• Tidak ada hasil yang ditemukan

Di dalam proses penafsiran, orang mengalami peleburan horison antara pola berpikirnya dan obyek yang ada di depannya. Peleburan horison itulah yang akan menciptakan pemahaman. Pemahaman yang tepat lahir dari peleburan antara pola berpikir yang rasional-kritis-sistematis dengan obyek yang ditampilkan. Sementara pemahaman yang salah lahir dari peleburan antara pola berpikir penuh prasangka dan obyek yang ada di depan mata.

Di Indonesia pola berpikir mayoritas warganya dungu. Akibatnya pemahaman yang tercipta pun juga pemahaman yang dungu. Peleburan horison antara pola berpikir dungu dan obyek yang tampil di depan akan menghasilkan kedangkalan pengertian, dan bahkan kesalahpahaman.

Kesalahpahaman akan mendorong tindakan yang salah. Yang tercipta kemudian adalah ketidakadilan. Ada korban dari tindakan yang tidak adil. Semakin banyak

korban semakin besar pula peluang untuk terjadinya kekacauan.

Konteks

Makna dari sesuatu itu tidak pernah netral ataupun universal, melainkan selalu tertanam dalam konteks. Kebaikan itu tidak pernah mutlak, melainkan kebaikan dalam konteks tertentu. Begitu pula kejahatan tidak pernah mutlak, dan selalu jahat dalam konteks tertentu. Inilah prinsip utama dari ilmu tafsir, atau hermeneutika.

Kedunguan membuat mayoritas orang Indonesia tidak melihat konteks. Akibatnya kebenaran dimutlakkan dan tercabut dari konteks. Kebenaran tanpa konteks adalah kejahatan itu sendiri. Kontekslah yang memberikan makna pada kebenaran. T anpa konteks kebenaran pun kehilangan artinya.

Konteks selalu bersifat historis. Maka tidak ada kebenaran mutlak. Yang ada adalah kebenaran yang pelan-pelan menyingkapkan dirinya dalam kehidupan, tanpa pernah telanjang sepenuhnya. Kebenaran selalu hidup dan bermakna di dalam konteks.

Inilah yang tidak kita pahami. Kita beragama tanpa konteks. Kita berpolitik tanpa konteks. Ini terjadi karena pola berpikir kita dungu. Akibatnya kita buta pada konteks.

Dungu

Manusia dilengkapi dengan akal budi sejak ia lahir. T ugasnya adalah memaksimalkan akal budinya tersebut di dalam kehidupan. Ia perlu belajar dan berelasi dengan manusia lain, supaya ia berkembang sebagai manusia. Ia perlu mendengar dan membaca, supaya pikirannya tidak sempit dan buta.

Orang-orang dungu di Indonesia tidak menyadari fakta ini. Mereka malas membaca, malas bergaul dengan yang tidak sepikiran, dan penuh dengan prasangka. Mereka malas mendengar hal-hal yang bertentangan dengan keyakinan mereka. Akibatnya mereka semakin dungu. Cara berpikirnya semakin hari semakin tidak masuk akal, tidak kritis, dan tidak sistematis.

Pendidikan kita adalah pendidikan dengan paradigma yang dungu. Politik kita adalah politik orang-orang dungu. Bisnis kita adalah bisnis orang-orang-orang-orang dungu. Bangsa kita adalah bangsa dungu.

Berubah

Namun dungu bukanlah kondisi permanen. Orang bisa berubah asalkan memiliki kemauan dan usaha cukup besar. Langkah awal adalah dengan mengubah pola pendidikan, yakni ke arah penciptaan manusia-manusia yang mampu berpikir masuk akal, bersikap kritis pada keadaan, dan mampu menyampaikan ide-idenya secara

sistematis pada orang lain. Seluruh kurikulum dan pola pengajaran dari T K sampai perguruan tinggi harus menjiwai pola ini.

T idak ada proses instan untuk memerang kedunguan pola pikir. Yang diperlukan adalah usaha yang sabar dan konsisten. Namun pertama-tama kita perlu sadar dulu, bahwa kita adalah orang dungu, dan berniat untuk keluar dari kedunguan itu. Masalahnya adalah maukah kita untuk berhenti menjadi orang dungu? (***)

Kita1

Kita hidup dalam masyarakat yang amat individualistik. Setiap orang mengejar kepentingan pribadinya, dan seolah tak terlalu peduli dengan kepentingan bersama. Kita hidup dalam masyarakat yang amat kompetitif; setiap orang mengurus dirinya sendiri, titik.

Memang mengejar kepentingan pribadi juga tidak salah. Bahkan dapat dengan lugas dikatakan, bahwa pengejaran kepentingan pribadi adalah esensi dari kapitalisme. Dan kita semua tahu, kapitalisme, lepas dari segala kekurangannya, adalah sistem terbaik yang dikenal umat manusia dalam hal produksi dan distribusi barang maupun jasa.

Namun ada bahaya besar yang tertanam di dalam kapitalisme, yakni orang menjadi fokus melulu pada pemenuhan kebutuhan dirinya semata, dan menjadi tak peduli dengan keluarga, teman, ataupun masyarakat sekitarnya.

1

(Seluruh kerangka analisis tulisan ini diinspirasikan dari Martin James, The Jesuit Guide to (Almost) Everthing, Harper Collins, New York, 2010, hal. 183-185. Saya mengembangkan analisis Martin tersebut untuk konteks masyarakat kita.)

Kita sering merasa gelisah hidup di masyarakat seperti itu. Banyak orang tetapi selalu merasa sendiri. Lalu kita pun mengobati kegelisahan maupun kecemasan itu dengan membeli barang; dengan mengonsumsi.

Kekosongan di dalam hati kita isi dengan barang. Padahal kita juga bisa mengisinya dengan menciptakan hubungan yang bermakna dengan orang lain. Namun kita lupa itu. Di sisi lain upaya mengisi hati dengan barang ini sangatlah sehat untuk industri pemasaran maupun periklanan. T ujuan industri ini adalah untuk menciptakan keinginan akan barang-barang.

Pada akhirnya semua situasi ini menciptakan kelompok-kelompok di masyarakat. Yang satu lebih tinggi daripada yang lain. Kita hidup dalam masyarakat seperti ini.

Kita memperlihatkan status diri kita dengan simbol-simbol tertentu, seperti titel pekerjaan, jumlah barang-barang yang dimiliki, baju yang dipakai, dan sebagainya. Kualitas kita sebagai pribadi dilihat dari seberapa banyak barang yang kita punya, dan apa pekerjaan kita.

T ak heran di dalam masyarakat kita, soal gaji adalah soal yang paling sensitif. Bahkan mendiskusikan soal gaji adalah sesuatu yang amat tabu. Karena dengan mengetahui gaji seseorang, kita bisa tahu level mereka di

masyarakat. Kita bisa tahu berapa “harganya” sebagai manusia.

Jika kita mengetahui gaji seseorang, kita bisa langsung melihatnya dengan kaca mata yang baru. Jika gajinya lebih rendah dari kita, maka kita langsung melihatnya sebagai orang yang levelnya di bawah kita. Jika gajinya lebih besar, maka kita akan cemburu, dan bahkan melihat diri kita lebih rendah dari pada dia.

Kita bisa berbicara macam-macam dengan sahabat kita. T etapi soal gaji kita pasti menolak membicarakannya. Itulah tabu masyarakat konsumtif. Itulah kita.

T anpa sadar kita melihat diri kita juga dengan cara ini. Kita melihat dan menilai diri kita dengan jumlah gaji, pekerjaan, jumlah barang yang dimiliki, ataupun produktivitas kita. T entu saja saya amat sadar, bahwa orang perlu bekerja dalam hidupnya. Namun jika kita hanya melihat diri kita dengan kriteria-kriteria ini, maka kita hanya akan menjadi “human doing”, dan bukan human being.

Jika kita gagal mendapatkan pekerjaan dengan gaji yang layak, atau hanya memiliki sedikit barang, maka kita merasa rendah diri. Lalu kita pun memacu diri untuk bekerja, bahkan di luar batas-batas manusiawi.

Kita hidup dalam masyarakat yang berbentuk piramid. Pada level tertinggi adalah orang-orang yang kita anggap hebat, seperti para selebritis, orang-orang kaya, dan

sebagainya. Sementara di level terendah ada para pecundang, yakni para pengangguran, pengungsi, dan gelandangan.

Dengan pola pikir seperti ini, kita mengabaikan orang-orang miskin. Bagi kita mereka adalah perusak sistem dan tatanan yang indah. Mereka mengingatkan kita betapa bobroknya sistem yang kita punya. Kita juga takut kalau menjadi miskin, seperti mereka.

Semua pikiran ini membuat kita semakin terpacu untuk bekerja, dan menjauhkan diri dari orang-orang miskin itu. Pokoknya jangan sampai saya menjadi seperti mereka. Amit-amit!

Sekali lagi kita hidup dalam masyarakat seperti ini. Semuanya adalah kompetisi. T ak berlebihan jika dikatakan, bahwa kompetisi adalah daya dorong di balik semua kehidupan sosial. Kita tidak bisa hidup nyaman, karena selalu ada dalam situasi kompetisi. Kita merasa terancam kalau ada orang yang lebih berhasil daripada kita.

Gore Vidal pernah menulis begini, “tidak cukup kalau kita hanya sukses. Orang lain mesti gagal!” Saya merasa betapa benarnya ungkapan itu.

Memang harus diakui tidak semua orang yang berkompetisi adalah orang yang jahat dan rakus. Namun juga harus diakui pula, bahwa orang-orang yang paling suci sekalipun juga dipaksa untuk berlomba dan mengalahkan. Mereka juga dipaksa oleh keadaan untuk berubah menjadi

ganas dan rakus. Apakah masyarakat semacam ini yang kita inginkan?

Di dalam kompetisi tidak semua orang bisa berhasil. Mereka yang berhasil ingin mempertahankan posisi, terutama dengan tetap menahan orang-orang yang gagal supaya tetap gagal. Dalam arti ini kekuasaan seringkali digunakan untuk mempertahankan situasi yang ada, di mana orang-orang yang gagal tetap diupayakan bodoh dan miskin, serta orang-orang yang berhasil tetap kaya dan berkuasa.

Segala upaya dilakukan untuk mempertahankan situasi piramid yang tidak adil ini. Pendidikan, hukum, ekonomi, budaya, dan bahkan seni ditujukan untuk melestarikan sistem yang tak adil tersebut. Pada akhirnya masyarakat pun pecah.

Kompetisi melahirkan kecurigaan dan kegelisahan. Kompetisi mencegah adanya kerja sama dengan pihak-pihak yang berbeda. Dan terlebih kompetisi melahirkan kesepian. Kita hidup di masyarakat seperti itu. Itulah “kita”. 2011… . (***)

Iman

Apa artinya menjadi orang yang beriman? Beriman berarti meyakini seperangkat ajaran tertentu, sekaligus nilai-nilai yang terkandung di dalamnya. Beriman berarti percaya bahwa seperangkat ajaran tertentu bisa membawa hidup manusia ke arah yang lebih baik. Ini berlaku untuk semua agama, ataupun ideologi yang ada di dunia.

Beriman tidak hanya memahami ajaran, tetapi juga menghayati nilai yang terkandung di dalam ajaran itu. Misalnya di dalam agama Katolik diajarkan, bahwa Yesus adalah Allah yang menjadi manusia. Di balik ajaran itu terkandung nilai, bahwa manusia haruslah rendah hati, karena T uhan saja bersikap rendah hati dengan bersedia menjadi manusia. T uhan saja rela berkorban untuk manusia. Masa kita tidak mau berkorban untuk orang-orang sekitar?

Orang tidak boleh hanya beriman, atau memahami nilai-nilai hidup dari imannya. Orang juga mesti menerapkan secara konsisten nilai-nilai itu di dalam hidup kesehariannya. Jika tidak diterapkan maka iman dan penghayatan nilai hanya menjadi sesuatu yang sia-sia. Dengan kata lain harus ada kesesuaian antara keimanan

yang diyakini, nilai-nilai hidup yang diperoleh, dan perilaku keseharian.

Itulah artinya menjadi orang beriman sekarang ini.

Berilmu

Ilmu pengetahuan adalah hasil karya manusia yang dengan menggunakan akal budinya berusaha memahami cara kerja alam, baik alam natural (gunung, mahluk hidup) maupun alam sosial (masyarakat, ekonomi, politik). Yang menurut saya paling penting bukanlah hasil dari ilmu pengetahuan itu sendiri, tetapi cara berpikir ilmiah yang ada di belakangnya.

Cara berpikir ilmiah ini menghasilkan ilmu pengetahuan dan teknologi yang memudahkan hidup manusia. Di Indonesia orang hanya mau menggunakan teknologi yang telah diciptakan oleh orang lain. Kita malas berpikir secara ilmiah, maka itu kita menjadi bangsa konsumtif yang tidak produktif dalam soal pengembangan teknologi dan ilmu pengetahuan.

Apa yang dimaksud dengan cara berpikir ilmiah? Cara berpikir ilmiah adalah cara berpikir yang mematuhi prinsip-prinsip ilmiah tertentu. Setidaknya ada lima prinsip ilmiah, yakni sikap intersubyektif, sikap pencarian tanpa henti, sikap rasional, sikap koheren, dan sikap

sistematis-komunikatif. Saya akan coba paparkan satu per satu.