• Tidak ada hasil yang ditemukan

KAJIAN PUSTAKA

2.3 Pelatihan Fisik Berlebih

Olahraga teratur sangat penting dilakukan untuk memelihara kebugaran tubuh. Olah raga atau aktivitas fisik merupakan hal yang penting dalam kehidupan kita, karena olah raga dapat mempertahankan dan meningkatkan kesehatan tubuh. Kebugaran fisik adalah kemampuan seseorang untuk melakukan aktivitas fisik

dengan sempurna tanpa menimbulkan kelelahan berarti. Untuk mendapatkan hasil maksimal dan risiko minimal pada pelatihan, diperlukan kondisi lingkungan yang memadai dan takaran pelatihan yang tepat untuk setiap individu meliputi FITT, yaitu Frequency, Intencity, Type, Time. Frekuensi pelatihan yang dianjurkan tiga sampai empat kali per minggu dengan waktu istirahat tidak lebih dari dua hari, dengan intensitas kurang lebih 72% - 87% dari denyut jantung maksimal: 220 – umur (dalam tahun). Lama latihan sekitar 30 sampai 60 menit. Latihan didahului pemanasan selama 15 menit, dilanjutkan latihan inti 35 menit, diakhiri pendinginan 10 menit (Pangkahila, 2010). Pelatihan berlebih seringkali akibat dari: 1).Volume pelatihan yang terlalu banyak. 2). Intensitas pelatihan yang terlalu banyak. 3). Durasi pelatihan terlalu panjang. 4). Frekuensi pelatihan yang terlalu sering (Hatfeld, 2001).

Tenaga aerobik maksimum (VO2 max) sebagai ukuran kesegaran fisik yang dinyatakan sebagai kemampuan bekerja berat untuk waktu lama dipengaruhi kerja otot secara aerobik seperti: 1). Tipe pelatihan yang meliputi intensitas, durasi, otot yang terlihat, posisi tubuh. 2). Aktivitas otot secara aerobik tergantung jenis kelamin dan umur. 3). Lingkungan (ketinggian, dingin, panas). 4). Adaptasi. Tenaga aerobik maksimun dikaitkan dengan pengambilan O2 maksimum yang erat terkait umur (Hatfeld, 2001).

Bila pada permulaan kerja langsung dilakukan pembebanan berat, kebutuhan energi hanya dapat dipenuhi dengan mengaktifkan proses anaerob yang menghasilkan asam laktat dan konsentrasinya tetap meninggi selama kerja berlangsung dan dapat dipertahankan terus-menerus selama 30 menit atau lebih. Pada kerja yang sangat berat terjadi defisit penyediaan O2 yang bertambah besar sehingga konsentrasi asam laktat semakin meningkat. Akumulasi asam laktat dalam otot menyebabkan kelelahan otot. Pada pelatihan aerobik pemecahan glikogen menjadi CO2 dan H2O yang dikenal sebagai metabolisme aerobik merupakan sumber energi yang ekonomis dan asam laktat tidak terakumulasi. Pelatihan berlebih menyebabkan banyak asam laktat yang dihasilkan dalam otot, kehilangan glikogen meningkat, dua-duanya penyebab stres fisik. Untuk mengatasi hal tersebut, diperlukan masa pemulihan yang tepat. Waktu pemulihan yang singkat (satu menit istirahat) pada pelatihan dengan multipel set dapat meningkatkan asam laktat lebih dari 10 nmol/L.

Sindrom latihan fisik berlebih memiliki karakteristik penurunan penampilan dan timbulnya gejala inflamasi yang terjadi pascalatihan fisik berlebih yang memberikan dampak kesehatan yang serius. Saat ini tidak terdapat penanda diagnosis tunggal untuk latihan fisik berlebih. Pemeriksaan yang tersedia bertujuan untuk memeriksa respon biomarker dari stres fisik yang disebabkan karena latihan fisik berlebih. Latihan fisik berlebih merangsang terjadinya leukositosis, peningkatan isoproston dalam urine (7-fold), TBARS (56%), protein karbonil (73%), katalase (96%), glutathione peroxidase, serta glutathione yang teroksidasi (25%). Sebaliknya latihan fisik berlebih akan menurunkan glutathione tereduksi (31%). Dapat disimpulkan, latihan fisik berlebih merangsang respon terhadap biomarker stress oksidatif (Margonis et al.,2007).

Pelatihan fisik berlebih juga akan dapat menimbulkan gangguan pada fungsi endokrin, seperti peningkatan kadar kortisol dan penurunan kadar testosteron

(Maffetone, 2007). Pada pelatihan fisik berlebih terjadi peningkatan ACTH dan penurunan kadar Luteinizing Hormone (LH) plasma. Setelah pelatihan fisik berlebih, Corticotropin Releasing Hormone (CRH) menginduksi pelepasan ACTH dan β-endorphin. Peningkatan β-endorphin dapat menghambat pelepasan gonadotropin (sekresi LH). Penurunan sekresi LH dapat menyebabkan terjadinya penurunan hormon testosteron yang diproduksi oleh sel Leydig (Colon, 2007; Safarirejad et al., 2007 ).

2.4 Antioksidan

Senyawa antioksidan adalah senyawa pemberi elektron (electron donors). Secara biologis, pengertian antioksidan adalah senyawa yang mampu menangkal atau meredam dampak negatif okidan dalam tubuh. Antioksidan bekerja dengan cara mendonorkan satu elektronnya pada senyawa yang bersifat oksidan sehingga senyawa oksidan tersebut bisa dihambat. Keseimbangan antioksidan dan oksidan dalam tubuh sangat penting karena berkaitan dengan berfungsinya sistem imunitas tubuh, yaitu menjaga integritas dan berfungsinya membran lipid, protein sel, dan asam nukleat serta mengontrol transduksi signal dan ekspresi gen dalam sel imun (Winarsi, 2007).

Komponen terbesar yang menyusun membran sel adalah senyawa asam lemak tak jenuh yang sangat sensitif terhadap perubahan keseimbangan oksidan dan antioksidan. Membran merupakan barier penting demi berfungsinya sel. Oleh sebab itu, sel imun memerlukan antioksidan dalam kadar lebih tinggi dibandingkan dengan sel-sel lain. Defisiensi antioksidan yang berupa vitamin C, vitamin E, Se, Zn, dan glutation sangat berpengaruh terhadap respon imun (Winarsi, 2007).

Penyebab utama kerusakan oksidatif di dalam tubuh adalah senyawa oksidan, baik yang berbentuk radikal bebas ataupun bentuk senyawa oksigen reaktif lain yang bersifat sebagai oksidator. Kerusakan oksidatif terjadi sebagai akibat dari rendahnya antioksidan dalam tubuh sehingga tidak dapat mengimbangi reaktivitas senyawa oksidan.

Secara umum, antioksidan dikelompokkan menjadi dua, yaitu antioksidan enzimatis dan non-enzimatis. Antioksidan enzimatis misalnya superoxide dismutase (SOD), katalase, dan glutation peroksidase. Antioksidan non-enzimatis masih dibagi dalam dua kelompok lagi, yaitu: Antioksidan larut lemak seperti tokoferol, karotenoid, flavonoid, quinon, bilirubin, dan antioksidan larut air seperti asam askorbat, protein pengikat logam, dan ptotein pengikat heme

Antioksidan enzimatis dan non-enzimatis tersebut bekerjasama meredam aktivitas senyawa oksidan dalam tubuh. Terjadinya stres oksidatif dapat dihambat oleh kerja enzim-enzim antioksidan dalam tubuh dan antioksidan non-enzimatik. Secara fisiologis terdapat dua sistem pertahanan tubuh yaitu, pertama sebagai sistem pertahanan preventif, dilakukan oleh kelompok antioksidan sekunder. Pembentukan senyawa oksigen reaktif dihambat dengan cara pengkelatan metal, atau jika senyawa ROS sudah terbentuk akan dirusak. Pengkelatan metal terjadi dalam cairan ekstrasel, sedangkan perusakan senyawa ROS terjadi di dalam sel, terutama oleh sistem enzim. Kedua sebagai sistem pertahanan melalui pemutusan

reaksi radikal berantai, dilakukan oleh kelompok antioksidan primer (Winarsi, 2007).

Berdasarkan mekanisme kerjanya, antioksidan digolongkan menjadi tiga kelompok yaitu antioksidan primer, antioksidan sekunder, dan antioksidan tersier.

2.4.1 Antioksidan Primer

Antioksidan primer disebut juga antioksidan enzimatis. Senyawa yang termasuk antioksidan primer adalah senyawa yang dapat memberikan atom hidrogen secara cepat pada senyawa radikal, kemudian radikal antioksidan yang terbentuk segera berubah menjadi senyawa yang lebih stabil. Antioksidan primer meliputi enzim superoksida dismutase (SOD), katalase, dan glutation peroksidase . (Winarsi, 2007).

Antioksidan primer bekerja dengan cara mencegah pembentukan senyawa radikal bebas baru atau mengubah radikal bebas yang telah terbentuk menjadi molekul yang kurang reaktif. Sebagai antioksidan, enzim-enzim tersebut menghambat pembentukan radikal bebas dengan cara memutus reaksi berantai (polimerisasi), kemudian mengubahnya menjadi produk yang lebih stabil. Antioksidan dalam kelompok ini disebut juga chain-breaking-antioxidant (Winarsi, 2007).

2.4.2 Antioksidan Sekunder

Antioksidan sekunder disebut juga antioksidan eksogenous atau non- enzimatis. Dalam sistem pertahanan ini, terbentuknya senyawa oksigen reaktif dihambat dengan cara pengkelatan metal atau dirusak pembentukannya. Pengekelatan metal terjadi di dalam cairan ekstraseluler (Winarsi, 2007).

Antioksidan non-enzimatis dapat berupa komponen non-nutrisi dan komponen nutrisi dari sayur-sayuran dan buah-buahan. Kerja sistem antioksidan non enzimatis yaitu dengan cara memotong reaksi oksidasi berantai dari radikal bebas atau dengan cara menangkapnya, sehingga radikal bebas tidak akan bereaksi dengan komponen seluler. Senyawa antioksidan non enzimatis bekerja dengan cara menangkap radikal bebas (free radical scavenger), kemudian mencegah reaktivitas amplifikasinya. Ketika jumlah radikal berlebihan, kadar antioksidan non- enzimatik dalam cairan biologis menurun (Winarsi, 2007).

2.4.3 Antioksidan Tersier

Kelompok antioksidan tersier meliputi sistem enzim DNA-repair dan metionin sulfoksida reduktase. Enzim-enzim ini berperan dalam perbaikan biomolekuler yang rusak akibat reaktivitas radikal bebas.

Perbaikan kerusakan basa dalam mtDNA dan DNA inti yang diinduksi senyawa oksigen reaktif terjadi melalui perbaikan jalur eksisi basa. Pada umumnya eksisi basa terjadi dengan cara memusnahkan basa yang rusak, yang dilakukan oleh DNA glikosilase (Winarsi, 2007).

2.5 Astaxanthin

Astaxanthin (3,3’-dihydro-β,β-carotene-4,4’-diodine), adalah pigmen merah yang termasuk grup pigmen karotenoid alami yang memiliki aktivitas biologis sebagai antioksidan yang kuat dan dapat ditemukan secara luas di alam. Senyawa ini memiliki gugus radikal yang mampu melindungi tubuh terhadap proses peroksidasi lipid dan kerusakan yang diakibatkan oleh proses-proses oksidasi

pada membran sel dan jaringan tubuh. Secara alami, astaxanthin ditemukan pada berbagai jenis makanan manusia yang biasa dikonsumsi sehari-hari (Winarsi, 2007).

Biota laut yang paling memungkinkan sebagai sumber astaxanthin tertinggi adalah alga hijau (Haematococus pluvialis). Alga hijau adalah satu-satunya spesies yang saat ini diketahui dapat mensintesis dan mengakumulasi astaxanthin dalam jumlah tinggi. Kandungan astaxanthinnya mencapai 1000 hingga 3000 kali lipat astaxanthin yang dapat diakumulasi pada daging ikan salmon (Suseela et al, 2006). Selain itu astaxanthin juga dapat diperoleh melalui proses permentasi khamir Xanthophyllomyces dendrorhous atau di ekstrak dari udang-udangan (Winarsi, 2007).

2.5.1 Struktur Kimia, Absorpsi, dan Metabolisme

Secara umum, molekul astaxanthin mirip dengan molekul β-karoten, tetapi perbedaan-perbedaan kecil dalam struktur, memberi perbedaan besar dalam sifat kimia dan biologis dari kedua molekul. Astaxanthin merupakan salah satu jenis karotenoid. Seperti karotenoid lainnya, terbentuk dari rantai 40-karbon poliene, yang menjadi tulang punggung molekulnya. Rantai ini diakhiri dengan kelompok siklik (cincin) yang dilengkapi dengan kelompok oksigen fungsional. Struktur karotenoid berbeda potensinya berdasarkan pigmen yang dimiliki ( Winarsi,2007). Kekuatan astaxanthin terletak pada potensinya dalam mencegah berbagai penyakit dan gangguan kesehatan lain. Sebagai antioksidan, astaxanthin memiliki aktivitas menetralkan singlet oksigen dan peroksida lipid. Astaxanthin memiliki efek anti inflamasi dengan menghambat sitokin (Vincent, 2007).

Gambar 2.4 Rumus Bangun Astaxanthin Sumber : Winarsi, 2007

2.5.2 Astaxanthin sebagai Antioksidan

Astaxanthin sebagai salah satu jenis karotenoid berperan dalam melindungi tubuh dari kerusakan oksidatif melalui dua mekanisme yaitu menetralkan singlet oksigen dan peroksidase lipid. Astaxanthin menunjukkan aktivitas kuat dalam mencerna radikal bebas dan memberikan perlindungan melawan peroksidasi lemak dan kerusakan oksidasi oleh membran sel dan jaringan (Goto et al., 2001; Suseela et al., 2006).

Astaxanthin menetralkan singlet oksigen melalui mekanisme fisik, dimana energi yang berlebihan dari singlet oksigen tersebut ditransfer ke struktur

karotenoid yang kaya akan elektron dan mengubah energinya menjadi panas, sehingga tidak terbentuk singlet oksigen lagi serta bereaksi dengan radikal lain untuk mencegah dan menghentikan reaksi rantai. Astaxanthin memiliki potensi menghambat terjadinya singlet oksigen yang merupakan radikal bebas, lebih besar dibandingkan karotenoid lain dan vitamin E. Stabilitas astaxanthin terhadap radiasi sinar ditemukan bahwa astaxanthin lebih stabil dibandingkan dengan tokoferol dan likopen (Goto et al., 2001).

Astaxanthin seperti vitamin E merupakan antioksidan yang larut dalam lemak, sehingga memungkinkan melewati membran sel yang kaya lemak dan jaringan. Astaxanthin mampu bereaksi dengan radikal lain dengan berbagai cara, hal tersebut disebabkan karena karakteristik karotenoid yang kaya akan elektron, sehingga sangat atraktif terhadap radikal, oleh sebab itu mampu melindungi komponen sel lain (lemak, protein, DNA) dari kerusakan oleh radikal bebas (Winarsi, 2007; Sofia, 2010 ).

Studi banding antara astaxanthin dan jenis karoten lainnya telah memperlihatkan bahwa astaxanthin memiliki aktivitas antioksidan 40 kali lebih kuat dari kelompok karoten seperti β-karoten, canthaxanthin, lutein, dan zeaxanthin. Astaxanthin memiliki efektivitas 500 – 1000 kali lebih baik dibandingkan vitamin E dalam hal pencegahan peroksidasi lemak secara in vivo, 6000 kali vitamin C, 800 kali Coenzym Q10, 560 kali ekstrak green tea, 75 kali α lipoic acid. Absorpsi astaxanthin sangat cepat, dengan waktu penyerapan maksimum dua sampai enam jam setelah makanan masuk ke dalam pencernaan (Wood dan Yamasitha, 2009). Ada beberapa antioksidan yang pada keadaan tertentu dapat menjadi prooksidan sehingga mempunyai efek negatif dengan menyebabkan oksidasi di dalam tubuh. Antioksidan dari golongan karotenoid yang dapat menjadi prooksidan yaitu β-karoten, likopen, dan zeaxanthin (Naguib, 2000). Bahkan antioksidan yang sudah dikenal seperti vitamin C, vitamin E, dan Zinc dapat menjadi prooksidan. Sedangkan astaxanthin tidak pernah menjadi prooksidan. Hal ini merupakan faktor penting lain yang membedakan astaxanthin dari antioksidan lainnya.

Dokumen terkait