• Tidak ada hasil yang ditemukan

2 TINJAUAN PUSTAKA

2.4 Pelaku Ekonomi Perikanan

(2) Menilai setiap aktivitas dengan menggunakan alat ukur kinerja yang mengesahkan pelanggan,

(3) Memperhatikan semua aspek aktivitas kinerja secara komprehensif yang mempengaruhi pelanggan, dan

(4) Menyediakan informasi berupa umpan balik untuk membantu anggota organisasi mengenali permasalahan dan peluang untuk melakukan perbaikan.

Mengacu kepada hal ini, maka penilaian kinerja usaha perikanan mencakup kegiatan yang mengukur berbagai aktivitas usaha perikanan sehingga menghasilkan informasi umpan balik untuk manfaat keuangan yang layak bagi nelayan dan pelaku usaha perikanan. Penilaian kinerja usaha perikanan dalam ukuran keuangan juga memberi informasi untuk perbaikan pengelolaan usaha perikanan. Perbaikan usaha perikanan ini (Fauzi, 2005 dan Ruddle et al., 1992) mencakup : (1) perbaikan perencanaan perbekalan, (2) perbaikan metode operasi (penangkapan ikan, penanganan hasil, dan lainnya), dan (3) perbaikan evaluasi kerja usaha perikanan. Hasil penilaian kinerja ini akan menentukan tingkat kelayakan pengembangan suatu usaha perikanan.

2.4 Pelaku Ekonomi Perikanan

Direktorat Jenderal Perikanan Tangkap (2002) dan Munasinghe (1993), pelaku ekonomi perikanan dapat mencakup nelayan tradisional, pengusaha perikanan dan kelompok nelayan. Menurut Sudarsono (1986) dan Hanafi dan Saefuddin (1986), koperasi dapat menjadi bagian dari pelaku ekonomi suatu bidang bisnis bila mereka terlibat langsung. Dengan demikian, koperasi perikanan juga termasuk pelaku ekonomi perikanan. Pemerintah dapat dianggap sebagai pelaku ekonomi perikanan bila secara mengembangkan kebijakan yang mendukung kegiatan ekonomi perikanan.

(1). Nelayan tradisional

Nelayan adalah orang yang secara aktif melakukan kegiatan menangkap ikan, baik secara langsung (seperti penebar dan pamakai jaring) maupun secara tidak langsung (seperti juru mudi perahu layar, nakhoda kapal ikan bermotor, ahli mesin kapal, juru masak kapal penangkap ikan) sebagai mata pencaharian. (Fauzi,

 

2005). Nelayan tradisional merupakan bagian terbesar dari masyarakat nelayan di Indonesia. Nelayan tradisional ini umumnya dapat dicirikan dengan tingkat kepemilikannya kecil dan penguasaan faktor produksi serta kemampuan managerial relatif terbatas. Keterbatasan ini akan mempengaruhi motivasi, perilaku dan gugus kesempatan. Selain itu, vokalitas untuk memperjuangkan pendapat dan kebutuhan dari kelompok ini biasanya relatif rendah, sehingga nelayan tradisional umumnya tersisihkan bila kegiatan ekonomi perikanan berkembang pesat di suatu kawasan..

Menurut Nikijuluw (2002), motivasi utama dari nelayan tradisional dalam melakukan kegiatan pemanfaatan sumberdaya perikanan adalah memperoleh hasil produksi atau tangkapan setinggi-tingginya dengan tujuan utama yakni untuk memenuhi kebutuhan keluarganya disamping kesejahteraannya. Dengan segala keterbatasan yang dimiliki dan ketidakpastian yang dihadapi seperti cuaca, musim ikan, harga faktor-faktor produksi, dan harga jual hasil tangkapan para nelayan ini umumnya lebih bersikap pasif dan konservatif terhadap berbagai bentuk inovasi. Nelayan tardisional umumnya menerima semua bentuk inovasi yang ada, namun kesulitan untuk mengembangkannya.

(2). Pengusaha perikanan

Pengusaha perikanan (nelayan kaya) lebih dianggap sebagai kelompok pelaku yang sukses dan bermodal besar dalam melakukan kegiatan pemanfaatan sumberdaya perikanan. Berbeda dengan nelayan tradisional, gugus kesempatan pengusaha perikanan swasta skala besar biasanya jauh lebih longgar. Mereka memiliki akses yang lebih besar terhadap berbagai fasilitas seperti perbankan, pelayanan dan penerapan teknologi baru. Mereka juga mempunyai kemampuan untuk mempengaruhi pembuat kebijaksanaan bila ada kebijakan yang dapat mengancam eksistensi mereka.

Menurut Dahuri, et. al (2001), pengusaha perikanan dan nelayan kaya dapat menghidupkan kegiatan perikanan dengan lebih optimal di suatu kawasan pesisir. Hal ini karena mempunyai motivasi bisnis yang umumnya memaksimumkan keuntungan dan mereka dapat juga melakukan berbagai bentuk strategi mulai dari integrasi vertikal baik ke hulu maupun ke hilir, sampai integrasi

 

horizontal untuk memaksimumkan keuntungan dan akumulasi modal. Pengusaha perikanan ini umumnya mempekerjakan nelayan kecil dan tradisional dalam menjalanakan bisnis perikanannya.

(3). Kelompok nelayan

Menurut Elfindri (2002), kelompok nelayan merupakan perkumpulan yang terdapat di masyarakat nelayan yang dibentuk atas kesadaran nelayan. Dengan kelompok, nelayan dapat memperoleh manfaat baik dalam hal menekan biaya pengadaan sarana produksi dan biaya untuk pemasaran hasil, terutama untuk menekan biaya transportasi. Nikijuluw (2002) menyatakan bahwa kelompok nelayan juga dapat meningkatkan vokalitas nelayan dalam mengartikulasikan pendapat dan kepentingannya. Kegiatan berkelompok dapat dipandang sebagai bentuk integrasi horizontal terutama untuk memperkuat bargaining position nelayan, misalnya dalam pemasaran hasil produksinya.

(4). Pedagang Ikan

Berdasarkan tahapan perdagangan yang dilakukan, pedagang ikan termasuk jenis pedagang perantara. Menurut Hou (1997), pedagang perantara merupakan perorangan atau organisasi yang berusaha dalam bidang tataniaga, yang menggerakkan barang dari produsen sampai konsumen melalui jual-beli. Dalam saluran tataniaga dapat terdiri dari satu atau beberapa pedagang perantara seperti: pedagang pengumpul, pedagang besar dan pedagang eceran. Disamping pedagang perantara, juga terdapat pedagang pengumpul, pedagang besar, dan pedagang eceran.

Dalam kaitan tentang kepentingan produsen dan konsumen serta peran pemerintah di bidang perikanan, maka peran pedagang perantara sangat dibutuhkan. Pedagang perantara dapat membantu nelayan dalam menjual hasil tangkapannnya, sehingga mereka dapat beristirahat cukup setelah melaut. Sedangkan konsumen juga merasa terbantu, karena tidak harus jauh-jauh mencari protein hewan ikan asal ikan ke perkampungan nelayan. Menurut Muvyarto (1987), tujuan utama dari operasi jual-belinya ialah mencari untung, sehingga ada kecenderungan untuk berusaha membeli semurah-murahnya dan berusaha menjual

 

semahal-mahalnya. Hal ini sering diterapkan oleh pedagang perantara, dan bila kurang fleksibel dapat menimbulkan konflik dengan nelayan sebagai produsen.

(5). Koperasi Unit Desa (KUD Mina)

Dalam Pasal 33 Undang Undang Dasar 1945 dinyatakan bahwa koperasi merupakan satu dari tiga sektor kegiatan perekonomian, selain pemerintah dan swasta. Sebagaimana bandan usaha ekonomi lainnya, koperasi termasuk koperasi perikanan (KUD Mina) juga bertujuan untuk mencari keuntungan, dan keuntungan tersebut menjadi milik anggota yang dibagi setiap periode yang disepakati. Pembagian keuntungan didasarkan atas pemilikan modal, serta keterlibatan anggota dalam kegiatan koperasi (Sudarsono, 1986).

Menurut Inpres No 4 tahun 1984, KUD Mina berada dalam lingkup KUD Serba Usaha, namun dapat memiliki susunan pengurus tersendiri sebagai salah satu kegiatan KUD. Kondisi ini menyebabkan KUD Mina lebih bebas dalam menjalankan kegiatannya. Adapun kegiatan KUD Mina dapat mencakup pengelolaan TPI, penanganan pemasaran hasil-hasil perikanan, pelayanan perkreditan, pengelolaan kios perbekalan, pengelolaan pabrik es dan perbengkelan, dan kegiatan pembinaan dan pelayanan kesehatan nelayan anggota.

(6). Pemerintah

Dalam kegiatan ekonomi, pemerintah hendaknya berada posisi netral antara produsen dan konsumen. Namun dalam kenyataannya, pemerintah mempunyai misi dan motivasi tersendiri yang perlu diperhitungkan dalam melihat permasalahan perekonomian yang ada termasuk di bidang perikanan. Menurut Hardjomidjojo (2004), pemerintah berupaya untuk mencapai semaksimal mungkin didalam meningkatkan produksi, produktivitas, pendapatan nelayan, ekspor komoditi perikanan, pertumbuhan investasi, konsumsi ikan dan dalam mewujudkan kualitas kehidupan terutama disenta-sentra perikanan. Hal ini penting untuk kelangsungan kegiatan ekonomi berbasis perikanan di lokasi.

 

2.5 Pengembangan Ekonomi Perikanan