• Tidak ada hasil yang ditemukan

T1__BAB II Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Pembaruan Hukum Pemilu Melalui Pembentukan Peradilan Pemilu T1 BAB II

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2018

Membagikan "T1__BAB II Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Pembaruan Hukum Pemilu Melalui Pembentukan Peradilan Pemilu T1 BAB II"

Copied!
45
0
0

Teks penuh

(1)

BAB II PEMBAHASAN

Pemilihan Umum merupakan tanda bahwa suatu negara tersebut disebut

negara demokratis. Demokratis sendiri bermakna bahwa kedaulatan atau

kehendak rakyat yang paling utama di dalam kehidupan berbangsa dan bernegara.

Hal tersebut merupakan suatu dasar yang pasti untuk menilai bahwa di setiap

negara yang demokratis maka akan ada Pemilu. Hal ini sesuai dengan yang

dikonstruksikan para Jurits yang tergabung dalam Commision of Jurist dalam

konferensinya di Bangkok tahun 1965, yang menyatakan bahwa:

“salah satu syarat dasar untuk terselenggaranya

pemerintahan demokrasi di bawah rule of law adalah

pemilu yang bebas, di samping syarat lain seperti: adanya

perlindungan konstitusi selain menjamin hak-hak individu,

dan cara untuk memperoleh perlindungan atas hak-hak

yang terjamin; adanya badan-badan kehakiman yang bebas

dan tidak memihak; adanya kebebasan untuk menyatakan

pendapat; terjaminnya kebebasan untuk berserikat dan

berorganisasi dan beroposisi, serta terselenggaranya

pendidikan kewarganegaraan.”1

1

(2)

Untuk mewujudkan pemilu yang benar-benar demokratis, terdapat beberapa standar yang harus menjadi acuan:2

a. Pelaksanaan pemilihan umum harus memberikan peluang sepenuhnya kepada semua partai politik untuk bersaing secara bebas, jujur, dan adil.

b. Pelaksanaan pemilu memang benar dimaksudkan untuk memilih wakil rakyat yang berkualitas, memiliki integritas moral dan yang paling penting wakil-wakil tersebut betul-betul mencerminkan kehendak rakyat.

c. Pelaksanaan pemilu harus melibatkan semua warga negara tanpa diskriminasi sedikitpun, sehingga rakyat benar-benar mempunyai kepercayaan bahwa dirinya adalah perwujudan dari kedaulatan rakyat

d. Pemilu dilaksanakan dengan perangkat peraturan yang mendukung kebebasan dan kejujuran, sehingga dengan adanya undang-undang yang lebih memberi kesempatan kebebasan pada warga negara, peluang ke arah pemilu yang demokratis dapat dicapai

e. Pelaksanaan pemilu hendaknya mempertimbangkan instrument penyelenggaranya, karena sangat mungkin kepentingan-kepentingan penyelengaraa akan menganggu kemurnian pemilu

f. Pada persoalan yang lebih filosofi, pemilu hendaknya lebih ditekankan

pada manifestasi hak masyarakat, guna menciptakan partisipasi dalam

pemerintahan.

Pemilihan umum (Pemilu) menjadi bagian dari hidup bernegara. Di setiap

negara baik negara maju mauapun berkembang dengan latar belakang ideologi

yang berbeda mempunyai bentuk atau sistem pemilunya yang berbeda-beda.

2

(3)

Pemilu sebagai suatu kesatuan proses yang besar memiliki dampak yang luas bagi

kelangsungan kehidupan suatu negara. di dalam suatu sistem yang besar tersebut

masih saja memiliki celah-celah kelemahan hukum. Kelemahan hukum yang

mempengaruhi sistem pemilu haruslah segera diperbarui. Pembaruan hukum

menjadi senjata utama dalam mengahadapi kelemahan sistem pemilu.

A. Pembaruan Hukum Pemilu

Konsep pembaruan hukum telah dikenal di berbagai literatur bidang

keilmuan hukum. Pembaruan hukum sebagai suatu cara yang mana digunakan

untuk memperbaiki atau mengembangkan suatu tatanan sistem yang lebih luas

dari suatu hukum. Mengenal pembaruan hukum maka haruslah memahami

Hukum itu sendiri. Hukum dalam beberapa literatur dapat dikatakan sebagai suatu

norma dan kenyataan. Jikalau memandang hukum itu dari sudut normatif, maka

hukum itu merupakan suatu perangkat atau kesatuan norma atau kaidah yang

mengatur hubungan manusia dalam masyarakat. Jikalau memandang dari sudut

kemasyarakatan atau dari sudut sosilogis, jadi sebagai lembaga-lembaga dan

proses-proses yang mewujudkan hukum, asas-asas dan kaidah, maka dapat

melihat hukum itu sebagai suatu kenyataan.3

Hukum yang dipandang sebagai suatu norma dan kenyataan tersebut

tumbuh dan berkembang di tengah-tengah masyarakat sebagai suatu norma dan

kenyataan. Hukum bersifat mengatur dan memaksa namun disatu sisi hukum

bersifat dinamis. Bagaimana hukum dapat bersifat dinamis oleh karena sifat dasar

manusia itu sendiri. Sifat dasar manusia yang telah dikemukakan oleh seorang

3

(4)

filsuf terkenal Yunani Aristoteles mengatakan bahwa Manusia adalah Mahluk

Sosial “Zoon Politicon”. Ungkapan Aristoteles tersebut sangat mendasar dan

mengatakan bahwa manusia tidak bisa hidup tanpa manusia lainnya, adanya

ketergantungan sosial membuat manusia tidak dapat lepas dari campur tangan

atau bantuan orang lain dalam mempertahankan hidupnya.

Manusia sebagai perorangan atau individu cenderung untuk berkumpul

dengan indvidu-individu lain dengan itu membentuk kelompok manusia yang

hidup bersama.4 Dalam rangka pemenuhan hidup masing-masing individu maka

akan ada sifat untuk saling ketergantungan. Kebutuhan yang berbeda-beda

menuntut untuk beberapa individu memunculkan egonya masing-masing.

Kebutuhan individu yang kuat haruslah dibatasi dengan adanya aturan yang

mengatur hubungan antar individu. Kelompok manusia yang hidup bersama

membuat atau melahirkan aturan atau kaidah atau norma yang mengatur

pergaulan hidup antar individu. Perkembangan dan kemajuan jaman menuntut

perkembangan dan lebih banyak serta kompleksnya kebutuhan manusia. Hukum

yang tumbuh akibat adanya pergaulan masyarakat pasti akan mengikuti kebutuhan

yang berkembang, bukan masyarakat yang terus mengikuti hukum dan berubah

tetapi hukum yang berubah dan mengikuti masyarakat, sebab itulah hukum dapat

dikatakan sebagai suatu norma yang dinamis.

Menurut Hans Kelsen hukum adalah termasuk dalam sistem norma yang

dinamik (nomodynamics) oleh karena hukum itu selalu dibentuk dan dihapus oleh

lembaga-lembaga atau otoritas-otoritas yang berwenang membentuk atau

menghapusnya, sehingga dalam hal ini tidak dilihat dari segi isi norma tersebut,

4

(5)

tetapi dilihat dari segi berlakunya atau pembentukannya.5 Hukum sebagai norma

yang dinamis memberikan ruang untuk adanya pembaruan oleh otoritas yang

berwenang dan hal tersebut menjadi kewajiban bagi otoritas berwenang tersebut

dalam hal ini adalah pemerintah untuk senantiasa melakukan pembaruan

berkaitan terhadap masa berlaku atau proses pembentukan norma hukumnya.

Pembaruan oleh otoritas tersebut tentu saja demi kepentingan masyarakat luas.

Sifat dasar manusia yang mempengaruhi hukum tersebut menggeser

paradigma bahwa norma hukum adalah norma yang pasti dan kuat tidak dapat

digeser, dirubah, atau dipermasalahkan. Memang dapat dikatakan bahwa hukum

yang bersifat kaku memberikan garis tegas akan keberadaan hukum yang sejati.

Kesenjangan antara kebutuhan individual dan kebutuhan masyarakat menjadi

faktor penting dalam pertumbuhan hukum secara internal. Kesenjangan yang

terjadi tersebut dapat diselesaikan dengan adanya perubahan atau pembaruan

hukum. Kebutuhan masyarakat yang berkembang menuntut pembaruan yang

signitifkan di bidang hukum. Hukum membutuhkan masyarakat begitu pula

sebaliknya. Hukum yang tidak dapat tumbuh dan berkembang sendiri senantiasa

memperlukan masyarakat di dalamnya sebagai penggerak terhadap perubahan

supaya norma hukum senantiasa diterima di masyarakat luas.

Konsep pembaruan hukum berkaitan erat dengan kebutuhan masyarakat

yang senantiasa berubah. Negara adalah sekumpulan individu yang di dalamnya

adanya komunitas sosial yang dinamakan masyarakat. Pembaruan hukum yang

lebih nyata ada di dalam sistem bernegara itu sendiri. Serangkain proses yang

menuntut akan perkembangan dan kemajuan suatu pemerintahan dengan terus

5

(6)

merubah sistem yang ada semakin lebih baik demi kepentingan masyarakat. Dari

segi hukum suatu perubahan menimbulkan dampak yang besar bagi kelangsungan

suatu negara. Pembaruan hukum diartikan sebagai suatu proses melakukan

pengujian terhadap berbagai rumusan ketentuan hukum dan peraturan

perundang-undangan yang berlaku, dan terhadapnya diimplementasikan sejumlah perubahan

agar dapat tercapai efisiensi, keadilan dan juga kesempatan untuk memperoleh

keadilan menurut hukum yang berlaku.6 Di dalam sistem pemerintahan negara

adanya perubahan hukum yang meliputi ketentuan hukum dan peraturan

perundang-undangan yang berlaku merupakan wujud konkrit dari pembaruan

hukum itu sendiri. Perubahan yang dilakukan terdapat hal tersebut memberikan

gambaran bahwa pembaruan hukum memberi pengaruh yang sangat penting bagi

negara. Dinamika yang terjadi di dalam negara tidak terlepas dari suatu proses

pembaruan hukum yang mana pembaruan ketentuan hukum dan peraturan

perundang-undangan yang berlaku mendorong negara untuk memiliki

tanggungjawab akan pembaruan hukum yang terus terjadi.

Teori yang cocok untuk memperkuat konsep pembaruan hukum adalah

teroi yang dikemukakan oleh Eugen Ehrlich yaitu Teori Sociological

Jurisprudence. Dalam teori ini adanya perbedaan mengenai hukum positif yang

berlaku saat ini dengan hukum yang hidup dan tumbuh di masyarakat.

Perkembangan hukum saat ini tidak hanya terletak pada Undang-Undang tidak

pula pada ilmu hukum ataupun juga pada putusan hakim tetapi pada masyarakat

itu sendiri.7 Hukum yang perlu diperbarui oleh karena perkembangan tersebut

bersumber pada kehendak masyarakat yang terdiri atas individu-individu. Eugen

6

Teguh Prasetyo, Pembaruan Hukum Prespektif Teori Keadilan Bermartabat (Malang: Setara Press, 2017), hlm.5.

7

(7)

Ehrlich8 menganjurkan agar dalam kehidupan berbangsa dan bernegara terdapat

keseimbangan antara keinginan untuk mengadakan pembaruan hukum melalui

perundang-undangan dengan kesadaran untuk memperhatikan kenyataan yang

hidup dalam masyarakat. Kenyataan-kenyaatan yang tumbuh dan hidup dalam

masyarakat tersebut dapat dikatakan sebagai hukum yang hidup, tumbuh, dan

berkembang di dalam masyarakat (living law) yang mencerminkan nilai-nilai yang

hidup di dalam masyarakat tersebut.

Pembaruan hukum yang berangkat dari kebutuhan dasar manusia itu

sendiri merupakan suatu pandangan yang mendasar namun perlu diketahui bahwa

setiap perubahan membutuhkan suatu dorongan. Dorongan yang ada berasal dari

kekuatan masyarakat sebagai pemilik kebutuhan. Hukum dan masyarakat

merupakan modal utama dalam melakukan dorongan pembaruan tersebut. Hukum

dengan segala kekuatan dalan pengikatan norma yang memaksa dan masyarakat

dengan kekuatan kebutuhan dan daya pikir untuk mengembangkan hukum

bersinergi di dalam suatu kekuatan dan daya dorong dalam melakukan perubahan.

Cara yang paling sederhana adalah mendekatkan masyarakat akan pemahaman

hukum yang mendasar. Menjadikan hukum sebagai suatu kebutuhan membuat

pandangan masyarakat akan hukum menjadi berubah, semula masyarakat yang

memandang hukum sebagai suatu norma yang kaku dan tidak tersentuh bergeser

dan menjadikan hukum sebagai alat akan pemenuhan kebutuhan dirinya.

Masyarakat yang memiliki hukum akan mendorong perubahan hukum itu sendiri.

Seperti contoh masyarakat yang menyampaikan pendapatnya dalam forum

terbuka dengan pemerintah, atau masyarakat yang melakukan kritik yang

8

(8)

mendasar terhadap pemerintah, dan bahkan masyarakat yang langsung menjadi

mitra kerja dengan pemerintah. Hal tersebut adalah tanda bahwa adanya

benih-benih pembaruan sistem (termasuk hukum) yang ada di dalam kehidupan

bernegara. Awal mula pembaruan hukum yang di dorong dari pemikiran

masyarakat menjadikan pembaruan hukum tidak hanya sebagai serangkain proses

ceremonial. Hal tersebut dikemukakan oleh Teguh Prasetyo sebagai berikut:

Pembaruan hukum atau juga sering disebut dengan

reformasi hukum di Indonesia bukan sekedar mengubah,

menambahkan, mengoreksi, men-review, mengganti atau

menghapus sama sekali ketetuan, kaidah dan asas hukum

dalam hukum dan ketentuan peraturan

perundang-undangan yang berlaku dalam sistem hukum. Pembaruan

hukum lebih merupakan ruh dalam hukum, mewujud

melalui pengubahan, penambahan, penggantian atau

penghapusan suatu ketentuan, kaidah atau asas hukum

dalam hukum dan peraturan perundang-undangan yang

berlaku pada suatu sistem hukum sehingga sistem hukum

yang bersangkutan menjadi lebih baik, menjadi lebil adil,

menjadi lebih bermanfaat dan menjadi lebih berkepastian

menurut hukum;9

Pembaruan hukum terjadi di seluruh negara di dunia tidak terkecuali di

Indonesia. Sebagai negara berkembang Indonesia memiliki berbagai macam

9

(9)

permasalah yang biasa dialami oleh negara berkembang salah satunya adalah

permasalahan hukum. Pembaruan hukum menjadi solusi untuk menghadapi

permasalahan hukum. Disetiap rezim pemerintahan pembaruan hukum menjadi

topik utama dalam setiap agenda perubahan atau pembaruan sistem hukum.

Banyaknya bidang hukum di Indonesia yang diperbarui menyesuaikan

permasalahan atau konflik yang terjadi salah satu bidang hukum yang perlu

dilakukan pembaruan adalah bidang hukum pemilu.

Pembaruan hukum pemilu tidak lepas dari perihal hukum yang progesif.

Hukum progesif berarti kemajuan dalam bidang hukum. Hukum progesif bersifat

menerima akan kemajuan namun dengan cara aktif berpikir yang ideal. Secara

singkat dapat dikatakan, kekuatan hukum progesif adalah kekuatan yang menolak

dan ingin mematahkan keadaan status quo. Mempertahankan status quo adalah

menerima nomartivitas dan sistem yang ada tanpa ada usaha untuk melihat aneka

kelemahan di dalamnya, lalu bertindak mengatasi. Hampir tidak ada untuk

melakukan perbaikan, yang ada hanya menjalankan hukum seperti apa adanya

dan secara “biasa-biasa” saja (business as usual)10, dapat diambil contoh terhadap

realitas hukum pemilu dewasa ini perkara kewenangan Mahkamah Konstitusi

(MK) terkait dengan sengketa Pemilu. Bilamana terhadap kewenangan perkara

perselisihan pemilu yang ditangani oleh MK tidak dikupas lebih mendalam maka

akan terjadi keadaan yang menjalankan hukum sekedar hanya sebagai kepantasan

saja. Hal tersebut tentu mengurangi Hak-Hak warga negara yang terlibat di dalam

proses pemilu, proses pemilu yang panjang dan melibatkan kepentingan yang

lebih besar. Celah-celah kekurangan tersebut harus segera diatasi sebagi suatu

10

(10)

bentuk kesadaran akan pentingnya pemilu yang berkualitas. Hukum progesif

menilai bahwa keadaan hukum tidak begitu saja menerima kelemahan yang ada

baik kelemahan oleh karena proses pembuatan hukum atau pada saat kajian

hukum. Hukum pemilu yang diperbarui melengkapi kekurangan akibat keadaan

penerimaan kewenangan MK yang tertuang di dalam Hukum yang mengatur

kewenangan tersebut (UUD 1945 dan beberapa UU terkait kewenangan MK).

Bagi pihak yang menjalankan keadaan hukum yang bersifat tetap (status

quo) lebih mudah dijalankan daripada harus memikirkan mengenai pembaruan

hukum itu sendiri. Karena ketika melakukan pembaruan hukum maka keluar

segala upaya untuk menterjemahkan kepentingan rakyat atau masyarakat ke dalam

suatu ketentuan perturan perundang-undngan tertentu. Ketika MK menjalankan

kewenangannya maka akan lebih mudah daripada harus merubah atau mengganti

kewenangan MK yang harus melakukan perombakan besar terhadap beberapa

ketentuan yang dari tingkat UUD 1945 sampai pada Undang-Undang dibawahnya

yang mengatur perkara perselisihan hasil Pemilu oleh MK. Selain itu pembaruan

dengan memunculkan peradilan khusus pemilu merubah sistem tatanan peradilan

di Indonesia lebih luas. Namun tidak bisa dipandang bahwa sulitnya merubah

sebagai hambatan akan kemajuan dan perkembangan hukum, yang terpenting dari

pembaruan hukum pemilu adalah bagaimana untuk menjaga hukum pemilu

sebagai suatu hukum yang ideal adalah berani memperbarui ketentuannya dengan

tetap mempertimbangkan kebutuhan masyarakat.

Pemilihan umum (pemilu) merupakan salah satu peristiwa kenegaraan

yang sangat krusial dan penting yang terjadi di Indonesia. Dinamika pemilu

(11)

rezim pemerintahan. Sejak awal kemerdekaan Indonesia pada 17 Agutus 1945

hingga tahun 2014 Indonesia mengalami 11 kali pemilu dengan sistem yang

berbeda-beda. Meskipun pada Pemilu Tahun 1955 dikatakan pemilu murni yang

bersih dan bebas praktek kecurangan namun tetap saja diwarnai aksi protes yang

penyebabnya adalah ketika akan pembentukan panitia pelaksanaan pemilu di

daerah oleh Panitia Pemilihan Indonesia yang dianggap terlalu lama oleh partai

oposisi, indikasinya adalah adanya praktek kolusi guna kepantingan partai

pemerintah supaya unggul dalam pemilihan umum tersebut, dapat dikatakan

bahwa Panitia Pemilihan Indonesia tidak idependen karena telah memiliki tujuan

yang menguntungkan pihak tertentu. Pada rezim orde baru proses pemilu

berlangsung sebagai proses pemilihan semu, dikatakan semu oleh karena pemilu

hanya sebagai suatu progam pelaksanaan rutin tanpa memumculkan nilai

demokrasi, pada masa itu hanya ada satu partai yang selalu memenangkan pemilu

dengan hasil mutlak yaitu partai Golongan Karya, partai desain dari pemerintah

tersebut selalu memenangkan pemilu selama kurang lebih 7 kali masa jabatan

berturut-turut meskipun sejak Pemilu 1982 dibentuk Badan seperti Panwaslu

namun tetap tidak memberikan pengaruh akibat badan tersebut hanya meredam

gelombang protes terhdapa ketidakpuasan pemilu tidak menyelesaikan

pelanggaran dan kecurangan yang terjadi selama pemilu kala itu. Reformasi yang

terjadi tidak berdampak baik pada pemilu tahun 1999 oleh karena hasil pemilu

1999 tidak dapat disahkan karena penolakan hasil suara sah nasional oleh anggota

Komisi Pemilihan Umum (KPU) kala itu berasal dari partai politik yang tentunya

memiliki kepntingan terhadap hasil pemilihan umum 1999. Hal sama juga terjadi

(12)

ulang meskipun pada tahun tersebut tidak ada Undang-undang yang mengaturnya.

Pada pemilu 2009 yang diikuti oleh 44 partai dan merupakan pemilihan ketiga

pasca reformasi, permasalahan mengenai banyaknya jumlah partai dan mekanisme

pelaksanaan pemilu masih banyak ditemukan permasalahan meski adanya

bawaslu dan panwaslu namun hanya sebatas pelaporan terhadap permasahan yang

pada akhirnya tidak ada penyelsaian di beberapa daerah. Pemilu 2014 membawa

nuansa yang berbeda oleh karena adanya penyederhanaan partai politik, selain itu

adanya peristiwa gugatan yang diajukan kepada Mahkamah Konstitusi dari pemilu

presiden namun sengketa tersebut ditolak oleh Mahkamah Konstitusi.

Di setiap masanya pemilu memunculkan permasalahan yang berbeda pula.

Permasalahan yang muncul setiap zamannya tidak lepas dari kepentingan.

Kepentingan dimiliki oleh orang yang berkuasa atau memiliki pengaruh yang

kuat. Kepentingan terhadap permasalahan ini adalah kepentingan yang mengarah

pada kepentingan individu atau golongan tertentu terhadap proses pemilu.

Perumusan yang umumnya dikenal ialah bahwa kekuasaan adalah kemampuan

seorang pelaku untuk mempengaruhi perilaku seorang pelaku lain, sehingga

perilakunya menjadi sesuai dengan keinginan dari pelaku yang mempunyai

kekuasaan.11 Pihak yang berkuasa berpotensi mempunyai kepentingan untuk

mempengaruhi proses pemilu. Kepentingan yang dimiliki dalam proses pemilu

pada dasarnya adalah memperebutkan kekuasaan, mengingat pemilu adalah proses

peralihan kekuasan dari satu pihak ke pihak lain. Untuk menjaga proses pemilu

dari kepentingan pihak-pihak tertentu maka dari itu hukum pemilu harus dinamis

11

(13)

dan senantiasa mengikuti perkembangan hukum dalam aras kebutuhan dan

kepentingan masyarakat secara luas.

Pemilu menjadi peristiwa penting bagi warga negara. Pembaruan hukum

pemilu menjadi kebutuhan guna menjaga keutuhan proses pemilu yang ideal.

Hukum pemilu yang ideal tentu saja memiliki proses penegakan hukum yang baik

dan benar. Belajar dari sejarah proses pemilu di Indonesia penegakan hukum

masih menjadi kendala utama. Ketentuan hukum yang berlaku terhadap pemilu

fokus pada proses pemilu yang ada, bagaimana mencapai pemilu yang ideal tidak

hanya sebelum dan saat pemilu tersebut berlangsung namun bagaimana setelah

proses pemilu telah dilaksanakan terhadap perkara atas ketidakpuasaan proses

pemilu juga harus menjadi perhatian serius. Sejarah pemilu Indonesia

menggambarkan suatu proses menuju keadilan dalam pemilu yang belum

sempurna, dapat dikatakan belum sempurna oleh karena perkara penegakan

hukum terhadap sengketa pemilu pasca pemilu tidak ditangani secara khusus. Bila

melihat pada suatu tatanan hukum lain dalam bernegara selalu menyediakan

tempat untuk perselisihan akhir. Tempat tersebut menjadi wadah bagi para pencari

keadilan untuk mengutarakan ketidak puasaan terhadap proses yang beretentangn

dengan kaidah-kaidah yang berlaku. Tidak terkecuali pada proses pemilu.

Hukum pemilu termasuk pula norma hukum yang dinamis. Baik dalam

proses maupun saat akhir dalam hal penegakan hukum pasca pemilu merupakan

norma yang dinamis yang artinya dapat dilakukan adanya pembaruan. Hukum

Indonesia yang berfokus pada proses sebelum dan saat pemilu haruslah

ditekankan bahwa peristiwa pasca pemilu menjadi momen yang sangat krusial

(14)

berkepentingan dalam pemilu menekankan diri pada keadilan pemilu. Paradigma

yang baru tersebut haruslah segera dilaksanakan dengan cara melakukan suatu

pemahaman pola pikir bahwa pemilu adalah demi masyarakat dan kepentingan

bangsa yang lebih luas maka dari itu prosesnya baik sebelum, saat, atau sesudah

pemilu diberi kedudukan atau porsi yang sama dalam fokusnya.

Pembaruan hukum pemilu berbicara tentang keadilan. Keadilan yang ada

pada pemilu secara tidak langsung adalah memberikan jaminan bahwa pemilu

adalah soal kepentingan bersama. Kepentingan bersama soal proses yang panjang

yang lengkap dari hulu sampai hilir, proses demokrasi tersebut haruslah jelas dan

lengkap. Kesadaran akan pemilu sebagai kepentingan bersama terhadap

kepentingan lebih luas meminimalisir resiko gelombang protes atas

ketidakpuasaan terhadap proses penegakan hukum pemilu. Protes-protes

ketidakpuasan atas proses dan hasil pemilu yang dilatari oleh banyaknya

pelanggaran yang tidak bisa diselesaikan, serta perasaan telah diperlakukan tidak

adil oleh penyelenggara tersebut, menunjukkan adanya masalah penegakan hukum

dalam setiap penyelenggaraan pemilu.12 Penyelenggaran pemilu yang tidak adil

mengurangi nilai esensi dari pemilu itu sendiri sebagai pesta demokrasi rakyat

yang memenuhi asas-asas pemilu yang Langsung, Umum, Bebas, Rahasia, Jujur,

dan Adil.

Indonesia yang masih terus melakukan proses perubahan sistem pemilu

haruslah memiliki pandangan khusus terhadap proses penegakan hukum

(peradilan) pemilu. Melihat di beberapa negara dunia di belahan Amerika Latin

serius dalam menangani proses perkara pasca pemilu dengan dibentuknya

12

(15)

lembaga peradilan khusus pemilu. Kewenangan yang khusus tersebut memberi

gambaran bahwa proses penanganan sengketa pemilu di negara-negara tersebut

mempunyai tempatnya. Proses penegakan hukum pemilu di negara-negara

tersebut tentu saja melalui proses yang panjang dalam membentuk suatu

kekhususan penanganan sengketa pemilu. Indonesia yang memiliki catatan

panjang permasalahan pemilu harus mulai mengarah ke hal tersebut. Bahwa

potensi sengketa pemilu berdampak langsung pada arah beripikir mengenai masa

depan hukum atau rancangan hukum terhadap sengketa pemilu yang dilalui

melalui proses pembaruan hukum pemilu.

Reformasi peradilan telah berjalan sejak tahun 2000. Pada masa awal

reformasi peradilan, sejarah mencatat besarnya peran serta masyarakat melalui

berbagai organisasi non pemerintah dalam mendorong proses reformasi peradilan,

baik sebagai pemantau yang kritis maupun sebagai partner peradilan dalam

melaksanakan proses perubahan. Selain organisasi non pemerintah, bantuan juga

datang dari negara-negara donor yang turut memberikan kontribusi dalam proses

perubahan monumental yang tengah berlangsung di lembaga peradilan.13 Salah

satu bentuk kelanjutan pembaruan peradilan adalah melalui badan peradilan

khusus pemilu melalui reformasi hukum atau pembaruan hukum. Badan peradilan

khusus pemilu dibutuhkan oleh Indonesia dalam penanganan sengketa pemilu

yang ada di Indonesia. Merupakan suatu bentuk badan peradilan yang baru dalam

kelembagaan yudikatif di Indonesia.

Penyelesaian sengketa pemilu berlandaskan pada pengalaman, fakta-fakta

yang ada, dan sejarah pemilu di Indonesia yang telah mengalami 11 kali masa

13

(16)

pemilu, baik pemilu Presiden dan Wakil Presiden, anggota Dewan Perwakilan

Rakyat, anggota Dewan Perwakilan Rakyat Daerah baik Provinsi, Kabupaten

atau Kota, Kepala Daerah Provinsi, Kabupaten atau Kota dan anggota Dewan

Perwakilan Daerah. Kebutuhan akan peradilan pemilu di Indonesia memiliki 2

alasan yang melandasi mengapa peradilan pemilu tersebut penting yaitu

perlindungan terhadap Hak Asasi Manusia dan Mahkamah Konstitusi yang tidak

berwenang menangani perkara perselisihan sengketa hasil Pemilu.

B. Perlindungan Hak Asasi Manusia (Hak Pilih)

Hak Asasi Manusia adalah serangkaian hak yang melekat dan dimiliki

pada diri manusia yang tidak boleh dikurangi atau dirampas sebab hak tersebut

melekat pada manusia karena dia manusia seutuhnya (kodrat manusia) dan

berlaku secara universal. Lebih lanjut, Pasal 1 angka 1 Undang-Undang Nomor 39

Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia mendeskripsikan pengertian hak asasi

manusia sebagai seperangkat hak yang melekat pada hakikat dan keberadaan

manusia sebagai makhluk Tuhan Yang Maha Esa dan merupakan anugerah-Nya

yang wajib dihormati, dijunjung tinggi dan dilindungi oleh negara, hukum,

pemerintah, dan setiap orang demi kehormatan serta perlindungan harkat dan

martabat manusia. Pernyataan umum dan yang terdapat dalam Undang-Undang

tentang pengertian definisi HAM tersebut mengandung makna yang sangat luhur

karena ketika seorang manusia lahir atau bahkan masih dalam kandungan manusia

telah memiliki suatu hak yang melekat dan memberi identitas bahwa dia adalah

manusia sejatinya. Meskipun beberapa pakar menyatakan dapat meruntut konsep

(17)

yurisprudensi hukum kodrati (natural law) Grotius dan ius naturale dari

Undang-undang Romawi, tampak jelas bahwa asal usul konsep HAM yang modern dapat

dijumpai dalam revolusi Inggris, Amerika Serikat dan Prancis pada abad ke-17

dan ke-18.14 Sejarah perjalanan panjang HAM terjadi seluruh dunia dari awal

timbul pemikiran yang mengacu pada revolusi abad 18 dan abad 18 sampai pada

penafsiran dan bentuk-bentuk perlindungan terhadap HAM itu sendiri

memunculkan pemahaman-pemahan akan arti penting HAM bagi umat manusia di

seluruh dunia. Di Indonesia sendiri mengakui HAM sebagai suatu bentuk

perlindungan dan dituangkan di dalam Konstitusi yaitu di dalam pasal 28A sampai

28J Undang-Undang Dasar 1945, Ketetapan MPR Nomor XVII Tahun

1998,Undang No. 39 tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia,

Undang-Undang No. 26 Tahun 2000 tentang Pegadilan Hak Asasi Manusia.

HAM menjamin hak yang berkaitan dengan pemilu (Hak pilih). Dimensi

HAM di dalam Pemilu tertuang di dalam pasal/article 21 Pernyataan Umum

tentang Hak-Hak Asasi Manusia (Universal Declaration of Human Rights ) yaitu:

1. Setiap orang berhak turut serta dalam pemerintahan negerinya, secara

langsung atau melalui wakil-wakil yang dipilih dengan bebas.

2. Setiap orang berhak atas kesempatan yang sama untuk diangkat dalam

jabatan pemerintahan negerinya.

3. Kehendak rakyat harus menjadi dasar kekuasaan pemerintah; kehendak ini

harus dinyatakan dalam pemilihan umum yang dilaksanakan secara

berkala dan jujur dan yang dilakukan menurut hak pilih yang bersifat

14

Scott Davidson, Hak Asa si Manusia, Seja rah, Teori dan Pra ktek dalam Pergaulan Internasional,

(18)

umum dan yang tidak membeda-bedakan, dan dengan pemungutan suara

yang rahasia ataupun menurut cara-cara lain yang menjamin kebebasan

memberikan suara.

Penjabaran dari Pernyataan Umum tentang Hak-Hak Asasi Manusia tersebut

sangat detail dan lengkap dalam menjamin HAM. Perihal pasal 21 tersebut juga

tertuang sama persis di dalam pasal 43 Undang-Undang No. 39 tahun 1999

tentang Hak Asasi Manusia. Bahwa HAM terkait dengan Pemilu telah diatur

secara umum di dalam Universal Declaration of Human Rights dan di dalam

hukum nasional. Yang menjadi persoalan terkait tentang hak di dalam Pemilu

adalah bagaimana pengamalan ketentuan tersebut di dalam sistem pemilu di

Indonesia.

Hak pilih merupakan salah satu bentuk hak politik yang termasuk ke

dalam kategori hak asasi manusia. Hak pilih diatur di dalam ketentuan hukum

fundamental suatu negara (biasanya di dalam undang-undang dasar dan di dalam

undang-undang terkait) dan di dalam berbagai instrumen hukum internasional

tentang hak asasi manusia. Pada beberapa kasus, hak pilih diatur khusus dalam

case law.15 Jadi dapat disimpulkan bahwa hak pilih merupakan bagian dari hak

politik.

Konvensi Internasional tentang Hak-Hak Sipil dan Politik (International

Convenant on Civil and Political Rights/ICCPR) mengklasifikasikan hak sipil dan

politik yang tercantum di dalam ICCPR ke dalam dua bagian, yaitu hak absolut

dan hak yang boleh dikurangi.16 Indonesia telah meratifikasi Kovenan tentang

15

International IDEA, Keadilan Pemilu (Jakarta: International IDEA, 2010), hlm.7. 16

(19)

Hak-hak Sipil dan Politik melalui Undang-undang Nomor 12 Tahun 2005 tentang

Pengesahan International Covenant On Civil And Political Rights (Kovenan

Internasional tentang Hak-Hak Sipil dan Politik). Hak di dalam pemilu dapat

disamakan sebagai hak politik. Politik dalam hal ini dalam arti keikutsertaan

warga negara dalam pemerintahan. Kebebasan dari hak politik dan sipil mencakup

hak-hak yang memungkinkan warga negara ikut berpartisipasi dalam kehidupan

politik. Hak politik mencakup hak untuk mengambil bagian dalam pemerintahan

dan memberikan suara dalam pemilihan umum yang berkala dengan hak suara

yang universal dan setara.17 Keikutsertaan warga negara di dalam pemerintahan ada berbagai cara atau kedudukan yang ada, bisa warga negara tersebut di dalam

pemerintahan atau bisa juga diluar pemerintahan sesuai profesi masing-masing.

Tidak hanya dalam pemerintahan dalam arti di struktur eksekutif atau yudikatif

namun pada taraf legislatif dengan menjadi anggota Dewan Perwakilan Rakyat.

Yang artinya adanya pembagian keikutsertaan warga negara tersebut maka dapat

diartikan bahwa warga negara yang berada di dalam pemerintahan adalah warga

negara yang memiliki hak dipilih dan warga negara yang berada di luar

pemerintahan berada pada kedudukan warga negara yang memilih. Singkatnya

warga negara diberikan pilihan untuk memilih atau dipilih. Jadi warga negara

yang memiliki hak pilih memiliki 2 hak yaitu hak untuk memilih dan hak untuk

dipilih. Hak-hak politik yang diatur dalam Pasal 25 Kovenan Internasional tentang

berlaku surut, hak atas kebebasan berpikir dan sebagainya. Kedua, hak-hak yang boleh dikurangi pemenuhannya oleh negara seperti hak atas kebebasan berkumpul secara damai, hak atas kebebasan menyatakan pendapat atau berekspresi, hak atas kebebasan berserikat, hak untuk mendapatkan dan memberi informasi dll. Lebih lengkap baca Muhardi Hasan dan Estika Sari. Hak Sipil dan Politik. Demokra si Vol. IV No.1 (2005). Hlm. 93-101. Hlm. 97

17

(20)

Hak-Hak Sipil dan Politik adalah hak dan kesempatan tanpa pembedaan dan

pembatasan yang tidak wajar untuk:

a. Ikut serta dalam penyelenggaraan pemerintahan, baik secara langsung

ataupun melalui perwakilan yang dipilih secara bebas;

b. Memilih dan dipilih pada pemilihan umum berkala yang jujur, dengan hak

pilih yang universal dan sederajat, dan dilakukan dengan pemungutan

suara yang rahasia yang menjamin kebebasan para pemilih menyatakan

keinginannya;

c. Mendapatkan akses, berdasarkan persyaratan yang sama secara umum,

pada dinas pemerintahan di negaranya.

Pengakuan tidak diperlukan bagi HAM, baik dari pemerintah atau dari

suatu sistem hukum, karena HAM bersifat universal. Berdasarkan alasan ini,

sumber HAM sesungguhnya semata-mata berasal dari manusia.18 Pemerintah dan

sistem hukum yang harus mengikuti HAM secara otomatis melandasakan HAM

pada aspek-aspek di dalam pemerintahan dan sistem hukum. Tidak terkecuali

dalam hal sistem hukum pemilu. Bahwa individu baik yang memilih atau dipilih

memiliki hak yang harus diikuti dan dipenuhi oleh pemerintah dan sistem hukum

pemilu itu sendiri. Pengakuan akan mengakibatkan niali-nilai dari HAM itu

sendiri hanya sebatas tulisan kosong, yang artinya ketentuan secara tegas

mengenai pemilu hanya sebatas memenuhi ketentuan hukum dengan tulisan dan

aturan-aturan yang mengikat namun tidak memperhatikan hakekat dari hak asasi

manusia itu sendiri.

18

(21)

Hukum pemilu yang sarat makna akan banyak kepentingan pihak tertentu

harus teguh untuk tetap mengutamakan hak politik masing-masing individu. Hak

politik yang dimiliki oleh pihak yang memilih atau pihak yang dipilih memiliki

kedudukan yang sama namun memiliki tanggungjawab yang berbeda. Pemilih

yang dalam hal ini merupakan warga negara yang berada di luar pemerintahan

memiliki tanggungjawab hak politik yang lebih luas karena ketika melakukan hak

politiknya melibatkan banyak lembaga negara yang diisi oleh warga negara

dengan hak untuk dipilih. Hak-hak politik berkembang sejalan dengan tumbuhnya

sistem negara bangsa yang dilembagakan ke dalam sistem parlementer. Hak-hak

politik yang berkaitan dengan proses pengambilan keputusan yang diwujudkan

dalam bentuk partisipasi dengan memberikan hak pilih pada saat pemilihan

berlangsung.19 Bentuk secara nyatanya adalah pemilih atau warga negara dengan

hak pilih menujukkan eksistensinya melalui pemilihan umum yang sedang

berlangsung pada kala itu. Warga negara yang tidak ikut berpartisipasi dalam

pemerintahn menunjukan perannya dalam berpartisipasi melalui pemilihan umum.

Keputusan pemilih dalam hal ini menentukan bagaimana pihak yang dipilih

terpilih, untuk menata negara dalam konteks kepentingan bersama dan bagian dari

pemenuhan haknya untuk partisipasi dalam pemerintahan.

Selain pada warga negara sebagai pemilih, warga negara yang lain

mempunyai keinginan lain untuk turut serta dalam pemerintahan melalui partisipsi

di dalam sistem pemerintahan langsung. Warga negara tersebut dapat mengajukan

diri di berbagai sektor pemerintahan baik eksekutif, legislatif, maupun yudikatif,

namun oleh karena konteks pembahasan hak di dalam pemilu maka terbatas pada

19

(22)

sektor pemerintahan yang proses rektumennya melalui suatu pemilihan umum

yang melibatkan banyak pihak secara langsung bukan melalui penunjukan atau

seleksi internal kelembagaan. Pemilu bagi warga negara yang dipilih menjadi

ajang untuk tampil memperkenalkan diri dan progam, ajang untuk meyakinkan

pihak yang memilih untuk bisa maju dalam keikusertaan partisipasi di dalam

pemerintahan secara internal. Maju sebagai perwakilan rakyat atau sebagai kepala

daerah atau kepala negara sekalipun seluruh warga negara memiliki kesempatan

yang sama namun pada akhirnya tetap dipilih oleh warga negara yang lainnya.

Kesempatan untuk mengajukan diri bagi warga negara yang ikut dalam

partisipasi di dalam pemerintahan menyita banyak tenaga, waktu, dan materi.

Selain itu bagi pihak yang memilih juga merasakan hal yang sama ketika hak-hak

yang lainnya tersita oleh suatu proses panjang yang dinamakan pemilu. Pada saat

proses pemilu bagi warga negara selain mengurangi hak-hak yang lain secara

langsung juga ketika terjadi sengketa maka akan lebih besar pula resiko hak-hak

lain menjadi berkurang atau bahkan hilang. Berkurang atau bahkan

menghilangnya hak warga negara dalam hal pemilu disebabkan oleh faktor tidak

kepuasan terhadap sistem, baik pihak yang mempunyai hak memilih atau pihak

yang mempunyai hak untuk dipilih.

Kelemahan suatu sistem hukum tidak lepas dari kajian-kajian akademis

yang kurang dan pemahaman akan kebutuhan akan pemenuhan hak dari warga

negara yang dikesampingkan. Sistem hukum pemilu yang lemah melahirkan suatu

tatanan hukum yang merusak citra pemilu sebagai pesta demokrasi. Pesta

demokrasi tersebut sesungguhnya adalah sarana bagaimana hak politik bisa

(23)

ruang untuk bisa ambil bagian dari pemerintahn, yang artinya niat baik atau

kesadaran penuh warga negara yang mau ikut serta berpartisipasi dalam

pemerintahan harus diapresiasi sebagai suatu bentuk kesetiaan warga negara

terhdap bangsanya sendiri. Warga negara Indonesia yang turut sukarela untuk

meluangkan waktu dan tenaga dalam pemilu memiliki keyakinan dan kepercayaan

penuh bahwa proses pemilu akan menjadi ideal sesuai yang dicita-citakan. Namun

pada kenyataanya banyaknya kasus pemilu yang terjadi di Indonesia memberi

tanda bahwa Indonesia butuh suatu gerakan pembaruan hukum pemilu sebagai

suatu jalan keluar akan penghargaan yang tidak di dapat terhdap warga negara

yang mau berpatisipasi di dalam pemerintahan melalui pemilu.

Pembaruan peradilan harus dilakukan dalam kerangka merevitalisasi

fungsi pengadilan yang hakiki. Tujuan dari penyelenggaraan peradilan adalah

memutus suatu sengketa/menyelesaikan suatu masalah hukum yang timbul karena

adanya konflik kepentingan/pendapat.20 Muara sengketa adalah peradilan. Suatu

sengketa yang terjadi di dalam hukum ketika tidak dapat terselesaikan dengan cara

baik oleh kedua belah pihak maka peradilan menjadi tempat akhirnya perselesaian

perselisihan. Pemilu melahirkan banyak sengketa. Muara dari sengketa pemilu

adalah penyelesaian yang adil. Indonesia tidak menyediakan ruang yang pasti dan

tepat dalam perkara penyelesaian sengketa pemilu, hal tersebut berarti adanya

kekosongan terhadap penyelesaian sengketa pemilu di Indonesia. Kekosongan

yang terjadi tersebut merupakan suatu kelemahan hukum. Celah kekosongan

hukum tersebut berpengaruh pada perlindungan HAM. Warga negara yang

hendak mengajukan gugatan terhadap hasil perselisihan umum baik

20

(24)

kedudukannya sebagai pemilih atau yang dipilih tidak tersedia ruang yang pasti

dan berkeadilan. Penyelesaian yang ditangani oleh Mahkamah Konstiusi (MK)

tidak fokus pada pokok sengekta pemilu. MK hanya menangani persoalan

sengketa hasil yang artinya MK menjadi „mesin penghitung‟. Dikatakan seperti itu

oleh karena beberapa pokok perkara yang melibatkan sengketa pemilu secara luas

tidak dapat diulas secara mendalam sebagai fakta-fakta hukum dalam

persidangan. Penyelesaian yang demikian mengurangi nilai-nilai HAM khususnya

hak politik yang artinya tidak adanya jaminan akan perlindungan HAM.

Kehadiran peradilan khusus pemilu memberikan keadilan yang berlandaskan pada

pelindungan Hak-hak politik warga negara.

C. Kewenangan Mahkamah Konstitusi Terkait Sengketa Pemilu

Alasan selanjutnya mengenai mengapa peradilan pemilu penting hadir di

Indonesia adalah melihat struktur kelembagaan itu sendiri. Selain pada peradilan

pemilu penting guna perlindungan HAM, sistem hukum pemilu di Indonesia

sendiri tentu saja menjunjung perlindungan HAM tersebut dalam tingkat

yudikatif. Pemilu di Indonesia secara konstitusi diselenggarakan oleh Komisi

Pemilihan Umum. Diamanatkan di dalam pasal 22E ayat (5) Undang-Undang

Dasar 1945 yang berbunyi: Pemilihan umum diselenggarakan oleh suatu komisi

pemilihan umum yang bersifat nasional, tetap, dan mandiri. Konstitusi memberi

amanat kepada KPU untuk melaksanakan Pemilu. Selain pada KPU ada beberapa

lembaga negara yang langsung terlibat pada proses Pemilu. Lembaga negara

tersebut adalah Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilu (DKPP) sebagai

(25)

penyelenggaraan pemilu di Indonesia. Selain beberapa lembaga negara tersebut

yang terlibat secara langsung dalam proses penyelenggaraan pemilu di Indonesia

ada Mahkamah Konstitusi yang menangani permohonan mengenai sengketa hasil

pemilu.

Mahkamah Konstitusi dalam menjalankan fungsinya sebagai pengawal

konstitusi (the guardian of the constitution)21 sesuai dengan ketentuan UUD 1945,

memiliki empat kewenangan mengadili dan satu kewajiban, yaitu :

1. melakukan pengujian atas konstitusionalitas Undang-Undang;

2. mengambil keputusan atas segala sengketa kewenangan atas lembaga

negara yang ditentukan menurut Undang-Undang Dasar;

3. memutuskan perkara berkenaan dengan pembubaran partai politik;

4. memutuskan perkara perselisihan mengenai hasil-hasil pemilihan umum.

Serta satu kewajiban tersebut yakni : mengambil putusan atas pendapat Dewan

Perwakilan Rakyat bahwa Presiden dan/ atau Wakil Presiden telah melakukan

pelanggaran hukum ataupun mengalami perubahan sehingga secara hukum

menjadi terbukti dan karena itu dapat dijadikan alasan oleh Majelis

Permusyawaratan Rakyat untuk memberhentikan Presiden dan/ atau Wakil

Presiden menjadi terbukti dan karena itu dapat dijadikan alasan oleh Majelis

Permusyawaratan Rakyat untuk memberhentikan Presiden dan/ atau Wakil

Presiden dari jabatannya. Pengaturan kewenangan Mahkamah Konstitusi secara

tegas dalam konstitusi merupakan bukti jika keberadaannya sebagai salah satu

lembaga negara diharapkan mampu menjadi satu lembaga yang berfungsi untuk

melaksanakan kekuasaan peradilan dalam sistem konstitusi, pengawal konsitusi

21

(26)

(the guardian of the Constitution) dan penafsir konstitusi yang kompeten dalam

kehidupan bernegara. Di samping itu, lembaga ini dapat juga berperan mendorong

mekanisme checks and balance dalam penyelenggaraan negara dan berperan

dalam negara hukum yang demokratis.22

Mahkamah Konstutusi merupakan suatu lembaga negara yang lahir oleh

karena perintah dari konstitusi itu sendiri pada pasal 24C Bab IX tentang

Kekuasaan Kehakiman UUD 1945, selain dari Mahkamah Agung sebagai 2

lembaga negara dalam bidang yudikatif. Mengenai tugas dan kewenangan MK

sndiri juga telah diatur dalam UUD. Pada pasal 24C ayat (1) yang berbunyi:

Mahkamah Konstitusi berwenang mengadili pada tingkat pertama dan terakhir

yang putusannya bersifat final untuk menguji undang-undang terhadap Undang-

Undang Dasar, memutus sengketa kewenangan lembaga negara yang

kewenangannya diberikan oleh Undang- Undang Dasar, memutus pembubaran

partai politik, dan memutus perselisihan tentang hasil pemilihan umum. Selain

Undang-Undang itu MK sebagai lembaga tinggi sendiri memiliki ketentuan

hukum yang mengaturnya yang terdapat di dalam Undang-Undang Nomor 8

Tahun 2011 Tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003

Tentang Mahkamah Konstitusi. Di dalam Undang-Undang tersebut juga mengatur

kewenangan MK yang sama terdapat di dalam UUD khsususnya mengenai Pemilu

yang terdapat di dalam pasal 1 angka 3 huruf d Undang-Undang Nomor 8 Tahun

2011 Tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 Tentang

Mahkamah Konstitusi. Ketentuan mengenai kewenangan MK tentang Mahkamah

Konstitusi mengenai Pemilu juga diatur pada Undang-Undang lain. Pasal 29

22

(27)

angka 1 huruf d Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 Tentang Kekuasaan

Kehakiman juga mengamanatkan dan memberi wewenang terhadap MK untuk

memutus perselisihan tentang hasil pemilihan umum. Di dalam internal MK

sendiri dalam proses beracara di MK telah diatur mengenai beberapa permohonan

perselisihan sengketa Pemilu sesuai dengan jenis pemilunya yaitu:

1. Peraturan Mahkamah Konstitusi Nomor 3 Tahun 2014 Tentang Perubahan

Atas Peraturan Mahkamah Konstitusi Nomor 1 Tahun 2014 Tentang

Pedoman Beracara Dalam Perselisihan Hasil Pemilihan Umum Anggota

Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, Dan Dewan

Perwakilan Rakyat Daerah

2. Peraturan Mahkamah Konstitusi Nomor 4 Tahun 2014 Tentang Pedoman

Beracara Dalam Perselisihan Hasil Pemilihan Umum Presiden dan Wakil

Presiden

3. Peraturan Mahkamah Konsitusi Nomor 01 Tahun 2017 Tentang Perubahan

Atas Peraturan Mahkamah Konstitusi Nomor 1 Tahun 2016 Tentang

Pedoman Beracara dalam Perkara Perselisihan Hasil Pemilihan Gubernur,

Bupati, dan Walikota

4. Peraturan Mahkamah Konsitusi Nomor 02 Tahun 2017 Tentang Perubahan

Atas Peraturan Mahkamah Konstitusi Nomor 2 Tahun 2016 Tentang

Pedoman Beracara Dalam Perkara Perselisihan Hasil Pemilihan Gubernur,

Bupati, Dan Walikota Dengan Satu Pasangan Calon

5. Peraturan Mahkamah Konsitusi Nomor 03 Tahun 2017 Tentang Perubahan

(28)

Tahapan, Kegiatan, dan Jadwal Penaganan Perkara Perselisihan Hasil

Pemilihan Gubernur, Bupati,danWalikota

Kewenangan Mahkamah Konstitusi sebagai lembaga tinggi negara

memiliki wewenang yang sangat penting dalam sistem ketatanegaraaan di

Indonesia. Wewenang MK perkara pemilihan umum telah secara tegas diatur dari

mulai Konstitusi sampai pada tingkat tekhnis di dalam Peraturan Mahkamah

Konstitusi dan menjadi penegasan bahwa MK secar sah berhak untuk menangani

perkara perselisihan hasil pemilu. Namun melihat lebih luas lagi suatu ketentuan

dalam taraf ketentuan tertulis merupakan suatu produk hukum yang tidak lepas

dari berbagai macam kepentingan dan kebijakan yang dipandang perlu hingga

menghasilkan ketentuan hukum tersebut. Yang menjadi persolan adalah apakah

MK tepat dalam menangani dan memiliki wewenang memutus perselisihan

tentang hasil pemilihan umum? Jawaban atas pertanyaan tersebut kembali lagi

pada hakikat MK itu sendiri sebagai lembaga tinggi negara sebagai pengawal dan

dan penjaga konstitusi di Indonesia.

Dalam perkembangannya, ide pembentukan MK dilandasi upaya serius

memberikan perlindungan terhadap hak-hak konstitusional warga negara dan

semangat penegakan konstitusi sebagai grundnorm atau highest norm, yang

artinya segala peraturan perundang-undangan yang berada dibawahnya tidak

boleh bertentangan dengan apa yang sudah diatur dalam konstitusi.23 Bahwa MK

sendiri ide pembentukan awalnya ada pada kewenangan yang sekarang disebut

Judicial Review. Kewenangan tersebut memberikan keputusan bahwa tidak boleh

ada peraturan perundang-undangan dibawah UUD 1945 yang bertentangan

23

(29)

dengan Konstitusi negara (UUD 1945), singkatnya pengujian Undang-Undang

terhadap UUD 1945. Perkara perselisihan hasil umum pada dasarnya tidak terkait

dengan kewenangan MK tersebut, dikaitkan dan diberikan kewenangan oleh

karena penegakan hukum dan perlindungan hak konstitusional warga negara.

Namun melihat dari kewenangan perselisihan hasil pemilu itu sendiri tentu tidak

dapat dikatakan sebagai upaya perlindungan hak konstitusional warga negara

mengingat pemilu sejatinya adalah hak politik yang lebih khusus sementara hak

konstitusional lebih bersifat luas dan menyeluruh tidak soal hak politik semata,

selain itu perselisihan di MK terkait hasil saja. Hasil merupakan hasil

penjumlahan hitungan matematis yang tidak bisa menjadi tolak ukur atas seberapa

dalam MK memeriksa perkara pemilu karena fokus MK hanya soal hasil secara

matematis saja.

Fungsi dan peran utama MK adalah adalah menjaga konstitusi guna

tegaknya prinsip konstitusionalitas hukum.24 Meskipun pemilu terdapat dan diatur

di dalam UUD 1945 yang dikatakan sebagai Konstitusi negara tidak serta merta

dikaitkan bahwa kewenangan perselisihan hasil pemilu dikaitkan pada lembaga

negara yang terkait dengan konstitusi itu sendiri yaitu MK. Fungsi utama tersebut

berkitan dengan MK sebagai penjaga dan pengawal konstitusi. MK sendiri

memiliki tujuan yang lebih luas dan pemahaman lebih tinggi bagaimana konstitusi

suatu negara dapat tegak berdiri. Undang-Undang adalah seperangkat ketentuan

hukum yang berpotensi untuk bertentangan atau berlawanan dengan konstitusi

padahal Undang-Undang sendiri adalah ketentuan hukum yang mengatur secara

langsung dan menjabarkan nilai-nilai luhur dalam konstitusi yang artinya

24

(30)

ketentuan di dalam Undang-undang sejalan dengan konstitusi. Perkara pemilu

yang ditangani MK tidak berkaitan langsung terhadap keberlangsungan nilai-nilai

konstitusi sendiri yang ada di UUD 1945, meskipun diatur namun di dalam

perkara perselisihan hasil pemilu di MK hasil putusannya adalah jika diterima

oleh MK bukan putusan yang bersifat konstitusional oleh karena hasil putusan

tidak dikaitkan dengan hal apa yang bertentangan dengan UUD 1945, hasil

putusannya jika diterima adalah menerima permohonan dan mengabulkan

permohonan yang diminta pemohon semisal terhadap hasil rekapitulasi suara KPU

yang dirasa tidak sesuai dengan hasil pemilu yang ada maka MK membatalkan

hasil Keputusan KPU atau memberi perintah KPU untuk melakukan pemilihan

ulang.

Perselisihan hasil pemilu antara KPU (termohon) dan peserta Pemilu

(pemohon) bukan perkara konstitusi yang sedang diuji konstitusionalitasnya.

Perkasa perselisihan hasil pemilu yang ada pada beberapa Undang-Undang terkait

dengan kewenangan MK tidak menjadi tolak ukur bahwa yang diamanatkan

dalam beberapa Undang-Undang tersebut sesuai dengan nilai-nilai konstitusi di

UUD1945. Ada-pun alat pengukur atau penilai konstitu-sionalitas suatu

undang-undang, yaitu:

1. Naskah Undang-Undang Dasar yang res-mi tertulis;

2. Dokumen-dokumen tertulis yang terkait erat dengan naskah

Undang-Undang Dasar, seperti risalah-risalah, keputusan dan ketetapan Majelis

Permusyawaratan Rakyat, undang-undang tertentu, pera-turan tata tertib,

(31)

3. Nilai-nilai konstitusi yang hidup dalam praktek ketatanegaraan yang yang

telah dianggap sebagai bagian yang tidak terpisahkan dari keharusan dan

kebia-saan dalam penyelenggaraan kegiatan bernegara; dan

4. Nilai-nilai yang hidup dalam kesadaran kognitif rakyat serta kenyataan

perilaku politik dan hukum warga negara yang dianggap sebagai kebiasaan

dan keha-rusan-keharusan yang ideal dalam perike-hidupan berbangsa dan

bernegara.

Dengan demikian, pengertian konsti-tusionalitas bukanlah konsep sempit

yang hanya terpaku kepada apa yang tertulis dalam naskah UUD NRI 1945 saja.25

Dapat dikatakan bahwa beberapa Undang-Undang yang mengatur kewenangan

MK menurut Konstitusi di dalam UUD 1945 tidak seluruhnya mengandung nilai

konstitusionalitas, dan ketentuan hukum di dalam UUD 1945 tekait dengan

kewenangan MK perkara penyelesaian perselisihan hasil pemilu bukan perkara

konstitusionalitas yang dapat diajukan dan diselesaikan oleh MK itu sendiri.

Perkara hasil pemilihan umum bukan menilai kadar konstitusionalitas suatu

perkara pemilu namun lebih pada jumlah hasil yang diperoleh selama hasil pemilu

yang dijadikan objek sengketa antara KPU dan peserta Pemilu. Perkara hasil

pemilihan umum yang menjadi salah satu kewenangan MK tidak dapat dikaitkan

dengan kewenangan yang tertulis secara tegas di dalam UUD saja namun harus

melihat pada fungsi MK pada hakikatnya.

Kewenangan MK yang tidak sesuai juga berkaitan dengan perkara itu

sendiri yang pada faktanya ketika ditangani oleh MK menuai beberapa

problematika. Faktanya ketika suatu perkara diajukan ke MK tidak hanya perkara

25

(32)

hasil saja yang terungkap dalam persidangan namun ada perkara administratif dan

perkara tindak pidana pemilu yang juga terungkap di persidangan dan tentu saja

ada tumpang tindih antara perkara hasil, perkara administratif, dan perkara tindak

pidana pemilu. Perkara tindak pidana administratif dan perkara tindak pidana

pemilu bukan termasuk kewenangan MK yang dimasudkan pada UUD 1945.

Karena perkara tersebut jauh berbeda dengan perkara hasil, pokok-pokok tersebut

seakan menjadi sebuah fakta hukum yang tidak dapat dipisahkan dalam perkara

penyelesaiannya.

Perkara perselisihan pemilu utamanya terdiri dari 3 hal yaitu: perkara

perselisihan hasil, perkara administratif, dan perkara tindak pidana pemilu.

Perkara administratif dan perkara pidana merupakan suatu bentuk pelanggaran

yang terjadi selama proses pemilihan umum. Pelanggaran pemilihan umum adalah

pelanggaran-pelanggaran terhadap undang-undang pemilihan umum yang dapat

diklasifikasikan menjadi dua, yaitu pertama, pelanggaran pidana adalah

tindakantindakan kriminal dan berakibat pada hukuman penjara dan/ atau denda.

Kedua, pelanggaran administratif yaitu pelanggaran-pelanggaran terhadap

ketentuan dan persyaratan yang ditetapkan dalam Undang-Undang pemilihan

umum yang tidak didefinisikan sebagai tindakan kriminal dan tidak berkaitan

dengan hukuman/ dan atau denda. Konsekuensi dari pelanggaran administratif ini

adalah gagalnya partai politik peserta pemilihan umum untuk mengikuti sebagian

tahapan pemilihan umum karena tidak memenuhi syarat sebagaimana yang

dimaksudkan dalam Undang-Undang.26 Perkara perselisihan hasil pemilu adalah

perkara yang ditangani dan merupakan kewenangan MK namun perselisihan

26

(33)

pemilu yang terjadi merupakan suatu kronologis panjang terhadap 3 perkara

tersebut saling berkaitan atau terjadinya suatu perkara tertentu merupakan akibat

perkara lain, serta dimungkinkan adanya persinggungan antar perkara. Munculnya

perkara pemilu dalam hal administartif dan pidana seringkali menjadi permasahan

tersendiri dalam persidangan MK.

Di dalam persidangan MK hakim seringkali menemukan fakta-fakta

hukum yang tidak menjadi ranah kewenangannya, seperti contoh pada perkara

Pemilukada (Pemilihan Umum Kepala Daerah). Sebagaimana yang dikemukakan

oleh Hamdan Zoelva yang merupakan mantan Ketua Mahkamah Konstitusi

(periode 2013-2015) mengemukakan pendapatnya mengenai perkara-perkara yang

bersinggungan tersebut:27

Pengalaman MK dalam memutus PHPU Kepala Daerah,

menunjukan banyak pelanggaran administratif dan pidana

yang terjadi dalam pemilukada belum terselesaikan dengan

baik ketika perselisihan tersebut masuk menjadi perkara

MK. Padahal penyelesaian terhadap

pelanggaran-pelanggaran tersebut merupakan kewenangan KPU dan

Kepolisian dan bukan merupakan kewenangan MK. Di sisi

lain pelanggaran- pelanggaran administratif dan pidana

tersebut seringkali bersinggungan dengan pokok

permohonan yang harus diputus oleh MK. Sehingga MK

harus memberi putusan atas kewenangannya.

27

(34)

Peran MK dalam menangani perselisihan hasil pemilu menjadi tidak

efektif dan bersesuai oleh karena wewenang hanya sebatas sengketa hasil tidak

pada pelanggaran yang bersifat administratif dan pelanggaran pidana yang dalam

faktanya seringkali muncul dan dimasukan di dalam permohonan pemohon.

Persinggungan tersebut memberikan gambaran bahwa perkara perselisihan hasil

pemilu tidak tepat ditangani oleh MK itu sendiri dengan wewenang yang

dimilikinya.

Perkara perselisihan hasil pemilihan umum di MK menangani perkara

terhadap Perselisihan Hasil Pemilu Presiden dan Wakil Presiden, Pemilu Anggota

Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, Dan Dewan Perwakilan

Rakyat Daerah, Pemilihan Gubernur, Bupati, Dan Walikota. Dari perkara tersebut

MK memiliki data jumlah permohonan yaitu:

1. Perselisihan Hasil Pemilu Presiden dan Wakil Presiden: dengan jumlah

perkara yang akan diputus 2 dengan rincian ditolak adalah 2.28

2. Pemilu Anggota Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah,

Dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah: rekapitulasi pemilihan umum

2009 dengan pemilu legislatif 627 perkara dengan rincian jumlah perkara

yang diputus 42, Kabul : 68, Tolak : 398, Tidak Diterima : 107, Tarik Kembali :

27, dan Sela : 6. Pemilu DPD dengan 28 dengan rincian Kabul : 2, Tolak : 16, Tidak Diterima : 7, Tarik Kembali : 0, dan Sela : 3.29

3. Pemilihan Gubernur, Bupati, Dan Walikota: sejak tahun 2008 hingga

tahun 2017 telah tercatat 905 perkara yang sudah diregistrasi dengan

28

http://www.mahkamahkonstitusi.go.id/index.php?page=web.RekapPHPU&menu=5, diakses pada 29 Agustus 2017 pukul 19.05

29

(35)

rincian, Kabul : 77, Tolak : 467, Tidak Diterima : 332, Tarik Kembali : 26,

dan Gugur : 3.30

Hal tersebut terjadi pada pemilu 2009 belum pada pemilu setelah itu yang

tentu saja mengalami peningkatan oleh karena bertambahnya sejumlah calon

anggota DPR atau DPD yang ada akibat dari bertambahnya jumlah penduduk.

Melihat itu pada tahun 2003 hingga 2017 terhadap perkara utama MK soal

pengujian Undang-Undang terhadap UUD 1945 dengan 1665 dengan rincian 1082

telah diregistrasi dan 583 dalam proses yang lalu, dengan hasil Kabul : 235, Tolak

: 354, Tidak Diterima : 333, dan Tarik Kembali : 111.31

Melihat dari data tersebut dapat ditarik kesimpulan bahwa jumlah perkara

yang ditangani MK dengan 9 hakim konstitusinya sangat banyak. Perkara utama

MK yaitu pengujian Undang-Undang sudah mencapai angka 1000 lebih, ditambah

lagi dengan perkara sengketa hasil pemilu dengan perkara yang banyak juga,

bahwa perkara sengketa hasil pemilu menduduki peringkat pertama dengan

jumlah perkara terbanyak yang dimohonkan ke MK, hal tersebut merupakan suatu

kelemahan dan ketidakefektifan dalam fungsi dan peran MK itu sendiri sebagai

pengawal konstitusi. Oleh karena itu sangatlah penting jika kewenangan sengketa

hasil oleh MK dialihkan kepada badan peradilan khusus pemilu supaya dalam

menangani perkara utamanya MK dapat menjalankan fungsi dan perannya dengan

baik dan ideal.

30

http://www.mahkamahkonstitusi.go.id/index.php?page=web.RekapPHPUD&menu=5, diakses pada 29 Agustus 2017 pukul 20.38

31

(36)

D. Peluang dan Badan Peradilan Pemilu Masa Mendatang

Pembaruan hukum pemilu fokus utama yang dilakukan adalah melakukan

perubahan ketentuan-ketentuan yang ada sehingga memungkinkan untuk adanya

badan peradilan khusus pemilu di dalam tatanan peradilan di Indonesia. Sebagai

suatu pembaruan hukum maka dalam dilihat maka badan peradilan pemilu

merupakan hukum yang dicita-citakan (ius contituendum). Hukum yang

dicita-citakan tersebut melahirkan lembaga negara baru yang sebelumnya tidak pernah

ada di Indonesia yaitu peradilan khusus pemilu.

Perkembangan peradilan di Indonesia tidak lepas oleh sejarah panjang

perjalanan dan dinamika bangsa dari setiap masanya. Perkembangan setiap

masanya juga tidak lepas dari kebutuhan masyarakat Indonesia yang pada

nyatanya diatur di dalan ketentuan perturan perundang-undang sebagai cerminan

perlindungan dan penjaminan rasa keadilan masyarakat yang diamanatkan

terhadap lembaga peradilan. Indonesia mengenal peradilan dengan istilah sebagai

kekuasaan kehakiman, mengenai hal tersebut terdapat jenis-jenis lingkungan

peradilan di Indonesia baik yang bersifat lembaga peradilan utama maupun

lembaga peradilan dibawahnya, jenis-jenis lembaga peradilan diatur di dalam

pasal 18 Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman

yang berbunyi: Kekuasaan kehakiman dilakukan oleh sebuah Mahkamah Agung

dan badan peradilan yang berada di bawahnya dalam lingkungan peradilan umum,

lingkungan peradilan agama, lingkungan peradilan militer, lingkungan peradilan

tata usaha negara, dan oleh sebuah Mahkamah Konstitusi. Unruk kedua lembaga

tinggi peradilan di Indonesia yang memegang kekuasaan kehakiman adalah

(37)

dibawahnya merupakan lingkungan peradilan yang berada di bawah Mahkamah

Agung. Selain itu ada yang disebut pengadilan khusus sebagai bagian dari

pengkhususan lingkungan peradilan yang merupakan upaya terhadap fokus pokok

perkara yang ditangani lebih khusus dengan ruang lingkup yang terbatas.

Beberapa gagasan pembentukan peradilan khusus berkembang setelah era

reformasi sehingga dapat dikatakan lembaga-lembaga peradilan khusus lahir

hampir secara bersamaan.

Dewasa ini tercatat ada beberapa peradilan khusus dibawah Mahkamah

Agung yang masing masuk dalam kategori berdasarkan pasal 18 Undang-Undang

Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman yaitu:

1. Pengadilan Anak (bidang hukum pidana)32

2. Pengadilan Niaga (bidang hukum perdata)33

3. Pengadilan Hak Asasi Manusia (bidang hukum pidana)34

4. Pengadilan Tindak Pidana Korupsi (bidang hukum pidana)35

5. Pengadilan Hubungan Industrial (bidang hukum perdata)36

6. Pengadilan Perikanan (bidang hukum pidana)37

7. Pengadilan Pajak (bidang hukum tata usaha negara)38

8. Mahkamah Pelayaran (bidang hukum perdata)39

9. Mahkamah Syar‟iyah di Aceh (bidang hukum agama Islam)40

32

Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Anak 33

Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan 34

Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan Hak Asasi Manusia 35

Undang-Undang Nomor 46 Tahun 2009 tentang Pengadilan Tindak Pidana Korupsi 36

Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2004 tentang Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial 37

Undang-Undang Nomor 31 Tahun 2004 tentang Perikanan 38

Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2002 tentang Pengadilan Pajak 39

Undang-Undang Nomor 21 Tahun 1992 Tentang Pelayaran 40

(38)

10.Pengadilan Adat di Papua (eksekusi putusannya terkait dengan peradilan

umum)41

Dapat dikatakan bahwa peradilan pemilu nantinya termasuk di dalam suatu

peradilan khusus yang ada dibawah Mahkamah Agung. Meskipun di Bawah

Mahkamah Agung peradilan pemilu harus tetap menjunjung sebagai suatu

lembaga peradilan yang mengutamakan nilai indepedensi dalam menjalankan

fungsinya. Indepedensi disini berarti bahwa peradilan pemilu merupakan

peradilan yang bebas dari campur tangan pemerintaha maupun partai politik yang

merupakan sumber dari potensi intervensi. Indepedensi dalam hal ini juga bukan

berarti sebagai lembaga peradilan independen yang terpisah dari pemerintah

namun tetap menjadi suatu lembaga peradilan khusus di bawah Mahkamah Agung

sebagai pemegang kekuasaan kehakiman.

Peradilan pemilu di Indonesia sendiri merupakan suatu lingkungan

peradilan baru di samping beberapa lingkungan peradilan. Peradilan pemilu dapat

dikatakan sebagai peradilan yang bersifat khusus sebab sengketa yang ditangani

fokus pada hal tertentu atau dapat dikatakan ruang lingkup yang terbatas terhadap

perkara-perkara pemilu. Menjadi pembahasan penting ketika mengkaji kedudukan

badan peradilan khusus pemilu di dalam lingkungan peradilan Indonesia.

Mengingat bahwa peradilan pemilu bersifat khusus maka lingkungan peradilannya

ada pada peradilan khusus. Di dalam pasal 20 ayat (1) yang berbunyi: Mahkamah

Agung merupakan pengadilan negara tertinggi dari badan peradilan yang berada

di dalam keempat lingkungan peradilan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 18.

Jadi menurut ketentuan pasal tersebut bahwa lingkungan peradilan khusus tidak

41

(39)

lepas dari 4 kategori lingkungan peradilan umum, lingkungan peradilan agama,

lingkungan peradilan militer, lingkungan peradilan tata usaha negara. Jadi untuk

peradilan khusus menurut ketentuan Undang-Undang tersebut harus masuk

diantara 4 lingkungan peradilan yang telah diatur oleh Mahkamah Agung.

Peradilan pemilu untuk bisa menjadi sebuah badan peradilan yang sah

secara hukum tentu saja harus memiliki dasar hukum. Dasar hukum ini berguna

untuk memberi identitas hukum bagi peradilan pemilu untuk masa mendatang

dapat melaksanakan kewenangannya. Untuk memiliki suatu dasar hukum yang

tegas maka suatu badan pemerintahan memiliki dasar hukum setingkat

Undang-Undang atau pada peraturan-peraturan lain dibawah Undang-Undang-Undang-Undang. Melihat

ketentuan hukum dewasa ini hanya ada satu pasal di dalam peraturan

perundang-undangan yang menyinggung badan peradilan khusus pemilu yaitu terdapat di

dalam Pasal 157 ayat (2) Undang-Undang Nomor 8 tahun 2015 tentang Pemilihan

Kepala Daerah yang menyebutkan pada intinya perselesaian sengketa Pemilukada

diperiksa dan diadili oleh suatu badan peradilan khusus. Namun ketentuan yang

diamanatkan oleh Undang-Undang tersebut sampai dewasa ini tidak dijalankan

sebagaimana mestinya. Badan peradilan pemilu khusus yang menangani sengketa

pemilukada yang secara tersurat atau secara tegas diamanatkan oleh

Undang-Undang belum dijalankan dan belum ada peradilan khususnya. Oleh karena itu ide

untuk melahirkan suatu badan peradilan khusus pemilu sesungguhnya telah ada

sejak adanya Undang-Undang Nomor 8 tahun 2015 tentang Pemilihan Kepala

Daerah. yang terjadi secara nyatanya adalah sengeketa pilkada tetap diajukan

(40)

Kewenangan sengketa hasil pemilu menurut UUD 1945 sebagai konstitusi

negara dilaksanakan oleh MK menurut pasal 24C Bab IX tentang Kekuasaan

Kehakiman UUD 1945. Sementara itu oleh alasan-alasan yang telah ada MK

menurut fungsinya dan idealnya tidak sesuai dalam menangani sengketa hasil

pemilu. Oleh karena itu untuk bisa melaksanakan pembaruan hukum pemilu maka

pasal yang mengatur perkara sengketa hasil pemilu oleh MK di dalam UUD 1945

harus dihapuskan. Untuk dapat menghapuskan, merubah, menambahkan, atau

menggatanti suatu pasal di dalam UUD 1945 perlu adanya Amandemen. Maka

dari itu Amandemen UUD 1945 perlu dilaksanakan untuk menghapus

kewenangan MK soal penanganan sengketa hasil pemilu.

Amandemen UUD 1945 tercatat telah terjadi selama 4 kali di Indonesia,

jika amandemen dilakukan maka akan menjadi amandemen ke 5 sejak terkahir

kali pada tahun 2002. Pada umumnya suatu UUD tidak boleh terlalu mudah

diubah, oleh karena hal itu akan merendahkan arti simbolis UUD 1945 itu sendiri.

D

Referensi

Dokumen terkait

Pengadaan Barang/Jasa kategori Pekerjaan Konstruksi metode pengadaan E-Lelang Pemilihan Langsung secara Pascakualifikasi Metode Satu File dengan Evaluasi Sistem Gugur

“ Kami mengambil Lesson Study sebagai judul karena merupakan salah satu program dari Program Studi Pendidikan Biologi yang bertujuan untuk meningkatkan profesionalisme guru, sama

Berdasarkan hasil wawancara dengan Fasheria Khendia Utomo, Kasi Perencanaan dan Pemanfaatan Ruang Dinas Pekerjaan Umum dan Penataan Ruang, bahwa pemerintah daerah dan

Tindak pidana pencurian adalah gejala sosial yang senantiasa dihadapi oleh masyarakat, berbagai upaya yang dilakukan oleh pihak yang berwajib maupun warga

Matematika IAIN Walisongo, dengan judul Efektifitas Penggunaan Multimedia ( CD Interaktif ) Dalam Meningkatkan Hasil Belajar Matematika Materi Lingkaran Pada

Permasalahan dalam penelitian ini yaitu bagaimana fungsi pengawasan, pembinaan dan kewenangan penegakan hukum dan apakah yang menjadi faktor penghambat pelaksanaan

Pembelajaran dengan menggunakan peta konsep mempunyai banyak manfaat.Ausubel menyatakan dengan jaringan konsep yang digambarkan dalam peta konsep, belajar

Wisata agro jeruk siompu bukan hanya merupakan usaha/bisnis yang menjual jasa untuk pemenuhan kebutuhan wisatawan akan pemandangan yang indah, udara yang segar dan menikmati