• Tidak ada hasil yang ditemukan

A. Gambaran Umum Kota Medan ... 87 1. Geografis ... 87

2. Demografi ... 89 3. Pemerintahan... 90 B. Prosedur Pengurusan Izin Mendirikan Bangunan (IMB)

Berdasarkan Perda Kota Medan No. 9 Tahun 2002... 92 C. Kualitas Pelayanan Publik Mengenai IMB di Kota Medan ... 108 D. Penerapan Prinsip-Prinsip Good Governance Dalam Peningkatan

Pelayanan Publik Pengurusan IMB Di Kota Medan ... 115 BAB IV. KESIMPULAN DAN SARAN

A. Kesimpulan... 122 B. Saran ... 123 DAFTAR PUSTAKA ... 126

DAFTAR TABEL

Halaman Tabel 1. Sungai Yang Terdapat Di Kota Medan... 89 Tabel 2. Kecamatan dan Jumlah Kelurahan Kota Medan

Per 30 September 1996 Sampai Dengan Sekarang ... 91 Tabel 3. Jangka Waktu Responden Memperoleh Surat Izin Mendirikan

Bangunan (IMB) ... 99 Tabel 4. Tanggapan Responden Tentang Mengikuti Sosialisasi IMB

Yang Dilaksanakan Oleh Pemerintah Kota Medan ... 100 Tabel 5. Tanggapan Responden Tentang Biaya Retribusi IMB Dengan

Standar Pendapatan Masyarakat ... 102 Tabel 6. Tanggapan Responden Tentang Jangka Waktu Pengurusan IMB

Diperoleh Jika Seluruh Persyaratan Permohonan IMB Telah

Terpenuhi Pemohon ... 111 Tabel 7. Tanggapan Responden Terhadap Kualitas Pelayanan Publik

Mengenai Pengurusan IMB di Kota Medan Telah Sesuai Dengan

Standar Pelayanan Minimal (SPM)... 113 Tabel 8. Tanggapan Responden Tentang IMB ... 117

DAFTAR SKEMA

Halaman

DAFTAR ISTILAH

IMB : Izin Mendirikan Bangunan SIMB : Surat Izin Mendirikan Bangunan SPM : Standar Pelayanan Minimal RAB : Rencana Anggaran Biaya KDH : Koefisien Dasar Bangunan KLB : Koefisien Luas Bangunan KKB : Koefisien Ketinggian Bangunan KKN : Korupsi, Kolusi dan Nepotisme KPK : Komisi Pemberantas Korupsi PERDA : Peraturan Daerah

SDM : Sumber Daya Manusia

LSM : Lembaga Swadaya Masyarakat SKRD : Surat Ketetapan Retribusi Daerah KRP : Keterangan Rencana Peruntukan KSB : Keterangan Situasi Bangunan

1

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Setiap manusia membutuhkan pelayanan, bahkan secara ekstrim dapat dikatakan bahwa pelayanan tidak dapat dipisahkan dengan kehidupan manusia.1

Good Governance (tata pemerintahan yang baik) telah lama menjadi mimpi banyak orang Indonesia. Kendati pemahaman mengenai good governance berbeda-beda, sebahagian besar dari mereka membayangkan bahwa dengan good governance mereka akan dapat memiliki kualitas pemerintahan yang lebih baik. Banyak diantara mereka membayangkan bahwa dengan memiliki praktik governance yang lebih baik maka kualitas pelayanan publik menjadi semakin baik, angka korupsi menjadi semakin rendah dan pemerintah menjadi semakin peduli dengan kepentingan warga.2

Negara Kesatuan Republik Indonesia yang diproklamirkan pada tanggal 17 Agustus 1945 mempunyai cita-cita/tujuan nasional buat seluruh rakyat dan bangsa Indonesia sebagaimana tercantum dalam alinea ke empat pembukaan UUD 1945 yang berbunyi:3

1

L.P. Sinambela, Ilmu dan Budaya, Perkembangan Ilmu Administrasi Negara, ( Edisi Desember, 1992), h.198

2

Agus Dwiyanto, Mewujudkan Good Governance Melalui Pelayanan Publik, (yogyakarta; Ghajah Mada University Pres, 2006), h.1

3

Faisal Akbar, Dimensi Hukum Dalam Pemerintahan Daerah, Cetakan Pertama, (Medan; Pustaka Bangsa Press, 2003), h.43

2

“… Melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah dara Indonesia, dan untuk memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa dan untuk melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi dan keadilan social …”. Dalam rangka mewujudkan tujuan nasional tersebut maka harus dilaksanakan serangkaian program pembangunan dalam berbagai sektor diseluruh penjuru tanah air, tujuan akhir dari rangkaian pembangunan itu adalah guna mewujudkan masyarakat Indonesia yang adil dan makmur dalam artian sejahtera secara lahiriah dan batiniah.

Dalam UUD 1945 Pasal 1 ayat (1) disebutkan pula bahwa Negara Indonesia ialah Negara Kesatuan yang berbentuk Republik. Ini berarti bahwa Negara yang berbentuk negara kesatuan, maka segenap kekuasaan atau kewenangan serta tanggung jawab terhadap kesejahteraan dan kelangsungan hidup bangsa Indonesia berada di bawah kendali satu pemegang kekuasaan terpusat yang terdapat pada Pemerintah Pusat. Dengan demikian corak sistem pemerintahan tersebut adalah bersifat sentralisasi. Namun karena wilayah Negara Republik Indonesia sedemikian luasnya dan didiami berbagai suku bangsa yang beraneka ragam, maka corak pemerintahan sentralis bukanlah tipe ideal sistem pemerintahan yang cocok untuk mengatur wilayah dan penduduk yang demikian banyak dan beragam itu, untuk itu diaturlah corak pemerintahan di Indonesia berdasarkan sistem pembagian kekuasaan antara Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah berdasarkan corak desentralisasi sebagaimana tercermin dalam Pasal 18 UUD 1945.4

Berdasarkan ketentuan Pasal 18 UUD 1945, yang membagi wilayah Indonesia dalam daerah-daerah provinsi dan daerah provinsi dibagi atas daerah kabupaten dan daerah kota. Dengan adanya pemerintahan daerah provinsi, daerah kabupaten dan

4

3

daerah kota diharapkan dapat mewujudkan tata pemerintahan yang baik (good governance), yang berarti juga adanya peningkatan pelayanan publik.

Pemerintah menyadari bahwa kondisi pelayanan publik selama ini belum cukup baik, walaupun era reformasi telah berlangsung mulai tahun 1997, kualitas pelayanan publik tetap tidak jauh berbeda dengan periode sebelumnya. Masih banyak masyarakat yang mengalami kekecewaan terhadap pelayanan publik. 5

Mewujudkan good governance dalam praktik pemerintahan sehari-hari tentu bukan hal yang mudah. Disamping komitmen yang kuat pemerintah perlu mengambil dan menggunakan strategi yang tepat. Luasnya cakupan, kompleksitas masalah serta keterbatasan sumber daya dan kapasitas pemerintah mengharuskan pemerintah mengambil pilihan yang strategis untuk pengembangan praktik good governance.

Pemerintahan yang baik hanya akan tercapai di daerah, kalau pemerintahan pusat membuat rambu-rambu di tingkat pusat yang bisa menekan pemerintahan daerah untuk melakukan perubahan. Contohnya masyarakat bisa berpartisipasi kalau ada aturan atau perda yang mengatur partisipasi. Tapi, perda itu bisa terbentuk kalau pemerintah pusat membuat aturan yang mewajibkan pemerintah daerah membuat perda yang memberikan akses kepada masyarakat untuk berpartisipasi. Jadi harus ada intervensi pemerintah pusat itu melalui perundangan yang mewajibkan pemerintah

5

Amansyah Nasution, Peningkatan Kualitas Pelayanan Publik dalam Rangka Mewujudkan Good Governance, Makalah, Disampaikan pada Orasi Ilmiah Widyaiswara Utama, (Medan; Pemerintah Provinsi Sumatera Utara, Badan Pendidikan dan Pelatihan, 2006), h. 2

4

daerah melakukan sejumlah hal dalam rangka menerapkan tata kelola pemerintahan yang baik. Itu akan sangat membantu terciptanya good governance.6

Prinsip-prinsip good governance antara lain: adanya partisipasi, transparansi, akuntabilitas, responsibilitas, kesetaraan gender, efektifitas, efisiensi, keadilan dan lain-lain. Tidak dapat dipungkiri pentingnya penegakan prinsip transparansi untuk mengefektifkan pengawasan oleh masyarakat dalam penyelenggaraan pemerintahan. Berdasarkan itu pulalah jajaran birokrasi dalam menjalankan prinsip transparansi itu harus membangunnya dengan cara memformulasikannya atas dasar informasi yang bebas. Di mana seluruh proses penyelenggaraan pemerintahan harus dapat diakses masyarakat. Selain itu informasi yang tersedia harus mudah dipahami dan akurat.7

Proses-proses membangun pemerintahan yang baik itu memerlukan strategi, komitmen dan keinginan para pelaku pembangunan di daerah. Para pelaku dan penentu kebijakan di daerah haruslah menyadari bahwa keberadaan mereka merupakan pemegang amanah dalam suatu priode waktu tertentu, sehingga harus memiliki agenda terarah yang pasti dan realistik untuk dilakukan.8

Berbicara tentang good governance (tata pemerintahan yang baik) tidak terlepas dari peningkatan kualitas pelayanan publik. Dengan perkataan lain salah satu wujud good governance adalah pelayanan publik yang prima atau pelayanan publik yang baik, artinya pelayanan administrasi, pelayanan jasa, sarana dan prasarana telah

6

Eko Prasojo, Good Governance Butuh Komitmen Politik Kepala Daerah, (Jakarta; Jurnal Nasional, Opini dan Debat, 6 Maret 2007), h.2

7

Bismar Nasution, Prinsip Transparansi Mutlak dalam Good Governance, (Jakarta; Jurnal Nasional Opini dan Debat, 6 Maret 2007), h.2

8

Laode Ida, Tata Kelola Pemda Yang Baik, (Jakarta; Jurnal Nasional Opini dan Debat, 6 Maret 2007), h. 3

5

benar-benar memenuhi aspirasi masyarakat dengan mengikut sertakan partisipasi aktif masyarakat.

Secara Umum, ada dua hal yang ditegaskan dalam pelaksanaan peningkatan kualitas pelayanan publik. Pertama standarisasi yaitu adanya standar yang jelas mengenai persyaratan pelayanan, prosedur, waktu dan biaya. Kedua, transparansi yaitu seluruh persyaratan dan standar tersebut harus dapat diketahui secara jelas oleh masyarakat.

Dalam rangka meningkatkan kualitas pelayanan publik, Pemerintah telah menerbitkan berbagai kebijakan. Pada tahun 2004, melalui Inpres Nomor 5 Tahun 2004 Presiden telah mengintruksikan kepada seluruh jajarannya untuk melaksanakan percepatan pemberantasan korupsi, antara lain dengan mewujudkan good governance dan meningkatkan pelayanan publik serta meniadakan pungutan liar. Pemerintah juga telah mencanangkan tahun 2004 sebagai tahun peningkatan pelayanan publik.9

Akhir tahun 2004, tepatnya 15 Oktober 2004 pemerintah memberlakukan UU No. 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah sebagai pengganti UU No. 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah. Dalam Pejelasan Umum poin 1, Dasar Pemikiran huruf b UU No. 32 Tahun 2004 memuat prinsip otonomi daerah. Menggunakan prinsip otonomi seluas-luasnya dalam arti daerah diberikan kewenangan mengurus dan mengatur semua urusan pemerintahan, di luar yang menjadi urusan Pemerintah yang ditetapkan dalam undang-undang ini.

9

Lihat Sambutan Menteri PAN Faisal Tamin, dalam buku Peningkatan Kualitas Pelayanan Publik Melalui Partisipasi Masyarakat Dalam Rangka Mewujudkan Pemerintahan Yang Baik (Buku I Manual Praktis), Kementerian PAN dan GTZ, (Jakarta; Kementerian PAN; 2004), h.3

6

Daerah memiliki kewenangan membuat kebijakan daerah untuk memberi pelayanan, peningkatan, prakarsa dan memberdayakan masyarakat yang bertujuan pada peningkatan kesejahteraan rakyat. Sejalan dengan prinsip tersebut dilaksanakan pula prinsip otonomi yang nyata dan bertanggung jawab.10

Dari penjelasan umum UU No. 32 Tahun 2004 di atas terlihat dengan jelas bahwa salah satu tujuan pemberian otonomi daerah adalah untuk meningkatkan pelayanan publik. Undang-undang No. 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah mengatur secara konkrit apa saja yang menjadi urusan pemerintahan, pemerintah daerah provinsi, pemerintah daerah kabupaten/kota.

Berdasarkan ketentuan Pasal 14 ayat (2) Undang-Undang No. 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah. Urusan wajib yang menjadi kewenangan pemerintah daerah untuk kabupaten/kota merupakan urusan yang berskala kabupaten/kota meliputi:

a. perencanaan dan pengendalian pembangunan;

b. perencanaan, pemanfaatan, dan pengawasan tata ruang;

c. penyelenggaraan ketertiban umum dan ketentraman masyarakat; d. penyediaan sarana dan prasarana umum;

e. penanganan bidang kesehatan; f. penyelenggaraan pendidikan; g. penanggulangan masalah sosial; h. pelayanan bidang ketenagakerjaan;

10

7

i. fasilitasi pengembangan koperasi, usaha kecil dan menengah; j. pengendalian lingkungan hidup;

k. pelayanan pertahanan;

l. pelayanan kependudukan dan catatan sipil; m. pelayanan administrasi umum pemerintahan; n. pelayanan administrasi penanaman modal; o. penyelenggaraan pelayanan dasar lainnya dan

p. urusan wajib lainnya yang diamanatkan oleh peraturan perundang-undangan. Dari uraian di atas urusan wajib yang menjadi kewenangan pemerintah daerah untuk kabupaten/kota, secara keseluruhan bertujuan peningkatan pelayanan publik yang akomodatif, aspiratif sesuai dengan ke khasan dan kondisi masyarakat setempat. Dengan demikian dapat dikatakan pemerintah telah berupaya dalam penyelenggaraan pemerintahan kearah terwujudnya tata pemerintahan yang baik (good governance), walaupun dalam kenyataannya atau pelaksanaannya belum optimal sesuai dengan pengharapan masyarakat dan tujuan nasional bangsa Indonesia.

Pemerintah Daerah Kota Medan sebagai salah satu pemerintahan daerah kota yang berada di Provinsi Sumatera Utara. Pemerintah Kota Medan telah berupaya dalam meningkatkan pelayanan publik, dengan adanya program pengurusan Kartu Keluarga (KK) dan Kartu Tanda Penduduk (KTP) bagi masyarakat Kota Medan tidak dikenakan biaya administrasi. Ini menunjukkan upaya yang serius dalam peningkatan pelayanan publik dan kesejahteraan masyarakat, meskipun dalam peraktiknya di lapangan masih banyak warga masyarakat tetap membayar biaya administrasi

8

tersebut. Keadaan seperti ini terjadi karena adanya oknum aparat pemerintahan yang tidak memiliki moral yang baik. Di samping itu dikarenakan kurangnya pemahaman aparat pemerintah daerah akan tujuan otonomi daerah serta ketidak tahuan masyarakat.

Keberadaan Kota Medan sebagai Ibu Kota Provinsi Sumatera Utara, kondisi ini membuat pembangunan fisik Kota Medan mengalami perkembangan yang pesat, seiring dengan pertumbuhan penduduk dan pertumbuhan ekonomi (dunia usaha). Pembangunan pertokoan maupun perumahan penduduk berkembang dengan pesat. Setiap pendirian bangunan baik bangunan untuk dunia usaha maupun pendirian rumah penduduk harus memiliki Izin Mendirikan Bangunan (IMB) yang dikeluarkan oleh Pemerintah Kota Medan.

Pengaturan mengenai Izin Mendirikan Bagunan (IMB) di Kota Medan diatur dalam Peraturan Daerah Kota Medan No. 9 Tahun 2002 tentang Izin Mendirikan Bangunan, Keputusan Walikota Medan No. 62 Tahun 2002 tentang Petunjuk Teknis Izin Mendirikan Bangunan dan Keputusan Walikota Medan No. 3 Tahun 2005 tentang Petunjuk Teknis Pelaksanaan Retribusi Izin Mendirikan Bangunan.

Pemberian Izin Medirikan Bangunan (IMB) merupakan salah satu bentuk pelayanan publik. Di samping itu IMB merupakan salah satu retribusi Kota Medan yang berarti sumber pendapatan daerah. Untuk itu perlu dilakukan penelitian yang berjudul; “ Peningkatan Kualitas Pelayanan Publik Mengenai Pengurusan Izin Mendirikan Bangunan (IMB) Dalam Rangka Mewujudkan Good Governance (Studi di Kota Medan)”. Dengan penelitian ini maka dapat diketahui bagaimana prosedur

9

penerbitan Surat Izin Mendirikan Bangunan, bagaimanakah kualitas pelayanan publik dalam pengurusan IMB, upaya-upaya apa yang dilakukan oleh Pemerintah Kota Medan dalam peningkatan pelayanan publik tersebut dan hubungannya dengan good governance, sehingga penelitian ini dapat bermanfaat sebagai bahan masukan atau pertimbangan bagi Pemerintah Kota Medan dalam meningkatkan pelayanan publik untuk masa-masa yang akan datang dalam rangka perwujudan tata pemerintahan yang baik.

B. Permasalahan

Berdasarkan latar belakang yang telah diuraikan di atas, maka dapat dirumuskan permasalahan sebagai berikut:

1. Bagaimanakah kualitas pelayanan publik mengenai pengurusan Izin Mendirikan Bangunan di Kota Medan.

2. Bagaimanakah penerapan prinsip-prinsip good governance dapat mendorong peningkatan pelayanan publik dalam pengurusan Izin Mendirikan Bangunan di Kota Medan.

C. Tujuan Penelitian

Sesuai dengan permasalahan yang telah dikemukakan di atas, maka tujuan yang hendak dicapai dalam penelitian ini adalah:

1. Untuk mengetahui kualitas pelayanan publik mengenai pengurusan Izin Mendirikan Bangunan (IMB) di Kota Medan.

10

2. Untuk mengetahui penerapan prinsip-prinsip good governance dapat mendorong peningkatan pelayanan publik dalam pengurusan IMB di Kota Medan.

D. Manfaat Penelitian

Penelitian ini diharapkan memberikan manfaat sebagai berikut: 1. Manfaat Teoritis

a. Sebagai bahan informasi tentang data empiris yang dapat dipergunakan sebagai bahan pertimbangan bagi penelitian selanjutnya. b. Dapat dipergunakan untuk menambah khasanah perpustakaan

2. Manfaat Praktis

a. Sebagai bahan masukan bagi masyarakat, khususnya masyarakat yang bertempat tinggal di Kota Medan untuk lebih mengetahui kualitas pelayanan publik mengenai pengurusan IMB dalam rangka terwujudnya good governance, yang dapat digunakan sebagai bahan acuan untuk meningkatkan SDM aparat pemerintah daerah dalam meningkatkan kualitas pelayanan publik di Kota Medan, sehingga terwujud good governance yang dicita-citakan.

b. Sebagai bahan masukan dan pertimbangan bagi pemerintah, khususnya Pemerintah Daerah Kota Medan dalam hal mengambil kebijakan yang berhubungan dengan upaya peningkatan pelayanan

11

publik dan dalam hal penyelenggaraan pemerintahan daerah untuk mewujudkan good governance.

E. Keaslian Penelitian

Berdasarkan penelusuran di perpustakaan terhadap hasil-hasil penelitian yang telah dilakukan atau penelitian yang sedang dilakukan, berkaitan dengan kualitas pelayanan publik, penelitian tentang: “Peningkatan Kualitas Pelayanan Publik Mengenai Pengurusan Izin Mendirikan Bangunan (IMB) dalam Rangka Mewujudkan Good Governance (Studi di Kota Medan)”, belum pernah diteliti sebelumnya. Oleh karena itu penelitian ini asli baik dari segi materi maupun lokasi penelitian. Dengan demikian keaslian penelitian ini dapat dipertanggungjawabkan secara keilmuan.

F. Kerangka Teori dan Konsepsi 1. Kerangka Teori

Menentukan suatu teori dalam penelitian adalah penting, sedemikian pentingnya sehingga David Madsen sebagaimana dikutip Lintong O. Siahaan mengatakan: “The basic purpose of scientific research is theory. He adds that a good theory, properly seen, present a systematic view of phenomena by specifying realitions among cariables, with the purpose of exploring and predcting the phenomena”.11

11

Lintong O. Siahaan, Prospek PTUN Sebagai Penyelesaian Sengketa Admnistrasi di Indonesia, Cetakan Pertama, (Jakarta; Perum Percetakan Negara RI, 2005), h.5

12

Kerangka teori untuk menganalisis peningkatan kualitas pelayanan publik mengenai pengurusan IMB dalam rangka mewujudkan good governance (Studi di Kota Medan) adalah menggunakan teori kualitas pelayanan publik dan teori negara kesejahteraan (Welfare State).

Pelayanan yang baik dalam penyelenggaraan Pemerintahan adalah sarana menuju masyarakat negara yang sejahtera (Welfalre state). Pelayanan dimaksud pada dasarnya merupakan cermin dari perbuatan Pemerintah (Overheidshandeling) yang tidak saja harus berdasarkan undang-undang dan peraturan yang berlaku (Wetmatighed dan Rechtmatigheid), akan tetapi lebih dari itu bahwa administrasi negara dalam menyelenggarakan pemerintahan harus juga berdasarkan kepatutan (billijkheid) serta kesusilaan.12

Secara teoritis, tujuan pelayanan publik pada dasarnya adalah memuaskan masyarakat. Untuk mencapai kepuasan itu dituntut kualitas pelayanan prima yang tercermin dari:13

1. Transparansi, yakni pelayanan yang bersifat terbuka, mudah dan dapat diakses oleh semua pihak yang membutuhkan dan disediakan secara memadai serta mudah dimengerti;

2. Akuntabilitas, yakni pelayanan yang dapat dipertanggungjawabkan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan;

12

Muhammad Abduh, Propil Hukum Administrasi Negara Indonesia (HANI) Dikaitkan Dengan Undang-Undang tentang Peradilan Tata Usaha Negara (PERATUN), (Medan: Pidato

Pengukuhan Jabatan Guru Besar Tetap Dalam Mata Pelajaran Hukum Administrasi Negara Pada Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara, 1988), h. 9

13

Lijan Poltak Sinambela, Reformasi Pelayanan Publik; Teori Kebijakan dan Implementasi, (Jakarta; Bumi Aksara, 2006), h.6

13

3. Kondisionil, yakni pelayanan yang sesuai dengan kondisi dan kemampuan pemberi dan penerima pelayanan dengan tetap berpegang pada prinsip efisiensi dan efektivitas;

4. Partisipatif, yaitu pelayanan yang dapat mendorong peran serta masyarakat dalam penyelenggaraan pelayanan publik dengan memperhatikan aspirasi, kebutuhan dan harapan masyarakat;

5. Kesamaan hak, yaitu pelayanan yang tidak melakukan diskriminasi dilihat dari aspek apapun khususnya suku, ras, agama, golongan, status sosial dan lain-lain;

6. Keseimbangan hak dan kewajiban, yaitu pelayanan yang mempertimbangkan aspek keadilan antara pemberian dan penerima pelayanan publik.

Dari uraian di atas suatu pelayanan publik dianggap berkualitas bila telah memenuhi ke enam unsur tersebut di atas.

Ada beberapa hal yang perlu diperhatikan dalam pemberian pelayanan, namun yang paling signifikan untuk diterapkan dalam lembaga pemerintah adalah:14

1. function: kinerja primer yang dituntut;

2. confirmance: kepuasan yang didasarkan pada pemenuhan persyaratan yang telah ditetapkan;

3. reliability: kepercayaan terhadap jasa dalam kaitannya dengan waktu;

4. serviceability: kemampuan untuk melakukan perbaikan apabila terjadi kekeliruan;

14

14

5. adanya assurance yang mencakup pengetahuan, kemampuan, kesopanan, dan sifat dapat dipercaya yang dimiliki para staf, bebas dari bahaya, risiko atau keragu-raguan.

Teori Negara kesejahateraan (welfare State), teori tersebut merupakan perwujudan dari Grand theory Montesquieu yaitu ajaran pemisahan kekuasaan (speration of power) yang terdiri dari kekuasaan legislatif (membuat undang-undang), kekuasaan eksekutif (melaksanakan undang-undang) dan kekuasaan yudikatif (mengadili pelanggaran undang-undang). Trias Politika tidak dapat dilaksanakan secara konsekuen. Dalam perkembangannya ajaran Trias Politika ini mendapat berbagai modifikasi terutama melalui pembagian kekuasaan (distribution of power).15

Secara teoritis diungkapkan bahwa kekuasaan itu dapat dibagi dengan dua cara yaitu:

a. secara vertikal, pembagian kekuasaan menurut tingkatnya maksudnya ialah pembagian kekuasaan antara beberapa tingkat pemerintahan. Carl J.Frederich memakai istilah pembagian kekuasaan. Ini dapat dengan jelas kita bandingkan antara negara kesatuan federasi dan konfederasi.

b. Secara horizontal, pembagian kekuasaan menurut fungsinya. Pembagian ini menunjukkan perbedaan antara fungsi-fungsi pemerintahan yang bersifat legislatif, eksekutif dan yudikatif yang lebih dikenal dengan trias politica atau pembagian kekuasaan (division of power).16

Menurut C.F.Strong, negara kesatuan adalah bentuk negara di mana wewenang legislatif lebih tinggi dipusatkan dalam satu badan legislatif nasional/pusat. Pemerintah pusat mempunyai wewenang untuk menyerahkan

15

H.R.Ridwan, Hukum Administrasi Negara, Cetakan Pertama, (Yogyakarta; UII Press, 2002), h.12

16

Mhd.Sihiddiq Tgk. Armia, Perkembangan Pemikiran Dalam Ilmu Hukum, Cetakan Pertama, (Jakarta; Pradinya Paramita, 2003), h.167

15

sebagian kekuasaannya kepada daerah berdasarkan hak otonomi (negara kesatuan dengan sistem desentralisasi), tetapi pada tahap akhir kekuasaan tertinggi tetap pada pemerintah pusat. Jadi kedaulatannya, baik kedaulatan ke dalam maupun kedaulatan keluar, sepenuhnya terletak pada pemerintah pusat. Dengan demikian yang menjadi hakekat negara kesatuan ialah bahwa kedaulatannya tidak terbagi, atau dengan perkataan lain, kekuasaan pemerintah pusat tidak dibatasi, oleh karena konstitusi negara kesatuan tidak mengakui badan legislatif lain, selain badan legislatif pusat. Jadi adanya kewenangan untuk membuat peraturan bagi daerahnya sendiri itu tidak berarti bahwa pemerintah daerah itu berdaulat, sebagai pengawasan dan kekuasaan tertinggi tetap pada pemerintah pusat.17

Sejalan dengan pendapat C.F.Strong tersebut menurut I.Nyoman Sumaryadi mengemukakan: Otonomi daerah sebagai perwujudan pelaksanaan asas desentralisasi dalam penyelenggaraan pemerintahan pada hakekatnya merupakan penerapan konsep areal devision of power yang membagi kekuasaan secara vertikal yaitu pembagian kekuasaan negara antara pemerintah pusat disatu pihak dan pemerintah daerah dipihak lain.18

Seiring dengan perkembangan kenegaraan dan pemerintahan, ajaran negara hukum yang kini dianut oleh negara-negara di dunia khususnya setelah perang dunia kedua adalah negara kesejahteraan (welfare state). Konsep negara ini muncul sebagai reaksi atas kegagalan konsep legal state atau negara penjaga malam. Dalam konsep

17

Ibid., h.167-168

18

I.Nyoman Sumaryadi, Efektivitas Implementasi Kebijakan Otonomi Daerah, (Jakarta; Citra Utama, 2005), h.9

16

legal state terdapat prinsip staats onthouding atau pembatasan peran negara dan pemerintah dalam bidang politik yang melahirkan dalil “the least government is the best government” dan terdapat prinsip laissez faire, laissez aller dalam bidang ekonomi yang melarang negara dan pemerintah mencampuri kehidupan ekonomi masyarakat (staatbenoeienis). Akibat pembatasan ini pemerintah atau administrasi negara menjadi pasif dan oleh karenanya sering disebut negara penjaga malam (nachwakerstaad). Adanya pembatasan negara, gagasan yang menempatkan pemerintah sebagai pihak yang bertanggungjawab atas kesejahteraan rakyatnya yaitu welfare. 19

Negara kesejahteraan (welfare state) menurut istilah Lemaire, disebut bestuuszorg (negara berfungsi menyelenggarakan kesejahateraan umum) atau welvaarsstaat atau verzorgingsstaat merupakan konsepsi negara hukum modern, menempatkan peranan negara pada posisi yang kuat dan besar. Tugas dan wewenang serta tanggungjawab pemerintah semakin berkembang dan bertambah luas baik secara kuantitatif maupun kualitatif. Tugas-tugas baru terus bertambah sementara tugas-tugas lama semakin berkembang. Akhirnya sekarang ini konsepsi negara hukum modern ini menimbulkan dilema yang penuh kontradiksi, sebab suatu negara hukum modern mengharuskan setiap tindakan pemerintah berdasarkan atas hukum

Dokumen terkait