• Tidak ada hasil yang ditemukan

Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Perempuan Bali dalam Ritual Subak D 902009009 BAB VI

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Perempuan Bali dalam Ritual Subak D 902009009 BAB VI"

Copied!
35
0
0

Teks penuh

(1)

Bab Enam

Aktivitas Perempuan dalam

Ritual

Subak

Pengantar

Di tengah melebarnya filosofi Agama Hindu di Bali, ada per-bedaan pemahaman keagamaan antara generasi muda dengan generasi tua. Dimana telah terjadi perubahan pandangan terhadap ritual yang dilakukan oleh Umat Hindu terutama di kalangan generasi muda. Sedangkan di sisi lain pelaksanaan ritual oleh beberapa golongan termasuk petani (dalam organisasi subak) masih merupakan sesuatu yang tetap dilakukan dan tabu untuk dilanggar. Seperti halnya Subak Wongaya Betan yang masih melaksanakan ritual-ritual yang terkait dengan pelaksanaan pertanian mereka di lapangan. Pelaksanaan ritual tersebut berlandaskan kesadaran akan adanya sesuatu di luar sana yang bersifat profan yang petani yakini menentukan keberhasilan pertanian mereka. Subak Wongaya Betan masih melaksanakan ritual secara kontinu secara kolektif dan secara personal. Ritual-ritual ini biasanya dilaksanakan di pura-pura yang terkait dengan sumber air dan peles-tarian lingkungan di area subak seperti Pura Ulun Danu (untuk me-muja Dewa Air atau Dewa Wisnu), Pura Subak (Pura Ulun Suwi dan

Pura Bedugul) serta Pura keluarga masing-masing angggota subak.

Dalam satu musim tanam Subak Wongaya Betan melaksanakan ritual kolektif seperti: (1) mapag toya (menjemput air); (2) mesaba

(2)

ritual personal (mandiri) anggota subak juga masih melaksanakan ritual-ritual seperti: (1) ngendagin (memulai pengolahan lahan), (2) ngurit dan mawiwit pantun (menyemai padi), (3) ngerasakin

(memulai persiapan menanam), (4) nandur (saat menanam), (5) tutug kambuhan (ritual ketika padi berumur 42 hst), (6) nyungsung (ritual saat padi berumur 2 bulan), (7) mabiukungkung (ritual ketika padi berumur 82 hst, (8) maikuh lasan (pada saat padi mulai berbuah), (9) niki kaki dan niki manuh (pada saat panen dan sudah panen), (10) mantenin (ritual saat padi sudah di lumbung), (11) mrelina dewa nini (melebur dewa nini), (12) nyepi (tidak melakukan kegiatan).

Selain itu ada beberapa ritual yang bersifat insidental sesuai dengan keperluan subak misalnya pemelaspasan (peresmian) jika subak membangun sarana prasarana yang terkait dengan subak. Seperti pem-bangunan jineng (lumbung) subak dan pura subak. Berkaitan dengan persiapan dan pelaksanaan ritual ini, walaupun sebenarnya sudah ada pembagian tugas dan aktivitas antara anggota subak laki-laki dengan anggota perempuan, akan tetapi biasanya perempuan akan lebih banyak terlibat. Hal ini karena perempuan akan terlibat mulai dari persiapan sesajen maupun pada saat pelaksanaan ritual. Dalam bab ini akan dipaparkan konsep ritual menurut masyarakat Hindu dan anggota

Subak Wongaya Betan. Berikutnya akan di jelaskan aktivitas perem-puan dalam pelaksanaan ritual-ritual subak di Wongaya Betan.

Konsep Ritual (Upacara)

(3)

dirumuskan dalam konsepsi kepercayaan dalam ajaran Hindu yang dikenal dengan istilah ”sradha”1 (Krisnu, 1991). Fenomena ini juga

ter-jadi pada pelaksanaan ajaran Agama Hindu di lingkup Subak Wongaya Betan. Upacara (ritual) yang dilaksanakan anggota subak sangat intens, karena dalam keyakinan mereka dengan pelaksanaan ritual kehadapan Sang Pencipta maka mereka merasa selalu dilindungi dan pertanaman mereka akan memperoleh hasil yang maksimal.

Sudah menjadi tradisi umat Hindu termasuk anggota Subak Wongaya Betan, setiap memulai suatu pekerjaan maupun melaksana-kan suatu upacara pada umumnya terlebih dahulu diawali dengan memperhitungkan atau mencari hari baik (pedewasan) melaksanakan suatu upacara. Misalnya pada saat pelaksanaan salah satu ritual di lingkup subak yaitu ritual mendak toya2. Ritual ini biasanya

dilaksana-kan sebagai awal kegiatan pertanian di lahan sawah. Anggota subak

sebelum menentukan kapan hari pelaksanaan ritual akan mencari per-hitungan hari baik dari petunjuk kalender (penanggalan Bali), maupun memohon petunjuk dari sulinggih (pendeta). Setelah hari baik tersebut ditentukan, maka pengurus subak akan melaksanakan sangkep untuk membahas persiapan pelaksanaan ritual. Setelah ada kesepakatan baik dari sisi kesiapan para istri (perempuan) untuk mempersiapkan ritual, demikian juga dari sisi ketersediaan dana untuk melaksanakan ritual tersebut maka ritual mendak toya dapat dilaksanakan.

Dalam pemahaman umat Hindu pelaksanaan upacara memiliki maksud dan tujuan tertentu demikian juga halnya dengan pemahaman pada anggota Subak Wongaya Betan. Sesajen upacara agama memiliki makna-makna tertentu yang digambarkan secara simbolis melalui bagian-bagian bahan, bentuk, atau wujud maupun warna tertentu. Makna Nyasa atau simbolis yang dibawakan masing-masing sesajen disesuaikan pula dengan maksud dan tujuan secara umum upacara yang dilaksanakan. Seperti ritual mendak toya yang dipersembahkan ke

1 Sradha: aturan

2 “Mendak toya”: ritual ini dilakukan di Pura Ulun Danu dan di sumber air yang

(4)

hadapan Dewa Wisnu (Dewa Penguasa Air) maka ada beberapa sesajen yang harus memakai warna Dewa Wisnu yaitu hitam, selain simbol-simbol lainnya yang terbuat dari janur dan bunga yang berwarna-warni. Hal ini tercantum dalam pernyataan Krisnu (1991) bahwa secara umum sesajen yang dihaturkan kehadapan Sang Pencipta memiliki beberapa makna yaitu:

(1) sebagai ungkapan rasa angayu bagia (rasa bahagia) atau rasa terimakasih yang ingin dicetuskan kehadapan Tuhan (Ida Sang Hyang Widi Wasa), atas segala anugerah yang telah dinikmati oleh manusia, (2) sebagai sebuah harapan atau permohonan, misalnya permohonan memperoleh umur panjang, (3) sebagai permohonan maaf atau mohon untuk diampuni segala kesalahan dan kekhilafan yang telah diperbuat, dan (4) sebagai wujud simbolis dari Tuhan (Ida Sang Hyang Widi Wasa) yang dipuja pada saat melaksanakan ritual (upacara).

Di dalam mengimplementasikan semua harapan yang dilambang-kan melalui ritual (upacara), dalam pedewasan (hari baik menurut kalender Hindu Bali) setiap upacara selalu mengacu pada filsafat Tri

Hita Karana (THK) yang menggambarkan adanya hubungan yang

seimbang antara manusia dengan Tuhan, manusia dengan manusia dan manusia dengan lingkungan. Ketiga hubungan keseimbangan ini juga akan dilambangkan dalam upacara yang berbeda. Dalam komunitas Subak Wongaya Betan upacara yang berbeda akan dilambangkan dengan sesajen yang berbeda pula. Hal ini merupakan implementasi dari ketiga hubungan dalam filosofi Tri Hita Karana. Untuk menun-jukkan hubungan dengan Sang Pencipta misalnya, maka ritual ngusaba

adalah salah satu contoh. Ritual ini memiliki maksud untuk mengucap-kan rasa syukur dan terimakasih anggota subak kehadapan Betara Sri

atau Dewi Sri karena tanaman padi di sawah mereka berproduksi dengan baik. Ritual ini dilaksanakan sebelum panen dan dilakukan secara kolektif oleh seluruh anggota subak. Sedangkan ritual yang berkaitan dengan hubungan dengan lingkungan contohnya adalah

nangluk merana yaitu melakukan pemberantasan hama tikus secara

(5)

Selain ritual yang berkaitan dengan aktivitas subak, secara umum Umat Hindu Bali memiliki pedewasan untuk melakukan upacara bagi Dewa yang menguasai kesuburan antara lain seperti Dewa Tumbuhan (diyakini sebagai pemelihara tumbuhan di lahan pertanian), Dewa Pertiwi (yang diyakini memelihara kesuburan lahan pertanian), Dewa Wisnu (yang diyakini sebagai Dewa penjaga sumber Air). Berkaitan dengan upacara bagi Dewa Tumbuhan yang dikenal dengan Tumpek Uduh 3maka Umat Hindu di Bali termasuk anggota Subak Wongaya

Betan melaksanakan upacara ini setiap 6 bulan yaitu setiap hari Sabtu Kliwon, wuku Wariga. Ritual ini biasanya dilaksanakan secara pribadi oleh masing-masing anggota subak di areal persawahannya, maupun di pura keluarga. Prosesi ini untuk melakukan pemujaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa dalam manifestasinya sebagai ”Dewa Sang Kara” (Sang Penguasa Tumbuh-tumbuhan). Upacara Tumpek Uduh ini dilaksana-kan di masing-masing rumah tangga dan juga di areal pertanian.

Bali Post (Sabtu, 19 September 2009) memuat artikel tentang “Tumpek Uduh Momen Strategis Revitalisasi Bangkitkan Pertanian di Bali”. Dalam artikel tersebut disebutkan bahwa sesungguhnya Tumpek Uduh merupakan salah satu kearifan lokal yang sangat strategis dalam usaha revitalisasi pertanian untuk kepentingan masa depan Bali, karena penghormatan terhadap tumbuh-tumbuhan secara luas dapat dijadikan momen kelestarian lingkungan. Selain upacara bagi tumbuh-tumbuh-an, orang Bali (Hindu) masih memiliki beberapa lontar (buku tentang ajaran Agama Hindu) yang memuat tentang pertanian seperti Dharma Pamaculan, Taru Pramana yang berkaitan denganpemberantasan hama dan usada atau pengobatan tumbuhan, dan Aji Janantaka tentang kayu (tumbuhan tahunan dan kehutanan). Semua lontar-lontar tersebut berisikan tentang bagaimana tatacara bertani, memberantas hama, kemudian memaknai hutan.

Dari uraian di atas ternyata ritual yang dilakukan umat Hindu dalam rangka menjaga kelestarian lahan pertanian dan penyelamatan

3 Simbolisasi yang dihaturkan pada perayaan tumpek uduh ini adalah adanya bubur

(6)

lingkungan yang mendasari kegiatan masyarakat petani di Bali sudah tersirat dalam lontar-lontar. Dari lontar-lontar tersebut dapat diper-kirakan bahwa pelaksanaan ritual ini sudah dilaksanakan secara turun temurun dalam jangka waktu yang lama. Walaupun pelaksanaan ritual (upacara) selama ini dianggap merupakan gugon tuwon yaitu sesuatu yang sudah seharusnya dilakukan tanpa makna yang jelas. Akan tetapi dengan pelaksanaan ritual yang demikian intens dan berlanjut sejalan dengan keberlanjutan kegiatan pertanian yang dilakukan di Subak Wongaya Betan maka ritual pertanian dapat lebih digali pemaknaan-nya. Hal ini untuk menghindari kesenjangan persepsi tentang ritual antara generasi tua dengan generasi muda. Dengan pemaknaan yang tepat akan ada kesadaran bahwa semua itu memang harus dilakukan karena berkaitan dengan kebutuhan dasar mereka untuk hidup dan melestarikan lahan pertanian sekaligus menyelamatkan lingkungan. Seorang Pemangku di Desa Wongaya Betan menyatakan bahwa selama ini upacara-upacara yang dilaksanakan oleh umat dan krama subak di areal persawahan seperti Mendak Toya, Ngendagin, Mewinih, Nangluk Merana sampai dengan upacara terbesar yaitu Ngusaba dilakukan karena memang sejak dulu upacara-upacara tersebut sudah dilakukan (gugon tuwon).

Sebenarnya upacara-upacara yang dilakukan oleh krama Subak merupakan rasa bhakti (rasa syukur) kehadapan Ida Sang Hyang Widi Wasa karena selama petani mengusahakan sawahnya, Beliau sudah memberikan anugrah baik berupa air yang cukup, tanaman padi yang sehat dan hasil panen yang cukup. Walau-pun memang kalau ditanyakan mengapa melakukan rangkaian upacara tersebut, saya mungkin tidak bisa menjawab...Bu (berdasarkan wawancara dengan Bapak pemangku Pura Dalem. Maret 2010)

Pemangku (pendeta) Pura Dalem menjelaskan bahwa umat maupun

(7)

kegagalan panen secara total di daerah tersebut. Walaupun usaha-usaha pengendalian secara mekanis telah dilakukan, tetapi hama tikus seolah kebal. Sehingga akhirnya subak memutuskan melakukan upa-cara Nyimpen Merana4. Hal ini dibenarkan oleh Pekaseh Subak, dan

menambahkan bahwa setelah pelaksanaan upacara tersebut, sampai saat ini Subak Wongaya Betan termasuk subak di kawasan Jatiluwih belum pernah ada serangan hama tikus. Hal ini diyakini krama subak

merupakan suatu akibat pelaksanaan ritual (upacara) yang berkelan-jutan dan konsisten dilakukan.

Kalau dicermati cerita pemangku dan Pekaseh Subak tersebut mencerminkan bahwa pelaksanaan upacara (praktik: lihat Bourdieu, 1990) sebenarnya merupakan suatu kewajiban yang kemudian sangat mengikat masyarakat dengan nilai dan norma yang telah disepakati, sehingga kesepakatan tersebut akhirnya secara tidak sadar merupakan sebuah kelembagaan yang diikuti dan ditaati bersama. Demikian juga dengan simbolisme dari Ida Cokorda Puri Gede Tabanan dalam ritual

nyimpen merana juga menunjukkan bagaimana karisma dan kekuatan

human capital (modal manusia) seseorang mampu mempengaruhi

image masyarakat luas untuk melakukan praktik tertentu secara ber-lanjut. Karisma yang dimiliki Ida Cokorda mampu memberikan spirit kepada masyarakat khususnya Krama Subak untuk tetap melaksanakan kewajiban dan tanggung jawab kepada Tuhan dengan tetap meme-lihara lingkungan melalui simbolisme upacara terhadap makhluk lain-nya. Fenomena ini merupakan penerapan filosofi Tri Hita Karana yang sudah sangat melekat di semua sisi kehidupan masyarakat subak untuk selalu menjaga keseimbangan dengan lingkungan dan hubungan dengan sesama manusia.

Secara rasional memang penjelasan fenomena ini agak rumit untuk dipahami. Akan tetapi dengan pelaksanaan nyimpen merana ini petani akhirnya lebih intensif memelihara tanamannya dari serangan

4 Nyimpen merana adalah ritual mengembalikan hama ke tempat asalnya, dengan

(8)

tikus karena spirit dari kedatangan seseorang yang sangat dihormati dan memiliki kekuasaan tradisional ke areal subak. Jadi seolah-olah ada kewajiban yang tidak tertulis bagi krama subak untuk lebih intensif memelihara sawahnya setelah dikunjungi seorang yang memiliki karisma pemimpin. Hal lainnya yang mampu menjelaskan fenomena ini adalah dengan kembalinya SubakWongaya Betan dan subak-subak

di kawasan Jatiluwih ke pelaksanaan pertanian organik, sehingga musuh alami dari tikus seperti ular mulai berfungsi sebagai pemangsa tikus.

Perempuan dan Ritual

Hasil wawancara dengan Ibu Ketut Witi salah seorang pengamat

adat dan sesepuh adat (krama istri), menyatakan bahwa ritual (upacara) yang dilakukan sebenarnya bersifat simbolik. Ritual bukan merupakan pekerjaan tetapi kerja (karya) bukan kekaryan (pekerjaan yang meng-hasilkan uang). Jadi dalam melaksanakan upacara tujuan kita hanya satu yaitu memohon keselamatan kepada Ida Sang Hyang Widi Wasa

atas segala limpahan rejeki dan kesehatan. Upacara tidak memiliki tujuan ekonomis, tetapi lebih banyak kearah spirit hidup.5 Ritual

Agama bagi perempuan Bali adalah Kerja (dalam Bahasa Bali Alus

karya atau gae dalam Bahasa Bali biasa). Walaupun dalam arti secara generik kerja memiliki juga arti bekerja yang dalam hal ini menda-patkan uang. Akan tetapi dalam konteks Agama dan Adat maka Madue Karya sering dikaitkan dengan upacara Agama atau Upacara lainnya yang berkaitan dengan Adat dan Budaya.

Secara sederhana ada tiga cara untuk memberikan arti kata karya

atau gae dalam komunitas Hindu yaitu: pekerjaan yang berkaitan dengan karier, pekerjaan yang terkait dengan persiapan kegiatan upa-cara dan pelaksanaan upaupa-cara itu sendiri. Dalam kaitannya dengan upacara kegiatan perempuan akan selalu lebih banyak dibandingkan dengan kegiatan pria, walaupun sebenarnya keterlibatan pria diperlu-kan terutama pada pekerjaan-pekerjaan yang memerludiperlu-kan tenaga fisik

(9)

yang lebih besar. Akan tetapi umumnya pada pelaksanaan upacara perempuan akan memerlukan keterlibatan yang lebih banyak diban-dingkan dengan pria. Sehingga pada pelaksanaan ritual sebenarnya ada dominasi peran perempuan, walaupun hal ini sudah dianggap sesuatu yang biasa dan sesuatu yang wajar oleh masyarakat. Perempuan me-miliki kewajiban lebih banyak dalam persiapan dan pelaksanaan upacara.

Pada situasi yang serba sulit saat ini dan kenyataan bahwa semakin banyaknya kegiatan pria mencari pekerjaan di luar desa atau lingkungan tempat tinggal, maka secara otomatis pekerjaan perempuan semakin banyak dalam kaitannya dengan melakukan pekerjaan kese-harian (domestik work) dan pekerjaan di lahan pertanian. Tidak jarang perempuan malahan menghabiskan jam kerja mengelola lahan sawah mulai dari membibit, menanam, memelihara dan bahkan sampai memanen (Oedjoe, 2007). Dalam kaitannya dengan pekerjaan di lahan sawah tersebut maka perempuan pun akan mempersiapkan sesajen sepanjang musim tanam dan kemudian langsung melaksanakan upacara tersebut. Seperti tercetus dari hasil wawancara dengan Pak Supris (Klian Subak Jatiluwih) bahwa sebagai sebuah keluarga yang memiliki seorang anak laki-laki, pekerjaan di sawah biasanya dilakukan secara gotong royong. Mengawali pekerjaan di sawah seperti membajak sudah pasti akan dilakukan Pak Supris bersama-sama dengan putranya, sedangkan Bu Supris seorang ibu rumahtangga mambantu memper-siapkan makanan bagi mereka sekeluarga. Setelah itu Bu Supris akan melanjutkan pekerjaan di sawah sampai pada kegiatan mewinih

(membibit), nandur (menanam), mejukut (memelihara tanaman padi) dan bahkan sampai panen.

(10)

Pak Supris kemudian merenung sambil melihat tanaman padinya yang tumbuh subur dan mungkin sebentar lagi akan dipanen. Dalam situasi seperti ini biasanya Pak Supris yang menunggu sawah sambil sesekali mengusir burung yang memakan buah padinya. Akan tetapi karena Pak Supris sudah sejak 6 (enam) bulan terakhir bekerja sambilan di luar desa maka pekerjaan tersebut dilakukan oleh istrinya.

Seperti sekarang ini..Bu..ketika padi sudah mulai berbuah saya hanya bisa datang sekali-sekali untuk mengusir burung karena kebetulan libur di tempat saya nukang...kalau tidak..maka istri saya yang akan mengusir burung sambil membawa alat-alat sesajen untuk persiapan melakukan upacara di sawah....”

Pekerjaan mengusir burung sambil membuat sesajen telah menjadi pekerjaan rutin Bu Supris. Apalagi upacara ngusaba sebentar lagi digelar karena sudah mendekati panen. Pada upacara ini krama istri

termasuk juga Bu Supris akan terlibat dari persiapan pembuatan sesajen sampai pada pelaksanaan ritual. Pak Supris kemudian mengatakan bagaimana istrinya sangat sibuk mempersiapkan upacara ngusaba yang dilaksanakan oleh subak.

Apalagi Bu.. pelaksanaan upacara di Subak sudah terjadwal..jadi kegiatan upacara hampir semuanya akan dikerjakan oleh krama istri (perempuan) termasuk istri saya, kalau saya sebagai krama laki-laki biasanya hanya mempersiapkan tempat sesajen dan bersih-bersih lingkungan. Kalau krama istri wah...banyak sekali tugasnya Bu...selain mempersiapkan sesajen juga biasanya ngayahin pemangku (membantu sulinggih) dalam pelaksanaan upacara. ” nak bise a wai bentet kurenan tyang ngae banten Bu.. (kegiatan tersebut bisa dilakukan hampir sehari penuh bahkan lebih).

(11)

yang dilakukan ibu Supris, ketika Pak Supris berada di luar rumah sebagai tukang bangunan, maka semua kegiatan rumah tangga dari persiapan pangan, ritual dan pemeliharaan lahan sawah dilakukan ibu Supris. Keterlibatan perempuan yang dominan dalam pembuatan se-sajen dan pelaksanaannya berdampak pada hambatan dalam pencapai-an karier. Dari studi Nakatpencapai-ani (2003; 125-127), perempupencapai-an memiliki frekuensi keterlibatan dalam acara ritual rata 50-60% di atas rata-rata pria. Data juga menunjukkan waktu yang dibutuhkan oleh perem-puan dalam pelaksanaan ritual adalah 75% sedangkan pria hanya 25%.

Akan tetapi kalau ditelaah lebih mendalam dari hasil wawan-cara dengan Bapak Supris sebenarnya partisipasi antara perempuan dan pria dalam pelaksanaan ritual sudah memiliki pembagian tugas. Walau-pun dari analisa waktu yang dihabiskan oleh perempuan dalam melak-sanakan upacara lebih tinggi akan tetapi dari segi beban kerjanya lebih besar bagi kaum laki-laki (lihat: Nakatani,2003). Misalnya seperti cerita Bapak Supris, perempuan memiliki tanggung jawab dalam pembuatan dan pelaksanaan ritual sedangkan pria hanya bertugas mendekorasi tempat upacara dan mempersiapkan makan untuk keperluan upacara. Keterlibatan perempuan dan laki-laki dalam pelaksanaan upacara ter-nyata tidak hanya dalam pelaksanaan upacara di lingkungan keluarga inti mereka, akan tetapi harus juga terlibat dalam pelaksanaan upacara di lingkungan lainnya seperti di lingkungan keluarga besar (Compound House), lingkungan Adat, kelompok kerja sosial lainnya (misalnya

banjar), dan dilingkungan kelompok kerja pertanian (seperti Subak).

Pada tanggal 10 Mei 2010 dilaksanakan ritual pemelaspasan

(peresmian) lumbung Subak Wongaya Betan di desa Mengesta. Lumbung ini merupakan bantuan Dinas Pertanian Provinsi Bali kepada Subak Wongaya Betan. Seperti fungsi lumbung pada umumnya, bangunan ini juga diharapkan dapat difungsikan sebagai tempat penyimpanan hasil panen bagi Subak Wongaya Betan. Di samping itu karena lumbung ini didesain bertingkat maka di areal bawah akan dimanfaatkan untuk kegiatan lainnya seperti rapat, tempat pembuatan

(12)

ritual yang dilakukan disebut pemelaspasan (peresmian). Peneliti kebetulan datang sehari sebelum ritual pemelaspasan akan dilaksana-kan (tanggal 9 Mei 2010), sehingga secara tidak langsung penulis melihat bagaimana anggota subak baik laki-laki maupun perempuan bergotong royong mempersiapkan pelaksanaan upacara esok harinya. Anggota subak laki-laki sibuk mempersiapkan asagan (meja tempat sesajen) yang terbuat dari bambu, sedangkan para istri (perempuan) sibuk mengurai janur untuk kelengkapan sesajen.

Dengan menggunakan pakaian adat sederhana (kemben dan kebaya) serta rambut digelung ke atas, para perempuan bekerja dengan tekun mempersiapkan sesajen sambil sesekali terdengar percakapan yang dilaksanakan di antara mereka. Sesekali seorang ibu memanggil bapak-bapak anggota subak mencarikan tali bambu yang akan diguna-kan mengikat sesajen-sesajen yang sudah selesai dirangkai. Sementara bapak-bapak yang lainnya sibuk juga mempersiapkan tenda tempat para tamu yang akan hadir dalam upacara peresmian esok harinya. Mereka terlihat sibuk mengangkat kursi-kursi, sebagian memasang janur di tenda yang telah terpasang dan 5 sampai 8 orang dari mereka juga sedang sibuk mempersiapkan konsumsi bagi para anggota yang sedang ngayah. Sekitar pukul 11.00 waktu setempat, makan siang sudah siap dihidangkan, dan pekaseh subak mengumumkan kepada anggota subak untuk istirahat makan siang. Seluruh anggota subak

(13)

perbandingan waktu yang dibutuhkan perempuan dengan laki-laki dalam pelaksanaan ritual adalah 3:1.

Tabel 3

Pembagian Waktu yang Dibutuhkan oleh Perempuan dan Laki-laki dalam Ritual Subak

(14)

Hal ini juga tersirat dari hasil penelitian Nakatani (2003) bahwa walaupun keterlibatan perempuan dalam pembuatan sesajen sangat menyita tenaga dan waktu, akan tetapi beberapa perempuan merasa sangat terhibur pada saat mereka membuat sesajen bersama-sama di Balai Banjar (Ruang Banjar). Karena pada kesempatan tersebut perem-puan biasanya dapat saling berkomunikasi membicarakan segala hal dengan sesama perempuan, sehingga mereka merasa gotong royong membuat sesajen merupakan sebuah hiburan untuk menghilangkan kepenatan urusan rumah tangga. Seperti yang diceritakan oleh Ibu Kadek (Wongaya Betan):

Membuat sesajen memang repot..banyak menyita waktu..apalagi harus meninggalkan rumah untuk ngayah (membantu). Tetapi menurut saya justru kesempatan tersebut saya gunakan untuk bertukar pikiran dengan ibu-ibu lainnya. Yah..kadang-kadang bercerita tentang anak-anak, tukar pikiran tentang keadaan padi di sawah...dan malah sering saya mendapatkan cara-cara baru dalam mengolah hasil sawah ..misalnya saja tentang penanaman padi hitam..dan organik saya peroleh dari teman saya yang suaminya ketua kelompok tani dan ternak di Tabanan. Oya pokoknya saya pribadi membuat sesajen dan melaksanakan upacara adalah sebuah keharusan..jadi tidak boleh ditolak. Saya menjalaninya saja Bu....”

Dari wawancara tersebut dapat dilihat bahwa selain kegiatan membuat banten (sesajen) ternyata perempuan memanfaatkan perte-muannya di banjar maupun di Balai Subak sebagai sebuah ruang berkomunikasi dan bertukar pikiran sehingga secara tidak langsung akan terjadi interaksi antara sesama perempuan dilingkup anggota

subak. Seperti terlihat pada suatu kegiatan pembuatan sesajen untuk upacara subakmendak toya di Subak Wongaya Betan. Setelah sangkep

(rapat) subak yang dihadiri anggota laki-laki memutuskan akan dila-kukan ritual mendak toya sebagai tanda bahwa pengolahan lahan akan dimulai, maka pekaseh subak akan memberitakan kepada krama istri

(anggota perempuan) untuk mulai menentukan hari ritual tersebut akan dilaksanakan. Setelah hari pelaksanaan ritual ditentukan, maka

(15)

membagi tugas untuk persiapan pembuatan sesajen kepada masing-masing anggota subak perempuan di Balai Subak Wongaya Betan. Para perempuan berkumpul di Balai Subak setelah mendengar suara kulkul 6(kentongan).

Dengan mengenakan pakaian adat sederhana para krama istri subak mulai membuat persiapan sesajen. Sesekali mereka terlihat mengobrol dan tertawa-tawa sambil tetap melakukan persiapan sesa-jen. Kebersamaan mereka terlihat sangat komunikatif, dan bersahabat. Dari penuturan Ibu Kadek tersirat bahwa dalam situasi seperti ini perempuan merasa lebih nyaman dan bisa berkonsentrasi dalam ke-giatan persiapan sesajen yang selalu akan terkait dengan seni membuat hiasan dari janur. Perempuan banyak yang merasakan penyucian diri dan pikiran pada saat mereka serius menekuni pekerjaan persiapan sesajen (nyuciang pikayun). Selanjutnya setelah sesajen selesai maka tiba saatnya perempuan dan keluarga menghaturkan sesajen tersebut ke Pura dengan memakai pakaian yang terbaru maka segala kesulitan dan kesusahan yang dihadapi berkaitan dengan pekerjaan yang lain dan bagaimana masalah mereka dengan kesulitan untuk mendapatkan uang seolah sejenak terlupakan. Beberapa dari mereka kelihatan bangga dengan hasil kerja mereka pada tampilan sesajen yang mereka haturkan. Biasanya perempuan merasa bahagia kalau mereka mampu menghaturkan sesajen yang baik. Demikian cerita Ibu Kadek sambil melanjutkan menjemur gabah di halaman rumahnya.

Berdasarkan penuturan Ibu Kadek memang saat ini sudah banyak orang yang menjual banten (sesajen) untuk keperluan upacara. Banten dengan mudah dapat dibeli, selama masyarakat mampu membeli. Akan tetapi karena ada makna-makna pertukaran pengetahuan dan pengalaman dalam kegiatan gotong-royong pembuatan sesajen tersebut membuat anggota subak tidak pernah membeli sesajen. Mereka selalu meluangkan waktu untuk berkumpul pada saat-saat pembuatan sesajen

6Kulkul: kentongan yang dibuat dari bambu. Suara kentongan ini biasanya sebagai

(16)

dan upacara. Lebih lanjut ditambahkan Bapak Kadek sebagian besar

krama subak (anggota subak) seolah merasa tidak puas karena mereka merasa kehilangan ikatan sosial dan makna relasi sosial yang selama ini terpelihara diantara sesama krama. Di samping juga perasaan bersalah terhadap Ida Sang Hyang Widi Wasa (Tuhan Yang Maha Esa) karena tidak melaksanakan kewajiban akhirat (niskala). Apalagi dikaitkan dengan kewajiban ngayah dari sisi fana (sekala) untuk kepentingan bersama, subak memiliki Awig-awig (aturan) yang akan mengenakan sanksi bagi mereka yang tidak berperan aktif dalam kegiatan bersama. Menurut Bapak Kadek baik kewajiban terhadap Ida Sang Hyang Widhi maupun kewajiban terhadap sesama krama dalam bentuk ngayah sama-sama memiliki kekuatan yang sangat jarang dilanggar oleh krama. Jadi sebenarnya pelaksanaan ritual merupakan pengikat anggota subak

dalam melakukan kegiatannya, karena secara tidak langsung dengan kepercayaan dan ketaatan terhadap nilai dan norma yang bersifat tidak nyata maupun nyata masyarakat petani khususnya yang tergabung dalam subak akan mengikuti aturan-aturan baik yang tertulis maupun yang tidak tertulis.

(17)

Dalam kehidupan nyata krisis identitas sering terkait dengan krisis nilai. Dalam kondisi seperti ini petani akan goyah kehilangan pegangan hidup. Dampak lebih lanjut adalah krisis identitas dan krisis nilai dapat menimbulkan ketegangan jiwa, keresahan sosial dan penya-kit sosial lainnya. Hal ini sebenarnya masih terjadi dalam subak, misal-nya saja masih ada beberapa anggota subak yang melanggar aturan yang telah disepakati, akan tetapi masih dapat diatasi dengan adanya keyakinan bahwa pelanggaran yang dilakukan akan selalu berdampak negatif bagi yang melanggar. Jadi secara keseluruhan sebenarnya yang terpenting dalam mempertahankan identitas diri petani adalah modal manusia dari petani itu sendiri.

Secara normatif, kualitas dilihat sebagai tingkat kesempurnaan seseorang atau kelompok manusia dalam perbandingan dengan kelom-pok lain. Salah satu dimensi kualitas manusia adalah kualitas spiritual, kepribadian, kemasyarakatan, dan budaya. Hal-hal tersebut akan sangat berpengaruh terhadap sistem nilai dan pandangan hidup manu-sia termasuk petani. Menurut Griya (1985) kebudayaan Hindu dan kebudayaan petani menempati posisi sentral dalam struktur nilai budaya Bali. Kalau pendapat Geertz (1983) tentang agama yang terikat dengan budaya, maka sangatlah signifikan kalau ritual akan sangat terkait pula dengan budaya Bali.

Ritual-Ritual Keagamaan dalam Subak

(18)

dilakukan oleh Umat Hindu dalam lingkungan Subak upacara-upacara tersebut pun dilaksanakan secara berkelanjutan tanpa pernah terlupa-kan. Upacara-upacara tersebut dilaksanakan mulai dari saat memper-siapkan saluran air, mempermemper-siapkan lahan, mempermemper-siapkan bibit sampai pada akhirnya melakukan panen dan melakukan syukur pada saat panen sudah berhasil.

Jenis ritual yang dilakukan selama satu musim tanam oleh subak

sangat banyak, dalam bagian ini hanya akan dipaparkan secara ber-urutan pelaksanaan ritual yang dilakukan oleh krama Subak Wongaya Betan sesuai dengan hasil wawancara dengan Pekaseh dan Kelian Subak. Paparan ini akan menjelaskan nama ritual, maksud dari ritual tersebut dilaksanakan lengkap dengan sarana yang digunakan. Menu-rut Pekaseh Subak, dan Kelian Subak, rangkaian upacara (ritual) di

subak diawali dengan ritual Mapag Toya (menjemput air) yang dila-kukan secara kolektif oleh anggota subak di empelan (dam) ataupun sumber air lainnya. Ritual ini bertujuan agar debit air dan kualitas air mencukupi dan berkualitas baik bagi tanaman warga subak. Di samping itu ritual ini juga bertujuan untuk memohon keselamatan bagi warga subak agar tanaman berhasil berproduksi baik.

Saat pengolahan tanah dilakukan ritual Ngendagin sebagai bentuk penyampaian atau berita bahwa tanah akan diolah kehadapan Ida Betara Ratu Penyarikan dalam manifestasi Ida Sang Hyang Widi Wasa sebagai penguasa tanah. Sarana yang digunakan berupa sesajen

(19)

Dalam rangka pembuatan tempat persemaian sampai kegiatan menabur benih dilakukan ritual Ngurit dengan sarana sesajen yang sama dengan ritual Ngendagin. Upacara (ritual) ini bersifat personal, sehingga semua kelengkapan sarana ritual dipersiapkan masing-masing keluarga petani, biasanya oleh kaum perempuan di keluarga petani bersangkutan. Setelah sesajen siap, pelaksanaan ritualnya hanya di-lakukan keluarga petani yang biasanya terdiri dari suami dan istri dari petani bersangkutan. Persiapan pelaksanaan ritual diawali dengan bersih-bersih di hulu sawah keluarga petani bersangkutan, kemudian dilanjutkan dengan pelaksanaan ritualnya. Warga subak perempuan pertama-tama menghaturkan canang sari pada tempat yang telah dipersiapkan yang disebut sanggah7, dilanjutkan dengan muspa

bersa-ma dengan sarana bunga warna-warni, dan diakhiri dengan nunas tirta

(minum air suci).

Setelah benih siap untuk ditanam di lahan, warga subak secara kolektif melaksanakan ritual Ngrasakin. Ritual ini diawali dengan pemotongan daun bibit padi oleh pekaseh subak. Pemotongan ini dipercaya dapat mencegah bibit yang ditanam tidak mudah rebah bila diterpa angin dan juga untuk merangsang pertumbuhan. Ritual ini dilaksanakan di Pura Bedugul (hulu carik) karena memang letak pura ini biasanya di hulu areal subak. Karena merupakan ritual kolektif maka seluruh anggota subak wajib mengikuti ritual ini. Setelah ritual selesai dilaksanakan, masing-masing anggota subak biasanya membawa sedikit bibit padi dan potongan daun bibit padi (jejaton) ke masing-masing sawah anggota subak, yang kemudian secara simbolis akan ditanam di lahan masing-masing anggota subak.

Ritual di atas dilakukan sebelum penanaman bibit padi di lahan sawah anggota subak. Pada saat bibit padi di persemaian sudah siap tanam, warga subak akan melaksanakan ritual Ngewiwit. Ritual ini dilakukan secara kolektif terlebih dahulu di areal sawah pekaseh subak

sebagai tanda bahwa penanaman padi sudah boleh dilaksanakan di masing-masing lahan anggota subak. Penanaman dilakukan secara

(20)

rempak, yang diyakini akan dapat megurangi siklus hama dan penyakit sehingga pengendalian dapat dipermudah. Menurut cerita pekaseh, dulu setelah upacara ngewiwit dilaksanakan penanaman secara ber-giliran dimulai dengan melakukan penanaman di lahan pekaseh secara gotong royong kemudian dilanjutkan dengan penanaman pada lahan anggota subak yang lainnya secara bergantian. Jadi pada masa itu keeratan hubungan antar anggota masih sangat kental demikian juga halnya dengan nilai gotong-royong masih sangat dijunjung tinggi warga subak. Akan tetapi dengan terjadinya perubahan kepentingan dan arus modernisasi yang menyebabkan beberapa individu berpikiran ekonomis dan individualis, maka penanaman secara gotong-royong sudah tidak banyak dilakukan lagi. Walaupun memang diakui oleh

pekaseh bahwa masih ada beberapa anggota subak yang mau melaku-kan penanaman serempak dengan cara gotong royong.

(21)

semua anggota subak. Tirta (air suci) yang diperoleh dari pura Pekendungan tersebut akhirnya dibagikan ke masing-masing anggota

subak dipergunakan di keluarga dan lahan masing-masing petani. Tujuan upacara ini adalah selain memohon keselamatan juga untuk pengendalian hama tikus. Ritual Penyepian ini oleh anggota Subak Wongaya Betan dikaitkan dengan piodalan8 di Pura Batu Panes

Pada saat tanaman berumur 82 hst. dilaksanakan upacara

Mabiukungkung dengan sarana asem-aseman (menggunakan

bahan-bahan untuk membuat rujak). Tujuan ritual ini adalah melambangkan tanaman padi pada umur 82 hst. ini sudah memasuki fase mulai berbuah sehingga diumpakan tanaman padi tersebut mengalami fase”

ngidam” dianalogikan dengan fase hamil pada manusia. Sehingga pada fase ini ritual yang dilakukan menggunakan asem-asem agar padi akan berbuah lebat dan bernas karena kebutuhan pada saat ngidam sudah terpenuhi. Setelah ritual ini dilakukan maka petani (kaum perempuan) akan tetap menghaturkan ritual berupa sesajen (sesajen) sederhana yang dilakukan secara individu oleh masing-masing anggota subak, sambil menunggu padi siap untuk dipanen. Pada masa ini juga sering dilakukan ritual nangluk merana yang menurut penuturan Kelian Subak ritual ini memiliki tujuan menghindarkan tanaman padi yang sudah mulai berbuah dari seranga hama dan penyakit tanaman terutama serangan tikus. Ritual ini dilaksanakan secara kolektif, yang diawali dengan memohon tirta (air suci) di Pura Luhur Pekendungan Tanah Lot. Tirta ini kemudian dipercikkan pada tanaman padi di masing-masing lahan anggota subak. Saat memercikkan tirta ini biasa-nya disertai dengan sesajen caru (persembahan untuk makhluk gaib) yang disebut Bhuta Kala9 yang dipercaya mengendalikan hama dan

penyakit tanaman. Ritual ini bisa menjadi sesuatu yang besar dan harus dilaksanakan secara koordinatif antar subak di tingkat Kecamatan bahkan di tingkat kabupaten apabila serangan hama dan penyakit semakin merajalela.

8 Piodalan: perayaan di Pura yang biasanya dilakukan setiap 6 bulan sekali secara

(22)

Sekitar 2-3 hari menjelang panen anggota Subak Wongaya Betan melaksanakan ritual Mesaba secara kolektif di Pura Bedugul. Ritual ini bertujuan untuk menyampaikan (pemberitahuan) kehadapan Ida Sang

Hyang Widi Wasa dalam manifestasinya sebagai Ida Betara Ratu

Penyarikan, bahwa buah padi akan dipanen. Ritual ini juga memiliki fungsi sebagai rasa syukur bahwa panen akhirnya dapat dialksanakan dan padi berbuah dengan baik. Setelah upacara ini selesai dilakukan di

Pura Bedugul, masing-masing anggota subak pun akhirnya melaksana-kan upacara yang sama (walaupun menggunamelaksana-kan sarana yang lebih sederhana) di masing-masing sawah anggota subak. Pada saat panen biasanya petani akan menyisihkan sedikit padi lengkap dengan tang-kainya. Padi ini kemudian diikat menjadi satu sebagai simbol Dewa Nini (lambang dari Dewi Sri yaitu Dewi kemakmuran). Dewa Nini ini akhirnya akan dituntun (diusung) ke masing-masing rumah anggota

subak utnuk disimpan di Lumbung (jineng) yang dirangkaikan dengan ritual Dewa Nini.

Walaupun jenis ritual yang dilakukan selama satu musim tanam oleh subak sangat banyak, akan tetapi 2 (dua) jenis upacara yang akan dimuat dalam bagian berikut sangat kental dengan sisi kearifan lokal, sentuhan gotong royong, proses interaksi dan relasi sosialnya. Kedua upacara ini tergolong upacara yang besar dan dilakukan secara bersa-ma oleh subak. Kedua upacara tersebut adalah upacara Nangluk Merana dan Ngusaba Nini. Ritual (upacara) ini merupakan upacara kunci dari implementasi hubungan manusia dengan Sang Pencipta, hubungan manusia dengan sesama dan hubungan manusia dengan lingkungan (filosofi THK). Hal ini ditunjukkan dengan bagaimana keterkaitan antara ritual Nangluk Merana dengan pengendalian hama di lahan pertanian, yang tentu saja akan sangat menentukan keber-hasilan pertanaman di areal pertanian. Demikian juga dengan ritual

Ngusaba Nini yang memiliki pelambangan sebagai ungkapan rasa

(23)

Nangluk Merana

Upacara Nangluk Merana yang telah umum dilaksanakan di kalangan umat Hindu di Bali khususnya masyarakat petani adalah tergolong upacara Bhuta Yadnya. Akan tetapi kaitannya dengan Dewa Yadnya tidak dapat dipisahkan. Kata Nangluk Merana (bahasa Bali) berarti menangkal, memagari atau mencegah agar hama dan penyakit tidak menggangu tanaman petani. Upacara ini sebenarnya bermakna memohon kehadapan Ida Sang Hyang Widhi Wasa agar berkenan mengendalikan hama dan penyakit. Sebagai umat beragama yang taat kepada ajaran agama yaitu Hindu, mereka percaya segala sesuatu yang ada di dunia ini adalah ciptaan Tuhan. Oleh karena itu Umat Hindu dalam usaha menangkal dan mengendalikan hama dan penyakit tanaman selalu memohon kehadapan Ida Sang Hyang Widhi Wasa

melalui berbagai bentuk upacara yang dipesembahkan pada hari-hari tertentu.

Sebagaimana dalam setiap upacara yang dilakukan oleh Umat Hindu upacara Nangluk Merana ini dalam pelaksanaannya juga di-warnai dengan unsur ”desa, kala, patra” (tempat, waktu dan kebiasaan) serta tingkatan upacara dalam agama Hindu ”Nista, Madya, Utama” (sederhana, menengah dan utama). Hal ini menunjukkan bahwa fleksi-bilitas agama Hindu adalah sangat tinggi, sehingga dalam pelaksanaan setiap upacara akan telihat berbagai variasi dalam pelaksanaannya. Akan tetapi makna dan maksud yang dikandung dalam setiap upacara adalah tetap sama. Yang perlu mendapat perhatian umat Hindu adalah bagaimana prinsip-prinsip dan tujuan dari upacara tersebut tetap di-patuhi. Bagi Umat Hindu di Bali upacara Nangluk Merana merupakan upacara yang dilakukan dalam rangkaian upacara (ritual) yang dilaku-kan oleh Subak di lahan pertanian. Waktu pelaksanaan biasanya sudah ditentukan oleh sistem kalender (penanggalan Hindu), di samping juga kesepakatan anggota subak itu sendiri.

(24)

menggunakan cara-cara mekanis sesuai dengan tingkat serangan yang terjadi. Seperti dikatakan oleh Pekaseh Subak bahwa upacara Nangluk Merana dilakukan ketika padi berumur 85 hari setelah tanam (hst). Upacara ini diawali dengan kegiatan nunas tirta (memohon air suci) di

Pura Pekendungan Tanah Lot (Pura ini terletak sekitar 20 km ke arah Selatan Desa Mengesta). Pura ini dianggap tempat berstananya (tempat pemujaan) dari Dewa Sri. Pura ini sering juga disebut dengan Pura Subak Gede. Karena berkaitan dengan permohonan air suci maka

(25)

(b)

Gambar 17

a) Berjuang Memburu Tikus; b) Tikus-tikus Hasil Buruan

Sumber: Dokumentasi Martiningsih, 2010

sumber air yang berada di sekitar Pura ini harus dijaga kelestariannya sehingga setiap pelaksanaan upacara Nangluk Merana ini sumber air masih tetap ada. Praktik ini sangat erat kaitannya dengan pemeliharaan sumberdaya alam yang berkelanjutan.

(26)

bersama-sama. Waktu pengomposan tikus ini biasanya dijadwalkan

subak setempat. Setelah tikus-tikus tersebut terkumpul kemudian dila-kukan upacara pengabenan tikus, karena seperti konsep yang dikemu-kakan oleh Krisnu bahwa mrana (dalam hal ini tikus) adalah ciptaan dari Ida Sang Hyang Widhi Wasa, oleh karena itu umat Hindu senan-tiasa selalu diingatkan bahwa setiap ciptaan NYA wajib di hormati seperti kita menghormati diri kita sendiri (tatwamasi) sehingga tikus-tikus ini pun akhinya akan diupacarai seperti upacara yang dilaksa-nakan pada manusia yaitu ngaben tikus10”. Ngaben tikus ini biasanya

dilakukan secara bersama oleh beberapa subak yang letaknya ber-dekatan.

Seperti telah disinggung sebelumnya, hampir semua sesajen yang dilaksanakan dalam kepercayaan umat Hindu merupakan simbol yang mereka sadari harus dilakukan dengan sungguh-sungguh. Telah menja-di sugesti (pikiran yang mengikat) bagi setiap umat Hindu bahwa dengan melakukan semua upacara tersebut maka mereka akan selalu dalam keadaan selamat, akan terjadi malapetaka apabila mereka tidak melakukan upacara. Hal ini terungkap dari wawancara dengan ketua kelompok petani organik di Subak Wongaya Betan bahwa tidak ada satu pun anggota kelompok maupun anggota subak lupa untuk melaku-kan rangkaian upacara yang dilaksanamelaku-kan dalam satu musim tanam pertanaman padi mereka. Kalau seandainya terjadi maka mereka ber-pikir bahwa malapetaka akan menimpa keluarga atau kelompok yang tidak melakukan upacara tersebut.

Ngusaba Nini

Walaupun pelaksanaan upacara agama Hindu bervariasi, namun inti hakikat upacara itu adalah sama. Dalam hal ini agama Hindu (umat Hindu) melaksanakan upacara berpatokan pada desa, kala, patra. (bahasa Bali) yang artinya disesuaikan dengan tempat dimana upacara

10 Ngaben tikus: upacara yang dilakukan terhadap bangkai tikus hasil pengendalian

(27)

dilakukan, disesuaikan dengan waktu dan disesuaikan dengan kesepa-katan warga setempat. Pesan-pesan dan ajaran yang disampaikannya adalah kebenaran abadi. Ajarannya berlaku di tingkat apa pun, di tempat mana pun dan untuk waktu kapan pun. Ditambahkan pula bahwa umat Hindu Bali sangat percaya akan kebenaran suatu per-buatan pasti akan mendapatkan hasil, tidak ada sesuatu perper-buatan yang sia-sia dalam kehidupan ini. Mereka percaya bahwa akan selalu terjadi timbal balik dalam kehidupan ini (resiproksitas). Jika manusia meng-ambil sesuatu dari ciptaan Sang Hyang widhi Wasa maka manusia diharapkan harus senang dan rela menghaturkan sesuatu kepadaNya. Dengan adanya kepercayaan timbal balik ini maka pelaksanaan yadnya

di Bali tidak mungkin dihapuskan atau dihilangkan atau ditinggalkan begitu saja. Karena menurut kepercayaan umat Hindu semua yang ada di dunia ini adalah hutang yang harus dibayar dengan salah satunya yaitu melalui pelaksanaan Yadnya. Umat Hindu khususnya petani memuja Dewi Sri sebagai Istadewata. Dewi Sri sering dilambangkan sebagai dewinya padi atau beras yang menjadi sumber kehidupan petani dan upacara Ngusaba Nini adalah pemujaan Sang Hyang Widhi

dalam manifestasi sebagai Dewi Sri serta memohon kepadaNya agar hasil-hasil pertanian berlimpah-limpah serta menjauhkan dari hama dan penyakit.

Ngusaba Nini berasal dari kata ngusaba dan kata nini. Ngusaba

(28)

Gambar 18

Semua berperan dalam ritual ngusaba nini

Sumber: Dokumentasi Martiningsih, 2011

Pelaksanaan upacara Ngusaba atau sering juga disebut Mesaba

agak sedikit berbeda di antara satu subak dengan subak lainnya.

(29)

rasionalis-filosofis. Kesadaran ini untuk mengurangi hal-hal yang dogmatis dengan mempergunakan kajian sastra agama yang ada dalam pustaka lontar maupun kitab lainnya. Dalam konteks ini perlu pengkajian dengan seksama tentang peranan upacara agama Hindu untuk dapat dipahami arti, fungsi dan manfaatnya dalam kehidupan ini. Dengan pemahaman yang tepat akan menambah kemantapan perasaan umat dalam pelaksanaan upacara agama Hindu. Mengenai adanya keyakinan dari petani akan adanya kesengkalan (kena marabahaya) apabila tidak melaksanakan upacara Mesaba ini, maka Pekaseh Subak Wongaya Betan pun belum memahami keterkaitannya. Akan tetapi pernah ada kejadian salah satu anggota yang tidak melaksanakan upacara ini, maka buah padi petani tersebut kosong walaupun tanaman padinya kelihatan tumbuh normal.

Upacara Ngusaba Nini diawali dengan membuat pelambangan

Dewa Nini (sebagai perwujudan Dewi Sri) yang dipercaya sebagai

lambang Dewa Kesuburan. Pelambangan Dewa Nini ini terdiri dari satu ikat padi lokal hasil panen dari masing-masing anggota subak yang digabungkan dan diikat menjadi satu. Setelah padi tersebut diikat ke-mudian ditempatkan pada sanggah (tempat yang terbuat dari bambu), dimana kemudian padi ini dihias dengan aneka warna bunga. Setelah pelambangan yang terbuat dari padi berhiaskan bunga siap, selanjutnya ditempat pada sanggah yang sudah dipersiapkan dan kemudian diberi-kan sesajen (sesajen) yang terdiri dari daksina, canang sari dan aneka buah dan jajan. Pemangku kemudian membacakan mantra-mantra

(pujian yang ditujukan kehadapan Tuhan) dan upacara ini diakhiri dengan sembahyang bersama dan minum air suci yang dipercikan oleh pemangku. Setelah itu setiap anggota subak akan membawa air suci tersebut ke lumbung masing-masing untuk dipercikan. Hal ini dilaku-kan sebagai rasa terimakasih kehadapan Tuhan karena panen berhasil dan lumbung petani tetap terisi, sehingga memiliki persediaan pangan untuk dijual maupun untuk dikonsumsi.

Pelambangan

Dewa-Dewi

(30)

seorang pria dan kemudian Dewa perempuan dilambangkan dengan seorang Dewi yang merupakan sakti dari Dewa. Dalam pemikiran umat Hindu, Dewa akan berfungsi sempurna kalau beliau dibantu oleh kekuatan Dewi yang merupakan sakti dari Dewa. Dewa dan Dewi dalam pemaknaan umat akan memiliki fungsi yang spesifik.

Implementasinya dalam kehidupan sehari-hari umat Hindu ter-nyata mengacu ke konsep Dewa dan Dewi tersebut. Misalnya saja seorang anggota subak pria akan tercatat secara formal di keanggotaan

subak, akan tetapi dalam hal pekerjaan yang dilaksanakan subak maka istri anggota subak otomatis akan berperan juga dalam areal subak

bukan hanya dalam pekerjaan di lahan pertanian, para perempuan juga sangat berperan melaksanakan segala kebutuhan dan keperluaan

yadnya dan ritual yang dilakukan subak. Walaupun memang pada

penentuan dan pengambilan keputusan untuk melakukan ritual tetap ditentukan oleh rapat anggota subak yang secara tidak langsung ditentukan kaum suami (pria). Selama ini memang menurut penuturan Ibu Wayan (anggota subak perempuan) belum pernah ada keluhan tentang hal tersebut. Lebih lanjut ditambahkan oleh Ibu Kadek (istri

Pekaseh Subak) bahwa kalau jenis upacara yang akan dilakukan tergo-long besar (”karya Ageng”) maka pengurus istri akan mengadakan rapat pembagian kerja dan pembagian pembuatan sesajen (banten). Pada pembagian ini biasanya tidak seorang pun berani menolak apa yang sudah ditugaskan pengurus, sehingga ketika pertanyaan tentang bagai-mana pendapat Ibu Kadek terhadap adanya anggapan bahwa melak-sanakan upacara merupakan sesuatu yang mubasir, seolah tidak ber-guna langsung dibantah oleh Ibu Kadek.

Kalau menurut saya pelaksanaan sesajen tetap penting dan harus dilakukan. Walaupun pada suatu saat mungkin saya tidak me-miliki uang, tetapi saya akan tetap berusaha untuk melaksana-kannya. Dan anehnya memang kalau sudah tiba waktunya untuk membuat sesajen maka pasti saya akan punya uang untuk melakukan upacara tersebut.

(31)

oleh hasil panen, padahal yang lainnya memperoleh hasil yang lumayan. Dari kejadian tersebut akhirnya terbukti sesederhana apa pun upacara tersebut harus tetap dilakukan dan merupakan hal yang tabu untuk tidak melaksanakannya.

Lebih lanjut diceritakan Ibu Wayan bahwa dia mengetahui se-mua jenis dan macam sesajen dan upacara pertanian dari orang tuanya. Orang tua Ibu Wayan adalah seorang Sulinggih (pemangku) yang sering menghantarkan upacara baik pada kehidupan sehari-hari mau-pun pada tingkatan organisasi subak. Ibu Wayan menyatakan bahwa secara otomatis bisa dan mengerti dalam pembuatan semua sesajen yang harus dilakukan dalam rangkaian satu musim tanaman di wilayah

subak. Selama ini seluruh anggota subak selalu mantaati semua upacara yang dilakukan.

Ibu Nyoman (juga merupakan anggota petani perempuan) menambahkan bahwa pernah suatu ketika subak tetangga (Subak Belulang) tidak melakukan salah satu upacara secara baik tetapi mereka melakukan dengan mengganti upacara tersebut dengan imbalan uang atau padi (”ngaturan sarin taun”)11 tanpa membuat sesajen yang

seha-rusnya, dan pada musim tanam berikutnya Subak Belulang tersebut tidak dapat panen karena hama tikus merajalela. Anehnya kejadian di Subak Belulang akhirnya menular ke subak Ibu Nyoman, sehingga pada musim itu hasil yang diperoleh menurun yang biasanya mengha-silkan sekitar 9 (sembilan) ton per hektar, akibat kejadian tersebut hanya menghasilkan 5 ton per hektar. Hasil ini memang tidak separah hasil yang diperoleh oleh Subak Belulang. Dari beberapa contoh kejadian tersebut maka Ibu Wayan dan Ibu Nyoman sangat percaya bahwa pelaksanaan upacara yang dilakukan subak selama satu musim tanam harus lengkap dan dilakukan dengan tulus ikhlas. Di samping itu dipercaya bahwa kealpaan satu subak walaupun pada wilayah yang berbeda akan berdampak pula pada subak yang lainnya. Jadi dipercaya bahwa dalam satu kawasan pelaksanaan ritual dan pola tanam subak

merupakan sesuatu yang bersifat holistik saling berhubungan sehingga

(32)

Masing-Gambar 19

Merangkai perlambangan Dewa-Dewi

Sumber: Dokumentasi Martiningsih, 2011

mempertahankan komunikasi, relasi sosial dan kesadaran akan keber-samaan sangat melekat pada organisasi subak di Bali. Hal ini karena satu anggota subak melakukan kesalahan, maka anggota subak yang lain diyakini akan merasakan dampak buruknya, malahan seluruh

subak di kawasan tersebut akan terkena imbas negatifnya.

Kaitannya dengan pelaksanaan kegiatan adat dan subak, maka Pak Nyoman menyatakan bahwa setiap anggota SubakWongaya Betan masih mungkin melakukan negosiasi antara kedua kepentingan terse-but. Misalnya saja kegiatan adat berbenturan dengan kegiatan subak

(33)

kegiatan subak pun tetap dapat dilaksanakan. Jadi dalam hubungan ini masih terdapat relasi sosial yang fleksibel antara kepentingan subak

dan adat. Setiap anggota subak terlibat dalam adat dan aturan adat

merupakan sesuatu yang memiliki kekuatan besar dalam mengatur kehidupan masyarakat Bali Hindu, sehingga kegiatan subak harus selalu menyesuaikan kegiatan dengan adat.

Untuk memperkokoh pelaksanaan Agama Hindu dalam Budaya Bali di tunjang oleh adat yag secara turun menurun sudah dikenal dan masih dihormati serta masih memiliki kekuatan yang sama malahan sering lebih tinggi dibandingkan aturan Pemerintah. Dalam pelaksana-an budaya, agama dpelaksana-an adat maka umat Hindu dalam implementasinya menyisipkan unsur seni sehingga dalam kenyataannya pelaksanaan upacara agama Hindu di masing-masing daerah dan negara berbeda walaupun mungkin memiliki tujuan yang sama. Dalam semua rangkai-an kegiatrangkai-an budaya, agama, adat dan seni masyarakat biasanya tanpa sadar akan mempraktikkan kearifan-kearifan lokal yang masih eksis di suatu daerah. Sehingga sering kita lihat bahwa walaupun suatu ke-giatan sudah dilaksanakan secara terus menerus akan tetapi pemaknaan terhadap kegiatan tersebut sering tidak diketahui atau disadarai oleh pelakunya. Mereka hanya melakukan secara gugon tuwon pengetahuan diturunkan secara lisan dari orangtua ke masing-masing keturunannya.

Dalam kaitannya dengan posisi sebagai anggota subak dan adat

(Gambar 7), maka secara pribadi petani sebagai anggota subak harus mampu memposisikan dirinya sebagai bagian dari adat dan bagian dari

subak, artinya sebagai anggota adat yang harus tunduk pada peraturan

(34)

anggota masyarakat, adat dan agama yang harus dengan tulus ikhlas melaksanakan setiap kegiatan yang diharuskan dan diwajibkan oleh budaya, adat dan agama Hindu Bali.

Kesimpulan

Gambar 20 menunjukkan bagaimana ritual tersebut terinternali-sasi dalam diri perempuan yang secara regular melakukan ritual. Seperti yang telah dijelaskan pada bab dua tentang proses terbentuknya

kesadaran yang kemudian berdampak menimbulkan suatu kebiasaan (habitus/behaviour). Di mana dalam proses pembentukan kebiasaan

tersebut sangat dibutuhkan modal dari pelaku. Dalam konteks penelitian ini maka ada modal sosial dan modal budaya yang terlibat. Hal ini dapat dilihat dalam pelaksanaan ritual yang secara simbolis dilakukan dengan membuat simbol-simbol melalui rangkaian sesajen. Dalam proses persiapan sesajen dan pelaksanaan ritual tersebut sebenarnya terjadi interaksi, komunikasi dan pertukaran pengetahuan serta pengalaman dari pelaku. Sehingga pemberdayaan jaringan dan keterikatan antara masing-masing individu perempuan dapat dikatakan merupakan pemberdayaan modal sosial dalam ritual. Demikian juga dengan adanya keyakinan akan sesuatu yang bersifat turun temurun dan memiliki nilai sejarah, menyebabkan terbentuknya ikatan emosi-onal perempuan akan pelaksanaan ritual. Situasi ini sebenarnya meru-pakan implikasi dari adanya modal budaya yang terlibat dalam ritual. Kesadaran yang terbentuk pada saat pelaksanaan ritual akan mengen-dap menjadi sebuah pemaknaan sehingga akan mengen-dapat terimplementasi-kan secara berkelanjutan dalam praktik-praktik nyata dalam usaha pelestarian pertanian dan lingkungan guna mendorong ketahanan pangan dan hayati dalam rangka mencapai pembangunan yang ber-kelanjutan.

(35)

ritual pada tingkat individu anggota subak perempuan akan disajikan pada bab delapan, Gambar 24.

RITUAL : kolektif

individu

KESADARAN

PEMAKNAAN

KETAHANAN PANGAN DAN

HAYATI PRAKTIK

Anggota subak (perempuan)

Kebiasaan/ Behaviour/Habitus Modal sosial

Modal budaya Persiapan dan

pelaksanaan

Gambar 20

Gambar

Tabel 3
Gambar  17 a) Berjuang Memburu Tikus;  b) Tikus-tikus Hasil Buruan
Semua berperan dalam ritual Gambar  18 ngusaba nini
Merangkai perlambangan Gambar 19 Dewa-Dewi
+2

Referensi

Dokumen terkait

5 2010 Peningkatan Hasil Prestasi Belajar Mahasiswa Melalui Metode Task Based Teaching (TBT) Pada Mata Kuliah Bahasa Inggris Di PGSD, FIP, UNY. Ketua

dan komitmen yang tinggi. Untuk bekerja dengan professional maka seorang pegawai harus mau dan bisa melakukan pekerjaaan yang menjadi tugas dan fungsinya. Untuk bisa atau

Analisis terhadap keefektivan dari Perangkat Pembelajaran Matematika berbasis konstruktivisme diperoleh hasil dari aktivitas, respon, hasil belajar siswa,

Ketersediaan pakan hidup merupakan peranan penting dalam budidaya perairan, Nannochloropsis sp merupakan mikro algae yang dapat digunakan sebagai pakan hidup untuk

[r]

Adapun maksud dan tujuan peneliti menyusun skripsi ini yaitu untuk memenuhi tugaas akhir dan melengkapi salah satu syarat kelulusan pada fakultas Ekonomi dan Bisnis,

Jawaban dibuktikan dengan daftar rata-rata nilai uji kompetensi mata pelajaran produktif tahun terakhir dan hasil penetapan kompetensi siswa sesuai dengan Standar Operasional

Peneliti memberikan saran kepada guru kelas khususnya dan pemerhati pendidikan pada umunya hal- hal sebagai berikut (1) Guru diharapkan menerapkan variasi model