• Tidak ada hasil yang ditemukan

2.1 Kerangka Teori - Proses Pelaksanaan Peraturan Walikota Medan Nomor 54 Tahun 2010 Tentang Rincian Tugas Pokok Dan Fungsi BadanPenanaman Modal Kota Medan (Studi Pada Pengawasan Badan Penanaman Modal Kota Medan)

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2019

Membagikan "2.1 Kerangka Teori - Proses Pelaksanaan Peraturan Walikota Medan Nomor 54 Tahun 2010 Tentang Rincian Tugas Pokok Dan Fungsi BadanPenanaman Modal Kota Medan (Studi Pada Pengawasan Badan Penanaman Modal Kota Medan)"

Copied!
62
0
0

Teks penuh

(1)

2.1 Kerangka Teori

Kerangka teori adalah kerangka pemikiran atau butir – butir pendapat - pendapat, teori, thesis sipenulis mengenai suatu kasus ataupun permasalahan dan merupakan masukan eksternal bagi peneliti.

Landasan teori atau kerangka teori merupakan bagian dari penelitian yang memuat teori – teori yang berasal dari studi kepustakaan yang berfungsi sebagai kerangka teori dalam menyelesaikan penelitian. Kerangka teori paling tidak berisi tentang deskripsi teori, yaitu uraian sistematis mengenai teori – teori dan hasil penelitian yang relevan dengan variabel – variabel yang sedang diteliti tersebut.

Dengan demikian, dalam landasan teori ini, dikemukakan atau diberikan penjelasan mengenai variabel – variabel yang diteliti, melalui pendefenisian, dan uraian yang lengkap serta mendalam, sehingga ruang lingkup, kedudukan dan prediksi terhadap hubungan antar variabel. Dari landasan teori ini, maka variabel – variabel yang diteliti akan menjadi lebih jelas dan terarah. Jadi, landasan teori merupakan bekal – bekal yang akan digunakan dalam pembahasan penelitian.

(2)

Untuk mengawali diskusi kebijakan publik kita harus membahas apa makna dari gagasan tentang publik dan menjelaskan tentang perkembangan ini baik dalam teori maupun praktik. Ide kebijakan publik mengandung anggapan bahwa ada suatu ruang atau domain dalam kehidupan yang bukan privat atau murni milik individual, tetapi milik bersama atau milik umum. Publik itu sendiri berisi aktivitas manusia yang dipandang perlu untuk diatur atau diintervensi oleh pemerintah atau aturan sosial, atau setidaknya oleh tindakan bersama. Sedangkan makna modern dari gagasan “kebijakan” adalah seperangkat aksi atau rencana yang mengandung tujuan politik yang berbeda dengan makna “administration” (Wilson,1887).

Maka secara etimologi, kebijakan publik terdiri dari dua kata yaitu kebijakan dan publik. Kebijakan publik menitik beratkan pada apa yang oleh

Dewey (1927) katakan sebagai “publik dan problem – problemnya“. Kebijakan publik membahas soal bagaimana isu – isu dan persoalan – persoalan tersebut disusun (constructed) dan didefenisikan, dan bagaimana kesemuanya itu diletakkan dalam agenda kebijakan dan agenda politik. Selain itu, kebijakan publik juga merupakan study tentang “bagaimana, mengapa, dan apa efek dari tindakan aktif ( action ) dan pasif ( inaction ) pemerintah“ (Heidenheimer, 1990 : 3). Atau seperti dinyatakan oleh Dye, kebijakan publik adalah study tentang “apa yang dilakukan oleh pemerintah, mengapa pemerintah mengambil tindakan tesebut, dan apa akibat dari tindakan tersebut“ ( Dye, 1976 : 1 ).

(3)

bidang kegiatan tertentu. Sebaliknya David Easton (1953, 1965), walau tidak dianggap sebagai karya utama kebijakan publik telah memberikan konstribusi penting bagi pembentukan pendekatan kebijakan, yaitu melihat proses kebijakan dari segi input yang diterima, dalam bentuk aliran dari lingkungan, dimediasi melalui saluran input (partai, media, kelompok kepentingan) pemerintah didalam sistem politik (withinputs) dan konversinya menjadi output dan hasil kebijakan.

Dengan ini bentuk perhatian terhadap kebijakan publik benar – benar mengandung manfaat yang paling besar terhadap masyarakat, artinya dengan mengenali rakyatnya, berarti pemerintah sangat sadar benar apa yang dibutuhkan oleh rakyatnya.

2.1.2. Model dan Proses Kebijakan Publik

Model adalah sebuah kerangka sederhana yang merupakan sebuah usaha untuk memudahkan penjelasan terhadap suatu fenomena. Model banyak digunakan untuk memudahkan para pemerhati dan pembelajar tingkat awal. Banyak kesulitan yang akan ditemui jika fenomena sosial harus dijelaskan dengan konsep yang abstrak. Oleh karena itu, model diperlukan untuk menyampaikan fenomena yang rumit dan kompleks, dengan tujuan menyamankan persepsi terhadap sebuah fenomena. Model sendiri lahir dari hasil jerih payah membandingkan beberapa (atau banyak) kasus, sehingga ditemukan sebuah konsistensi gejala / fenomena, dan kemudian abstraksi kedalam sebuah model untuk menjelaskan fenomena tersebut.

(4)

Proses analisis kebijakan secara umum merupakan suatu proses kerja yang meliputi lima komponen informasi kegiatan yang saling terkait dan dilakukan secara bertahap dengan menggunakan berbagai teknik analisis kebijakan publik.

Bagan dari proses analisis kebijakan dibawah ini terjadi secara akumulatif antara komponen informasi dan teknik analisis yang digunakan untuk mengahasilkan dan memindahkannya. Penggunaan teknik – teknik analisis kebijakan (perumusan masalah, peramalan, peliputan, evaluasi, dan rekomendasi) memungkinkan analis memindah salah satu tipe informasi ke informasi lainnya secara berkesinambungan. Informasi dan teknik saling bergantung, dimana keduanya terkait dalam proses pembuatan dan perubahan yang dinamis melalui transformasi informasi kebijakan. Pada konteks ini komponen informasi kebijakan (masalah kebijakan, alternatif kebijakan, tindakan kebijakan, hasil kebijakan, dan hasil guna kebijakan ) ditransformasikan dari satu posisi keposisi lainnya dengan menggunakan teknik analisis kebijakan. Dalam memecahkan masalah yang dihadapi kebijakan publik. (Dunn, 1994) seperti bagan berikut ini :

Gambar 2.1 Proses Analisis Kebijakan Publik

Perumusan Masalah

Penyimpulan Praktis Masalah

Kebijakan

(5)

Sumber : Hessel Nogi S. Tangkilisan,2003 : 7

Dunn (1994) mengemukakan bahwa ada beberapa tahap analisis yang harus dilakukan, yaitu:

1. Agenda Setting

Yang pertama kali dilakukan pada tahapan ini adalah menentukan masalah publik yang akan dipecahkan. Pada hakekatnya masalah di ditentukan melalui proses problemstructuring.

Woll (1996) mengemukakan bahwa suatu isu kebijakan dapat berkembang menjadi agenda kebijakan apabila memenuhi syarat sebagai berikut :

a) Memiliki efek yang besar terhadap kepentingan masyarakat

b) Membuat analog dengan cara memancing dengan kebijakan publik yang pernah dilakukan

c) Isu tersebut mampu dikaitkan dengan isu – isu nasional atau politik yang ada

d) Terjadinya kegagalan pasar (market failure)

Hasil Guna Kebijakan Hasil Kebijakan

Rekomendasi Evaluasi

Peliputan

Tindakan

Kebijakan

(6)

e) Tersedianya teknologi dan dana untuk menyelesaikan masalah publik

Menurut Dunn (1994)problemstructuring memiliki 4 fase yaitu :

a) Pencarian masalah (problem search) b) Pendefenisian masalah (problen definition) c) Spesifikasi masalah (problem spesification) d) Pengenalan masalah (problem setting)

Sedangkan teknik yang dapat dilakukan untuk merumuskan masalah adalah analisis batasan masalah, analisis klarifikasi, analisis hirarki dan brainstroming, analisis multi prespektif, analisis asumsional serta pemetaan argumentasi.

2. Policy Formulation

Woll (1966) berpendapat bahwa formulasi kebijakan berarti pengembangan sebuah mekanisme untuk menyelesaikan masalah publik, dimana pada tahap analisis kebijakan publik mulai menerapkan beberapa teknik untuk menjustifikasikan bahwa sebuah pilihan yang terbaik dari kebijakan merupakan pilihan yang terbaik dari kebijakan yang lain.

3. Policy Adoption

Tahap adopsi kebijakan merupakan tahap untuk menentukan pilihan kebijakan melalui dukungan para stekeholders atau pelaku yang terlibat.

(7)

Pada tahap ini suatu kebijakan telah dilaksanakan oleh unit – unit eksekutor (birokrasi pemerintah) tertentu dengan memobilisasikan sumber dana dan sumber daya lainnya (teknologi dan manajemen), dan pada tahap ini monitoring dapat dilakukan. Menurut Patton dan Sawicki(1993) bahwa implementasi berkaitan dengan berbagai kegiatan yang diarahkan untuk merealisasikan program, dimana pada posisi ini eksekutif mengatur cara untuk mengorganisir, mengintreprestasikan dan menerapkan kebijakan yang telah diseleksi.

5. Policy Assesment

Dalam tahapan ini semua proses implementasi dinilai apakah telah sesuai dengan yang telah ditentukan atau direncanakan dalam program kebijakan. Evaluasi tidak hanya menghasilkan kesimpulan mengenai seberapa jauh masalah telah terselesaikan, tetapi juga menyumbang pada klarifikasi dan kritik terhadap nilai – nilai yang mendasari kebijakan, membantu dalam penyesuaian dan perumusan kembali masalah.

2.2. Implementasi Kebijakan

2.2.1. Pengertian Implementasi Kebijakan

(8)

dan diatur saat sedang dibuat “(Anderson, 1975 : 98)”. Implementasi adalah pelaksanaan pembuatan kebijakan dengan cara – cara lain, akan tetapi biasanya kita cenderung menganggap sistem politik sebagai yang menambah problem, dengan menarik garis pemisah antara kebijakan dan administrasi. (Parson, 2008 : 464)

Perbedaan antara kebijakan sebagai politik dan administrasi sebagai implemenatsi, maka penjelasan tentang implementasi akan dikaji lebih lanjut dengan memberikan pengertian terhadap studi implementasi. Studi implementasi adalah studi perubahan, yaitu bagaimana perubahan terjadi, merupakan suatu kajian mengenai studi kebijakan yang mengarah pada proses pelaksanaan dari suatu kebijakan. Dalam praktiknya implementasi kebijakan merupakan suatu proses yang begitu kompleks bahkan tidak jarang bermuatan politis dengan adanya intervensi berbagai kepentingan. Untuk melukiskan kerumitan dalam proses implementasi tersebut dapat dilihat pada pernyataan yang dikemukakan oleh seorang ahli studi kebijakan Eugene Bardach dalam Leo Agustino (2006:138), yaitu:

”Adalah cukup untuk membuat sebuah program dan kebijakan umum yang kelihatannya bagus di atas kertas. Lebih sulit lagi merumuskannya dalam kata-kata dan slogan-slogan yang kedengarannya mengenakan bagi telinga para pemimpin dan para pemilih yang mendengarkannya. Dan lebih sulit lagi untuk melaksanakannya dalam bentuk cara yang memuaskan semua orang termasuk mereka anggap klien.”

(9)

kelompok-kelompok pemerintah atau swasta yang diarahkan pada tercapainya tujuan-tujuan yang telah digariskan dalam keputusan kebijaksanaan”

Dalam sejarah perkembangan studi implementasi kebijakan, dijelaskan tentang adanya dua pendekatan guna memahami implementasi kebijakan, yakni pendekatan top down, yang muncul pertama kali. Model ini berisi gagasan bahwa implementasi adalah menjadikan orang melakukan apa – apa yang diperintahkan, dan mengontrol urutan tahapan dalam sebuah sistem. Sedangkan model bottom up menekankan pada fakta bahwa implementasi dilapangan memberikan keleluasaan dalam penerapan kebijakan, namun pada dasarnya mereka bertitik - tolak pada asumsi - asumsi yang sama dalam bentuk mengembangkan kerangka analisis tentang studi implementasi. (Parson, 2008 : 463 - 471)

Berangkat dari perspektif tersebut, maka timbullah pertanyaan-pertanyaan sebagai berikut :

1. Sampai sejauhmana tindakan-tindakan pejabat pelaksana konsisten dengan keputusan kebijakan tersebut?

2. Sejauhmana tujuan kebijakan tercapai?

3. Faktor-faktor apa yang secara prinsipil mempengaruhi output dan dampak kebijakan?

4. Bagaimana kebijakan tersebut diformulasikan kembali sesuai pengalaman lapangan?

(10)

perhatian terhadap aspek organisasi atau birokrasi sebagai ukuran efisiensi dan efektifitas pelaksanaan kebijakan.

2.2.2. Model-Model Implementasi Kebijakan Publik

Dimensi paling inti dari kebijakan publik adalah proses kebijakan. Di sini kebijakan publik dilihat sebagai sebuah proses kegiatan atau sebagai satu kesatuan sistem yang bergerak dari satu bagian ke bagian lain secara sinambung, saling menentukan dan saling membentuk.

Dalam bukunya Public Policy, Riant Nugroho (2009, 494-495) memberi makna implementasi kebijakan sebagai “cara agar sebuah kebijakan dapat mencapai tujuannya. Tidak lebih dan tidak kurang”.

Ditambahkan pula, bahwa untuk mengimplementasikan kebijakan publik, ada dua pilihan langkah yang ada, yaitu: langsung mengimplementasikan dalam bentuk program atau melalui formulasi kebijakan derivat atau turunan dari kebijakan publik tesebut. Para ilmuwan yang mengembangkan pendekatan ini adalah antara lain Richard Matland (1995), Helen Ingram (1990), dan Denise Scheberle (1997).

2.2.2.1Model Van Meter dan Van Horn

(11)

implementator, dan kinerja kebijakan publik. Beberapa variabel yang dimasukkan sebagai variabel yang mempengaruhi kebijakan publik adalah variabel berikut:

1. Aktivitas implementasi dan komunikasi antar organisasi 2. Karakteristik agen pelaksana/implementator

3. Kondisi ekonomi, sosial, dan politik

4. Kecenderungan (disposition) pelaksana/implementor.

Model implementasi kebijakan ini dipengaruhi 6 faktor, yaitu :

1) Standar kebijakan dan sasaran yang menjelaskan rincian tujuan dan keputusan kebijakan secara umum. Standar dan sasaran kebijakan harus jelas dan terukur sehingga dapat direalisir. Apabila standar dan sasaran kebijakan kabur, maka akan terjadi multiintrepretasi dan mudah menimbulkan konflik diantara para agen impelementasi.

2) Sumberdaya kebijakan berupa dana pendukung implementasi. Implementasi kebijakan perlu dukungan sumberdaya baik sumber daya manusia (human resources) maupun sumberdaya non manusia (non human resources). Dalam berbagai kasus program pemerintah, seperti program jaringan pengaman sosial (JPS) untuk kelompok miskin dipedesaan kurang berhasil karena keterbatasan kualitas aparat pelaksana.

(12)

4) Karakteristik pelaksanaan, artinya karakteristik organisasi merupakan faktor krusial yang akan menentukan berhasil tidaknya suatu program, mencakup struktur birokrasi, norma – norma, dan pola – pola hubungan yang terjadi dalam birokrasi, yang semua itu akan mempengaruhi implementasi suatu program.

5) Kondisi sosial ekonomi dan politik yang dapat mempengaruhi hasil kebijakan. Variabel ini mencakup sumberdaya ekonomi lingkungan yang dapat mendukung keberhasilan implementasi kebijakan, sejauhmana kelompok – kelompok kepentingan memberikan dukungan bagi implementasi kebijakan, karakteristik para partisipan, yakni mendukung atau menolak, bagaimana sifat opini publik yang ada dilingkungan dan apakah elit politik mendukung implementasi kebijakan.

6) Sikap pelaksanaan dalam memahami kebijakan yang akan ditetapkan. Disposisi implementor ini mencakup akan tiga hal, yakni : (a) Respon implementor terhadap kebijakan, yang akan mempengaruhi kemauannya untuk melaksanakan kebijakan, (b) Kognisi, yakni pemahamannya terhadap kebijakan, (c) Intensitas disposisi implementor, yakni preferensi nilai yang dimiliki oleh implementor.

Gambar 2.2 Model Implementasi Kebijakan Van Meter dan Van Horn

Komunikasi antar organisasi

(13)

Sumber : Van Meter dan Horn, 1975 : 463

2.2.2.2Model Grindle(1980)

Model Implementasi Kebijakan Publik yang dikemukakan Grindle (1980:7) menuturkan bahwa keberhasilan proses implementasi kebijakan sampai kepada tercapainya hasil tergantung kepada kegiatan program yang telah dirancang dan pembiayaan cukup, selain dipengaruhi oleh Content of Policy (isi kebijakan) dan Contex of Implementation (konteks implementasinya).

Isi kebijakan yang dimaksud meliputi:

1) Kepentingan yang terpenuhi oleh kebijakan (interest affected). 2) Jenis manfaat yang dihasilkan (tipe of benefit).

3) Derajat perubahan yang diinginkan (extent of change envisioned). 4) Kedudukan pembuat kebijakan (site of decision making).

5) Para pelaksana program (program implementators). Ukuran dan tujuan

Kebijakan

Sumber daya

Karakteristik badan pelaksana

Disposisi

Pelaksana

Kinerja

Implemen tasi

(14)

6) Sumber daya yang dikerahkan (Resources commited).

Gambar 2.3 Model Implementasi Kebijakan Grindle

Tujuan yang ingin dicapai

mengukur keberhasilan Sumber : Samodra Wibawa, 1994 : 23

Sedangkan konteks implementasi yang dimaksud : Melaksanakan kegiatan

a. Dampak pada masyarakat, individu, dan kelompok

(15)

1) Kekuasaan (power).

2) Kepentingan strategi aktor yang terlibat (interest strategies of actors involved).

3) Karakteristik lembaga dan penguasa (institution and regime characteristics).

4) Kepatuhan dan daya tanggap pelaksana (compliance and responsiveness).

2.2.2.3Model Mazmanian dan Sabatier ( 1983 )

Model yang dikembangkan Daniel Mazmanian dan Paul A. Sabatier (1983) yang mengemukakan bahwa implementasi adalah upaya melaksanakan keputusan kebijakan. Model Mazmanian dan Sabatier disebut model kerangka analisis implementasi (a framework for implementation analysis).

Mazmanian - Sabatier mengklasifikasikan proses implementasi kebijakan ke dalam tiga variabel, yaitu:

1. Variabel Independen

Mudah - tidaknya masalah dikendalikan yang berkenaan dengan indikator masalah teori dan teknis pelaksanaan, keragaman objek, dan perubahan seperti apa yang dikehendaki

(16)

Diartikan sebagai kemampuan kebijakan untuk menstrukturkan proses implementasi dengan indikator kejelasan dan konsistensi tujuan, dipergunakannya teori kausal, ketepatan alokasi sumber dana, keterpaduan hirarkis diantara lembaga pelaksana, aturan pelaksana dari lembaga pelaksana, dan perekrutan pejabat pelaksana yang memiliki keterbukaan kepada pihak luar, variabel di luar kebijakan yang mempengaruhi proses implementasi yang berkenaan dengan indikator kondisi sosio – ekonomi dan teknologi, dukungan publik, sikap dan resorsis konstituen, dukungan pejabat yang lebih tinggi, serta komitmen dan kualitas kepemimpinan dari pejabat pelaksana.

3. Variabel Dependen

Yaitu tahapan dalam proses implementasi kebijakan publik dengan lima tahapan, yang terdiri dari : pertama, pemahaman dari lembaga atau badan pelaksana dalam bentuk disusunnya kebijakan pelaksana; kedua, kepatuhan objek; ketiga, hasil nyata; ke empat, penerimaan atas hasil nyata; dan ke-lima, tahapan yang mengarah pada revisi atas kebijakan yang dibuat dan dilaksanakan, baik sebagian maupun keseluruhan kebijakan yang bersifat mendasar.

Gambar 2.4 Model Implementasi Mazmanian dan Sabatier

Karakteristik Masalah :

1. Ketersedian teknologi dan teori teoritis 2. Keragaman perilaku kelompok sasaran 3. Sifat populasi

(17)

Sumber : Samodra Wibawa, 1994:26

2.2.2.4Model George Edward III ( 1980 )

Menurut George Edward III administrasi publik adalah lack of attention to implementation. Dikatakannya, without effective implementation the decission of policymakers will not be carried out successfully. Edward menyarankan untuk memperhatikan empat isu pokok agar implementasi kebijakan menjadi efektif, yaitu communication, resource, disposition or attitudes, dan beureucratic structures.

1) Komunikasi berkenaan dengan bagaimana kebijakan dikomunikasikan pada organisasi dan/atau publik, ketersediaan sumber daya untuk melaksanakan kebijakan, sikap dan tanggap dari pihak yang terlibat, dan bagaimana struktur organisasi pelaksana kebijakan.

Daya Dukung Peraturan 1. Kejelasan / konsistensi, tujuan / sasaran 2. Teori kausal yang memadai

3. Sumber keuangan yang mencukupi 4. Integrasi organisasi pelaksana 5. Dikresi pelaksana

6. Rekrutmendari pejabat pelaksana 7. Akses formal pelaksana keorganisasi lain

Variabel Non – Peraturan

1. Kondisi sosial ekonomi dan teknologi 2. Perhatian pers terhadap masalah kebijakan 3. Dukungan publik

4. Sikap dan sumberdaya kelompok sasaran utama 5. Dukungan kewenangan

6. Komitment dan kemampuan pejabat pelaksana

PROSES IMPLEMENTASI

Keluaran kebijakan Kesesuain

Dari organisasi keluaran Dampak aktual Dampak yang

(18)

2) Resources berkenaan dengan ketersediaan sumber daya pendukung, khususnya sumber daya manusia. Hal ini berkenaan dengan kecakapan pelaksana kebijakan publik untuk carry out kebijakan secara efektif. 3) Disposition berkenaan dengan kesediaan dari para implementor untuk

carry out kebijakan publik tersebut, kecakapaan saja tidak mencukupi, tanpa kesediaan dan komitmen untuk melaksanakan kebijakan.

4) Struktur birokrasi berkenaan dengan kesesuaian organisasi birokrasi yang menjadi penyelenggara implementasi kebijakan publik. Tantangan adalah bagaimana agar tidak terjadi beureucratic fragmentation karena struktur ini menjadikan proses implementasi menjadi jauh dari efektif. Di Indonesia sering terjadi inefektivitas implementasi kebijakan karena kurangnya koordinasi dan kerja sama di antara lembaga-lembaga negara dan/ atau pemerintahan.

(19)

Sumber: Winarno, 2002: 125

2.3. Identifikasi Hubungan Antar Variabel Implementasi dalam Penelitian Pelaksanaan merupakan langkah yang sangat penting dalam proses kebijakan. Tanpa pelaksanaan, suatu kebijakan hanyalah sekedar sebuah dokumen yang tidak bermakna dalam kehidupan bermasyarakat. Maksudnya, adalah pada tahap ini bermacam alternatif strategi diperhitungkan dengan menggunakan kriteria yang berdasarkan atas nilai – nilai yang ada dalam masyarakat. Perhitungan nilai – nilai bergantung pada pendekatan yang dipakai. Pendekatan – pendekatan ini mempunyai nilai berbeda dalam melihat hakekat dari kebijakan publik yang dengan sendirinya mempunyai pengaruh pada proses kebijakan publik.

(20)

gambar 2.6 yang menggambarkan suatu hubungan umum yang sederhana diantara variabel – variabel berikut ini :

Gambar : 2.6 Hubungan antara variabel -variabel V𝟏𝟏

V𝟐𝟐 V𝟑𝟑

Variabel Bebas Variabel Tergantung Sumber : Saifuddin Azwar 1998 : 61

Dalam gambar 2.6, V4 adalah suatu variabel yang variasinya dipengaruhi oleh variasi beberapa variabel lain yaitu, V1, V2,dan V3. Variasi variabel V1, V2,dan V3 dapat terjadi secara alamiah dan dapat pula terjadi lewat manipulasi atau kehendak peneliti sedangkan variasi variabel V4 dalam model ini tergantung pada variasi ketiga variabel tersebut. Variabel V1, V2,dan V3 merupakan variabel bebeas ( independent ) dan variabel V4 merupakan variabel tergantung ( dependent ).

Variabel tergantung ( dependent ) adalah variabel penelitian yang diukur untuk mengetahui besarnya efek atau pengaruh variabel lain. Besarnyavariabel tersebut diamati dari ada – tidaknya, timbul – hilangnya, membesar – mengecilnya, atau berubahnya variasi yang tampak sebagai akibat perubahan pada variabel lain. Maksudnya variabel tergantung tersebut merupakan kinerja dari implementasi kebijakan tersebut. Sedangkan variabel ( independent ) adalah suatu variabel yang variasinya mempengaruhi variabel lain, yaitu faktor – faktor yang dapat mempengaruhi kinerja impelementasi tersebut.

V2

(21)

Kinerja implementasi kebijakan merupakan variabel pokok yang akan dijelaskan dalam variabel – variabel lain. Kinerja implemntasi tersebut digambarkan secara sederhana dalam tingkat pencapaian tujuan dari kebijakan tersebut. Sedangkan variabel independent merupakan variabel yang di harapkan mampu menjelaskan kinerja dari seluruh kebijakan tersebut. Variabel independent ini menjelaskan keseluruhan faktor yang memiliki keterkaitan dengan proses implementasi kebijakan yang dilakukan oleh BPM sendiri terhadap investasi yang berada di wilayah Kota Medan.

2.4. Hasil - hasil Penelitian Terdahulu mengenai Pelaksanaan Pengawasan Penanaman Modal Dalam Implementasi Kebijakan

Secara umum, pengawasan diartikan adalah suatu tindakan yang dilakukan agar tidak terjadi pelanggaran, atau tidak menyimpang dari ketentuan yang ditetapkan. Menurut GR Terry pengawasan diartikan sebagai kontroling yaitu proses penentuan, apa yang harus dicapai yaitu standart, apa yang sedang dilakukan yaitu pelaksanaan, menilai pelaksanaan dan apabila perlu melakukan perbaikan-perbaikan, sehingga pelaksanaan sesuai dengan rencana yaitu selaras dengan standart. Menurut Saragih ( 1982 : 88 ), pengawasan adalah kegiatan menajer yang mengusahakan agar pekerjaan – pekerjaan terlaksana sesuai dengan rencana yang telah ditetapkan dan hasil yang dikehendaki.

(22)

Daerah. Pada penelitian ini Rizky Wahyu Moch. Azhar melakukan penelitian di Provinsi Jawa Barat mengenai pengawasan pada PMA dan PMDN. Di awal penelitiannya ditemukan suatu permasalahan terutama dalam pelaksanaan kegiatan pengawasan dan pembinaan masih terdapat banyak hal yang menjadi kendala bagi Badan Koordinasi dan Penanaman Modal Daerah (BKPPMD) Provinsi Jawa Barat diantaranya yang paling mendasar belum adanya petunjuk teknis yang dimiliki oleh pemerintah daerah, adanya otonomi daerah yang mewarnai kelembagaan investasi di Kabupatenn/Kota yang berbeda-beda kondisi ini mengakibatkan lemahnya koordinasi sering terjadi mutasi pegawai di Kabupaten/Kota khususnya aparatur penanaman modal sehingga mengakibatkan kurang memahami wawasan dan pengetahuan tentang penanaman modal, peraturan daerah yang membebani para investor sehingga biaya ekonomi menjadi tinggi. Kesadaran investor untuk menyampaikan LKPM berkisar antara 4-6%. Kompleksnya permasalahan tersebut merupakan tantangan yang harus disikapi dengan penuh kesungguhan, cermat, teliti dan professional oleh BKPPMD Provinsi Jawa Barat sehingga fungsi pengawasan yang dilakukan terhadap proyek-proyek PMA dan PMDN dapat berjalan secara efektif dan efisien.

(23)

Investasi PMA dan PMDN di Provinsi Jawa Barat pada dasarnya telah dilakukan dengan baik, namun masih terdapat beberapa kekurangan, yaitu: tidak adanya Petunjuk Teknis (JUKNIS) tentang tata cara pengawasan kegiatan Investasi PMA dan PMDN yang berdampak pada ketidakjelasan batas kewenangan kegiatan Investasi antara Provinsi maupun Kabupaten dan Kota, ada ketidakjelasan dalam hal penerapan sanksi-sanksi kepada perusahaan PMA dan PMDN yang melanggar peraturan, pengorganisasian tim pengendalian tidak berjalan dengan apa yang seharusnya, dikarenakan peran BKPPMD Provinsi Jawa Barat masih dominan dan daerah kurang dilibatkan. Serta dalam pengawasan represif yang dilakukan oleh BKPPMD Provinsi Jawa Barat dalam kegiatan Investasi PMA dan PMDN di Provinsi Jawa Barat masih terdapat kekurangan, antara lain: belum tersedianya berapa jumlah 105 perusahaan PMA dan PMDN yang dikategorikan tahap perencanaan, tahap pembangunan, dan tahap komersil, fungsi koordinasi masih lemah karena proses penyusunan perencanaan belum melibatkan lembaga teknis penanaman modal yang berada di Kabupaten dan Kota, laporan pelaksanaan tugas tim pengendalian dan pengawasan kegiatan Investasi PMA dan PMDN baru dilakukan secara tertulis dan belum di evaluasi oleh pimpinan untuk mengetahui kinerja tim berdasarkan tingkat struktural.

(24)

penting sebagai suatu upaya yang diperlukan agar rencana investasi yang disetujui oleh pemerintah bagi para penanam modal melalui pemberian persetujuan dapat direalisasikan dengan baik tanpa melakukan pelanggaran terhadap ketentuan peraturan perundang – undangan.

Penelitian yang dilakukan Suranto, SH., MH dan Isharyanto, SH., MH dalam joernal yang berjudul “Pengembangan Investasi Daerah Melalui Model Pelayanan Birokrasi Responsif di Kabupaten Sragen dan Kota Surakarta”. Mereka menyebutkan bahwa kendala yang dihadapi dalam Pengembangan Investasi Derah Menuju Modal Pelayanan Birokrasi Yang Responsif di Kota Surakarta, adalah : a) Kendala dunia usaha

Pembinaan dan pengembangan dunia usaha telah dilakukan dengan berbagai upaya seperti : pembinaan dan pelatihan manajemen usaha, promosi dagang,pameran – pameran industri dan perdagangan, baik lokal maupun nasional dan Internasional. Dunia usaha yang berkembang tersebut kemudian mengalami penurunan akibat kerusuhan sehingga banyak fasilitas – fasilitas perdagangan mengalami kerusakan. Selain itu kondisi krisis ekonomi yang dampaknya melanda sampai kedaerah, telah menurunkan daya beli masyarakat, melemahkan sendi-sendi produksi, banyak kegiatan industri yang terhenti sehingga pemutusan hubungan kerja (PHK) tidak dapat dihindarkan dan akhirnya pengangguran dan keluarga miskin menjadi meningkat.

(25)

Kebijakan pemerintah daerah dalam upaya peningkatan pendapatan asli daerah kadang juga bersifat kontra produktif terhadap perkembangan dunia usaha. Dampak permasalahan dunia usaha ini tidak semata – mata menyangkut aspek ekonomi, tetapi juga banyak terkait dengan masalah – masalah sosial serta keamanan dan ketertiban masayarakat.

b) Kendala sumber daya manusia (SDM)

Masalah – masalah yang berkenaan dengan sumberdaya manusia adalah mencakup masalah pendapatan masayarakat yang belum optimal dan merata, pendidikan danketerampilan yang masih relatif terbatas, pelayanan kesehatan yang masih mahal dan belum merata dan lain – lain.

c) Kendala mengenai birokrasi dan hukum

Pelayanan publik yang dikeluhkan terutama terkait dengan ketidak pastian biaya dan lamanya waktu berurusan dengan perizinan birokrasi.

Kemudian didalam joernal Zainal Aqli, Deni Slamet Pribadi, dan Nur Arifudin yang membahas tentang “Pelaksanaan Pengawasan Kegiatan Investasi Oleh Badan Perizinan Dan Penanaman Modal Daerah Di Kalimantan Timur”. Permasalahan dalam penelitian ini yaitu lemahnya pengawasan yang dilakukan oleh Badan Pweijinan dan Penanaman Modal Daerah (BPPMD) yang mengakibatkan timbulnya kesenjangan antara nilai rancana dan realisasi penanaman modal yang diterbitkan oleh BPPMD.

(26)

dimiliki BPPMD, kurangnya pembinaan ke perusahaan penanaman modal mengenai penyampaian Laporan Kegiatan Penanaman Modal (LKPM), dan koordiansi yang kurang antara instansi / lembaga dibidang penanaman modal baik dari pemerintah pusat maupun pemerintah daerah.

2.5. Variabel – variabel yang dianggap relevan dalam mempengaruhi Proses Pelaksanaan Peraturan Walikota Medan Nomor 54 Tahun 2010.

Proses pelaksanaan kebijakan pemerintah terdapat banyak model-model dalam mengimplementasikan kebijakan yang menggunakan pendekatan top-down dan setiap model menawarkan variabel - variabel yang mempunyai kesamaan juga perbedaan dengan model yang lain, namun dalam penelitian ini tidak semua model tersebut efektif digunakan.

Setelah proses legislasi kebijakan selesai, maka kebijakan publik di implementasikan. Dalam tahap implementasi kebijakan, isi kebijakan, dan akibat – akibatnya mungkin akan mengalami modifikasi dan elaborasi bahkan mungkin akan dinegasikan.

(27)

Teori – teori implementasi berkembang seiring dengan hasil riset yang dilakukan para ahli kebijakn publik. Dari berbagai studi implementasi yang telah dilakukan, studi yang dianggap secara subtansial membantu perkembangan teori implementasi adalah studi yang dilakukan oleh Pressman dan Wildavky pada akhir 1960an. Pressman dan Wildavky melakukan penelitian dalam bentuk studi kasus yang difokuskan pada kesulitan – kesulitan yang dialami pemerintah Kota Oakland di California ketika melaksanakan program latihan personil federal. Islamy (2001) mendeskripsikan studi tersbut sebagai berikut :

“... Dari hasil kajian, mereka menunjukkan bahwa kebijakan tersebut gagal dilaksanakan. Mereka menginterview aktor – aktor yang terlibat dalam pelaksanaan kebijakan tersebut, menilai hasil kebijakannya, dan mengkaji sebab – sebab mengapa kebijakan tersebut gagal dilaksanakan. Pada prinsipnya implementasi adalah merupakan suatu kecakapan atau kemapuan untuk mewujudkan hubungan sebab akibat sehingga kebijakan yang telah dibuat dapat memberikan hasil. Implementasi menjadi semakkin tidak efektif bila hubungan yang ada diantara berbagai agensi yang terlibat dalam implementasi kebijakan tersebut terjadi “defisit”. Oleh karena itulah kebijaakn yang gagal dilaksanakan itu perlu dikaji / dianalisis untuk dicarikan cara pemecahannya., yaitu : tujuan kebijakan harus didefenisikan dengan jelas dan dipahami oleh semua pihak ; sumber – sumber yang diperlukan harus tersedia dengan cukup ; rantai komando harus dapat menyatukan dan mengawasi semua sumber – sumber ; sistem komunikasi harus berjalan dengan efektif ; pengawasan yang ketat harus dilakukan terhadap individu dan organisasi yang terlibat dalam proses pelaksanaan kebijakan tersebut”.

(28)

kompleksitas variabel yang dapat terlibat didalamnya. Ada beberapa penulis yang berani menggunakan semua variabel – variabel peneliti tersebut , tetapi tidak sedikit pula yang yang mencoba untuk lebih mngembangkan model – model yang ada sesuai dengan yang terindentifikasi dalam studi mereka.

(29)

Artinya, perubahan yang diterapkan oleh studi implemntasi kebijakan mengaitkan berbagai lapisan masyarakat, baik dalam lingkungan pemerintahan yang dapat berlaku pada semua kasus, bukan hanya menjadi teori implementasi saja.

Berdasarkan Undang – Undang Nomor 25 Tahun 2007 tentang Penanaman Modal, termasuk kedalam kategori decentralized polices, yaitu kebijakan yang dibuat oleh pemerintah pusat, namun pengimplementasiannya diserahkan pada masing - masing daerah bersifat ( top-down ). Tetapi pada penelitian ini penulis tidak hanya menggunakan model – model top – down saja, melainkan juga menggabungkan beberapa model yang dianggap relevan dengan penelitian ini, antara lain, model Van Meter dan Van Horn ( 1975 ), Edward III ( 1980 ), dan Grindle ( 1980 ).

Proses pelaksanaan pada umumnya cenderung mengarah pada pendekatan yang bersifat sentralistis atau dari atas kebawah. Apa yang dilaksanakan adalah apa yang diputuskan. Tetapi dalam masyarakat demokratis, peranan rakyat sebagai pemilik negara selalu di indahkan. Maka itu pengertian publik sebagai masyarakat tidak boleh ditutupi dengan pengertian publik sebagai pemerintah.

Kebijakan publik adalah kebijakan pemerintah, tapi semua kegiatan itu harus dapat dipertanggung jawabkan kepada masyarakat. Sehubungan dengan kecenderungan dari pelaksanaan yang sentralistis dan prinsip demokrasi inilah pelaksana kebijakan tidak bisa hanya dilihat dari pendekatan top – down, melainkan juga dengan pendekatan bottom – up.

(30)

variabel atau faktor - faktor yang mempengaruhi kinerja implementasi yang digunakan juga tidak terfokus pada satu model saja. Model implementasi kebijakan yang ada tidak perlu diaplikasikan mentah-mentah, melainkan dapat disintesiskan sesuai dengan relevansi dan kebutuhan yang sesuai untuk melihat kinerja implementasi suatu kebijakan tertentu. Dengan memahami model-model tersebut, implementasi dapat dilihat lebih cermat, sehingga banyak persoalan yang dapat dianalisis secara komprehensif. Oleh karena itu, dalam melihat kinerja implementasi Peraturan Pemerintah Nomor 41 Tahun 2007 tentang Organisasi Perangkat Daerah ini, pada Peraturan Walikota Medan Nomor 54 Tahun 2010 tentang Rincian Tugas Pokok dan Fungsi Penanaman Modal di Kota Medan. Maka peneliti lebih tertarik memilih beberapa variabel yang dianggap mempengaruhi, antara lain sebagai berikut :

1. Karakteristik Pelaksanaan Kebijakan

(31)

implementor memahami dan menyetujui tujuan dan standar yang telah ditetapkan, bukan turut menentukan tujuan dan standar tersebut.

Selanjutnya Van Meter dan Van Horn juga mengatakan bahwa da 6 variabel yang harus diperhatikan karena dapat mempengaruhi keberhasilan implementasi, yaitu : 1) tujuan kebijakan dana standard yang jelas ; 2) sumberdaya ; 3)kualitas hubungan inter-organisasional; 4) karakteristik lembaga / organisasi pelaksana ; 5) lingkungan politik ; 6) Disposisi.

Karakteristik pelaksana kebijakan dan struktur birokrasi mencakup kejelasan isi atau tujuan – tujuan dari kebijakan, yaitu ; 1) sejauhmana aparat pelaksana kebijakan dan kelompok target konsisten dengan tujuan dan prosedur kebijakan yang telah ditetapkannya, 2) sejauhmana konsistensi dampak dengan tujuan kebijakan, 3) faktor akah yang secara prinsipil mempengaruhi output dan dampak yang relevan dengan kebijakan resmi dan kondusif secar politis, 4) bagaimanakah kebijakan direformulasikan sepanjang waktu disebabkan oleh pengalaman – pengalaman yang terjadi pada waktu impelementasi.

2.Komunikasi

(32)

Dalam model yang di kembangkannya, ia mengemukakan 4 faktor kritis yang mempengaruhi keberhasilan dan kegagalan implementasi. Pendekatan yang dilakukan dengan mengajuka pertanyaan : “ prakondisi apa yang harus ada agar implementasi berhasil?, dan apa yang menjadi kendala pokok bagi suksesnya suatu implementasi?, dan menemukan 4 variabel tersebut setelah mengkaji beberapa pendekatan yang dilakukan penulis lain, variabel tersebut adalah : 1. Komunikasi ; 2. Sumberdaya ; 3.Disposis atau sikap pelaksana ; 4. Struktur Birokrasi, yang keseluruhannya saling berhubungan dan saling mempengaruhi satu sama lain dalam menentukan keberhasilan atau kegagalan implemntasi.

(33)

Disposisi adalah sikap dan komitmen dari pelaksana terhadap kebijakan atau program yang harus mereka laksanakan karena setiap kebijakan membutuhkan pelaksanaan – pelaksanaan yang memiliki hasrat kuat dan komitmen yang tinggi agar mampu mencapai tujuan kebijakan yang diharapkan. Terdapat unsur utama yang mempengaruhi kemampuan dan kemauan aparat pelaksana untuk melaksanakan kebijakan yaitu : a). Kognisi, yaitu seberapa jauh pemahaman terhadap kebijakan.

Struktur birokrasi Edward III adalah mekanisme kerja yang dibentuk untuk mengelola pelaksanaan sebuah kebijakan. Ia menekankan perlu adanya Standard Operating Procedure ( SOP ) yang mengatur tata aliran pekerjaan diantara para pelaksana, terlebih jika pelaksanaan program melibatkan lebih dari satu institusi.

3. Sumber Daya yang di Sediakan

Grindle ( 1980 ), dalam bukunya yang berjudul politics and policy implementation in the third word, mengatakan bahwa sumber daya yang tersedia sangat dibutuhkan untuk mengimplementasikan kebijakan, dengan sendirinya akan mempermudah pelaksanaanya. Sumberdaya ini berupa tenaga kerja, keahlian, dana, sarana, dll. Kebijakan berupa dana pendukung implementasi. Implementasi kebijakan perlu dukungan sumberdaya baik sumber daya manusia (human resources) maupun sumberdaya non manusia (non human resources).

(34)

Undang –Undang Nomor 1 tahu 1967 tentang Penanaman Modal Asing dan Undang – Undang Nomor 6 tahun 1968 tentang Penanaman Modal Dalam Negeri merupakan kebijakan pokok dibidang dunia usaha. Setelah kedua undang – undang tersebut berjalan beberapa tahun, maka dengan dikeluarkannya Undang – Undang Nomor 11 tahun 1970 dan Nomor 12 tahun 1970, kedua Undang – Undang tersebut telah disempurnakan.

(35)

Bersamaan dengan Keputusan Presiden Nomor 53 tahun 1977 tersebut, telah dikeluarkan pula Keputusan Presiden Nomor 54 mengenai tata-cara Penanaman Modal. Dengan dikeluarkannya Keputusan Presiden Nomor 54 tahun 1977 tersebut maka Keputusan Presiden Nomor 21 tahun 1973 dinyatakan tidak berlaku lagi.

Berdasarkan Kepres RI Nomor 53 tahun 1977, dan Kepres RI Nomor 54 tahun 1977, ketua BKPM telah menerima pelimpahan wewenang untuk memberikan persetujuan / keputusan perizinan dalam rangka penanaman modal atas nama para menteri yang bersangkutan termasuk pemebrian fasilitas penanamn modal.

Sejalan dengan dikeluarkannya Keputusan Presiden RI Nomor 53 tahun 1977 dan Nomor 54 tahun 1977, telah dikeluarkan Peraturan Pemerintah Nomor 31 tahun 1977 sebagai penyempurnaan Peraturan Pemerintah Nomor 20 tahun 1972 tentang PT Bonded Warehouse Indonesia (BWI). Dalam hubungan ini Ketua Badan Koordinasi Penanaman Modal dengan Surat Keputusan No. 02/ 1977, memberikan pelimpahan wewenang pengurusan dan penilaian tingkat pertama atas permohonan penanaman modal di daerah Bonded Warehouse kepada Direksi PT. Bonded Warehouse Indonesia (Persero).

(36)

dan Keputusan Menteri Perdagangan No. 382/KP/XII/1977 tanggal 30 Desember 1977, tentang Ketentuan pelaksanaan Pengakhiran Kegiatan Usaha Asing bidang Perdagangan.

Dengan pengakhiran ini, maka penyaluran dan penyampaian barang hasil produksi kepada seluruh lapisan masyarakat berada di tangan nasional dan sekaligus usaha dalam bidang perdagangan yang relatip lebih mudah dan murah akan terbuka lebih luas lagi bagi pengusaha nasional.

Pengakhiran kegiatan perdagangan oleh pihak asing tersebut akan membawa pengaruh bagi pemerataan pendapatan, yaitu dalam bentuk pergeseran perputaran penjualan dari produsen asing ke tangan nasional. Selanjutnya kegiatan modal asing akan diarahkan untuk bergerak dalam bidang produksi.

Sebagai realisasi dari pelaksanaan UUPMA pemerintah menerbitkan Rencana Pembangunan Repelita, dilihat dari berbagai sektor yang menunjang penanaman modal, antara lain berikut :

1. Lingkungan Dunia Bisnis Semakin Mengglobal

(37)

berkembang dengan cepat. Perubahan yang cepat inilah yang disebut oleh Dodorodjatun Kontjoro-Jakti, dalam buku Sentosa Sembiring (Hukum Investasi : 81) mengatakan sebagai revolusi 3 “T” yakni, Transportasi, Telekomunikasi, dan Travel yang mempunyai dampak cukup luas dalam kehidupan masyarakat pada umumnya dan masyarakat bisnis pada khususnya.

Oleh karena itu, untuk menyesuaikan dengan lingkungan bisnis yang semakin terbuka, pemerintah pun melakukan berbagai kebijakan yang lebih populer dikenal dengan istilah deregulasi. Kebijakan yang diterbitkan oleh pemerintah yang cukup berpengaruh secara substansial dalam bidang investasi yakni kebijakan yang diterbitkan pada bulan Mei 1986 yang lebih dikenal dengan Pakmei 1986. Paket Mei 1986 mencakup :

a. Perusahaan – perusahaan PMA dengan 75% saham Indonesia (51% bila perusahaan pemrintah) akan menerima perlakuan yang sama dengan perusahaan PMDN dalam hal hak – hak penyaluran produknya didalam negeri.

b. Seluruh sektor terbuka bagi perusahaan – perusahaan asing yang mengekspor 80 % hasil produksinya (sebelumnya di isyaratkan 100%). c. Perusahaan – perusahaan PMA diizinkan untuk menginvestasi kembali

(38)

d. Persyaratan modal saham domestik dibebaskan, termasuk persyaratan atas 20% saham awal yang harus dicicil dalam jangka waktu 5 tahun pertama. Dalam beberapa hal (misalnya proyek-proyek yang mempunyai resiko tinggi), modal saham lokal awal sediktinya harus 5%.

e. Dengan syarat – syarat tertentu, izin perusahaan – perusahaan asing dapat diperpanjang selama 30 tahun. Hal ini mengubah ketentuan semula yang menyatakan bahwa seluruh izin hanya berlaku sampai dengan tahun 1997.

f. Persyaratan investasi minimum sebesar $ 1 juta dihilangkan untuk beberapa kegiatan seperti konsultasi.

(39)

dan logam yang sebelumnya dianggap strategis, sekarang dinyatakan terbuka untuk investor asing.

2. Peraturan Pemerintah Nomor 20 Tahun 1994

Tampaknya pemerintah menyadari bahwa, perkembangan dunia bisnis khususnya dalam menarik investasi semakin kompetitif. Untuk itu pada Tahun 1994 pemerintah pun kembali menyesuaikan ketentuan penanaman modal asing yakni dengan menerbitkan Peraturan Pemerintah Nomor 20 Tahun 1994 Tentang Pemilikan Saham Dalam Perusahaan yang Didirikan Dalam Rangka Penanaman Modal Asing. Dalam pertimbangan dikeluarkannya PP 20/1994 disebutkan, bahwa dalam rangka lebih mempercepat peningkatan dan perluasan kegiatan ekonomi dan pembangunan nasional pada umumnya, diperlukan langkah – langkah untuk lebih mengembangkan iklim usaha yang semakin mantap danlebih menjamin kelangsungan penanaman modal asing.

Hal ini tercermin dari apa yang dijabarkan dalam Pasal 2 PP Nomor 20 Tahun 1994 sebagai berikut :

(1)Penanaman Modal Asing dapat dilakukan dalam bentuk :

a. Patungan antara modal asing dengan modal yang dimiliki warga negara Indonesia dan badan hukum Indonesia.

(40)

(2)Jumlah modal yang ditanamkan dalam rangka penanaman modal asing ditetapkan sesuai dengan kelayakan ekonomi kegiatan usahanya.

Selanjutnya dalam pasal 6 PP Nomor 20 Tahun 1994 disebutkan :

(1) Saham peserta Indonesia dalam perusahaan yang didirikan sebagaimana maksud dalam Pasal 2 ayat (1) huruf a sekurang – kurangnya 5% dari seluruh modal disetor perusahaan pada waktu pendirian.

(2) Penjualan lebih lanjut saham perusahaan di atas jumlah sebagaimna dimaksud dalam ayat (1), dapat dilakukan kepada warga n egar Indonesia melalui pemilikan langsung sesuai kesepakatan para pihak dan atau pasar modal dalam negeri.

Sebenarnya apa yang dicantumkan dalam PP tersebut, bukanlah sesuatu yang baru sama sekali melainkan hanya menjabarkan apa yang dicantumkan dalam UUPM. Munculnya PP 20/1994 melahirkan perdebatan dimasyarakat. Hal ini ada kaitannya dengan bidang usaha yang dapa ata tidak dapat dimasuki oleh investor asing secara penuh.

(41)

usaha besar dan menengah dengan syarat kemitraan, dan tata cara permohonan PMDN dan PMA diatur dalam Keputusan Presiden No. 97 tahun 1993 sebagaimana telah diubah beberapa kali, terakhir dengan Keputusan Presiden NO. 117 Tahun 1999 dan Keputusan Menteri Negara Investasi/Kepala Badan Koordinasi Penanaman Modal No. 38/SK/1999 tentang Pedoman dan Tata Cara Permohonan Penanaman Modal yang didirikan dalam rangka PMDN dan PMA serta petunjuk teknis pelaksanaan penanaman.

3. Pelimpahan Wewenang Pengelolaan Penanaman Modal Kepada Pemerintah Daerah

Dalam meningkatkan arus investasi ke Indonesia, berbagai upaya terus dilakukan oleh pemerintah. Upaya tersebut, antara lain dengan pendelegasian kewengan pengelolaan investasi kepada pemerintah daerah (Pemda). Hanya saja pendelegasian kewenangan tersebut, belum sepenuhnya berjalan. Hal ini disebabkan belum tertata dengan cermat pembagian pengelolaan investasi. Oleh karena itu terkesan peemrintah pusat belum sepenuhnya mendelegasikan wewenang kepemerintah daerah dalam urusan invesatasi. Secara normati, memang dengan diundangkannya UUPMA pada tahun 1967, peemrintah pusat mempunyai kewenangan untuk mengatur masalah investasi asing. Sebagaimana dikemukakan oleh C.F.G. Sunarjati Hartono bahwa dalam UUPMA, pemerintah diberi wewenang untuk :

(42)

2. Menentukan syarat – syarat yang harus dipenuhi oleh penanaman modal asing secara kasuistis

3. Menetapkan bidang – bidang usaha tertentu yang tidak boleh ditanam oleh modal asing

4. Menetapkan bidang – bidang usaha yang dapat diadakan kerjasama antara modal asing dan modal nasional

Jadi, kewenangan untuk memutuskan boleh tidaknya suatu investasi masih ada dipemerintah pusat, dalam hal ini diwakili oleh Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM). Selain itu untuk daerah tertentu urusan investasi dapat dikelola oleh suatu badan seperti halnya dikawasan industri pulau Batam yang lebih dikenal dengan Badan Otorita Batam.

2.6.1. Latar Belakang Diterbitkannya Undang – Undang Penanaman Modal Nomor 25 Tahun 2007

(43)
(44)

pusat dan perda) dan menurunnya pasar Indonesia karena menurunnya daya beli.

Sedangkan dari pihak pemerintah sebagai penggagas RUU PM mempunyai alasan tersendiri, mengapa dirasakan perlu adanya liberalisasi dalam penanaman modal. Hal ini dikemukakan oleh Menteri Perdagangan Mari ElkaPangestu, dengan disahkannya RUU PM menjadi UU tentang Penanaman Modal, pemerintah optimis investasi usaha diberbagai bidang akan semakin meningkat. Investasi adalah instrumen paling penting dalam pembangunan nasional. Diperlukan undang – undang yang benar – benar berbeda dan menarik bagi investor. Pendapat senada juga dikemukakan oleh Fahmi Idris, Menteri Perindustrian kala itu, adanya kesan bahwa RUU PM lebih menguntungkan investasi asing, hali itu merupakan tak terhindarkan. Saat ini tidak lagi dikenal modal asing atau modal dalam negeri. Yang dipersoalkan justru kala terjadi sengketa, bagaimana penyelesaiannya (dispute settlement) hal ini pun sudah ada skema penyelesaiannya didalam UU tersebut. jadi kebijakan ini sah sajaditerapkan asal ditujukan untuk mendorong investasi sebab dunia sekarang ini sudah tanpa batas borderless.

Untuk itu para investor perlu mendekati kepastian, teknis melakukan perkiraan ini diantaranya :

(45)

b. Structuring Forcasting atau perkiraan struktur. Investor biasanya mengidentifikasi beberapa faktor yang akan mempengaruhi struktur pembiayaan mereka seperti resiko bisnis negara (country risk), kestabilan mata uang, kestabilan politik, penyediaan infrastruktur.

c. Transmission Forcasting. Sebelum investor memutuskan untuk berinvestasi, investor biasanya mengamati aspek – aspek yang tekait dengan investasinya melalui berbagai saluran seperti media massa, jurnal, dan bahkan dari mulut kemulut.

d. Track record. Investor sangat memperhatikan apa yang telah dialami oleh investor lain dalam melakukan investasi. Kegagalan dan keberhasilan suatu investasi lain dalam melakukan investasi. Kegagalan dan keberhasilan suatu investasi yang terjadi akan menjadi catatan khusus bagi calon investor lain. e. Cast of Service. Untuk membuat perkiraan yang mendekati kepastian,

investor perlu mengidentifikasikan biaya – biaya yang harus dikeluarkarn sebelum bisnis berjalan hingga operasional. Semakin biaya dapat diperkirakan, maka resiko bisnis dapat ditekan. Bagi investor, yang paling dikhawatirkan adalah biaya siluman. Bukan karena besarnya, tapi tidak ada predikksinya.

(46)

mengurangi kepentingan nasional. Sebab, jika hanya terfokus pada satu sudut pandang saja sementara pergerakan arus modal global begitu cepat, maka pilihan yang bijak adalah bagaimana menyatukan berbagai kepentingan tersebut dalam satu norma hukum yang dapat dijadikan pegangan bagi semua pihak yang terkait dengan investasi.

Dari berbagai paparan diatas, terlihat bahwa terbitnya UUPM tahun 2007 melahirkan secercah harpan dalam iklim investasi di Indonesia. Disebut demikian, karena selama ini undang – undang investasi ynag dianggap sudah tidak memadai lagai sebagai landasan hukum untuk menarik investor. Untuk itu, tidaklah berlebihan jika berbagai pihak menyebutkan undnag – undang penanaman modal cukup kompetitif. Dengan kata lain, berbagai fasilitas yang diberikan kepada investor dalam rangka melakukan investasi cukup menarik. Artinya UUPM dapat dibandingkan dengan ketentuan penanaman modal dinegara lain.

(47)

adalah adanya kepastian hukum. Terdapat dalam pasal 3 ayat (1) beserta penjelasannya disebutkan sejumlah asas dalam penanaman modal yakni ;

a. Asas kepastian hukum. Adalah asas dalam negara hukum yang meletakkan hukum dan ketentuan peraturan perundang – undangan sebagai dasar dalam setiap kebijakan dan tindakan dalam bidang penanaman modal.

b. Asas keterbukaan. Adalah asas yang terbuka terhadap hak masyarakat untuk memperoleh informasi yang benar, jujur, dan tidak diskriminatif tentang kegiatan penanaman modal.

c. Asas akuntabilitas. Adalah asas yang menentukan bahwa setiap kegiatan dan hasil akhir dari penyelenggaraan penanaman modal harus dipertanggungjawabkan kepada masyarakat atau rakyat sebagai pemegang kedaulatan tertinggi negara sesuai dengan ketentuan peraturan perundang – undangan.

d. Asas perlakuan yang sama dan tidak membedakan asal negara. Adalah asas perlakuan pelayanan nondiskriminasi berdasarkanketentuan peraturan perundang – undangan, baik natara penanaman modal dalam negeri dan penanaman modal sing maupun antara penanaman modal dari satu negara asing dan penanam modal dari negara asing lainnya.

(48)

f. Asas efesiensi berkeadilan. Adalah asas yang mendasari pelaksanaan penanaman modal dengan mengedapankan efesiensi berkeadilan dalam usaha untuk mewujudkan iklim usaha yang adil, kondusif, dan berdaya saing.

g. Asas berkelanjutan. Adalah asas yang secara terencana mengupayakan berjalannya proses pembangunan melalui penanaman modal untuk menjamin kesejahteraan dan kemajuan dalam segala aspek kehidupan, baik untuk masa kini maupun masa yang akan datang.

h. Asas berwawasan lingkungan. Adalah asas penanaman odal yang dilakuakan dengan tetap memperhatikan dan mengutamakan perlindungan dan pemeliharaan lingkungan hidup.

i. Asas kemandirian. Adalah asas penanaman modal yang dilakukan dengan tetap mengedapankan potensi bangsa dan negara dengan tidak menutup diri pada masuknya modal asing demi terwujudnya pertumbuhan ekonomi.

j. Asas keseimbangan kemajaun dan kesatuan ekonomi nasional. Adalah asas yang berupaya menjaga keseimbangan kemajuan ekonomi wilayah dalam kesatuan ekonomi nasional.

Dengan ditempatkannya sejumlah asas didalam UUPM, hal ini berarti berbagai kebijakan tentang penanaman modal harus mengacu UUP dan paling tidak, setiap peraturan yang akan diterbitkan baik ditingkat pusat maupun daerah harus dijiwai oleh asas – asas yang terkandung dalam UUPM.

Adapun tujuan diselenggarakannya penanaman modal, dijabarkan dalam pasal 3 ayat (2) UUPM sebagai berikut :

(49)

b. Menciptakan lapangan kerja

c. Meningkatkan pembangunan ekonomi berkelanjutan

d. Meningkatkan kemampuan daya saing dunia usaha nasional e. Meningkatkan kapasitas dan kemampuan teknologi nasional f. Mendorong pengembangan ekonomi kerakyatan

g. Mengolah ekonomi potensial menjadi kekuatan ekonomi riil dengan menggunakan dana yang berasal, baik dari dalamnegeri maupun dari luar negeri

h. Meningkatkan kesejahteraan masyarakat

Namun satu yang harus disadari dalam mengelola investasi, kebutuhan investor tidak hanya pada waktu hendak melakukan investasi, akan tetapi unutk jangka panjang yakni selama investor tersebut melakukan kegiatannya. Dengan demikian tujuan investasi akan dapat terwujud.

3. Penanaman Modal Melakukan Usaha di Indonesia

(50)

Dari pengertian yang dijabarkan dalam pasal ini, dapat diketahui bahwa kegiatan penanaman modal dapat dilakukan dalam bentuk pertama, penanaman modal dalam negeri, kedua penanaman modal dapat dilakukan melalui penanaman modal asing. Penanaman modal dalam negeri bentuk usahanya tidak harus dalam bentuk badan hukum dan penanaman modal asing wajib dalam bentuk perseroan terbatas berdasarkan hukum Indonesia dan berkedudukan didalam wilayah negara Republik Indonesia., kecuali ditentukan lain oleh undang – undang ; ayat (3) penanaman modal dalam negeri dan asing yang melakukan penanaman modal dalam bentuk perseroan terbatas dilakukan dengan : a) mengambil bagian saham pada saat pendirian perseroan terabatas, b) membeli saham, dan c) melakukan cara lain sesuai dengan ketentuan peraturan perundang – undangan.

(51)

pelaksanaan yang diperlukan untuk pelaksanaan penanaman modal, ayat (4) perizinan pelaksanaan penanaman modal sebagaimana dimaksud ayat (3) terdiri dari :

a. Perizinan yang diterbitkan oleh BKPM, berupa ; 1) Angka Pengenal Importir Terbatas

2) Izin Usaha/Izin Usaha Tetap/Izin Perluasan 3) Rencana Penggunaan Tenaga Kerja Asing

4) Rekomendasi Visa bagi Penggunaan Tenaga Kerja Asing 5) Izin mempekerjakan Tenaga Kerja Asing

6) Perpanjangan Izin Mempekerjakan Tenaga Kerja Asing yang bekerja dilebih 1 Provinsi

7) Fasilitas pembebasan Bea masuk atas Pengimporan Barang Modal atau Bahan Baku / Penolong dan Fasilitas Fiskal lainnya

b. Perizinan yang diterbitkan oleh pemerintah provinsi sesuai kewenangannya, berupa perpanjangan izin memperkerjakan Tenaga Kerja Asing untuk Tenaga Kerja Asing yang bekerja diwilayah Kabupaten/Kota dalam 1 provinsi.

c. Perizinan yang diterbitkanoleh pemrintah Kabupaten/Kota, berupa : 1) Izin lokasi

2) Sertifikat Hak Atas Tanah 3) Izin Mendirikan Bangunan

(52)

4. Badan Koordinasi Penanaman Modal

Sebagai bagian dari pembaharuan ketentuan penanaman modal, terlihat bahwa lembaga yang menangani penanaman modal dengan tegas ditunjuk dalam UUPM yakni BKPM. Tepatnya dalam pasal 27 UUPM disebutkan :

(1) Pemerintah mengoordinasi kebijakan penanamn modal, baik koordinasi antarinstansi pemerintah, antarinstansi pemerintah pemerintah dengan Bank Indonesia, antarinstansi pemerintah dengan pemerintah daerah, maupun antarinstansi peemrintah daerah.

(2) Koordinasi pelaksanaan kebijakan penanaman modal sebagaimana dimaskud pada ayat (1) dilakukan oleh BKPM.

(3) BKPM dipimpin oleh seorang kepala dan bertanggungjawab langsung kepada Presiden.

(4) Kepala BKPM pada ayat 3 diangkat dan diberhentikan oleh Presiden.

Adanya penegasan posisi BKPM yang dicantumkan dalam UUPM semakin memperkuat kedudukan lembaga yang menangani langsung tentang penanaman modal.

(53)

fungsi BKPM tersebut, dibantu oleh sebuah Komite. Hal ini dijabarkan dalam pasal 34 Perpres No. 90/2007, untuk menggali pemikiran dan pandangan dari kalangan para pakar, pemangku kepentingan dan tokoh masyarakat dalam rangka peningkatan penanaman modal, BPKM dapat membentuk Komite Penanaman Modal. Adapun tugas komite dijabarkan dalam pasal 35 yakni memberika masukan, saran, pandangan, dan pertimbangan kepada Kepala BKPM. Keanggotaan Komite Penanaman Modal berasal dari kalangan para pakar, pemangku kepentingan dan tokoh masyarkat dibidang penanaman modal (pasal 37 ayat 2).

5. Pelayanan Terpadu Satu Pintu

(54)

Penjabaran lebih lanjut perihal pelayanan terpadu satu pintu diatur dalam Peraturan Presiden RI Nomor 27 Tahun 2009 Tentang Pelayanan Terpadu Satu Pintu Di Bidang Penanaman Modal. Pelayanan Terpadu Satu Pintu (PTSP) adalah kegiatan penyelenggaraan suatu perizinan dan nonperizinan yang mendapat pendelegasian atau pelimpahan wewenang dan lembaga atau instansi yang memiliki kewenangan perizinan dan nonperizinan yang proses pengelolaannya dimulai dari tahap permohonan sampai dengan tahap terbitnya dokumen yang dilakukan dalam satu tempat. Perizinan adalah segala bentuk persetujuan untuk melakukan penanaman modal yang dikeluarkan pemerintah dan pemerintah daerah yang memiliki kewenangan sesuai dengan peraturan perundnag – undangan ; pasal 1 butir b Nonperizinan adalah segala bentuk kemudahan pelayanan, fasilitas fiskal dan informasi mengenai penanaman modal, pasal 1 butir 16 Sistem Pelayanan Informasi dan Perizinan Investasi Secara Elektronik (SPIPISE) adalah sistem pelayanan perizinan dan nonperizinan yang terintegrasi antara BKPM dengan Kementerian/LPND yang memiliki kewenangan perizinan dan nonperizinan.

(55)

meliputi : a) urusan pemerintah provinsi dibidang penanaman modal yang ruang lingkupnya lintas kabupaten/kota berdasarkan peraturan perundang – undangan mengenai pembagian urusan pemerintah antara pemerintah daerah provinsi dan b) urusan pemerintah di bidang penanaman modal sebagaimana dimaksud dalam pasal 8 ayat (1) yang diberikan pelimpahan wewenang kepada Gubernur. Untuk tingkat kabupaten/kota diatur dalam pasal 12 sebagai berikut : Ayat (1) Penyelenggaraan PTSP dibidang penanaman modal oleh pemerintah kabupaten/kota dilaksanakan oleh PDKPM. Ayat (3) urusan pemerintah kabupaten/kota sebagaimana dimaskud pada ayat (2), meliputi : a) urusan pemerintah kabupaten/kota dibidang penanaman modal yang ruang lingkupnya berada dalam satu kabupaten /kota berdasarkan peraturan perundang – undangan mengenai pembagian urusan pemerintah antara pemerintah dan pemrintah kabupaten/kota dan b) urusan pemerintah dibidang penanaman modal sebagaimana dimaksud dalam pasal 8 ayat (1) yang diberikan penugasan kepada pemerintah kabupaten/kota.

6. Kewenangan Pemerintah Daerah dalam Pengelolaan Investasi

Pasca diundangkannya UU No. 32 Tahun 2004 Tentang Pemerintah Daerah salah satu kewenangan yang diberikan kepada Pemda adalah mengenai pengelolaan penanaman modal. Hal ini dijabarkan dalam pasal 30 UUPM sebagai berikut :

(56)

(2) Pemerintah daerah menyelenggarakan urusan penanaman modal yang menjadi kewenangannya, kecuali urusan penyelenggaraan penanaman modal yang menjadi urusan pemerintah.

(3) Penyelenggaraan urusan pemrintahan dibidang penanaman modal yang merupakan urusan wajib pemerintah daerah didasarkan pada kriteria eksternalitas, akuntabilitas, dan efesiensi pelaksanaan kegiatan penanaman modal.

(4) Penyelenggaraan penanaman modal yang ruang lingkupnya lintas provinsi menjadi urusan pemerintah.

(5) Penyelenggaraan penanaman modal yang ruang lingkupnya lintas kabupaten/kota menjadi urusan provinsi.

(6) Penyelenggaraan penanaman modal yang ruang lingkupnya lintas kabupaten/kota menjadi urusan pemerintah kabupaten/kota.

(7) Dalam urusan pemerintahan dibidang penanaman modal, yang menjdai kewenangan pemrintah adalah :

a. Penanaman modal terkait dengan sumberdaya alam yang tidak terbarukan dengan tingkat resiko kerusakan lingkungan yang tinggi

b. Penanaman modal pada bidang industri yang merupakan prioritas tinggi pada skala nasional

c. Penanaman modal yang terkait pada fungsi pemersatu dan penghubung antarwilayah atau ruang lingkupnya lintas provinsi

(57)

e. Penanaman modal asing dan penanaman modal yang menggunakan modal asing, yang berasal dari pemerintah negara lain, yang didasarkan perjanjian yang dibuat oleh pemerintah dan pemerintah negara lain f. Bidang penanaman modal lain yang menjadi urusan pemerintah menurut

undang – undang

(8) Dalam urusan pemerintah dibidang penanaman modal yang menjadi kewenangan pemerintah sebagaimana dimaksud pada ayat (7), pemerintah menyelenggarakannya sendiri, melimpahkannya kepada Gubernur selaku wakil pemerintah atau menugasi pemerintah kabupaten/kota.

(9) Ketentuan mengenai pembagian urusan pemerintahan dibidnag penanaman modal diatur lebih lanjut dengan peraturan pemerintah

(58)

dan mensejahterakan masyarakat. Selanjutnya dalam pasal 2 ayat (4) butir n dijelaskan, tugas urusan pemerintahan antara lain dalam bidang penaman modal.

Pasal 5 ayat (3) khususnya untuk urusan pemerintahan bidnag penanaman modal, penetapan kebijakan dilakukan sesuai peraturan perundang – undangan. Selanjutnya dalam pasal 7 ayat (1) dijelaskan : urusan wajib sebagaimana dimaskud dalam pasal 6 ayat (2) adalah urusan pemerintahan yang wajib diselenggarakan oleh pemerintahan daerah provinsi dan pemerintahan daerah kabupaten/kota, berkaitan dengan pelayanan dasar, yang meliputi antara lain bidang – bidang penanaman modal (butir j pasal 7 ayat 2).

Mencermati kewenangan yang dimiliki oleh Pemda dalam rangka menyelenggarakan penanaman modal, maka kepada Pemda pun diberikan kewenangan untuk memberikan insentif. Sebagaimana yang dijabarkan dalam pasal 6 ayat (1) Peraturan Pemerintah RI Nomor 45 Tahun 2008 Tentang Pedoman Pemberian Insentif dan Pemebrian Kemudahan Penanaman Modal di Daerah, pemerintah Daerah memberikan insentif dan kemudahan penanaman modal sesuai dengan kewenangan, kondisi, dan kemampuan daerah yang dilaksanakan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang – undangan. (2) Pemerintah daerah menjamin kepastian berusaha dan kepastian hukum bagi penanam modal yang menanamkan modal didaerahnya.

2.7. Defenisi Konsep

(59)

kelompok, atau individu yang menjadi pusat perhatian ilmu social. Defenisi konsep ini merupakan penarikan batasan yang menjelaskan suatu konsep secara singkat, jelas, dan tegas. Adapun defenisi konsep pada penelitian ini adalah sebagai berikut :

1. Kebijakan Publik merupakan “whatever goverment choose to or not do”. Badjuri dan Yuwono ( 2002 ) mengemukakan bahwa tahapan yang sering terlupakan efektifitasnya dalam konteks kebijakan publik Indonesia adalah implementasi kebijakan

2. Implementasi Kebijakan Publik merupakan tahapan yang sangat penting dalam keseluruhan struktur kebijakan. Tahapan ini menentukan apakah kebijakan yang ditempuh oleh pemerintah benar – benar aplikabel dilapangan dan berhasil menghasilkan output dan outcomes seperti direncanakan. Implementasi kebijakan publik dalam penelitian ini yaitu Proses Pelaksanaan Peraturan Walikota Nomor 54 Tahun 2010 Dalam Pengawasan Penanaman Modal di Kota Medan, guna kepentingan daerah dan masyarakat ataupun investor. Variabel yang di gunakan untuk melihat proses kebijakan tersebut adalah :

a. Karakteristik Pelaksanaan Kebijakan.

(60)

suatu program. Variabel karakteristik ini mempunyai beberapa indikator, antara lain :

• Melihat tujuan dan sasaran kebijakan ( faktor yang menentukan

berhasil tidaknya suatu program )

• Struktur birokrasi, dari mulai SOP ( Juklak / Juknis ), dan

kelembagaan

b. Komunikasi, berkenaan dengan bagaimana kebijakan itu dikumonkasikan pada organisasi atau publik.

• Sosialisasi peraturan

• Hubungan kerja baik antar investor dan antar pelaksana kebijakan.

• Kejelasan pelaksanaan kebijakan

• Konsistensi dalam pelaksanaan kebijakan

c. Sumberdaya

Ketersedian sumberdaya untuk melaksanakan kebijakan, baik sumber daya manusia maupun sumber daya non manusia, antara lain ;

• Program kegiatan organisasi

• Jumlah pegawai

• Pembiayaan

d. Disposisi

Dengan kesediaan dari para implementor untuk carry out kebijakan publik, dan kesedian komitmen untuk melaksanakan kebijakan, indikatornya antara lain ;

(61)

e. Pengawasan Penanaman Modal Kota Medan

Dalam hal pengawasan penanaman modal Kota Medan yang diawasi adalah perusahaan penanaman modal bukan petugas pelayan publik.

2.8. Defenisi Operasional

Singarimbun (1995:46) defenisi operasional ini semacam petunjuk pelaksanaan bagaimana caranya mengukur suatu variabel. Adapun indikator variabel yang digunakan peneliti untuk mendeskripsikan “Proses Pelaksanaan Peraturan Walikota Medan Nomor 54 Tahun 2010 tentang Rincian Tugas Pokok dan Fungsi Badan Penanaman Modal Kota Medan.

1. Karakteristik pelaksanaan a) Tujuan dan sasaran kebijakan

b) Struktur birokrasi BPM (SOP, Juklak dan Juknis, dan Kelembagaan)

2. Komunikasi

a) Penyaluran (transmisi)

b) Kejelasana pelaksanaan kebijakan

c) Konsistensi dalam pelaksanaan kebijakan

3. Sumberdaya

(62)

b) Anggaran (budgetary)

c) Informasi dan kewenangan, fasilitas (sarana dan prasarana)

4. Disposisi

a) Pengangkatan birokrasi. Sikap pelaksana akan menimbulkan hamnbaatan-hambatan yang nyata terhadap implemntasi kebijakan.

Gambar

Gambar 2.1 Proses Analisis Kebijakan Publik
Gambar 2.3 Model Implementasi Kebijakan Grindle
Gambar 2.4 Model Implementasi Mazmanian dan Sabatier

Referensi

Dokumen terkait

Puji syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT atas limpahan kasih dan karunia-Nya sehingga tugas penyusunan skripsi berjudul “Pengaruh status gizi anak usia 6

Abstrak: Tujuan penelitian ini adalah mendeskripsikan kesulitan belajar dan faktor-faktor penyebab kesulitan belajar siswa kelas IX SMP Negeri 1 Sungai Kakap pada materi

The materials that are based on genre-based writing in this research are not only in the form of text but also pictures and audio visual expected enhancing the students’ awareness

Data petugas parkir Basement Plaza Andalas menunjukkan sebagian besar petugas parkir dalam penelitian ini memiliki berat badan yang lebih atau sama dari 59,9

Hasil: Hasil uji regresi linier berganda terhadap faktor-faktor yang mempengaruhi tingkat stres remaja di Pondok Pesantren Al-Munawwir Krapyak Yogyakarta diperoleh

Disamping Jenissari , ada lagi prajurit dari tentara kaum feodalyang dikirim kepada pemerintah pusat. Kelompok ini disebut tentara atau kelompok militer Thauijah. Angkatan laut

The map frame contains PDF dictionary entries that describe the coordinate transformation matrix, all parameters required for a map projection (if used), the reference ellipsoid

The International Archives of the Photogrammetry, Remote Sensing and Spatial Information Sciences, Volume XL-8, 2014 ISPRS Technical Commission VIII Symposium, 09 – 12 December