• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB IV PROSES PEMBELAJARAN PPA DI YAYASAN BUKIT DOA

4.4 Pelatihan Pembentukan Karakter

Untuk melihat bagaimana proses internalisasi/pembentukan karakter anak- anak PPA, penulis akan menganalisisnya melalui refresi dari pendapat seorang ahli bernama Barry dkk dimana dalam arsip etnografi Human Relations Area Files terpusat pada enam dimensi pokok pelatihan anak yang dianggap berlaku secara umum dalam semua masyarakat. Adapun enak dimensi pokok pelatihan tersebut yaitu pelatihan kepatuhan, pelatihan tanggung jawab, pelatihan pengasuhan, pelatihan prestasi, pelatihan untuk mencukupi kebutuhan diri sendiri, dan pelatihan kemandirian umum. Penulis akan melihat apakah keenam dimensi tersebut diaplikasikan di dalam Yayasan Bukit Doa.

68 Pelatihan kepatuhan adalah derajat sejauh mana anak-anak PPA dilatih dan diajari untuk patuh kepada orang tua atau orang yang lebih dewasa. Anak-anak PPA mendapatkan pelatihan kepatuhan ini. Melatih kepatuhan anak-anak PPA menjadi pribadi yang patuh kepada orang tua, kakaknya yang lebih tua dan pemimpinnya ketika si anak berhubungan dengan sebuah lembaga atau organisasi.

Pertama sekali masuk ke dalam Yayasan Bukit Doa, anak-anak PPA akan diajari oleh guru (mis) bahwa di dalam yayasan, guru (mis) adlah orang tua dan kepala rumah tangga di rumah tersebut. Oleh karena itu guru (mis) dengan anak-anak PPA harus saling berintegrasi dan berinteraksi agar hubungan komunikasi maupun emosional bisa terbangun. Anak-anak PPA diajarkan untuk menghormati guru (mis) sebagai kepala rumah tangga. Oleh karena itu anak-anak PPA harus belajar untuk patuh kepada guru (mis). Untuk mengajari anak-anaknya patuh kepada guru (mis), guru tentu akan mengujinya dengan memberi perintah atau disilplin dimana guru akan menyuruh anak-anak PPA untuk mematuhi perintahnya tersebut. Seperti kutipan wawancara penulis dengan guru (mis) yang bernama Rosinta berusia 45 tahun:

“Biasanya jika anak-anak PPA yang masih kecil-kecil ini yang masih- masih SD, agak susah kalau menyuruhnya. Lihat saja kek sekarang inilah, kalau disuruh ngerjakan PR malah keluar main-main dia. Disuruh mandi sore aja pun malas kali dia mengikut kata-kata kita. Tapi ini sangat berbeda dengan anak-anak PPA yang sudah agak dewasa atau yang menginjak remaja. Kalau saya suruh mereka itu langsung kerjakan bahkan mereka tanpa saya suruh pun sudah tahu apa tugas dan tanggung jawab mereka”.

Dari hasil wawancara di atas, terlihat bahwa pemberian sanksi berupa hukuman kepada anak-anak PPA adalah salah satu cara membuat seorang anak terutama pada masa pembentukan karakter agar memiliki karakter yang patuh dan taat kepada pemimpin dan peraturan. Hasil penelitian menunjukan anak-anak PPA yang

69 tidak begitu patuh dalam berdisiplin melaksanakan perintah atau tugas adalah anak- anak yang masih berusia kelas enam SD ke bawah, anak-anak PPA yang sudah memasuki usia kelas satu SMP ke atas terlihat lebih patuh dalam berdisiplin mengerjakan tugas. Ini disebabkan karena anak-anak PPA yang masih berada pada masa pembelajaran dalam hal kepatuhan, sedangkan anak-anak PPa yang suddah memasuki usia kelas SMP ke atas adalah anak-anak yang sudah berada pada masa dimana anak-anak sudah mempratekkan pembelajaran kepatuhan.

70 Pelatihan diharapkan dapat membuat serta membentuk kepribadian anak menjadi anak yang patuh terhadap orang tua/pemimpin.Wawancara Penulis dengan Santa karo usia 34 tahun mengatakan bahwa:

“disiplin itu merupakan suatu unsure yang diketahui oelh anggota masyarakat melalui sosialisasi dini, dan akhirnya dijadikan wahana untuk bertingkah laku”.

Berdasarkan hasil penelitian, sosialisasi dalam setiap interaksi anak-anak PPA sangat dipengaruhi oleh terintegrasinya anak-anak PPA dengan linkungan Yayasan Bukit Doa. Dalam interaksi anak-anak PPA dan guru (mis), anak-anak PPA harus merasa bahwa guru (mis) adalah orang tua kandungnya. Anak-anak PPA juha harus merasa bahwa anak-anak PPA lainya di dalam satu rumah/ ruangannya juga sebagai saudara kandungnya dan rumah tempat sia anak tinggal sebagai rumahnya sendiri. Sehingga anak-anak PPA merasa tidak canggung an tidak kaku dalam berinteraksi dengan teman dan lingkungannya. Mendekatkan diri dengan guru (mis) dan anak- anak PPA lainnya sebagi saudara kandung telah membuat anak-anak di Yayasan Bukit Doa terintergrasi menjadi satu keluarga.

Perhatian dan kasih sayang yang diberikan oleh ibu kandung memang tidak dapat tergantikan oleh apapun, namun guru (mis) dengan tulus memberikan cinta dan kasih sayangnya kepada anak-anak sehingga anak tidak kehilangan cinta dan kasih sayang Ibu yang seharusnya memang mereka butuhkan. Berbagai perasaan yang berbeda yang dirasakan oleh anak-anak PPA pada pertama kali masuk ke Yayasan Bukit Doa. Hal yang sangat wajar ketika pertama kali masuk ke tempat yang baru. Pengenalan tehadap lingkungan yang baru, orang yang baru, dan suasana yang baru merupakan suatu proses bagi mereka. Namun semua akan terlewati tahap demi tahap interaksi dan sosialisasi secara terus menerus.

71 Hasil analisis wawancara penulis, sosialisasi yang terjasi di Yayasan Bukit Doa sesuai dengan penjelasan Jadi Ester Sinuhaji, usia 45 tahunbahwa interaksi yang dilakukan oleh orang tua kepada anaknya dapat mengembangkan konsep diri pada anaknya. Konsep diri anak dibangun melalui pengalaman berinteraksi denga orang lain. Interkasi tersebut membuat anak mulai mengindentifikasikan dirinya dengan orang lain. Konsep diri merupakan gambaran yang dimiliki seseorang tentang dirinya, yang dibentuk melalui pengalaman-pengalaman yang diperoleh dari interaksi dengan linkungannya (Putri, 2011 : 11).

Keluarga inti merupakan agan sosialisasi yang utama kepada anak-anak. Keluarga inti dalam ruang lingkup Yayasan Bukit Doa adalah guru (mis) dan anak- anak PPA yang terdiri dari beberapa orang. Sehingga peran guru (mis) sebagai kepala rumah tangga dan sesama anak-anak PPA yang tinggal di dalam rumah disini memegang peran yang sangat penting sebagai agen sosialisasi terhadap anak-anak PPA di Yayasan Bukit DOA.

Pengalaman interaksi yang terjadi antara guru (mis) dengan anak-anak PPA di Yayasan Bukit Doa membuat anak-anak mengindentifikasikan dirinya sebagai anak- anakyang diterima layaknya seperti anak kandung dari guru (mis). Meskipun tidak mudah, namun dengan penerimaan tersebut membuat anak-anak PPA menjadi bersikap fleksibel dan tidak canggung dalam berinteraksi dengan guru (mis), dengan sesame anak PPA dan lingkungan sekitar rumahnya. Hubungan guru (mis) dengan anak-anak PPA sudah terintegrasi layaknya seperti hubungan kandung, maka gutu (mis) pun tidak merasa kesusahan dalam member pengajaran untuk pembelajaran terhadap anak-anak PPA. Guru (mis) adalah orang yang berperan penting dalam proses sosialisasi terhadap anak-anak PPA. Dalam setiap Interkasi antara Guru (mis)

72 dengan anak-anak PPA, guru berperan menjadi orang yang memberikan pelajaran dalam bersikap dan bertindak baik terhadap guru (mis), sesame anak-anak PPA, Pembina dan orang lain di luar yayasan. Sikap dan tindakan positif ketika berjumpa dengan orang lain yang diajarkan oleh guru (mis) kepada anak-anak PPA misalnya memberi salam dan menyapa seseorang baik kepada orang-orang di yayasan maupun orang-orang diluar lingkungan yayasan. Guru (mis) juga akan memberi contoh bagaimana besikap baik dan santun di depan orang baik jika anak-anak di luar rumah ataupun kepada orang lain yang sedang bertamu atau berkunjung ke yayasan.

Sosialisasi yang dilakukan oleh guru (mis) terhadap anak-anak PPA terjadi hamper setiap saat dalam satu hari sebab guru (mis) memang berinteraksi dengan anak-anak PPA setiap saat kecuali juka si anak sedang sekolah. Guru (mis) memang bertanggung jawab penuh dalam menjaga, merawat, membimbing, dan mendidik anak-anak setiap hari. Hal ini sesuai dengan pendapat Matsumoto & Juang (2008) yang mengatakan sosialisasi adalah proses dimana kita belajar dan menginternalisasi aturan-aturan dan pola masyarakat dimana kita hidup. Hal-hal yang diajarkan dalam proses sosialisasi guru (mis) terhadap anak-anak PPA meliputi pendidikan moral seperti etika dan kesantunan dalam berbicara dan bersikap, nilai-nilai kehidupan seperti kejujuran, bertanggung jawab, dan kebaikan serta pendidikan formal dalam membantu mengerjakan PR si anak.

Interaksi sesama anak PPA dalam satu ruangan juga terlihat sangat akrab dan harmonis sama seperti hubungan sesame anak kandung karena diajari untuk saling berintegrasi. Sedangkan hubungan sesama anak PPA yang berlainan ruangan walau tidak seakrab dengan yang satu ruangan, sesama anak-anak PPA yang berlainan ruangan tersebut terjalin persahabatan dan persamaan tempat tinggal di dalam

73 lingkungan Yayasan Bukit Doa. Pola interaksi yang terjadi yaitu anak-anak PPA mendapatkan pelajaran dasar dalam kehidupan seperti menghormati yang tua dan menyayangi yang muda, berbagi dengan bersamaa, cara bertingkah laku yang ba yang lebih dewasaik, kesopanan dan kesantunan dan lain sebagainya. Cara yang dilaukan oleh guru ((mis) untuk memberi pengajaran-pengajaran tersebut adalah dengan member contoh prilaku dan tindakan mana yang baik dan mana yang buruk. Anak- anak PPA yang lebih muda cenderung mengikuti atau mencontoh prilaku anak-anak PPA yang lebih dewasa misalnya dalam hal bersikap sopan dan ramah.

Hasil penelitian menunjukkan bahwa guru (mis) dan anak-anak PPA terlibat terbuka dengan berbagai semua permasalahan dan keluhan mereka kepada guru (mis). Sekalipun ada juga anak yang bersifat tertutup, mis selalu melakukan pendekatan untuk membuka diri anak-anak PPA. Begitu juga halnya dengan mis yang bersifat terbuka kepada anak—anak PPA dengan menceritakan permasalahan dan memberi pengertian kepada anak-anak PPA misalnya dalam hal keuangan. Keterbukaan akan uneng-uneng dan suatu permasalahan merupakan hal yang memudahkan proses sosialisasi terhadap anak-anak PPA, karena dengan begitu guru (mis) dapat memahami setiap anak-anak PPA dan dapat saling mengerti keadaan guru (mis) dan saudara-saudaranya.

Penerapan peraturan secara umum di Yayasan Bukit Doa. Anak-anak PPA hamper secara keseluruhan mematuhi peraturan-peraturan tersebut, walaupun ada juga anak yang melanggarnya. Konsekuensi bagi anak yang melanggar peraturan umum tersebut adalah bukan dalam bentuk hukuman melainkan dalam bentuk teguran, nasihat, dan diberi pengertian untuk tidak mengulangi perbuatannya. Namun jika pelanggaran tetap terjadi, maka akan diberikan skorsing dimana skorsing pada

74 seorang anak tergantung keadaan dan kondisi si anak dan juga tergantung kebijaksanaan yayasan.

Oleh karena itu, dapat diartikan bahwa proses sosialisasi berlangsung pada saat proses pengasuhan terjadi setiap hari dimana antara guru (mis) dan anak-anak PPA berinteraksi setiap harinya. Dengan begitu bisa dikatakan bahwa pengasuhan anak merupakan bagian dari sosialisasi. Pengasuhan anak-anak PPA adalah menyiapkan seseorang menjadi anggota masyarakat kelak agar masyarakat dan kebudayaannya dapat terpelihara secara terus menerus (Wulan, 2008 : 10-11).

Dimasing-masing ruangan di Yayasan Bukit Doa terdapat disiplin di dalam ruangan atau disebut jadwal kegiatan harian, penerapan disiplin di dalam ruangan oleh guru (mis) kepada anak-anak PPA terlihat tidak kaku dan monoton. Anak-anak lebih bersifat fleksibel terhadap guru (mis) dan dalam berdisiplin di dalam ruangan. Anak- anak PPA yang tidak melakukan disiplin dalam ruangan kegiatan harian tidak pernah dihukum atau semacamnya melainkan akan diberi nasihat, pengertian, dan peringatan kepada anak-anak PPA agar berdisilpin di dalam ruangan mereka. Guru (mis) juga tidak bersikap otoritas/memaksa terhadap anak-anak dalam berdisilpin. Para guru (mis) lebih bersikap sabar, menerima, dan terbuka terbuka tehadap sifat masing- masing anak-anak PPA. Anak-anak PPA yang tidak mengikuti jadwal harian tersebut adalah anak-anak asuh yang sudah memasuki usia kelas satu SMP ke atas terlihat lebih berdisiplin mengikuti kegiatan harian tersebut.

Guru (mis) dan sesama anak-anak PPA adalah agen utama dalam sosialisasi bagi anak-anak di dalam lingkungan Yayasan Bukit Doa. Anak-anak PPA akan mendapatkan pelajaran dasar dalam kehidupan, menghormati, dan mengasihi guru (mis), menghormati yang tua, dan menyayangi yang muda, berbagi dengan sesama,

75 moral, etika, nilai kesopanan, dan kesantunan dan lain sebagainya. Cara yang dilakukan oleh guru (mis) untuk member pengajaran-pengajaran tersebut adalah dengan cara member contoh suatu perilaku dan tindakan mana yang baik dan mana yang buruk.

Hal tersebut sesuai dengan pendapat Darji yang mengatakan bahwa disiplin merupakan suatu cara atau alat dalam pendidikan yang melatih anak-anak untuk bertingkah laku menurut pola baik atau aturan-aturan yang termasuk juga untuk memperbaiki tingkah laku yang kurang baik agar dapat terbentuk tingkah laku sesuai dengan norma (Sunarti, 1989 : 63).

Dokumen terkait