• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

2.2. Landasan Teori

2.2.5. Pelaporan pertanggungjawaban sosial perusahaan

Ada 2 jenis ungkapan dalam pelaporan keuangan yang telah ditetapkan oleh badan yang memiliki otoritas di pasar modal. Pertama adalah ungkapan wajib (mandatory disclosure), yaitu informasi yang harus di ungkapkan oleh emiten yang diatur oleh peraturan pasar modal di suatu Negara. Sedangkan yang kedua adalah ungkapan sukarela (voluntary disclosure), yaitu ungkapan yang dilakukan secara sukarela

oleh perusahaan tanpa diharuskan oleh standar yang ada. Pengungkapan sosial yang diungkapkan perusahaan merupakan informasi yang sifatnya sukarela. Karenanya, perusahaan memiliki kebebasan untuk mengungkapkan informasi yang tidak diharuskan oleh badan penyelenggara pasar modal. Keragaman dalam pengungkapan disebabkan oleh entitas yang dikelola oleh manajer yang memiliki filosofis manajerial yang berbeda dan keluasan dalam kaitannya dengan pengungkapan informasi kepada masyarakat. (Anggraini, 2006:4)

Standar pelaporan pertanggungjawaban sosial sampai saat ini belum mempunyai standar yang baku, hal ini dikarenakan adanya permasalahan yang berhubungan dengan biaya dan manfaat sosial. Perusahaan dapat membuat sendiri model pelaporan pertanggungjawaban sosialnya. (Anggraini, 2006:4)

Informasi dalam menyusun dan mengungkapkan tentang aktivitas pertanggungjawaban sosial perusahaan, Zhegal & Ahmed (1990) mengidentifikasi hal-hal yang berkaitan dengan pelaporan sosial perusahaan, yaitu sebagai berikut:

1. Lingkungan

Bidang ini meliputi aktivitas pengendalian pencemaran dan pelestarian lingkungan hidup. Meliputi, pengendalian terhadap polusi, pencegahan atau perbaikan terhadap kerusakan lingkungan, konservasi alam, dan pengungkapan lain yang berkaitan dengan lingkungan.

2. Energi

Bidang ini meliputi aktivitas dalam pengaturan penggunaan energi dalam hubungannya dengan operasi perusahaan dan peningkatan efisiensi terhadap produk perusahaan. Meliputi, konservasi energi, efisien energi.

3. Praktik bisnis yang wajar

Meliputi pemberdayaan terhadap minoritas dan perempuan, dukungan terhadap usaha minoritas, tanggung jawab sosial

4. Sumber daya manusia

Bidang ini meliputi aktivitas untuk kepentingan karyawan sebagai sumber daya manusia bagi perusahaan maupun aktivitas di dalam suatu komunitas. Aktivitas tersebut antara lain, program pelatihan dan peningkatan ketrampilan, perbaikan kondisi kerja, upah dan gaji serta tunjangan yang memadai, pemberian beberapa fasilitas, jaminan keselamatan kerja, pelayanan kesehatan, pendidikan, seni. 5. Produk

Meliputi keamanan, pengurangan polusi.

2.2.6. Kepemilikan manajemen

Kepemilikan manajerial merupakan presentase atau proporsi saham yang dimiliki oleh manajemen (Faisal, 2005). Sedangkan kepemilikan manajemen adalah pemegang saham yang dari pihak manajemen yang secara aktif ikut dalam pengambilan keputusan perusahaan. Menurut pendekatan keagenan, struktur kepemilikan perusahaan merupakan suatu

alat untuk mengurangi konflik kepentingan diantara pemegang klaim utama yang ada dalam perusahaan. Sedangkan menurut pendekatan kedua, informasi asimetri menganggap struktur kepemilikan sebagai salah satu cara untuk mengurangi ketidakseimbangan informasi antara insider dan outsiders melalui pengungkapan informasi di pasar modal.

Semakin besar kepemilikan manajer di dalam perusahaan maka semakin produktif tindakan manajer dalam memaksimalkan nilai perusahaan. Manajer perusahaan akan mengungkapkan informasi sosial dalam rangka untuk meningkatkan image perusahaan, meskipun ia harus mengorbankan sumber daya untuk aktivitas tersebut (Gray, et. Al., (1998)

Anderson dkk (2002) mengatakan bahwa perusahaan yang dikendalikan oleh keluarga mempunyai struktur yang menyebabkan berkurangnya konflik agensi antara pemegang saham dan kreditur, dimana kreditur menganggap kepemilikan keluarga lebih melindungi kepentingan kreditur. Anderson & Reeb (2002) menunjukkan bahwa pemegang saham minoritas justru diuntungkan dari adanya kepemilikan keluarga. Hasil penelitian Arifin (2003) menunjukkan bahwa perusahaan publik di Indonesia yang dikendalikan keluarga atau negara atau institusi keuangan masalah agensinya lebih baik jika dibandingkan perusahaan yang dikontrol oleh publik atau tanpa pengendali utama. Menurutnya, dalam perusahaan yang dikendalikan keluarga, masalah agensinya lebih kecil karena berkurangnya konflik antara principal dan agent. Jika

kepemilikan keluarga lebih efisien, maka pada perusahaan dengan kepemilikan keluarga yang tinggi pengelolaan laba yang oportunis dapat dibatasi. Tetapi pengendalian yang lebih efisien dalam kepemilikan keluarga tersebut besar kemungkinan tidak berlaku di perusahaan konglomerasi – seperti yang banyak terdapat di Indonesia.

Sebagian besar kekayaan pemilik Perusahaan Konglomerasi tidak berada di satu perusahaan, tetapi tersebar di berbagai perusahaan. Jika hanya sedikit kekayaan pemilik yang berada di perusahaan yang go public, maka walaupun perusahaan go public tersebut dikendalikan

keluarga, tetapi pengelolaan laba yang oportunistik mungkin justru tinggi. Kemungkinannya karena perusahaan yang go public tersebut hanya dijadikan sebagai sarana untuk mengumpulkan dana dari masyarakat untuk digunakan oleh kelompok perusahaannya. Hal ini terbukti dari hasil penelitian Kim & Yi (2005) yang menemukan bahwa besaran pengelolaan laba lebih tinggi untuk perusahaan yang mempunyai kelompok afiliasi dibanding yang tidak mempunyai kelompok afiliasi. Berarti perusahaan dengan kelompok usaha afiliasi memberikan pemegang saham pengendali lebih banyak insentif dan kesempatan untuk melakukan pengelolaan laba.

Jadi kepemilikan manajerial adalah Proporsi kepemilikan saham manajerial terhadap total saham. Skala yang digunakan adalah skala rasio, dengan satuan rupiah.Dengan rumus (Anggraini, 2006 : 11) :

Kepemilikan Manajerial = it it SHRC TOT SHRC C & D

Keterangan :

D & C SHRCit = Kepemilikan Saham oleh Direktur dan komisaris perusahaan perusahaan i pada tahun t

Tot SHRCit = Jumlah total dari saham biasa perusahaan yang

beredar perusahaan i pada tahun t

2.2.7. Leverage

Semakin tinggi tingkat leverage semakin besar kemungkinan akan melanggar perjanjian kredit sehingga perusahaan akan berusaha untuk melaporkan laba sekarang lebih tinggi (Belkaoui dan Karpik (1989)), supaya laba yang dilaporkan tinggi maka manajer harus mengurangi biaya-biaya (termasuk biaya untuk mengungkapkan pertanggungjawaban sosial)

Dana dapat diperoleh dan luar perusahaan (external financing) maupun dan dalam perusahaan (internal financing). Modal internal berasal dan laba ditahan, sedangkan modal eksternal dapat berasal dan modal sendiri dan hutang. Hutang adalah pengorbanan manfaat ekonomi yang akan timbul dimasa yang akan datang yang disebabkan oleh kewajiban-kewajiban disaat sekarang dari suatu badan usaha yang akan dipenuhi dengan mentransfer aktiva atau memberikan jasa kepada badan usaha lain dimasa datang sebagai akibat dari transaksi-transaksi yang sudah lalu (Baridwan, 2004).

Perusahaan yang sedang berkembang memerlukan modal yang dapat diperoleh dan hutang maupun ekuitas. Besar kecilnya rasio hutang dapat dilihat pada rasio Debt Equity Ratio (DER). Hutang mempunyai dua keuntungan yaitu (a) bunga yang dibayarkan dapat dipotong dengan tujuan pajak, sehingga menurunkan biaya efektif dan hutang, (b)

pemegang hutang (debtholder) mendapatkan pengembalian tetap

(Masdupi, 2005). Penggunaan hutang memiliki kelemahan (a) hutang yang semakin tinggi meningkatkan risiko sehingga suku bunganya akan semakin tinggi pula, (b) bila kondisi perusahaan tidak dalam kondisi bagus, pendapatan operasi menjadi rendah dan tidak cukup menutup biaya bunga sehingga kekayaan pemilik berkurang. Pada kondisi ekstrim, kerugian tersebut dapat membahayakan perusahaan karena dapat terancam kebangkrutan. Untuk memenuhi kebutuhan pendanaan. pemegang saham lebih menginginkan pendanaan perusahaan dibiayai dengan utang. Karena dengan penggunaan utang, hak mereka terhadap perusahaan tidak akan berkurang. Tetapi manajer tidak menyukai pendanaan tersebut dengan alasan bahwa utang mengandung risiko yang tinggi. Manajemen perusahaan mempunyai kecenderungan untuk memperoleh keuntungan yang sebesar-besamya dengan pihak lain (Masdupi, 2005).

Jadi kebijakan hutang adalah pengorbanan manfaat ekonomi yang akan timbul dimasa yang akan datang yang disebabkan oleh kewajiban-kewajiban disaat sekarang dari suatu badan usaha yang akan dipenuhi

dengan mentransfer aktiva atau memberikan jasa kepada badan usaha lain dimasa datang sebagai akibat dari transaksi-transaksi yang sudah lalu. Skala yang digunakan adalah skala rasio, dengan satuan rupiah. (Anggraini, 2006 : 11) Kebijakan Utang = 100% Asset Total Debt Total x

2.2.8. Ukuran Perusahaan (Size)

Terdapat beberapa penjelasan mengenai pengaruh ukuran perusahaan (Size) terhadap kualitas ungkapan, namun sebenarnya landasan teoritis mengenai pengaruh size ini tidaklah terlalu jelas. Walaupun begitu, berbagai penelitian empiris yang telah dilakukan menunjukkan bahwa pengaruh total aktiva hampir selalu konsisten dan secara statistik signifikan. Beberapa penjelasan yang mungkin dapat menjelaskan fenomena ini adalah bahwa perusahaan besar mempunyai biaya informasi yang rendah, perusahaan besar juga mempunyai kompleksitas dan dasar pemilikan yang lebih luas dibanding perusahaan kecil (Cooke, 1989). Size perusahaan merupakan variabel independen yang banyak digunakan untuk menjelaskan variasi pengungkapan dalam laporan keuangan perusahaan.

Size Menggambarkan besar kecilnya suatu perusahaan yang dilihat

dari besarnya nilai total asset. Semakin besar total asset perusahaan maka akan semakin besar pula ukuran perusahaan tersebut. Memiliki total asset yang besar akan memudahkan perusahaan dalam masalah

pendanaan. Proxy yang digunakan dalam variabel ini adalah total aktiva perusahaan (http://www.bppk.depkeu.go.id/index.php).

Tingkat pertumbuhan perusahaan juga merupakan faktor yang mempengaruhi struktur modal, perusahaan yang memiliki tingkat pertumbuhan pesat cenderung lebih banyak menggunakan hutang daripada perusahaan yang memiliki tingkat pertumbuhan yang lebih lambat (Weston dan Brigham, 1994:174) dalam (Rembulan, 2008). Pertumbuhan, perusahaan berbanding lurus dengan ukuran perusahaan, sehingga semakin cepat pertumbuhan perusahaan maka semakin besar pula ukuran perusahaan, sehingga ukuran perusahaan berpengaruh terhadap struktur modal karena perusahaan yang lebih besar akan mudah memperoleh pinjaman dibandingkan perusahaan kecil. Ukuran perusahaan menggambarkan besar kecilnya suatu perusahaan yang ditunjukkan oleh total aktiva, total penjualan, dan rata-rata total aktiva (Feri dan Jones dalam Masidonda, Maski, dan Idrus, 1999) dalam (Rembulan, 2008).

Ukuran perusahaan juga menjadi faktor yang perlu diperhatikan dalam menentukan struktur modal. Perusahaan besar dapat mengakses pasar modal dan dengan kemudahan tersebut maka dapat disimpulkan bahwa perusahaan memiliki fleksibilitas dan kemampuan untuk mendapatkan dana atau permodalan (Wahidahwati 2000 dalam Fidyan, 2003) dalam (Rembulan, 2008). Ukuran perusahaan berpengaruh terhadap struktur modal didasarkan pada kenyataan bahwa semakin

besar suatu perusahaan, kecenderungan untuk menggunakan hutang menjadi semakin besar (Rembulan, 2008).

Dalam penelitian ini total aktiva yang digunakan adalah dalam jutaan rupiah, Skala yang digunakan adalah skala rasio, dengan satuan rupiah. Variabel ini diukur dengan jumlah total asset, dengan rumus (Anggraini, 2006 : 11):

Ukuran Perusahaan = Total Assets.

2.2.9. Profitabilitas

Profitabilitas merupakan faktor yang membuat manajemen menjadi bebas dan fleksibel untuk mengungkapkan pertanggungjawaban sosial kapada pemegang saham (Heinze dalam Milne, 1996), hubungan antara profitabilitas dan tingkat pengungkapan pertanggungjawaban sosial adalah bahwa ketika perusahaan memiliki tingkat laba yang tinggi, perusahaan (manajemen) menganggap tidak perlu melaporkan hal-hal yang dapat mengganggu informasi tentang sukses keuangan tersebut. Sebaliknya ketika tingkat profitabilitas rendah perusahaan akan berharap pengguna laporan akan membaca “good news” kinerja perusahaan.

Perusahaan yang memiliki profitabilitas tinggi cenderung menggunakan hutang relatif kecil karena laba ditahan yang tinggi sudah memadai untuk membiayai sebagian besar kebutuhan pendanaan (Rembulan, 2008). (Arifin dalam Rembulan, 2008) menyatakan bahwa

profitabilitas mempunyai pengaruh yang signifikan terhadap struktur modal.

Perusahaan dengan tingkat pengembalian yang tinggi atas investasi menggunakan utang yang relatif kecil profitabilitas adalah hasil bersih dari berbagai kebijaksanaan dan keputusan (Riyanto, 1993), sedangkan Machtoedz (1994) dalam Eko (2006) mendefinisikan profitabilitas sebagai suatu indicator kinerja yang dilakukan manajemen dalam mengelola kekayaan perusahaan (Rembulan, 2008).

Profitabilitas menunjukkan kemampuan dari modal yangdiinvestasikan dalam keseluruhan aktiva untuk menghasilkan keuntungan bagi investor. Myers (1984) dalam Taswan (2008) menyatakan bahwa manajer mempunyai pecking order didalam menahan laba sebagai pilihan pertama, diikuti oleh pembiayaan dengan hutang, kemudian dengan equity. Dengan demikian terdapat hubungan negatif antara profitabilitas dengan debt ratio. Hasil studi Moh'd et al (1998), Myers (1984) dan Jensen et at (1992) menemukan bahwa firm profitability mempunyai hubungan negatif dan signifikan dengan debt

ratio.

Profitabilitas merupakan faktor yang membuat manajemen menjadi bebas dan fleksibel untuk mengungkapkan pertanggungjawaban sosial

kapada pemegang saham Variabel ini didifinisikan sebagai ratio of

sebagai ukuran profitabilitas. Skala yang digunakan adalah skala rasio, dengan satuan rupiah., dengan rumus (Anggraini, 2006 : 11):

Profitability = 100% Asset Total Income Operating x

2.2.10. Pengaruh Kepemilikan Manajemen, Leverage, Ukuran Perusahaan dan Profitabilitas Terhadap Pengungkapan Tanggung Jawab Sosial Perusahaan

Kepemilikan Manajemen Konflik kepentingan antara manajer dengan pemilik menjadi semakin besar ketika kepemilikan manajer terhadap perusahaan semakin kecil (Jensen & Meckling 1976). Dalam hal ini manajer akan berusaha untuk memaksimalkan kepentingan dirinya dibandingkan kepentingan perusahaan. Sebaliknya semakin besar kepemilikan manajer di dalam perusahaan maka semakin produktif tindakan manajer dalam memaksimalkan nilai perusahaan, dengan kata lain biaya kontrak dan pengawasan menjadi rendah. Manajer perusahaan akan mengungkapkan informasi sosial dalam rangka untuk meningkatkan image perusahaan, meskipun ia harus mengorbankan sumber daya untuk aktivitas tersebut (Gray, et al. 1988).

Teori keagenan memprediksi bahwa perusahaan dengan rasio leverage yang lebih tinggi akan mengungkapkan lebih banyak informasi,

karena biaya keagenan perusahaan dengan struktur modal seperti itu lebih tinggi (Jensen & Meckling, 1976). Tambahan informasi diperlukan untuk menghilangkan keraguan pemegang obligasi terhadap dipenuhinya

hak-hak mereka sebagai kreditur (Schipper,1981) dalam (Marwata, 2001) dan (Meek, et al, 1995) dalam (Fitriany, 2001) Oleh karena itu perusahaan dengan rasio leverage yang tinggi memiliki kewajiban untuk melakukan ungkapan yang lebih luas daripada perusahaan dengan rasio leverage yang rendah. Pendapat lain mengatakan bahwa semakin tinggi

leverage, kemungkinan besar perusahaan akan mengalami pelanggaran

terhadap kontrak utang, maka manajer akan berusaha untuk melaporkan laba sekarang lebih tinggi dibandingkan laba di masa depan.

Laba yang dilaporkan lebih tinggi akan mengurangi kemungkinan perusahaan melanggar perjanjian utang. Manajer akan memilih metode akuntansi yang akan memaksimalkan laba sekarang. Kontrak utang biasanya berisi tentang ketentuan bahwa perusahaan harus menjaga tingkat leverage tertentu (rasio utang/ekuitas), interest coverage, modal kerja dan ekuitas pemegang saham (Watt & Zimmerman, dalam Scott 1997:55).

Biaya Politis Menurut hipotesis, biaya politis semakin besar biaya politis yang dihadapi oleh perusahaan, maka manajer akan memilih prosedur akuntansi yang dapat menghasilkan laba sekarang lebih rendah dibandingkan laba masa depan. Dengan demikian semakin tinggi biaya politis yang dihadapi perusahaan maka perusahaan akan semakin banyak mengeluarkan biaya untuk mengungkapkan informasi sosial sehingga laba yang dilaporkan menjadi lebih rendah (Watt & Zimmerman, dalam Scott, 1997:33).

Perusahaan yang besar cenderung mempunyai biaya politis yang besar dibandingkan perusahaan kecil. Perusahaan besar cenderung akan memberikan informasi laba sekarang lebih rendah dibandingkan perusahaan kecil, sehingga perusahaan besar cenderung akan mengeluarkan biaya untuk pengungkapan informasi sosial yang lebih besar dibandingkan perusahaan kecil. Ukuran perusahaan dapat diproksikan dari nilai kapitalisasi pasar, total asset, log penjualan, dan sebagainya. (Watt & Zimmerman, dalam Scott, 1997:33)

Perusahaan yang termasuk dalam industri yang high-profile akan memberikan informasi sosial lebih banyak dibandingkan perusahaan yang low-profile. Roberts (1992) dalam (Hackston & Milne, 1996)

mendefinisikan industri yang high-profile adalah industri yang memiliki visibilitas konsumen, risiko politis yang tinggi, atau menghadapi persaingan yang tinggi. Preston (1977) dalam (Hackston & Milne, 1996) mengatakan bahwa perusahaan yang memiliki aktivitas ekonomi yang memodifikasi lingkungan, seperti industri ekstraktif, lebih mungkin mengungkapkan informasi mengenai dampak lingkungan dibandingkan industri yang lain. Cowen, et al. (1987) dalam (Hackston & Milne, 1996) mengatakan bahwa perusahaan yang berorientasi pada konsumen diperkirakan akan memberikan informasi mengenai pertanggungjawaban sosial karena hal ini akan meningkatkan image perusahaan dan mempengaruhi penjualan.

Klasifikasi tipe industri oleh banyak peneliti sifatnya sangat subyektif dan berbeda-beda. Roberts (1992) dalam (Hackston & Milne, 1996) mengelompokkan perusahaan otomotif, penerbangan dan minyak sebagai industri yang high-profile. Sedangkan (Diekers & Perston, 1977) dalam (Hackston & Milne, 1996) mengatakan bahwa industri ekstraktif merupakan industri yang high-profile. Patten (1991) dalam Hackston & Milne (1996) mengelompokkan industri pertambangan, kimia dan kehutanan sebagai industri yang high-profile. Atas dasar pengelompokkan di atas, penelitian ini kemudian mengelompokkan industri konstruksi, pertambangan, pertanian, kehutanan, perikanan, kimia, otomotif, barang konsumsi, makanan dan minuman, kertas, farmasi dan plastik sabagai industri yang high-profile.

Profitabilitas merupakan faktor yang membuat manajemen menjadi bebas dan fleksibel untuk mengungkapkan pertanggungjawaban sosial kepada pemegang saham Heinze (1976) dalam (Hackston & Milne, 1996). Sehingga semakin tinggi tingkat profitabilitas perusahaan maka semakin besar pengungkapan informasi sosial Bowman & Haire (1976) dan Preston (1978) dalam Hackston & Milne (1996). Hackston & Milne (1996) menemukan tidak ada hubungan yang signifikan antara tingkat profitabilitas dengan pengungkapan informasi sosial. Belkaoui & Karpik

(1989) mengatakan bahwa dengan kepeduliannya terhadap masyarakat (sosial) menghendaki manajemen untuk membuat perusahaan menjadi profitable. Vence (1975) dalam Belkaoui & Karpik (1989) mempunyai

pandangan yang berkebalikan, bahwa pengungkapan sosial perusahaan justru memberikan kerugian kompetitif (competitive disadvantage) karena perusahaan harus mengeluarkan tambahan biaya untuk mengungkapkan informasi sosial tersebut.

Dokumen terkait