• Tidak ada hasil yang ditemukan

seorang pria dan kemudian Dewa perempuan dilambangkan dengan seorang Dewi yang merupakan sakti dari Dewa. Dalam pemikiran umat Hindu, Dewa akan berfungsi sempurna kalau beliau dibantu oleh kekuatan Dewi yang merupakan sakti dari Dewa. Dewa dan Dewi dalam pemaknaan umat akan memiliki fungsi yang spesifik.

Implementasinya dalam kehidupan sehari-hari umat Hindu ter-nyata mengacu ke konsep Dewa dan Dewi tersebut. Misalnya saja seorang anggota subak pria akan tercatat secara formal di keanggotaan

subak, akan tetapi dalam hal pekerjaan yang dilaksanakan subak maka istri anggota subak otomatis akan berperan juga dalam areal subak

bukan hanya dalam pekerjaan di lahan pertanian, para perempuan juga sangat berperan melaksanakan segala kebutuhan dan keperluaan

yadnya dan ritual yang dilakukan subak. Walaupun memang pada

penentuan dan pengambilan keputusan untuk melakukan ritual tetap ditentukan oleh rapat anggota subak yang secara tidak langsung ditentukan kaum suami (pria). Selama ini memang menurut penuturan Ibu Wayan (anggota subak perempuan) belum pernah ada keluhan tentang hal tersebut. Lebih lanjut ditambahkan oleh Ibu Kadek (istri

Pekaseh Subak) bahwa kalau jenis upacara yang akan dilakukan tergo-long besar (”karya Ageng”) maka pengurus istri akan mengadakan rapat pembagian kerja dan pembagian pembuatan sesajen (banten). Pada pembagian ini biasanya tidak seorang pun berani menolak apa yang sudah ditugaskan pengurus, sehingga ketika pertanyaan tentang bagai-mana pendapat Ibu Kadek terhadap adanya anggapan bahwa melak-sanakan upacara merupakan sesuatu yang mubasir, seolah tidak ber-guna langsung dibantah oleh Ibu Kadek.

Kalau menurut saya pelaksanaan sesajen tetap penting dan harus dilakukan. Walaupun pada suatu saat mungkin saya tidak me-miliki uang, tetapi saya akan tetap berusaha untuk melaksana-kannya. Dan anehnya memang kalau sudah tiba waktunya untuk membuat sesajen maka pasti saya akan punya uang untuk melakukan upacara tersebut.

Dari beberapa pengalaman Ibu Kadek pernah ada anggota yang me-langgar dan berani mengabaikan upacara yang seharusnya dilakukan, dan pada panen berikutnya ternyata anggota tersebut tidak

oleh hasil panen, padahal yang lainnya memperoleh hasil yang lumayan. Dari kejadian tersebut akhirnya terbukti sesederhana apa pun upacara tersebut harus tetap dilakukan dan merupakan hal yang tabu untuk tidak melaksanakannya.

Lebih lanjut diceritakan Ibu Wayan bahwa dia mengetahui se-mua jenis dan macam sesajen dan upacara pertanian dari orang tuanya. Orang tua Ibu Wayan adalah seorang Sulinggih (pemangku) yang sering menghantarkan upacara baik pada kehidupan sehari-hari mau-pun pada tingkatan organisasi subak. Ibu Wayan menyatakan bahwa secara otomatis bisa dan mengerti dalam pembuatan semua sesajen yang harus dilakukan dalam rangkaian satu musim tanaman di wilayah

subak. Selama ini seluruh anggota subak selalu mantaati semua upacara yang dilakukan.

Ibu Nyoman (juga merupakan anggota petani perempuan) menambahkan bahwa pernah suatu ketika subak tetangga (Subak Belulang) tidak melakukan salah satu upacara secara baik tetapi mereka melakukan dengan mengganti upacara tersebut dengan imbalan uang atau padi (”ngaturan sarin taun”)11 tanpa membuat sesajen yang seha-rusnya, dan pada musim tanam berikutnya Subak Belulang tersebut tidak dapat panen karena hama tikus merajalela. Anehnya kejadian di Subak Belulang akhirnya menular ke subak Ibu Nyoman, sehingga pada musim itu hasil yang diperoleh menurun yang biasanya mengha-silkan sekitar 9 (sembilan) ton per hektar, akibat kejadian tersebut hanya menghasilkan 5 ton per hektar. Hasil ini memang tidak separah hasil yang diperoleh oleh Subak Belulang. Dari beberapa contoh kejadian tersebut maka Ibu Wayan dan Ibu Nyoman sangat percaya bahwa pelaksanaan upacara yang dilakukan subak selama satu musim tanam harus lengkap dan dilakukan dengan tulus ikhlas. Di samping itu dipercaya bahwa kealpaan satu subak walaupun pada wilayah yang berbeda akan berdampak pula pada subak yang lainnya. Jadi dipercaya bahwa dalam satu kawasan pelaksanaan ritual dan pola tanam subak

merupakan sesuatu yang bersifat holistik saling berhubungan sehingga

Masing-Gambar 19

Merangkai perlambangan Dewa-Dewi Sumber: Dokumentasi Martiningsih, 2011

mempertahankan komunikasi, relasi sosial dan kesadaran akan keber-samaan sangat melekat pada organisasi subak di Bali. Hal ini karena satu anggota subak melakukan kesalahan, maka anggota subak yang lain diyakini akan merasakan dampak buruknya, malahan seluruh

subak di kawasan tersebut akan terkena imbas negatifnya.

Kaitannya dengan pelaksanaan kegiatan adat dan subak, maka Pak Nyoman menyatakan bahwa setiap anggota SubakWongaya Betan masih mungkin melakukan negosiasi antara kedua kepentingan terse-but. Misalnya saja kegiatan adat berbenturan dengan kegiatan subak

maka subak akan mengatur sedemikian rupa kegiatannya sehingga sedapat mungkin anggota subak tetap dapat ngayah di adat tetapi

kegiatan subak pun tetap dapat dilaksanakan. Jadi dalam hubungan ini masih terdapat relasi sosial yang fleksibel antara kepentingan subak

dan adat. Setiap anggota subak terlibat dalam adat dan aturan adat

merupakan sesuatu yang memiliki kekuatan besar dalam mengatur kehidupan masyarakat Bali Hindu, sehingga kegiatan subak harus selalu menyesuaikan kegiatan dengan adat.

Untuk memperkokoh pelaksanaan Agama Hindu dalam Budaya Bali di tunjang oleh adat yag secara turun menurun sudah dikenal dan masih dihormati serta masih memiliki kekuatan yang sama malahan sering lebih tinggi dibandingkan aturan Pemerintah. Dalam pelaksana-an budaya, agama dpelaksana-an adat maka umat Hindu dalam implementasinya menyisipkan unsur seni sehingga dalam kenyataannya pelaksanaan upacara agama Hindu di masing-masing daerah dan negara berbeda walaupun mungkin memiliki tujuan yang sama. Dalam semua rangkai-an kegiatrangkai-an budaya, agama, adat dan seni masyarakat biasanya tanpa sadar akan mempraktikkan kearifan-kearifan lokal yang masih eksis di suatu daerah. Sehingga sering kita lihat bahwa walaupun suatu ke-giatan sudah dilaksanakan secara terus menerus akan tetapi pemaknaan terhadap kegiatan tersebut sering tidak diketahui atau disadarai oleh pelakunya. Mereka hanya melakukan secara gugon tuwon pengetahuan diturunkan secara lisan dari orangtua ke masing-masing keturunannya.

Dalam kaitannya dengan posisi sebagai anggota subak dan adat

(Gambar 7), maka secara pribadi petani sebagai anggota subak harus mampu memposisikan dirinya sebagai bagian dari adat dan bagian dari

subak, artinya sebagai anggota adat yang harus tunduk pada peraturan

adat setempat dan sebagai anggota subak juga memiliki aturan. Ber-kaitan dengan posisi petani sebagai bagian dari adat dan subak maka petani penting memiliki pemahahan dan pemaknaan yang benar akan hak dan kewajiban. Termasuk pula kewajiban dalam melaksanaan ritual yang sedemikian kompleks. Hal ini untuk menjaga keberlanjutan kelestarian lingkungan dan keajegan adat serta organisasi subak, sehingga keajegan pertanian pun dapat dipertahankan. Di samping itu pemaknaan secara individu sangat penting untuk menumbuhkan kesa-daran yang lebih hakiki tentang hak dan kewajiban sebagai seorang

anggota masyarakat, adat dan agama yang harus dengan tulus ikhlas melaksanakan setiap kegiatan yang diharuskan dan diwajibkan oleh budaya, adat dan agama Hindu Bali.

Kesimpulan

Gambar 20 menunjukkan bagaimana ritual tersebut terinternali-sasi dalam diri perempuan yang secara regular melakukan ritual. Seperti yang telah dijelaskan pada bab dua tentang proses terbentuknya

kesadaran yang kemudian berdampak menimbulkan suatu kebiasaan (habitus/behaviour). Di mana dalam proses pembentukan kebiasaan

tersebut sangat dibutuhkan modal dari pelaku. Dalam konteks penelitian ini maka ada modal sosial dan modal budaya yang terlibat. Hal ini dapat dilihat dalam pelaksanaan ritual yang secara simbolis dilakukan dengan membuat simbol-simbol melalui rangkaian sesajen. Dalam proses persiapan sesajen dan pelaksanaan ritual tersebut sebenarnya terjadi interaksi, komunikasi dan pertukaran pengetahuan serta pengalaman dari pelaku. Sehingga pemberdayaan jaringan dan keterikatan antara masing-masing individu perempuan dapat dikatakan merupakan pemberdayaan modal sosial dalam ritual. Demikian juga dengan adanya keyakinan akan sesuatu yang bersifat turun temurun dan memiliki nilai sejarah, menyebabkan terbentuknya ikatan emosi-onal perempuan akan pelaksanaan ritual. Situasi ini sebenarnya meru-pakan implikasi dari adanya modal budaya yang terlibat dalam ritual. Kesadaran yang terbentuk pada saat pelaksanaan ritual akan mengen-dap menjadi sebuah pemaknaan sehingga akan mengen-dapat terimplementasi-kan secara berkelanjutan dalam praktik-praktik nyata dalam usaha pelestarian pertanian dan lingkungan guna mendorong ketahanan pangan dan hayati dalam rangka mencapai pembangunan yang ber-kelanjutan.

Pemaknaan individu harus juga seiring dengan usaha dari peme-rintah untuk memfasilitasi semua kegiatan tersebut sehingga secara formal semua yang dilakukan masyarakat berarti dan memiliki kekuat-an secara hukum sehingga tidak mudah diubah atau dipengaruhi oleh budaya luar. Bagaimana proses pembentukan habitus (habitualisasi)

ritual pada tingkat individu anggota subak perempuan akan disajikan pada bab delapan, Gambar 24.

RITUAL : kolektif individu KESADARAN PEMAKNAAN KETAHANAN PANGAN DAN HAYATI PRAKTIK Anggota subak (perempuan) Kebiasaan/ Behaviour/Habitus Modal sosial Modal budaya Persiapan dan pelaksanaan Gambar 20

Dokumen terkait