) dan bukan asli (bukan pokok).75

Mengenai hal ini telah diuraikan dalam pembahasan tentang mudharabah dalam tulisan ini.

72

Sayyid Sabiq, op. cit. 203

73Abdurrahman Al-Jaziri, op. cit. hal. 76 74

Ibnu Rusyd, op. cit. hal. 189

(58)

B. Syarat Syirkah

Ketentuan-ketentuan dan syarat-syarat syirkah meliputi permodalan, anggota syirkah, keuntungan dan kerugian, serta pekerjaan. Dibawah ini akan diuraikan satu persatu dari keempat hal tersebut secara terpisah.

1. Permodalan

Tentang syarat syirkah yang berkaitan dengan permodalan Abu Bakar Jabir Al-jazairiy mengemukakan :

”Hendaklah jumlah modal diketahui dan bagian masing-masing anggota syirkah juga diketahui, karena keuntungan dan kerugian itu tergantung terhadap pengetahuan tentang jumlah modal dan bagian masing-masing. Dan ketidaktahuan terhadap modal atau saham dari masing-masing anggota syirkah akan menimbulkan penggunaan (memakan) harta manusia lain dengan bathil, dan hal itu merupakan satu keharaman, sebagaimana firman Allah:

ِل ِطﺎَﺑْﻟﺎِﺑ ْمُﻛَﻧْﯾَﺑ ْمُﻛَﻟا َوْﻣَا ا ْوُﻠُﻛْﺄَﺗ َﻻ َو Artinya: Janganlah sebagian kamu memakan harta yang lain diantara kamu dengan jalan bathil, (Al-Baqarah ayat: 188)

(59)

terlebih dahulu, kemudian memasukan harga itu pada syirkah, karena benda (barang) masih memiliki kesamaan (majhul) dalam harga, sementara bermu’amalah dengan hal yang samar dilarang oleh syari’at”.76

Berkaitan dengan modal, ulama madzhab Syafi’i memberikan beberapa persyaratan, sebagaimana dikutip oleh Abdurrahman Al-Jazairiy sebagai berikut:

”Modal itu harus berupa barang mitsli, artinya barang yang dapat dibatasi oleh takaran atau timbangan dan barang tersebut bisa dipesan, seperti emas dan perak. Keduanya bisa ditimbang. Dan seperti gandum, padi dan semisalnya, itu semua bisa dibatasi dengan takaran.

Dan modal harus dicampur sebelum perjanjian syirkah hingga salah satunya tidak dapat dibedakan. Adapun mencampur modal setelah terselenggaranya perjanjian, maka ada yang mengatakan sah dan ada yang mengatakan tidak sah. Jika berpegang kepada pendapat yang kedua, maka masing-masing anggota berkewajiban mengulangi ijab qabul.

Modal yang dikeluarkan oleh masing-masing anggota harus sejenis. Jadi tidak sah jika salah seorang mengeluarkan modal berupa emas sedangkan anggota lain mengeluarkan perak”.77

76

Abu Bakar Jaabir, op. cit. hal. 316

(60)

Dalam hal kesamaan jenis modal syirkah, Ibnu Rusyd menulis:

”Sepengetahuan saya ulama sepakat tentang kesahan dalam syirkah bila modal yang diserikatkan sejenis (satu dalam sifat)”.78

Yang dimaksud sejenis adalah bahwa modal yang diserikatkan memiliki nilai atau takaran yang sama. Jadi tidak sah jika salah satu pihak mengeluarkan modal dalam bentuk rupiah sementara yang lain mengeluarkan dolar, karena keduanya memiliki nilai yang berbeda. Adapun jalan keluarnya yaitu harus menghitung dulu kepada satu jenis, dihitung dalam jenis dolar atau rupiah.

Mengenai keharusan modal sebelum perjanjian sebagaimana yang disyaratkan oleh ulama madzhab Syafi’i di atas, ulama madzhab Hanafi memberikan pendapat berbeda, mereka memegang perkataan Abu Hanifah, seperti yang dikutip oleh Ibnu Rusyd berikut ini :

”Abu Hanifah mengatakan syirkah itu sah meskipun harta (modal) masih berada di tangan masing-masing anggota syirkah (belum dicampur)”.79

Dengan pendapat tersebut, ulama madzhab Hanafi mensahkan perjanjian syirkah, meskipun modal tersebut tidak ada pada saat perjanjian

78

Ibnu Rusyd, op. cit. hal. 190

(61)

berlangsung. Hal ini dipahami dari perkataan Abdurrahman Al-Jaziriy tentang pendapat mereka (madzhab Hanafi) sebagai berikut :

”Jika seseorang memberikan kepada temannya 1.000, dan berkata: ”Keluarkan uang semisal itu, dan belilah barang dagangan keuntungannya nanti dibagi antara kita”. Kemudian teman tadi menerima uang 1.000 dan melakukan apa yang diminta tanpa kata-kata, maka sahlah syirkah semacam ini”.80

Namun demikian ulama madzhab Hanafi memberikan batasan tentang kesahan syirkah dalam kasus seperti diatas, yaitu jika teman yang menerima itu mengeluarkan uang 1000 pada saat pembelian, jika tidak maka syirkah itu tidak sah.81

Lain halnya dengan madzhab Maliki, meskipun mereka tidak mensyaratkan pencampuran modal pada saat perjanjian, namun mensyaratkan terhadap adanya modal pada saat perjanjian berlangsung. Hal ini dikemukakan oleh Abdurrahman Al-Jaziriy sebagai berikut:

”Jika mereka berserikat dengan modal yang ghaib, maka hukumnya tidak sah. Kalau modal salah seorang anggota itu hadir dan pihak lainnya ghaib, maka jika ghaibnya jauh, sehingga tidak mungkin mendatangkannya dalam jarak waktu dua hari maka syirkah tidak sah”.82

80Abdurrahman Al-Jaziriy, op. cit. hal. 72 81

Ibid : hal. 79

Referensi

Dokumen terkait

Gambar 3 Tahap Kegiatan Penelitian Metode penelitian yang digunakan adalah metode studi kasus. Metode digunakan untuk mendapatkan informasi tentang kapasitas, titik

Pemaparan hasil wawancara informan di atas dapat disimpulkan, bahwa faktor utama dalam membangun relasi dengan jamaah adalah saling menjaga kepecayaan. Kepercayaan

Faktor yang juga menentukan besarnya nilai efisiensi yang dimiliki oleh boiler adalah besarnya nilai kalor dari bahan bakar yang digunakan, yang mana semakin besar nilai

Diabetes Mellitus (DM) merupakan salah satu penyakit metabolik kronis dengan karakteristik terjadinya peningkatan kadar gula darah akibat gangguan sekresi insulin

Tabalong Sakti selama tahun 2016 sudah melakukan pencatatan yang sesuai dengan Undang-Undang Nomor 42 Tahun 2009 dan tarif Pajak Pertambahan Nilai yang diterapkan

Sampel digunakan sekaligus, merupakan keseluruhan dari jumlah peternak, hal tersebut dikarenakan peternak ayam broiler pola kemitraan di Kecamatan Sumberrejo

Berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh Mamahit (2015) brand trust berpengaruh signifikan terhadap keputusan pembelian, konsumen pada zaman sekarang ini kebutuhannya

the Refugees 1951 dan Protocol Relating to the Status of Refugees 1967. Proses yang lama disebabkan karena Pemerintah Indonesia belum mempunyai kewenangan untuk