• Tidak ada hasil yang ditemukan

Dalam meningkatkan arus investasi ke Indonesia, berbagai upaya terus dilakukan oleh pemerintah. Upaya tersebut, antara lain dengan pendelegasian kewengan pengelolaan investasi kepada pemerintah daerah (Pemda). Hanya saja pendelegasian kewenangan tersebut, belum sepenuhnya berjalan. Hal ini disebabkan belum tertata dengan cermat pembagian pengelolaan investasi. Oleh karena itu terkesan peemrintah pusat belum sepenuhnya mendelegasikan wewenang kepemerintah daerah dalam urusan invesatasi. Secara normati, memang dengan diundangkannya UUPMA pada tahun 1967, peemrintah pusat mempunyai kewenangan untuk mengatur masalah investasi asing. Sebagaimana dikemukakan oleh C.F.G. Sunarjati Hartono bahwa dalam UUPMA, pemerintah diberi wewenang untuk :

2. Menentukan syarat – syarat yang harus dipenuhi oleh penanaman modal asing secara kasuistis

3. Menetapkan bidang – bidang usaha tertentu yang tidak boleh ditanam oleh modal asing

4. Menetapkan bidang – bidang usaha yang dapat diadakan kerjasama antara modal asing dan modal nasional

Jadi, kewenangan untuk memutuskan boleh tidaknya suatu investasi masih ada dipemerintah pusat, dalam hal ini diwakili oleh Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM). Selain itu untuk daerah tertentu urusan investasi dapat dikelola oleh suatu badan seperti halnya dikawasan industri pulau Batam yang lebih dikenal dengan Badan Otorita Batam. 2.6.1. Latar Belakang Diterbitkannya Undang – Undang Penanaman

Modal Nomor 25 Tahun 2007

Setelah menanti cukup lama akhirnya ketentuan investasi yang selama 40 tahun diatur dalam dua undang – undang, yakni Pertama, Undang – Undang Nomor 1 Tahun 1967 Tentang Penanaman Modal Asing (PMA) dan yang Kedua, Undang – Undang Nomor 6 Tahun 1968 Tentang Penanaman Modal Dalam Negeri (PMDN), dicabut dan diganti dengan Undang – Undang Nomor 25 Tahun 2007 Tentang Penanaman Modal (UUPM). Undang – Undang penanaman modal dinyatakan berlaku sejak diundangkan dalam Lembaran Negara Republik Indonesia (LNRI) Tahun 2007 Nomor 67 pada tanggal 26 April 2007.

Jika dilihat kebelakang, pembahasan terhadap pembaharuan ketentuan investasi memakan waktu relatif cukup lama. Hal ini dapat cukup dimaklumi, sebab yang terkandung didalam undang – undang penanaman modal menganut paham liberal tampaknya belum sepenuhnya dapat diterima oleh berbagai pihak. Namun dalam perjalanan waktu, akhirnya berbagai masukan yang disampaikan oleh para pihak yang mempunyai perhatian terhadap pengaturan hukum investasi dirangkum dalam semangat yang ada dalam UUPM yang ada saat ini. Adanya paham liberal dalam undang – undang penanaman modal dapat disimpulkan, dari perlakuan yang diberikan oleh pemerintah kepada penanaman modal. Dalam undang – undang ini tidak dibedakan perlakuan terhadap penanaman modal asing dan dengan penanaman modal dalam negeri. Dalam buku Sentosa Sembiring (Hukum Investasi : 126) mengatakan kelihatannya disinilah letak perbedaan sudut pandang dalam melihat arti pentingnya penanaman modal. Adapun alasan dikemukan oleh pihak yang kurang setuju diterapkannya paham liberal yakni dalam kondisi masa kini, masih diperlukan perlindungan terhadap industri dalamnegeri, maka belum saatnya untuk memberlakukan paham liberal dalam undang – undang penanaman modal. Ketika Rancangan Undang – Undang Penanaman Modal (RUUPM) digulirkan Denni Purbasari, dalam buku Sembiring Sentosa (Hukum Investasi : 126)salah seorang yang menentang paham liberalisasi, mengemukakan liberalisasi dalam RUU PM, tidak tepat untuk meningkatkan investasi. Hal ini karena penurunan investasi disebabkan tingginya biaya berbisnis (pungli, perizinan

pusat dan perda) dan menurunnya pasar Indonesia karena menurunnya daya beli.

Sedangkan dari pihak pemerintah sebagai penggagas RUU PM mempunyai alasan tersendiri, mengapa dirasakan perlu adanya liberalisasi dalam penanaman modal. Hal ini dikemukakan oleh Menteri Perdagangan Mari ElkaPangestu, dengan disahkannya RUU PM menjadi UU tentang Penanaman Modal, pemerintah optimis investasi usaha diberbagai bidang akan semakin meningkat. Investasi adalah instrumen paling penting dalam pembangunan nasional. Diperlukan undang – undang yang benar – benar berbeda dan menarik bagi investor. Pendapat senada juga dikemukakan oleh Fahmi Idris, Menteri Perindustrian kala itu, adanya kesan bahwa RUU PM lebih menguntungkan investasi asing, hali itu merupakan tak terhindarkan. Saat ini tidak lagi dikenal modal asing atau modal dalam negeri. Yang dipersoalkan justru kala terjadi sengketa, bagaimana penyelesaiannya (dispute settlement) hal ini pun sudah ada skema penyelesaiannya didalam UU tersebut. jadi kebijakan ini sah sajaditerapkan asal ditujukan untuk mendorong investasi sebab dunia sekarang ini sudah tanpa batas borderless.

Untuk itu para investor perlu mendekati kepastian, teknis melakukan perkiraan ini diantaranya :

a. Basis Forcasting atau perkiraan dasar. Investor biasanya mendapatkan informasi dasar dari berbagai lembaga advisor atau konsultan sebelum melakukan investasi.

b. Structuring Forcasting atau perkiraan struktur. Investor biasanya mengidentifikasi beberapa faktor yang akan mempengaruhi struktur pembiayaan mereka seperti resiko bisnis negara (country risk), kestabilan mata uang, kestabilan politik, penyediaan infrastruktur.

c. Transmission Forcasting. Sebelum investor memutuskan untuk berinvestasi, investor biasanya mengamati aspek – aspek yang tekait dengan investasinya melalui berbagai saluran seperti media massa, jurnal, dan bahkan dari mulut kemulut.

d. Track record. Investor sangat memperhatikan apa yang telah dialami oleh investor lain dalam melakukan investasi. Kegagalan dan keberhasilan suatu investasi lain dalam melakukan investasi. Kegagalan dan keberhasilan suatu investasi yang terjadi akan menjadi catatan khusus bagi calon investor lain. e. Cast of Service. Untuk membuat perkiraan yang mendekati kepastian,

investor perlu mengidentifikasikan biaya – biaya yang harus dikeluarkarn sebelum bisnis berjalan hingga operasional. Semakin biaya dapat diperkirakan, maka resiko bisnis dapat ditekan. Bagi investor, yang paling dikhawatirkan adalah biaya siluman. Bukan karena besarnya, tapi tidak ada predikksinya.

Terlepas dari adanya berbagai pandangan terhadap kehadiran undnag – undang penanaman modal yang mengadopsi berbagai perkembangan hukum investadi internasional, menarik untuk dicermati apa yang dikemukakan oleh Didik J. Rahcbini, dalam undnag – undnag ini berbagai kepentingan coba diakomodasikan, disamping ini juga bertindak adil kepada investor namun tanpa

mengurangi kepentingan nasional. Sebab, jika hanya terfokus pada satu sudut pandang saja sementara pergerakan arus modal global begitu cepat, maka pilihan yang bijak adalah bagaimana menyatukan berbagai kepentingan tersebut dalam satu norma hukum yang dapat dijadikan pegangan bagi semua pihak yang terkait dengan investasi.

Dari berbagai paparan diatas, terlihat bahwa terbitnya UUPM tahun 2007 melahirkan secercah harpan dalam iklim investasi di Indonesia. Disebut demikian, karena selama ini undang – undang investasi ynag dianggap sudah tidak memadai lagai sebagai landasan hukum untuk menarik investor. Untuk itu, tidaklah berlebihan jika berbagai pihak menyebutkan undnag – undang penanaman modal cukup kompetitif. Dengan kata lain, berbagai fasilitas yang diberikan kepada investor dalam rangka melakukan investasi cukup menarik. Artinya UUPM dapat dibandingkan dengan ketentuan penanaman modal dinegara lain.

2. Asas dan Tujuan Yang Mendasari Undang – Undang Penanaman Modal

Dokumen terkait