• Tidak ada hasil yang ditemukan

Pembaruan hukum pemilu fokus utama yang dilakukan adalah melakukan perubahan ketentuan-ketentuan yang ada sehingga memungkinkan untuk adanya badan peradilan khusus pemilu di dalam tatanan peradilan di Indonesia. Sebagai suatu pembaruan hukum maka dalam dilihat maka badan peradilan pemilu merupakan hukum yang dicita-citakan (ius contituendum). Hukum yang dicita-citakan tersebut melahirkan lembaga negara baru yang sebelumnya tidak pernah ada di Indonesia yaitu peradilan khusus pemilu.

Perkembangan peradilan di Indonesia tidak lepas oleh sejarah panjang perjalanan dan dinamika bangsa dari setiap masanya. Perkembangan setiap masanya juga tidak lepas dari kebutuhan masyarakat Indonesia yang pada nyatanya diatur di dalan ketentuan perturan perundang-undang sebagai cerminan perlindungan dan penjaminan rasa keadilan masyarakat yang diamanatkan terhadap lembaga peradilan. Indonesia mengenal peradilan dengan istilah sebagai kekuasaan kehakiman, mengenai hal tersebut terdapat jenis-jenis lingkungan peradilan di Indonesia baik yang bersifat lembaga peradilan utama maupun lembaga peradilan dibawahnya, jenis-jenis lembaga peradilan diatur di dalam pasal 18 Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman yang berbunyi: Kekuasaan kehakiman dilakukan oleh sebuah Mahkamah Agung dan badan peradilan yang berada di bawahnya dalam lingkungan peradilan umum, lingkungan peradilan agama, lingkungan peradilan militer, lingkungan peradilan tata usaha negara, dan oleh sebuah Mahkamah Konstitusi. Unruk kedua lembaga tinggi peradilan di Indonesia yang memegang kekuasaan kehakiman adalah Mahkamah Agung dan Mahkamah Konstitusi. Dan untuk 4 lembaga peradilan

dibawahnya merupakan lingkungan peradilan yang berada di bawah Mahkamah Agung. Selain itu ada yang disebut pengadilan khusus sebagai bagian dari pengkhususan lingkungan peradilan yang merupakan upaya terhadap fokus pokok perkara yang ditangani lebih khusus dengan ruang lingkup yang terbatas. Beberapa gagasan pembentukan peradilan khusus berkembang setelah era reformasi sehingga dapat dikatakan lembaga-lembaga peradilan khusus lahir hampir secara bersamaan.

Dewasa ini tercatat ada beberapa peradilan khusus dibawah Mahkamah Agung yang masing masuk dalam kategori berdasarkan pasal 18 Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman yaitu:

1. Pengadilan Anak (bidang hukum pidana)32 2. Pengadilan Niaga (bidang hukum perdata)33

3. Pengadilan Hak Asasi Manusia (bidang hukum pidana)34 4. Pengadilan Tindak Pidana Korupsi (bidang hukum pidana)35 5. Pengadilan Hubungan Industrial (bidang hukum perdata)36 6. Pengadilan Perikanan (bidang hukum pidana)37

7. Pengadilan Pajak (bidang hukum tata usaha negara)38 8. Mahkamah Pelayaran (bidang hukum perdata)39

9. Mahkamah Syar‟iyah di Aceh (bidang hukum agama Islam)40

32

Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Anak 33

Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan 34

Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan Hak Asasi Manusia 35

Undang-Undang Nomor 46 Tahun 2009 tentang Pengadilan Tindak Pidana Korupsi 36

Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2004 tentang Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial 37

Undang-Undang Nomor 31 Tahun 2004 tentang Perikanan 38

Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2002 tentang Pengadilan Pajak 39

Undang-Undang Nomor 21 Tahun 1992 Tentang Pelayaran 40

Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2001 Tentang Otonomi Khusus Provinsi Aceh (ditindaklajuti dengan Qanun No. 10 Tahun 2002 tentang Peradilan Syari‟at Islam)

10.Pengadilan Adat di Papua (eksekusi putusannya terkait dengan peradilan umum)41

Dapat dikatakan bahwa peradilan pemilu nantinya termasuk di dalam suatu peradilan khusus yang ada dibawah Mahkamah Agung. Meskipun di Bawah Mahkamah Agung peradilan pemilu harus tetap menjunjung sebagai suatu lembaga peradilan yang mengutamakan nilai indepedensi dalam menjalankan fungsinya. Indepedensi disini berarti bahwa peradilan pemilu merupakan peradilan yang bebas dari campur tangan pemerintaha maupun partai politik yang merupakan sumber dari potensi intervensi. Indepedensi dalam hal ini juga bukan berarti sebagai lembaga peradilan independen yang terpisah dari pemerintah namun tetap menjadi suatu lembaga peradilan khusus di bawah Mahkamah Agung sebagai pemegang kekuasaan kehakiman.

Peradilan pemilu di Indonesia sendiri merupakan suatu lingkungan peradilan baru di samping beberapa lingkungan peradilan. Peradilan pemilu dapat dikatakan sebagai peradilan yang bersifat khusus sebab sengketa yang ditangani fokus pada hal tertentu atau dapat dikatakan ruang lingkup yang terbatas terhadap perkara-perkara pemilu. Menjadi pembahasan penting ketika mengkaji kedudukan badan peradilan khusus pemilu di dalam lingkungan peradilan Indonesia. Mengingat bahwa peradilan pemilu bersifat khusus maka lingkungan peradilannya ada pada peradilan khusus. Di dalam pasal 20 ayat (1) yang berbunyi: Mahkamah Agung merupakan pengadilan negara tertinggi dari badan peradilan yang berada di dalam keempat lingkungan peradilan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 18. Jadi menurut ketentuan pasal tersebut bahwa lingkungan peradilan khusus tidak

41

Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2011 tentang Otonomi Khusus Provinsi Papua (ditindaklajuti dengan Peraturan Daerah Khusus Papua No. 20 Tahun 2008 tentang Peradilan Adat di Papua)

lepas dari 4 kategori lingkungan peradilan umum, lingkungan peradilan agama, lingkungan peradilan militer, lingkungan peradilan tata usaha negara. Jadi untuk peradilan khusus menurut ketentuan Undang-Undang tersebut harus masuk diantara 4 lingkungan peradilan yang telah diatur oleh Mahkamah Agung.

Peradilan pemilu untuk bisa menjadi sebuah badan peradilan yang sah secara hukum tentu saja harus memiliki dasar hukum. Dasar hukum ini berguna untuk memberi identitas hukum bagi peradilan pemilu untuk masa mendatang dapat melaksanakan kewenangannya. Untuk memiliki suatu dasar hukum yang tegas maka suatu badan pemerintahan memiliki dasar hukum setingkat Undang-Undang atau pada peraturan-peraturan lain dibawah Undang-Undang-Undang-Undang. Melihat ketentuan hukum dewasa ini hanya ada satu pasal di dalam peraturan perundang-undangan yang menyinggung badan peradilan khusus pemilu yaitu terdapat di dalam Pasal 157 ayat (2) Undang-Undang Nomor 8 tahun 2015 tentang Pemilihan Kepala Daerah yang menyebutkan pada intinya perselesaian sengketa Pemilukada diperiksa dan diadili oleh suatu badan peradilan khusus. Namun ketentuan yang diamanatkan oleh Undang-Undang tersebut sampai dewasa ini tidak dijalankan sebagaimana mestinya. Badan peradilan pemilu khusus yang menangani sengketa pemilukada yang secara tersurat atau secara tegas diamanatkan oleh Undang-Undang belum dijalankan dan belum ada peradilan khususnya. Oleh karena itu ide untuk melahirkan suatu badan peradilan khusus pemilu sesungguhnya telah ada sejak adanya Undang-Undang Nomor 8 tahun 2015 tentang Pemilihan Kepala Daerah. yang terjadi secara nyatanya adalah sengeketa pilkada tetap diajukan permohonan di MK.

Kewenangan sengketa hasil pemilu menurut UUD 1945 sebagai konstitusi negara dilaksanakan oleh MK menurut pasal 24C Bab IX tentang Kekuasaan Kehakiman UUD 1945. Sementara itu oleh alasan-alasan yang telah ada MK menurut fungsinya dan idealnya tidak sesuai dalam menangani sengketa hasil pemilu. Oleh karena itu untuk bisa melaksanakan pembaruan hukum pemilu maka pasal yang mengatur perkara sengketa hasil pemilu oleh MK di dalam UUD 1945 harus dihapuskan. Untuk dapat menghapuskan, merubah, menambahkan, atau menggatanti suatu pasal di dalam UUD 1945 perlu adanya Amandemen. Maka dari itu Amandemen UUD 1945 perlu dilaksanakan untuk menghapus kewenangan MK soal penanganan sengketa hasil pemilu.

Amandemen UUD 1945 tercatat telah terjadi selama 4 kali di Indonesia, jika amandemen dilakukan maka akan menjadi amandemen ke 5 sejak terkahir kali pada tahun 2002. Pada umumnya suatu UUD tidak boleh terlalu mudah diubah, oleh karena hal itu akan merendahkan arti simbolis UUD 1945 itu sendiri. Di lain pihak hendaknya jangan pula terlalu sukar untuk mengadakan amandemen, supaya mencegah generasi mendatang merasa terlalu terkekang dan karenanya bertindak diluar UUD.42 Kesukaran untuk melakukan amandemen sesunguhnya bisa jadi mempengaruhi masa depan negara. sejak tahun 2002 hingga dewasa ini telah lama UUD 1945 tidak dilakukan amandemen yang tentu saja selama lebih dari 10 tahun telah terjadi banyak kendala dan permasalahan yang terjadi di Indonesia (salah satunya Pemilu) yang secara tidak langsung memberikan jalan untuk melakukan amandemen yang tidak mengubah atau merendahkan simbolis

42

dari UUD 1945 sebagai Konstitusi negara. wewenang untuk mengubah (amandemen) UUD1945 berada di tangan MPR.43

Bahwa amandemen UUD 1945 khususnya pasal mengenai kewenangan MK tidak mengurangi nilai sakral dari UUD 1945 itu sendir. Perubahan pasal tersebut guna mencegah adanya sengketa pemilu yang dapat merugikan warga negara baik yang memiliki hak untuk memilih atau hak untuk dipilih. justru dengan menghapus kewenangan MK di UUD 1945 berkaitan dengan perkara sengketa hasil pemilu akan membuat terciptanya suatu ikilm demokrasi yang baik bagi warga negara itu sendiri serta melindungi hak-hak politik mereka untuk dengan cara meminimalisir sengketa pemilu yang ada.

Amandemen ke 5 yang nantinya akan dilaksanakan dan ketentuan mengenai kewenangan MK terkait sengketa hasil pemilu dihapuskan maka secara otomatis beberapa ketentuan peraturan perundang-undangan dibawahnya akan menyesuaikan UUD 1945. Karena menurut hierarki dalam sistem hukum di Indonesia yang memberikan kedudukan tertinggi kepada UUD 1945 maka ketentuan hukum dibawahny harus bersesuai dan tidak boleh beertentangan dengan UUD 1945. Ketentuan dari beberapa Undang seperti Undang-Undang tentang Mahkamah Konstitusi dan Undang-Undang-Undang-Undang tentang Kekuasaan Kehakiman.

Pembaruan hukum pemilu merupakan dampak dari ada banyaknya sengketa pemilu yang ada. Sengketa (dispute) pemilu itu sendiri merupakan sumber dari tuntutan adanya pembaruan hukum pemilu. Bahwa peradilan khusus pemilu merupakan bagian dari upaya pencegahan terhadapa adanya sengketa

43

pemilu. Sengketa tersebut merupakan implikasi dari timbulnya permasalahan-permasalahan yang timbul dalam pemilu. Hasil penelitian Institute for Democracy

and Electoral Assistance (IDEA) mendefinisikan electoral dispute yaitu “any

complaint, challenge, claim or contest rela ting to any stage of electoral process.”44

Dari pengertian ini, cakupan electoral dispute pada dasarnya memang luas dan meliputi semua tahapan pemilihan umum.45 Namun sengketa atau permasalahan yang ada dapat dicegah untuk bisa terjadi dan berpotensi merugikan proses pemilu.

Pencegahan tidak semerta-merta berarti tidak adanya gugatan yang diajukan selama proses pemilu; pencegahan berarti adanya upaya mendorong semua pihak untuk mengikuti ketentuan dan peraturan melalui:46

a. kerangka hukum yang sederhana, jelas, dan konsisten;

b. budaya politik dan kewargaan yang mendorong perilaku yang demokratis dan taat hukum;

c. badan dan anggota badan penyelenggara pemilu dan penyelesaian sengketa pemilu yang menjalankan fungsinya secara independen, profesional, dan tidak memihak; dan

d. pedoman tata laku pemilu yang telah disepakati bersama sebelumnya.

Salah satu upaya pencegahan terhadap sengketa pemilu adalah adanya badan dan anggota badan penyelenggara pemilu dan penyelesaian sengketa

44

IDEA International, Electoral Justice : The International IDEA Handbook (Stockholm : Bulls Graphics, 2010), hlm. 199.

45

Bisariyadi, Anna Triningsih, Meyrinda Rahmawaty H, Alia Harumdani W, Kompara si Mekanisme Penyelesaian Sengketa Pemilu di Beberapa Negara Penganut Paham Demokra si Konstitusional (Jakarta: Mahkamah Kontitusi RI, 2012), hlm.539.

46

pemilu yang menjalankan fungsinya secara independen, profesional, dan tidak memihak. Badan peradilan khusus pemilu merupakan bagian di dalamnya yang merupakan upaya untuk pencegahan terjadinya sengketa pemilu di Indonesia. Badan peradilan khusus pemilu tersebut nantiya dalam proses penyelesaian sengketa akan menangani keseluruhan tahapan atau proses pemilu yang ada. Sengeketa di dalamnya memuat sengketa hasil, sengketa administratif, dan sengketa tindak pidana.

Peradilan pemilu nantinya yang menangani perkara sengketa hasil, sengketa administratif, dan sengketa tindak pidana. Ketentuan mengenai sengketa hasil masa mendatang bisa diadopsi dari peraturan mahkamah konstitsi yang mengatur tentang pemilu, dari beberapa ketentuan tersebut nantinya akan menjadi cara atau suatu proses peradilan mengenai sengketa hasil pemilu. Sementara itu untuk sengketa pidana pemilu dan sengketa administratif merupakan bagian yang menangani tindak pidana pemilu dan pelanggaran administratif yang ada. Untuk sengketa tindak pidana akan mengacu pada ketentuan-ketentuan yang ada pada KUHP/KUHAP, serta beberapa ketentuan terkait jenis-jenis atau kategori tindak pidana yang telah dirumuskan oleh beberapa badan penyelenggaran pemilihan umum (seperti KPU atau Bawaslu), untuk sengketa pelanggaran administratif juga mengadopsi dai beberapa ketentuan dari badan penyelanggara pemilu yang ada. Tidak menutup kemungkinan bahwa peradilan pemilu dapat memiliki kewenangan yang lebih terkait perkara tersebut selama tidak bertentangan dengan ketentuan yang berlaku.

Seperti yang telah disampaikan awalnya bahwa peradilan pemilu harus memiliki dasar hukum. Bahwa beberapa peradilan khusus yang ada pada

lingkungan peradilan di Indonesia masing-masing telah memiliki Undang-Undang yang menjadi dasar hukumnya. Beberapa peradilan khusus tersebut lahir oleh karena adanya Undang-Undang yang terkait dengannya. Oleh karena itu setelah melakukan amandemen dan perubahan beberapa ketentuan hukum yang terkait kewenangan MK maka harus ada juga Undang-Undang khusus yang mengatur tentang Peradilan Pemilu. Oleh karena itu di dalam pembentukan maupun isi dari Undang-Undang tentang Peradilan Pemilu harus tunduk pada Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan.

Peradilan pemilu nantinya merupakan suatu badan yang permanen. Yang artinya badan peradilan pemilu tidak dibentuk berdasarkan saat proses pemilu terjadi. Pemilu yang terjadi di Indonesia yang terjadi 5 tahun sekali. Untuk pemilihan presiden dan wakil presiden serta DPR terjadi dalam waktu yang bersamaan baik diawali oleh pemilihan anggota dewan atau dilaksanakan secara bersama-sama namun di lain sisi tidak terjadi secara serentak, hal ini terjadi pada pemilihan kepala daerah. Meskipun ada beberapa pemilihan kepala daerah yang terjadi serentak namun pada kenyataannya beberapa pilkada tidak serentak oleh karena perbedaan pergantian masa jabatan kepala daerah di tiap daerah berbeda-beda. Pertimbangan tersebut mengisyaratkan bahwa peradilan khusus pemilu bersifat permanen sebab tidak seluruh pemilu (khususnya pilkada) periode pergantian jabatan 5 tahun sekali sama antar daerahnya.

Peradilan khusus pemilu masa mendatang keputusannya bukan merupakan suatu keputusan yang final atau akhir, peradilan pemilu yang merupakan bagian cabang dari kekuasaan kehakiman yaitu Mahkamah Agung untuk putusan yang di tingkat peradilan pemilu dirasa tidak adil bisa diajukan kepada MA. Di MA

nantinya keputusan tersebut menjadi keputusan akhir. Pertimbangan mengapa MK sama sekali tidak dilibatkan perkara sengketa pemilu adalah fokus kerja MK itu sendiri. Sengketa pemilu yang dalam perkara mengajukan banding dari peradilan pemilu ke MK atau dari MA putusannya ke MK (seperti pada proses peradilan pada umumnya dari Kasasi ke Peninjauan Kembali) akan sama hlany proses terakhir akan ditangani di MK dan hal tersebut tidak akan melahirkan suatu pembaruan hukum itu sendiri. Cukup keputusan akhir ada pada MA jika pada tingkat peradilan pemilu dirasa tidak memenuhi rasa keadilan. Pertimbangan lain mengapa peradilan pemilu itu sendiri sebagai upaya hukum terkahir adalah bahwa penghormatan terhadap hak asasi manusia yang paling utama disamping menegakkan keadilan yang ada pada pemilu. Proses upaya hukum dari peradilan pemilu merupakan jalan atau celah untuk lebih meluaskan hak-hak itu sendiri untuk proses pemenuhan rasa keadilan warga negara di bidang pemilu.

Dokumen terkait