BAB II PEMBAHASAN
Pemilihan Umum merupakan tanda bahwa suatu negara tersebut disebut
negara demokratis. Demokratis sendiri bermakna bahwa kedaulatan atau
kehendak rakyat yang paling utama di dalam kehidupan berbangsa dan bernegara.
Hal tersebut merupakan suatu dasar yang pasti untuk menilai bahwa di setiap
negara yang demokratis maka akan ada Pemilu. Hal ini sesuai dengan yang
dikonstruksikan para Jurits yang tergabung dalam Commision of Jurist dalam
konferensinya di Bangkok tahun 1965, yang menyatakan bahwa:
“salah satu syarat dasar untuk terselenggaranya
pemerintahan demokrasi di bawah rule of law adalah
pemilu yang bebas, di samping syarat lain seperti: adanya
perlindungan konstitusi selain menjamin hak-hak individu,
dan cara untuk memperoleh perlindungan atas hak-hak
yang terjamin; adanya badan-badan kehakiman yang bebas
dan tidak memihak; adanya kebebasan untuk menyatakan
pendapat; terjaminnya kebebasan untuk berserikat dan
berorganisasi dan beroposisi, serta terselenggaranya
pendidikan kewarganegaraan.”1
1
Untuk mewujudkan pemilu yang benar-benar demokratis, terdapat beberapa standar yang harus menjadi acuan:2
a. Pelaksanaan pemilihan umum harus memberikan peluang sepenuhnya kepada semua partai politik untuk bersaing secara bebas, jujur, dan adil.
b. Pelaksanaan pemilu memang benar dimaksudkan untuk memilih wakil rakyat yang berkualitas, memiliki integritas moral dan yang paling penting wakil-wakil tersebut betul-betul mencerminkan kehendak rakyat.
c. Pelaksanaan pemilu harus melibatkan semua warga negara tanpa diskriminasi sedikitpun, sehingga rakyat benar-benar mempunyai kepercayaan bahwa dirinya adalah perwujudan dari kedaulatan rakyat
d. Pemilu dilaksanakan dengan perangkat peraturan yang mendukung kebebasan dan kejujuran, sehingga dengan adanya undang-undang yang lebih memberi kesempatan kebebasan pada warga negara, peluang ke arah pemilu yang demokratis dapat dicapai
e. Pelaksanaan pemilu hendaknya mempertimbangkan instrument penyelenggaranya, karena sangat mungkin kepentingan-kepentingan penyelengaraa akan menganggu kemurnian pemilu
f. Pada persoalan yang lebih filosofi, pemilu hendaknya lebih ditekankan
pada manifestasi hak masyarakat, guna menciptakan partisipasi dalam
pemerintahan.
Pemilihan umum (Pemilu) menjadi bagian dari hidup bernegara. Di setiap
negara baik negara maju mauapun berkembang dengan latar belakang ideologi
yang berbeda mempunyai bentuk atau sistem pemilunya yang berbeda-beda.
2
Pemilu sebagai suatu kesatuan proses yang besar memiliki dampak yang luas bagi
kelangsungan kehidupan suatu negara. di dalam suatu sistem yang besar tersebut
masih saja memiliki celah-celah kelemahan hukum. Kelemahan hukum yang
mempengaruhi sistem pemilu haruslah segera diperbarui. Pembaruan hukum
menjadi senjata utama dalam mengahadapi kelemahan sistem pemilu.
A. Pembaruan Hukum Pemilu
Konsep pembaruan hukum telah dikenal di berbagai literatur bidang
keilmuan hukum. Pembaruan hukum sebagai suatu cara yang mana digunakan
untuk memperbaiki atau mengembangkan suatu tatanan sistem yang lebih luas
dari suatu hukum. Mengenal pembaruan hukum maka haruslah memahami
Hukum itu sendiri. Hukum dalam beberapa literatur dapat dikatakan sebagai suatu
norma dan kenyataan. Jikalau memandang hukum itu dari sudut normatif, maka
hukum itu merupakan suatu perangkat atau kesatuan norma atau kaidah yang
mengatur hubungan manusia dalam masyarakat. Jikalau memandang dari sudut
kemasyarakatan atau dari sudut sosilogis, jadi sebagai lembaga-lembaga dan
proses-proses yang mewujudkan hukum, asas-asas dan kaidah, maka dapat
melihat hukum itu sebagai suatu kenyataan.3
Hukum yang dipandang sebagai suatu norma dan kenyataan tersebut
tumbuh dan berkembang di tengah-tengah masyarakat sebagai suatu norma dan
kenyataan. Hukum bersifat mengatur dan memaksa namun disatu sisi hukum
bersifat dinamis. Bagaimana hukum dapat bersifat dinamis oleh karena sifat dasar
manusia itu sendiri. Sifat dasar manusia yang telah dikemukakan oleh seorang
3
filsuf terkenal Yunani Aristoteles mengatakan bahwa Manusia adalah Mahluk
Sosial “Zoon Politicon”. Ungkapan Aristoteles tersebut sangat mendasar dan
mengatakan bahwa manusia tidak bisa hidup tanpa manusia lainnya, adanya
ketergantungan sosial membuat manusia tidak dapat lepas dari campur tangan
atau bantuan orang lain dalam mempertahankan hidupnya.
Manusia sebagai perorangan atau individu cenderung untuk berkumpul
dengan indvidu-individu lain dengan itu membentuk kelompok manusia yang
hidup bersama.4 Dalam rangka pemenuhan hidup masing-masing individu maka
akan ada sifat untuk saling ketergantungan. Kebutuhan yang berbeda-beda
menuntut untuk beberapa individu memunculkan egonya masing-masing.
Kebutuhan individu yang kuat haruslah dibatasi dengan adanya aturan yang
mengatur hubungan antar individu. Kelompok manusia yang hidup bersama
membuat atau melahirkan aturan atau kaidah atau norma yang mengatur
pergaulan hidup antar individu. Perkembangan dan kemajuan jaman menuntut
perkembangan dan lebih banyak serta kompleksnya kebutuhan manusia. Hukum
yang tumbuh akibat adanya pergaulan masyarakat pasti akan mengikuti kebutuhan
yang berkembang, bukan masyarakat yang terus mengikuti hukum dan berubah
tetapi hukum yang berubah dan mengikuti masyarakat, sebab itulah hukum dapat
dikatakan sebagai suatu norma yang dinamis.
Menurut Hans Kelsen hukum adalah termasuk dalam sistem norma yang
dinamik (nomodynamics) oleh karena hukum itu selalu dibentuk dan dihapus oleh
lembaga-lembaga atau otoritas-otoritas yang berwenang membentuk atau
menghapusnya, sehingga dalam hal ini tidak dilihat dari segi isi norma tersebut,
4
tetapi dilihat dari segi berlakunya atau pembentukannya.5 Hukum sebagai norma
yang dinamis memberikan ruang untuk adanya pembaruan oleh otoritas yang
berwenang dan hal tersebut menjadi kewajiban bagi otoritas berwenang tersebut
dalam hal ini adalah pemerintah untuk senantiasa melakukan pembaruan
berkaitan terhadap masa berlaku atau proses pembentukan norma hukumnya.
Pembaruan oleh otoritas tersebut tentu saja demi kepentingan masyarakat luas.
Sifat dasar manusia yang mempengaruhi hukum tersebut menggeser
paradigma bahwa norma hukum adalah norma yang pasti dan kuat tidak dapat
digeser, dirubah, atau dipermasalahkan. Memang dapat dikatakan bahwa hukum
yang bersifat kaku memberikan garis tegas akan keberadaan hukum yang sejati.
Kesenjangan antara kebutuhan individual dan kebutuhan masyarakat menjadi
faktor penting dalam pertumbuhan hukum secara internal. Kesenjangan yang
terjadi tersebut dapat diselesaikan dengan adanya perubahan atau pembaruan
hukum. Kebutuhan masyarakat yang berkembang menuntut pembaruan yang
signitifkan di bidang hukum. Hukum membutuhkan masyarakat begitu pula
sebaliknya. Hukum yang tidak dapat tumbuh dan berkembang sendiri senantiasa
memperlukan masyarakat di dalamnya sebagai penggerak terhadap perubahan
supaya norma hukum senantiasa diterima di masyarakat luas.
Konsep pembaruan hukum berkaitan erat dengan kebutuhan masyarakat
yang senantiasa berubah. Negara adalah sekumpulan individu yang di dalamnya
adanya komunitas sosial yang dinamakan masyarakat. Pembaruan hukum yang
lebih nyata ada di dalam sistem bernegara itu sendiri. Serangkain proses yang
menuntut akan perkembangan dan kemajuan suatu pemerintahan dengan terus
5
merubah sistem yang ada semakin lebih baik demi kepentingan masyarakat. Dari
segi hukum suatu perubahan menimbulkan dampak yang besar bagi kelangsungan
suatu negara. Pembaruan hukum diartikan sebagai suatu proses melakukan
pengujian terhadap berbagai rumusan ketentuan hukum dan peraturan
perundang-undangan yang berlaku, dan terhadapnya diimplementasikan sejumlah perubahan
agar dapat tercapai efisiensi, keadilan dan juga kesempatan untuk memperoleh
keadilan menurut hukum yang berlaku.6 Di dalam sistem pemerintahan negara
adanya perubahan hukum yang meliputi ketentuan hukum dan peraturan
perundang-undangan yang berlaku merupakan wujud konkrit dari pembaruan
hukum itu sendiri. Perubahan yang dilakukan terdapat hal tersebut memberikan
gambaran bahwa pembaruan hukum memberi pengaruh yang sangat penting bagi
negara. Dinamika yang terjadi di dalam negara tidak terlepas dari suatu proses
pembaruan hukum yang mana pembaruan ketentuan hukum dan peraturan
perundang-undangan yang berlaku mendorong negara untuk memiliki
tanggungjawab akan pembaruan hukum yang terus terjadi.
Teori yang cocok untuk memperkuat konsep pembaruan hukum adalah
teroi yang dikemukakan oleh Eugen Ehrlich yaitu Teori Sociological
Jurisprudence. Dalam teori ini adanya perbedaan mengenai hukum positif yang
berlaku saat ini dengan hukum yang hidup dan tumbuh di masyarakat.
Perkembangan hukum saat ini tidak hanya terletak pada Undang-Undang tidak
pula pada ilmu hukum ataupun juga pada putusan hakim tetapi pada masyarakat
itu sendiri.7 Hukum yang perlu diperbarui oleh karena perkembangan tersebut
bersumber pada kehendak masyarakat yang terdiri atas individu-individu. Eugen
6
Teguh Prasetyo, Pembaruan Hukum Prespektif Teori Keadilan Bermartabat (Malang: Setara Press, 2017), hlm.5.
7
Ehrlich8 menganjurkan agar dalam kehidupan berbangsa dan bernegara terdapat
keseimbangan antara keinginan untuk mengadakan pembaruan hukum melalui
perundang-undangan dengan kesadaran untuk memperhatikan kenyataan yang
hidup dalam masyarakat. Kenyataan-kenyaatan yang tumbuh dan hidup dalam
masyarakat tersebut dapat dikatakan sebagai hukum yang hidup, tumbuh, dan
berkembang di dalam masyarakat (living law) yang mencerminkan nilai-nilai yang
hidup di dalam masyarakat tersebut.
Pembaruan hukum yang berangkat dari kebutuhan dasar manusia itu
sendiri merupakan suatu pandangan yang mendasar namun perlu diketahui bahwa
setiap perubahan membutuhkan suatu dorongan. Dorongan yang ada berasal dari
kekuatan masyarakat sebagai pemilik kebutuhan. Hukum dan masyarakat
merupakan modal utama dalam melakukan dorongan pembaruan tersebut. Hukum
dengan segala kekuatan dalan pengikatan norma yang memaksa dan masyarakat
dengan kekuatan kebutuhan dan daya pikir untuk mengembangkan hukum
bersinergi di dalam suatu kekuatan dan daya dorong dalam melakukan perubahan.
Cara yang paling sederhana adalah mendekatkan masyarakat akan pemahaman
hukum yang mendasar. Menjadikan hukum sebagai suatu kebutuhan membuat
pandangan masyarakat akan hukum menjadi berubah, semula masyarakat yang
memandang hukum sebagai suatu norma yang kaku dan tidak tersentuh bergeser
dan menjadikan hukum sebagai alat akan pemenuhan kebutuhan dirinya.
Masyarakat yang memiliki hukum akan mendorong perubahan hukum itu sendiri.
Seperti contoh masyarakat yang menyampaikan pendapatnya dalam forum
terbuka dengan pemerintah, atau masyarakat yang melakukan kritik yang
8
mendasar terhadap pemerintah, dan bahkan masyarakat yang langsung menjadi
mitra kerja dengan pemerintah. Hal tersebut adalah tanda bahwa adanya
benih-benih pembaruan sistem (termasuk hukum) yang ada di dalam kehidupan
bernegara. Awal mula pembaruan hukum yang di dorong dari pemikiran
masyarakat menjadikan pembaruan hukum tidak hanya sebagai serangkain proses
ceremonial. Hal tersebut dikemukakan oleh Teguh Prasetyo sebagai berikut:
Pembaruan hukum atau juga sering disebut dengan
reformasi hukum di Indonesia bukan sekedar mengubah,
menambahkan, mengoreksi, men-review, mengganti atau
menghapus sama sekali ketetuan, kaidah dan asas hukum
dalam hukum dan ketentuan peraturan
perundang-undangan yang berlaku dalam sistem hukum. Pembaruan
hukum lebih merupakan ruh dalam hukum, mewujud
melalui pengubahan, penambahan, penggantian atau
penghapusan suatu ketentuan, kaidah atau asas hukum
dalam hukum dan peraturan perundang-undangan yang
berlaku pada suatu sistem hukum sehingga sistem hukum
yang bersangkutan menjadi lebih baik, menjadi lebil adil,
menjadi lebih bermanfaat dan menjadi lebih berkepastian
menurut hukum;9
Pembaruan hukum terjadi di seluruh negara di dunia tidak terkecuali di
Indonesia. Sebagai negara berkembang Indonesia memiliki berbagai macam
9
permasalah yang biasa dialami oleh negara berkembang salah satunya adalah
permasalahan hukum. Pembaruan hukum menjadi solusi untuk menghadapi
permasalahan hukum. Disetiap rezim pemerintahan pembaruan hukum menjadi
topik utama dalam setiap agenda perubahan atau pembaruan sistem hukum.
Banyaknya bidang hukum di Indonesia yang diperbarui menyesuaikan
permasalahan atau konflik yang terjadi salah satu bidang hukum yang perlu
dilakukan pembaruan adalah bidang hukum pemilu.
Pembaruan hukum pemilu tidak lepas dari perihal hukum yang progesif.
Hukum progesif berarti kemajuan dalam bidang hukum. Hukum progesif bersifat
menerima akan kemajuan namun dengan cara aktif berpikir yang ideal. Secara
singkat dapat dikatakan, kekuatan hukum progesif adalah kekuatan yang menolak
dan ingin mematahkan keadaan status quo. Mempertahankan status quo adalah
menerima nomartivitas dan sistem yang ada tanpa ada usaha untuk melihat aneka
kelemahan di dalamnya, lalu bertindak mengatasi. Hampir tidak ada untuk
melakukan perbaikan, yang ada hanya menjalankan hukum seperti apa adanya
dan secara “biasa-biasa” saja (business as usual)10, dapat diambil contoh terhadap
realitas hukum pemilu dewasa ini perkara kewenangan Mahkamah Konstitusi
(MK) terkait dengan sengketa Pemilu. Bilamana terhadap kewenangan perkara
perselisihan pemilu yang ditangani oleh MK tidak dikupas lebih mendalam maka
akan terjadi keadaan yang menjalankan hukum sekedar hanya sebagai kepantasan
saja. Hal tersebut tentu mengurangi Hak-Hak warga negara yang terlibat di dalam
proses pemilu, proses pemilu yang panjang dan melibatkan kepentingan yang
lebih besar. Celah-celah kekurangan tersebut harus segera diatasi sebagi suatu
10
bentuk kesadaran akan pentingnya pemilu yang berkualitas. Hukum progesif
menilai bahwa keadaan hukum tidak begitu saja menerima kelemahan yang ada
baik kelemahan oleh karena proses pembuatan hukum atau pada saat kajian
hukum. Hukum pemilu yang diperbarui melengkapi kekurangan akibat keadaan
penerimaan kewenangan MK yang tertuang di dalam Hukum yang mengatur
kewenangan tersebut (UUD 1945 dan beberapa UU terkait kewenangan MK).
Bagi pihak yang menjalankan keadaan hukum yang bersifat tetap (status
quo) lebih mudah dijalankan daripada harus memikirkan mengenai pembaruan
hukum itu sendiri. Karena ketika melakukan pembaruan hukum maka keluar
segala upaya untuk menterjemahkan kepentingan rakyat atau masyarakat ke dalam
suatu ketentuan perturan perundang-undngan tertentu. Ketika MK menjalankan
kewenangannya maka akan lebih mudah daripada harus merubah atau mengganti
kewenangan MK yang harus melakukan perombakan besar terhadap beberapa
ketentuan yang dari tingkat UUD 1945 sampai pada Undang-Undang dibawahnya
yang mengatur perkara perselisihan hasil Pemilu oleh MK. Selain itu pembaruan
dengan memunculkan peradilan khusus pemilu merubah sistem tatanan peradilan
di Indonesia lebih luas. Namun tidak bisa dipandang bahwa sulitnya merubah
sebagai hambatan akan kemajuan dan perkembangan hukum, yang terpenting dari
pembaruan hukum pemilu adalah bagaimana untuk menjaga hukum pemilu
sebagai suatu hukum yang ideal adalah berani memperbarui ketentuannya dengan
tetap mempertimbangkan kebutuhan masyarakat.
Pemilihan umum (pemilu) merupakan salah satu peristiwa kenegaraan
yang sangat krusial dan penting yang terjadi di Indonesia. Dinamika pemilu
rezim pemerintahan. Sejak awal kemerdekaan Indonesia pada 17 Agutus 1945
hingga tahun 2014 Indonesia mengalami 11 kali pemilu dengan sistem yang
berbeda-beda. Meskipun pada Pemilu Tahun 1955 dikatakan pemilu murni yang
bersih dan bebas praktek kecurangan namun tetap saja diwarnai aksi protes yang
penyebabnya adalah ketika akan pembentukan panitia pelaksanaan pemilu di
daerah oleh Panitia Pemilihan Indonesia yang dianggap terlalu lama oleh partai
oposisi, indikasinya adalah adanya praktek kolusi guna kepantingan partai
pemerintah supaya unggul dalam pemilihan umum tersebut, dapat dikatakan
bahwa Panitia Pemilihan Indonesia tidak idependen karena telah memiliki tujuan
yang menguntungkan pihak tertentu. Pada rezim orde baru proses pemilu
berlangsung sebagai proses pemilihan semu, dikatakan semu oleh karena pemilu
hanya sebagai suatu progam pelaksanaan rutin tanpa memumculkan nilai
demokrasi, pada masa itu hanya ada satu partai yang selalu memenangkan pemilu
dengan hasil mutlak yaitu partai Golongan Karya, partai desain dari pemerintah
tersebut selalu memenangkan pemilu selama kurang lebih 7 kali masa jabatan
berturut-turut meskipun sejak Pemilu 1982 dibentuk Badan seperti Panwaslu
namun tetap tidak memberikan pengaruh akibat badan tersebut hanya meredam
gelombang protes terhdapa ketidakpuasan pemilu tidak menyelesaikan
pelanggaran dan kecurangan yang terjadi selama pemilu kala itu. Reformasi yang
terjadi tidak berdampak baik pada pemilu tahun 1999 oleh karena hasil pemilu
1999 tidak dapat disahkan karena penolakan hasil suara sah nasional oleh anggota
Komisi Pemilihan Umum (KPU) kala itu berasal dari partai politik yang tentunya
memiliki kepntingan terhadap hasil pemilihan umum 1999. Hal sama juga terjadi
ulang meskipun pada tahun tersebut tidak ada Undang-undang yang mengaturnya.
Pada pemilu 2009 yang diikuti oleh 44 partai dan merupakan pemilihan ketiga
pasca reformasi, permasalahan mengenai banyaknya jumlah partai dan mekanisme
pelaksanaan pemilu masih banyak ditemukan permasalahan meski adanya
bawaslu dan panwaslu namun hanya sebatas pelaporan terhadap permasahan yang
pada akhirnya tidak ada penyelsaian di beberapa daerah. Pemilu 2014 membawa
nuansa yang berbeda oleh karena adanya penyederhanaan partai politik, selain itu
adanya peristiwa gugatan yang diajukan kepada Mahkamah Konstitusi dari pemilu
presiden namun sengketa tersebut ditolak oleh Mahkamah Konstitusi.
Di setiap masanya pemilu memunculkan permasalahan yang berbeda pula.
Permasalahan yang muncul setiap zamannya tidak lepas dari kepentingan.
Kepentingan dimiliki oleh orang yang berkuasa atau memiliki pengaruh yang
kuat. Kepentingan terhadap permasalahan ini adalah kepentingan yang mengarah
pada kepentingan individu atau golongan tertentu terhadap proses pemilu.
Perumusan yang umumnya dikenal ialah bahwa kekuasaan adalah kemampuan
seorang pelaku untuk mempengaruhi perilaku seorang pelaku lain, sehingga
perilakunya menjadi sesuai dengan keinginan dari pelaku yang mempunyai
kekuasaan.11 Pihak yang berkuasa berpotensi mempunyai kepentingan untuk
mempengaruhi proses pemilu. Kepentingan yang dimiliki dalam proses pemilu
pada dasarnya adalah memperebutkan kekuasaan, mengingat pemilu adalah proses
peralihan kekuasan dari satu pihak ke pihak lain. Untuk menjaga proses pemilu
dari kepentingan pihak-pihak tertentu maka dari itu hukum pemilu harus dinamis
11
dan senantiasa mengikuti perkembangan hukum dalam aras kebutuhan dan
kepentingan masyarakat secara luas.
Pemilu menjadi peristiwa penting bagi warga negara. Pembaruan hukum
pemilu menjadi kebutuhan guna menjaga keutuhan proses pemilu yang ideal.
Hukum pemilu yang ideal tentu saja memiliki proses penegakan hukum yang baik
dan benar. Belajar dari sejarah proses pemilu di Indonesia penegakan hukum
masih menjadi kendala utama. Ketentuan hukum yang berlaku terhadap pemilu
fokus pada proses pemilu yang ada, bagaimana mencapai pemilu yang ideal tidak
hanya sebelum dan saat pemilu tersebut berlangsung namun bagaimana setelah
proses pemilu telah dilaksanakan terhadap perkara atas ketidakpuasaan proses
pemilu juga harus menjadi perhatian serius. Sejarah pemilu Indonesia
menggambarkan suatu proses menuju keadilan dalam pemilu yang belum
sempurna, dapat dikatakan belum sempurna oleh karena perkara penegakan
hukum terhadap sengketa pemilu pasca pemilu tidak ditangani secara khusus. Bila
melihat pada suatu tatanan hukum lain dalam bernegara selalu menyediakan
tempat untuk perselisihan akhir. Tempat tersebut menjadi wadah bagi para pencari
keadilan untuk mengutarakan ketidak puasaan terhadap proses yang beretentangn
dengan kaidah-kaidah yang berlaku. Tidak terkecuali pada proses pemilu.
Hukum pemilu termasuk pula norma hukum yang dinamis. Baik dalam
proses maupun saat akhir dalam hal penegakan hukum pasca pemilu merupakan
norma yang dinamis yang artinya dapat dilakukan adanya pembaruan. Hukum
Indonesia yang berfokus pada proses sebelum dan saat pemilu haruslah
ditekankan bahwa peristiwa pasca pemilu menjadi momen yang sangat krusial
berkepentingan dalam pemilu menekankan diri pada keadilan pemilu. Paradigma
yang baru tersebut haruslah segera dilaksanakan dengan cara melakukan suatu
pemahaman pola pikir bahwa pemilu adalah demi masyarakat dan kepentingan
bangsa yang lebih luas maka dari itu prosesnya baik sebelum, saat, atau sesudah
pemilu diberi kedudukan atau porsi yang sama dalam fokusnya.
Pembaruan hukum pemilu berbicara tentang keadilan. Keadilan yang ada
pada pemilu secara tidak langsung adalah memberikan jaminan bahwa pemilu
adalah soal kepentingan bersama. Kepentingan bersama soal proses yang panjang
yang lengkap dari hulu sampai hilir, proses demokrasi tersebut haruslah jelas dan
lengkap. Kesadaran akan pemilu sebagai kepentingan bersama terhadap
kepentingan lebih luas meminimalisir resiko gelombang protes atas
ketidakpuasaan terhadap proses penegakan hukum pemilu. Protes-protes
ketidakpuasan atas proses dan hasil pemilu yang dilatari oleh banyaknya
pelanggaran yang tidak bisa diselesaikan, serta perasaan telah diperlakukan tidak
adil oleh penyelenggara tersebut, menunjukkan adanya masalah penegakan hukum
dalam setiap penyelenggaraan pemilu.12 Penyelenggaran pemilu yang tidak adil
mengurangi nilai esensi dari pemilu itu sendiri sebagai pesta demokrasi rakyat
yang memenuhi asas-asas pemilu yang Langsung, Umum, Bebas, Rahasia, Jujur,
dan Adil.
Indonesia yang masih terus melakukan proses perubahan sistem pemilu
haruslah memiliki pandangan khusus terhadap proses penegakan hukum
(peradilan) pemilu. Melihat di beberapa negara dunia di belahan Amerika Latin
serius dalam menangani proses perkara pasca pemilu dengan dibentuknya
12
lembaga peradilan khusus pemilu. Kewenangan yang khusus tersebut memberi
gambaran bahwa proses penanganan sengketa pemilu di negara-negara tersebut
mempunyai tempatnya. Proses penegakan hukum pemilu di negara-negara
tersebut tentu saja melalui proses yang panjang dalam membentuk suatu
kekhususan penanganan sengketa pemilu. Indonesia yang memiliki catatan
panjang permasalahan pemilu harus mulai mengarah ke hal tersebut. Bahwa
potensi sengketa pemilu berdampak langsung pada arah beripikir mengenai masa
depan hukum atau rancangan hukum terhadap sengketa pemilu yang dilalui
melalui proses pembaruan hukum pemilu.
Reformasi peradilan telah berjalan sejak tahun 2000. Pada masa awal
reformasi peradilan, sejarah mencatat besarnya peran serta masyarakat melalui
berbagai organisasi non pemerintah dalam mendorong proses reformasi peradilan,
baik sebagai pemantau yang kritis maupun sebagai partner peradilan dalam
melaksanakan proses perubahan. Selain organisasi non pemerintah, bantuan juga
datang dari negara-negara donor yang turut memberikan kontribusi dalam proses
perubahan monumental yang tengah berlangsung di lembaga peradilan.13 Salah
satu bentuk kelanjutan pembaruan peradilan adalah melalui badan peradilan
khusus pemilu melalui reformasi hukum atau pembaruan hukum. Badan peradilan
khusus pemilu dibutuhkan oleh Indonesia dalam penanganan sengketa pemilu
yang ada di Indonesia. Merupakan suatu bentuk badan peradilan yang baru dalam
kelembagaan yudikatif di Indonesia.
Penyelesaian sengketa pemilu berlandaskan pada pengalaman, fakta-fakta
yang ada, dan sejarah pemilu di Indonesia yang telah mengalami 11 kali masa
13
pemilu, baik pemilu Presiden dan Wakil Presiden, anggota Dewan Perwakilan
Rakyat, anggota Dewan Perwakilan Rakyat Daerah baik Provinsi, Kabupaten
atau Kota, Kepala Daerah Provinsi, Kabupaten atau Kota dan anggota Dewan
Perwakilan Daerah. Kebutuhan akan peradilan pemilu di Indonesia memiliki 2
alasan yang melandasi mengapa peradilan pemilu tersebut penting yaitu
perlindungan terhadap Hak Asasi Manusia dan Mahkamah Konstitusi yang tidak
berwenang menangani perkara perselisihan sengketa hasil Pemilu.
B. Perlindungan Hak Asasi Manusia (Hak Pilih)
Hak Asasi Manusia adalah serangkaian hak yang melekat dan dimiliki
pada diri manusia yang tidak boleh dikurangi atau dirampas sebab hak tersebut
melekat pada manusia karena dia manusia seutuhnya (kodrat manusia) dan
berlaku secara universal. Lebih lanjut, Pasal 1 angka 1 Undang-Undang Nomor 39
Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia mendeskripsikan pengertian hak asasi
manusia sebagai seperangkat hak yang melekat pada hakikat dan keberadaan
manusia sebagai makhluk Tuhan Yang Maha Esa dan merupakan anugerah-Nya
yang wajib dihormati, dijunjung tinggi dan dilindungi oleh negara, hukum,
pemerintah, dan setiap orang demi kehormatan serta perlindungan harkat dan
martabat manusia. Pernyataan umum dan yang terdapat dalam Undang-Undang
tentang pengertian definisi HAM tersebut mengandung makna yang sangat luhur
karena ketika seorang manusia lahir atau bahkan masih dalam kandungan manusia
telah memiliki suatu hak yang melekat dan memberi identitas bahwa dia adalah
manusia sejatinya. Meskipun beberapa pakar menyatakan dapat meruntut konsep
yurisprudensi hukum kodrati (natural law) Grotius dan ius naturale dari
Undang-undang Romawi, tampak jelas bahwa asal usul konsep HAM yang modern dapat
dijumpai dalam revolusi Inggris, Amerika Serikat dan Prancis pada abad ke-17
dan ke-18.14 Sejarah perjalanan panjang HAM terjadi seluruh dunia dari awal
timbul pemikiran yang mengacu pada revolusi abad 18 dan abad 18 sampai pada
penafsiran dan bentuk-bentuk perlindungan terhadap HAM itu sendiri
memunculkan pemahaman-pemahan akan arti penting HAM bagi umat manusia di
seluruh dunia. Di Indonesia sendiri mengakui HAM sebagai suatu bentuk
perlindungan dan dituangkan di dalam Konstitusi yaitu di dalam pasal 28A sampai
28J Undang-Undang Dasar 1945, Ketetapan MPR Nomor XVII Tahun
1998,Undang No. 39 tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia,
Undang-Undang No. 26 Tahun 2000 tentang Pegadilan Hak Asasi Manusia.
HAM menjamin hak yang berkaitan dengan pemilu (Hak pilih). Dimensi
HAM di dalam Pemilu tertuang di dalam pasal/article 21 Pernyataan Umum
tentang Hak-Hak Asasi Manusia (Universal Declaration of Human Rights ) yaitu:
1. Setiap orang berhak turut serta dalam pemerintahan negerinya, secara
langsung atau melalui wakil-wakil yang dipilih dengan bebas.
2. Setiap orang berhak atas kesempatan yang sama untuk diangkat dalam
jabatan pemerintahan negerinya.
3. Kehendak rakyat harus menjadi dasar kekuasaan pemerintah; kehendak ini
harus dinyatakan dalam pemilihan umum yang dilaksanakan secara
berkala dan jujur dan yang dilakukan menurut hak pilih yang bersifat
14
Scott Davidson, Hak Asa si Manusia, Seja rah, Teori dan Pra ktek dalam Pergaulan Internasional,
umum dan yang tidak membeda-bedakan, dan dengan pemungutan suara
yang rahasia ataupun menurut cara-cara lain yang menjamin kebebasan
memberikan suara.
Penjabaran dari Pernyataan Umum tentang Hak-Hak Asasi Manusia tersebut
sangat detail dan lengkap dalam menjamin HAM. Perihal pasal 21 tersebut juga
tertuang sama persis di dalam pasal 43 Undang-Undang No. 39 tahun 1999
tentang Hak Asasi Manusia. Bahwa HAM terkait dengan Pemilu telah diatur
secara umum di dalam Universal Declaration of Human Rights dan di dalam
hukum nasional. Yang menjadi persoalan terkait tentang hak di dalam Pemilu
adalah bagaimana pengamalan ketentuan tersebut di dalam sistem pemilu di
Indonesia.
Hak pilih merupakan salah satu bentuk hak politik yang termasuk ke
dalam kategori hak asasi manusia. Hak pilih diatur di dalam ketentuan hukum
fundamental suatu negara (biasanya di dalam undang-undang dasar dan di dalam
undang-undang terkait) dan di dalam berbagai instrumen hukum internasional
tentang hak asasi manusia. Pada beberapa kasus, hak pilih diatur khusus dalam
case law.15 Jadi dapat disimpulkan bahwa hak pilih merupakan bagian dari hak
politik.
Konvensi Internasional tentang Hak-Hak Sipil dan Politik (International
Convenant on Civil and Political Rights/ICCPR) mengklasifikasikan hak sipil dan
politik yang tercantum di dalam ICCPR ke dalam dua bagian, yaitu hak absolut
dan hak yang boleh dikurangi.16 Indonesia telah meratifikasi Kovenan tentang
15
International IDEA, Keadilan Pemilu (Jakarta: International IDEA, 2010), hlm.7. 16
Hak-hak Sipil dan Politik melalui Undang-undang Nomor 12 Tahun 2005 tentang
Pengesahan International Covenant On Civil And Political Rights (Kovenan
Internasional tentang Hak-Hak Sipil dan Politik). Hak di dalam pemilu dapat
disamakan sebagai hak politik. Politik dalam hal ini dalam arti keikutsertaan
warga negara dalam pemerintahan. Kebebasan dari hak politik dan sipil mencakup
hak-hak yang memungkinkan warga negara ikut berpartisipasi dalam kehidupan
politik. Hak politik mencakup hak untuk mengambil bagian dalam pemerintahan
dan memberikan suara dalam pemilihan umum yang berkala dengan hak suara
yang universal dan setara.17 Keikutsertaan warga negara di dalam pemerintahan ada berbagai cara atau kedudukan yang ada, bisa warga negara tersebut di dalam
pemerintahan atau bisa juga diluar pemerintahan sesuai profesi masing-masing.
Tidak hanya dalam pemerintahan dalam arti di struktur eksekutif atau yudikatif
namun pada taraf legislatif dengan menjadi anggota Dewan Perwakilan Rakyat.
Yang artinya adanya pembagian keikutsertaan warga negara tersebut maka dapat
diartikan bahwa warga negara yang berada di dalam pemerintahan adalah warga
negara yang memiliki hak dipilih dan warga negara yang berada di luar
pemerintahan berada pada kedudukan warga negara yang memilih. Singkatnya
warga negara diberikan pilihan untuk memilih atau dipilih. Jadi warga negara
yang memiliki hak pilih memiliki 2 hak yaitu hak untuk memilih dan hak untuk
dipilih. Hak-hak politik yang diatur dalam Pasal 25 Kovenan Internasional tentang
berlaku surut, hak atas kebebasan berpikir dan sebagainya. Kedua, hak-hak yang boleh dikurangi pemenuhannya oleh negara seperti hak atas kebebasan berkumpul secara damai, hak atas kebebasan menyatakan pendapat atau berekspresi, hak atas kebebasan berserikat, hak untuk mendapatkan dan memberi informasi dll. Lebih lengkap baca Muhardi Hasan dan Estika Sari. Hak Sipil dan Politik. Demokra si Vol. IV No.1 (2005). Hlm. 93-101. Hlm. 97
17
Hak-Hak Sipil dan Politik adalah hak dan kesempatan tanpa pembedaan dan
pembatasan yang tidak wajar untuk:
a. Ikut serta dalam penyelenggaraan pemerintahan, baik secara langsung
ataupun melalui perwakilan yang dipilih secara bebas;
b. Memilih dan dipilih pada pemilihan umum berkala yang jujur, dengan hak
pilih yang universal dan sederajat, dan dilakukan dengan pemungutan
suara yang rahasia yang menjamin kebebasan para pemilih menyatakan
keinginannya;
c. Mendapatkan akses, berdasarkan persyaratan yang sama secara umum,
pada dinas pemerintahan di negaranya.
Pengakuan tidak diperlukan bagi HAM, baik dari pemerintah atau dari
suatu sistem hukum, karena HAM bersifat universal. Berdasarkan alasan ini,
sumber HAM sesungguhnya semata-mata berasal dari manusia.18 Pemerintah dan
sistem hukum yang harus mengikuti HAM secara otomatis melandasakan HAM
pada aspek-aspek di dalam pemerintahan dan sistem hukum. Tidak terkecuali
dalam hal sistem hukum pemilu. Bahwa individu baik yang memilih atau dipilih
memiliki hak yang harus diikuti dan dipenuhi oleh pemerintah dan sistem hukum
pemilu itu sendiri. Pengakuan akan mengakibatkan niali-nilai dari HAM itu
sendiri hanya sebatas tulisan kosong, yang artinya ketentuan secara tegas
mengenai pemilu hanya sebatas memenuhi ketentuan hukum dengan tulisan dan
aturan-aturan yang mengikat namun tidak memperhatikan hakekat dari hak asasi
manusia itu sendiri.
18
Hukum pemilu yang sarat makna akan banyak kepentingan pihak tertentu
harus teguh untuk tetap mengutamakan hak politik masing-masing individu. Hak
politik yang dimiliki oleh pihak yang memilih atau pihak yang dipilih memiliki
kedudukan yang sama namun memiliki tanggungjawab yang berbeda. Pemilih
yang dalam hal ini merupakan warga negara yang berada di luar pemerintahan
memiliki tanggungjawab hak politik yang lebih luas karena ketika melakukan hak
politiknya melibatkan banyak lembaga negara yang diisi oleh warga negara
dengan hak untuk dipilih. Hak-hak politik berkembang sejalan dengan tumbuhnya
sistem negara bangsa yang dilembagakan ke dalam sistem parlementer. Hak-hak
politik yang berkaitan dengan proses pengambilan keputusan yang diwujudkan
dalam bentuk partisipasi dengan memberikan hak pilih pada saat pemilihan
berlangsung.19 Bentuk secara nyatanya adalah pemilih atau warga negara dengan
hak pilih menujukkan eksistensinya melalui pemilihan umum yang sedang
berlangsung pada kala itu. Warga negara yang tidak ikut berpartisipasi dalam
pemerintahn menunjukan perannya dalam berpartisipasi melalui pemilihan umum.
Keputusan pemilih dalam hal ini menentukan bagaimana pihak yang dipilih
terpilih, untuk menata negara dalam konteks kepentingan bersama dan bagian dari
pemenuhan haknya untuk partisipasi dalam pemerintahan.
Selain pada warga negara sebagai pemilih, warga negara yang lain
mempunyai keinginan lain untuk turut serta dalam pemerintahan melalui partisipsi
di dalam sistem pemerintahan langsung. Warga negara tersebut dapat mengajukan
diri di berbagai sektor pemerintahan baik eksekutif, legislatif, maupun yudikatif,
namun oleh karena konteks pembahasan hak di dalam pemilu maka terbatas pada
19
sektor pemerintahan yang proses rektumennya melalui suatu pemilihan umum
yang melibatkan banyak pihak secara langsung bukan melalui penunjukan atau
seleksi internal kelembagaan. Pemilu bagi warga negara yang dipilih menjadi
ajang untuk tampil memperkenalkan diri dan progam, ajang untuk meyakinkan
pihak yang memilih untuk bisa maju dalam keikusertaan partisipasi di dalam
pemerintahan secara internal. Maju sebagai perwakilan rakyat atau sebagai kepala
daerah atau kepala negara sekalipun seluruh warga negara memiliki kesempatan
yang sama namun pada akhirnya tetap dipilih oleh warga negara yang lainnya.
Kesempatan untuk mengajukan diri bagi warga negara yang ikut dalam
partisipasi di dalam pemerintahan menyita banyak tenaga, waktu, dan materi.
Selain itu bagi pihak yang memilih juga merasakan hal yang sama ketika hak-hak
yang lainnya tersita oleh suatu proses panjang yang dinamakan pemilu. Pada saat
proses pemilu bagi warga negara selain mengurangi hak-hak yang lain secara
langsung juga ketika terjadi sengketa maka akan lebih besar pula resiko hak-hak
lain menjadi berkurang atau bahkan hilang. Berkurang atau bahkan
menghilangnya hak warga negara dalam hal pemilu disebabkan oleh faktor tidak
kepuasan terhadap sistem, baik pihak yang mempunyai hak memilih atau pihak
yang mempunyai hak untuk dipilih.
Kelemahan suatu sistem hukum tidak lepas dari kajian-kajian akademis
yang kurang dan pemahaman akan kebutuhan akan pemenuhan hak dari warga
negara yang dikesampingkan. Sistem hukum pemilu yang lemah melahirkan suatu
tatanan hukum yang merusak citra pemilu sebagai pesta demokrasi. Pesta
demokrasi tersebut sesungguhnya adalah sarana bagaimana hak politik bisa
ruang untuk bisa ambil bagian dari pemerintahn, yang artinya niat baik atau
kesadaran penuh warga negara yang mau ikut serta berpartisipasi dalam
pemerintahan harus diapresiasi sebagai suatu bentuk kesetiaan warga negara
terhdap bangsanya sendiri. Warga negara Indonesia yang turut sukarela untuk
meluangkan waktu dan tenaga dalam pemilu memiliki keyakinan dan kepercayaan
penuh bahwa proses pemilu akan menjadi ideal sesuai yang dicita-citakan. Namun
pada kenyataanya banyaknya kasus pemilu yang terjadi di Indonesia memberi
tanda bahwa Indonesia butuh suatu gerakan pembaruan hukum pemilu sebagai
suatu jalan keluar akan penghargaan yang tidak di dapat terhdap warga negara
yang mau berpatisipasi di dalam pemerintahan melalui pemilu.
Pembaruan peradilan harus dilakukan dalam kerangka merevitalisasi
fungsi pengadilan yang hakiki. Tujuan dari penyelenggaraan peradilan adalah
memutus suatu sengketa/menyelesaikan suatu masalah hukum yang timbul karena
adanya konflik kepentingan/pendapat.20 Muara sengketa adalah peradilan. Suatu
sengketa yang terjadi di dalam hukum ketika tidak dapat terselesaikan dengan cara
baik oleh kedua belah pihak maka peradilan menjadi tempat akhirnya perselesaian
perselisihan. Pemilu melahirkan banyak sengketa. Muara dari sengketa pemilu
adalah penyelesaian yang adil. Indonesia tidak menyediakan ruang yang pasti dan
tepat dalam perkara penyelesaian sengketa pemilu, hal tersebut berarti adanya
kekosongan terhadap penyelesaian sengketa pemilu di Indonesia. Kekosongan
yang terjadi tersebut merupakan suatu kelemahan hukum. Celah kekosongan
hukum tersebut berpengaruh pada perlindungan HAM. Warga negara yang
hendak mengajukan gugatan terhadap hasil perselisihan umum baik
20
kedudukannya sebagai pemilih atau yang dipilih tidak tersedia ruang yang pasti
dan berkeadilan. Penyelesaian yang ditangani oleh Mahkamah Konstiusi (MK)
tidak fokus pada pokok sengekta pemilu. MK hanya menangani persoalan
sengketa hasil yang artinya MK menjadi „mesin penghitung‟. Dikatakan seperti itu
oleh karena beberapa pokok perkara yang melibatkan sengketa pemilu secara luas
tidak dapat diulas secara mendalam sebagai fakta-fakta hukum dalam
persidangan. Penyelesaian yang demikian mengurangi nilai-nilai HAM khususnya
hak politik yang artinya tidak adanya jaminan akan perlindungan HAM.
Kehadiran peradilan khusus pemilu memberikan keadilan yang berlandaskan pada
pelindungan Hak-hak politik warga negara.
C. Kewenangan Mahkamah Konstitusi Terkait Sengketa Pemilu
Alasan selanjutnya mengenai mengapa peradilan pemilu penting hadir di
Indonesia adalah melihat struktur kelembagaan itu sendiri. Selain pada peradilan
pemilu penting guna perlindungan HAM, sistem hukum pemilu di Indonesia
sendiri tentu saja menjunjung perlindungan HAM tersebut dalam tingkat
yudikatif. Pemilu di Indonesia secara konstitusi diselenggarakan oleh Komisi
Pemilihan Umum. Diamanatkan di dalam pasal 22E ayat (5) Undang-Undang
Dasar 1945 yang berbunyi: Pemilihan umum diselenggarakan oleh suatu komisi
pemilihan umum yang bersifat nasional, tetap, dan mandiri. Konstitusi memberi
amanat kepada KPU untuk melaksanakan Pemilu. Selain pada KPU ada beberapa
lembaga negara yang langsung terlibat pada proses Pemilu. Lembaga negara
tersebut adalah Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilu (DKPP) sebagai
penyelenggaraan pemilu di Indonesia. Selain beberapa lembaga negara tersebut
yang terlibat secara langsung dalam proses penyelenggaraan pemilu di Indonesia
ada Mahkamah Konstitusi yang menangani permohonan mengenai sengketa hasil
pemilu.
Mahkamah Konstitusi dalam menjalankan fungsinya sebagai pengawal
konstitusi (the guardian of the constitution)21 sesuai dengan ketentuan UUD 1945,
memiliki empat kewenangan mengadili dan satu kewajiban, yaitu :
1. melakukan pengujian atas konstitusionalitas Undang-Undang;
2. mengambil keputusan atas segala sengketa kewenangan atas lembaga
negara yang ditentukan menurut Undang-Undang Dasar;
3. memutuskan perkara berkenaan dengan pembubaran partai politik;
4. memutuskan perkara perselisihan mengenai hasil-hasil pemilihan umum.
Serta satu kewajiban tersebut yakni : mengambil putusan atas pendapat Dewan
Perwakilan Rakyat bahwa Presiden dan/ atau Wakil Presiden telah melakukan
pelanggaran hukum ataupun mengalami perubahan sehingga secara hukum
menjadi terbukti dan karena itu dapat dijadikan alasan oleh Majelis
Permusyawaratan Rakyat untuk memberhentikan Presiden dan/ atau Wakil
Presiden menjadi terbukti dan karena itu dapat dijadikan alasan oleh Majelis
Permusyawaratan Rakyat untuk memberhentikan Presiden dan/ atau Wakil
Presiden dari jabatannya. Pengaturan kewenangan Mahkamah Konstitusi secara
tegas dalam konstitusi merupakan bukti jika keberadaannya sebagai salah satu
lembaga negara diharapkan mampu menjadi satu lembaga yang berfungsi untuk
melaksanakan kekuasaan peradilan dalam sistem konstitusi, pengawal konsitusi
21
(the guardian of the Constitution) dan penafsir konstitusi yang kompeten dalam
kehidupan bernegara. Di samping itu, lembaga ini dapat juga berperan mendorong
mekanisme checks and balance dalam penyelenggaraan negara dan berperan
dalam negara hukum yang demokratis.22
Mahkamah Konstutusi merupakan suatu lembaga negara yang lahir oleh
karena perintah dari konstitusi itu sendiri pada pasal 24C Bab IX tentang
Kekuasaan Kehakiman UUD 1945, selain dari Mahkamah Agung sebagai 2
lembaga negara dalam bidang yudikatif. Mengenai tugas dan kewenangan MK
sndiri juga telah diatur dalam UUD. Pada pasal 24C ayat (1) yang berbunyi:
Mahkamah Konstitusi berwenang mengadili pada tingkat pertama dan terakhir
yang putusannya bersifat final untuk menguji undang-undang terhadap Undang-
Undang Dasar, memutus sengketa kewenangan lembaga negara yang
kewenangannya diberikan oleh Undang- Undang Dasar, memutus pembubaran
partai politik, dan memutus perselisihan tentang hasil pemilihan umum. Selain
Undang-Undang itu MK sebagai lembaga tinggi sendiri memiliki ketentuan
hukum yang mengaturnya yang terdapat di dalam Undang-Undang Nomor 8
Tahun 2011 Tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003
Tentang Mahkamah Konstitusi. Di dalam Undang-Undang tersebut juga mengatur
kewenangan MK yang sama terdapat di dalam UUD khsususnya mengenai Pemilu
yang terdapat di dalam pasal 1 angka 3 huruf d Undang-Undang Nomor 8 Tahun
2011 Tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 Tentang
Mahkamah Konstitusi. Ketentuan mengenai kewenangan MK tentang Mahkamah
Konstitusi mengenai Pemilu juga diatur pada Undang-Undang lain. Pasal 29
22
angka 1 huruf d Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 Tentang Kekuasaan
Kehakiman juga mengamanatkan dan memberi wewenang terhadap MK untuk
memutus perselisihan tentang hasil pemilihan umum. Di dalam internal MK
sendiri dalam proses beracara di MK telah diatur mengenai beberapa permohonan
perselisihan sengketa Pemilu sesuai dengan jenis pemilunya yaitu:
1. Peraturan Mahkamah Konstitusi Nomor 3 Tahun 2014 Tentang Perubahan
Atas Peraturan Mahkamah Konstitusi Nomor 1 Tahun 2014 Tentang
Pedoman Beracara Dalam Perselisihan Hasil Pemilihan Umum Anggota
Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, Dan Dewan
Perwakilan Rakyat Daerah
2. Peraturan Mahkamah Konstitusi Nomor 4 Tahun 2014 Tentang Pedoman
Beracara Dalam Perselisihan Hasil Pemilihan Umum Presiden dan Wakil
Presiden
3. Peraturan Mahkamah Konsitusi Nomor 01 Tahun 2017 Tentang Perubahan
Atas Peraturan Mahkamah Konstitusi Nomor 1 Tahun 2016 Tentang
Pedoman Beracara dalam Perkara Perselisihan Hasil Pemilihan Gubernur,
Bupati, dan Walikota
4. Peraturan Mahkamah Konsitusi Nomor 02 Tahun 2017 Tentang Perubahan
Atas Peraturan Mahkamah Konstitusi Nomor 2 Tahun 2016 Tentang
Pedoman Beracara Dalam Perkara Perselisihan Hasil Pemilihan Gubernur,
Bupati, Dan Walikota Dengan Satu Pasangan Calon
5. Peraturan Mahkamah Konsitusi Nomor 03 Tahun 2017 Tentang Perubahan
Tahapan, Kegiatan, dan Jadwal Penaganan Perkara Perselisihan Hasil
Pemilihan Gubernur, Bupati,danWalikota
Kewenangan Mahkamah Konstitusi sebagai lembaga tinggi negara
memiliki wewenang yang sangat penting dalam sistem ketatanegaraaan di
Indonesia. Wewenang MK perkara pemilihan umum telah secara tegas diatur dari
mulai Konstitusi sampai pada tingkat tekhnis di dalam Peraturan Mahkamah
Konstitusi dan menjadi penegasan bahwa MK secar sah berhak untuk menangani
perkara perselisihan hasil pemilu. Namun melihat lebih luas lagi suatu ketentuan
dalam taraf ketentuan tertulis merupakan suatu produk hukum yang tidak lepas
dari berbagai macam kepentingan dan kebijakan yang dipandang perlu hingga
menghasilkan ketentuan hukum tersebut. Yang menjadi persolan adalah apakah
MK tepat dalam menangani dan memiliki wewenang memutus perselisihan
tentang hasil pemilihan umum? Jawaban atas pertanyaan tersebut kembali lagi
pada hakikat MK itu sendiri sebagai lembaga tinggi negara sebagai pengawal dan
dan penjaga konstitusi di Indonesia.
Dalam perkembangannya, ide pembentukan MK dilandasi upaya serius
memberikan perlindungan terhadap hak-hak konstitusional warga negara dan
semangat penegakan konstitusi sebagai grundnorm atau highest norm, yang
artinya segala peraturan perundang-undangan yang berada dibawahnya tidak
boleh bertentangan dengan apa yang sudah diatur dalam konstitusi.23 Bahwa MK
sendiri ide pembentukan awalnya ada pada kewenangan yang sekarang disebut
Judicial Review. Kewenangan tersebut memberikan keputusan bahwa tidak boleh
ada peraturan perundang-undangan dibawah UUD 1945 yang bertentangan
23
dengan Konstitusi negara (UUD 1945), singkatnya pengujian Undang-Undang
terhadap UUD 1945. Perkara perselisihan hasil umum pada dasarnya tidak terkait
dengan kewenangan MK tersebut, dikaitkan dan diberikan kewenangan oleh
karena penegakan hukum dan perlindungan hak konstitusional warga negara.
Namun melihat dari kewenangan perselisihan hasil pemilu itu sendiri tentu tidak
dapat dikatakan sebagai upaya perlindungan hak konstitusional warga negara
mengingat pemilu sejatinya adalah hak politik yang lebih khusus sementara hak
konstitusional lebih bersifat luas dan menyeluruh tidak soal hak politik semata,
selain itu perselisihan di MK terkait hasil saja. Hasil merupakan hasil
penjumlahan hitungan matematis yang tidak bisa menjadi tolak ukur atas seberapa
dalam MK memeriksa perkara pemilu karena fokus MK hanya soal hasil secara
matematis saja.
Fungsi dan peran utama MK adalah adalah menjaga konstitusi guna
tegaknya prinsip konstitusionalitas hukum.24 Meskipun pemilu terdapat dan diatur
di dalam UUD 1945 yang dikatakan sebagai Konstitusi negara tidak serta merta
dikaitkan bahwa kewenangan perselisihan hasil pemilu dikaitkan pada lembaga
negara yang terkait dengan konstitusi itu sendiri yaitu MK. Fungsi utama tersebut
berkitan dengan MK sebagai penjaga dan pengawal konstitusi. MK sendiri
memiliki tujuan yang lebih luas dan pemahaman lebih tinggi bagaimana konstitusi
suatu negara dapat tegak berdiri. Undang-Undang adalah seperangkat ketentuan
hukum yang berpotensi untuk bertentangan atau berlawanan dengan konstitusi
padahal Undang-Undang sendiri adalah ketentuan hukum yang mengatur secara
langsung dan menjabarkan nilai-nilai luhur dalam konstitusi yang artinya
24
ketentuan di dalam Undang-undang sejalan dengan konstitusi. Perkara pemilu
yang ditangani MK tidak berkaitan langsung terhadap keberlangsungan nilai-nilai
konstitusi sendiri yang ada di UUD 1945, meskipun diatur namun di dalam
perkara perselisihan hasil pemilu di MK hasil putusannya adalah jika diterima
oleh MK bukan putusan yang bersifat konstitusional oleh karena hasil putusan
tidak dikaitkan dengan hal apa yang bertentangan dengan UUD 1945, hasil
putusannya jika diterima adalah menerima permohonan dan mengabulkan
permohonan yang diminta pemohon semisal terhadap hasil rekapitulasi suara KPU
yang dirasa tidak sesuai dengan hasil pemilu yang ada maka MK membatalkan
hasil Keputusan KPU atau memberi perintah KPU untuk melakukan pemilihan
ulang.
Perselisihan hasil pemilu antara KPU (termohon) dan peserta Pemilu
(pemohon) bukan perkara konstitusi yang sedang diuji konstitusionalitasnya.
Perkasa perselisihan hasil pemilu yang ada pada beberapa Undang-Undang terkait
dengan kewenangan MK tidak menjadi tolak ukur bahwa yang diamanatkan
dalam beberapa Undang-Undang tersebut sesuai dengan nilai-nilai konstitusi di
UUD1945. Ada-pun alat pengukur atau penilai konstitu-sionalitas suatu
undang-undang, yaitu:
1. Naskah Undang-Undang Dasar yang res-mi tertulis;
2. Dokumen-dokumen tertulis yang terkait erat dengan naskah
Undang-Undang Dasar, seperti risalah-risalah, keputusan dan ketetapan Majelis
Permusyawaratan Rakyat, undang-undang tertentu, pera-turan tata tertib,
3. Nilai-nilai konstitusi yang hidup dalam praktek ketatanegaraan yang yang
telah dianggap sebagai bagian yang tidak terpisahkan dari keharusan dan
kebia-saan dalam penyelenggaraan kegiatan bernegara; dan
4. Nilai-nilai yang hidup dalam kesadaran kognitif rakyat serta kenyataan
perilaku politik dan hukum warga negara yang dianggap sebagai kebiasaan
dan keha-rusan-keharusan yang ideal dalam perike-hidupan berbangsa dan
bernegara.
Dengan demikian, pengertian konsti-tusionalitas bukanlah konsep sempit
yang hanya terpaku kepada apa yang tertulis dalam naskah UUD NRI 1945 saja.25
Dapat dikatakan bahwa beberapa Undang-Undang yang mengatur kewenangan
MK menurut Konstitusi di dalam UUD 1945 tidak seluruhnya mengandung nilai
konstitusionalitas, dan ketentuan hukum di dalam UUD 1945 tekait dengan
kewenangan MK perkara penyelesaian perselisihan hasil pemilu bukan perkara
konstitusionalitas yang dapat diajukan dan diselesaikan oleh MK itu sendiri.
Perkara hasil pemilihan umum bukan menilai kadar konstitusionalitas suatu
perkara pemilu namun lebih pada jumlah hasil yang diperoleh selama hasil pemilu
yang dijadikan objek sengketa antara KPU dan peserta Pemilu. Perkara hasil
pemilihan umum yang menjadi salah satu kewenangan MK tidak dapat dikaitkan
dengan kewenangan yang tertulis secara tegas di dalam UUD saja namun harus
melihat pada fungsi MK pada hakikatnya.
Kewenangan MK yang tidak sesuai juga berkaitan dengan perkara itu
sendiri yang pada faktanya ketika ditangani oleh MK menuai beberapa
problematika. Faktanya ketika suatu perkara diajukan ke MK tidak hanya perkara
25
hasil saja yang terungkap dalam persidangan namun ada perkara administratif dan
perkara tindak pidana pemilu yang juga terungkap di persidangan dan tentu saja
ada tumpang tindih antara perkara hasil, perkara administratif, dan perkara tindak
pidana pemilu. Perkara tindak pidana administratif dan perkara tindak pidana
pemilu bukan termasuk kewenangan MK yang dimasudkan pada UUD 1945.
Karena perkara tersebut jauh berbeda dengan perkara hasil, pokok-pokok tersebut
seakan menjadi sebuah fakta hukum yang tidak dapat dipisahkan dalam perkara
penyelesaiannya.
Perkara perselisihan pemilu utamanya terdiri dari 3 hal yaitu: perkara
perselisihan hasil, perkara administratif, dan perkara tindak pidana pemilu.
Perkara administratif dan perkara pidana merupakan suatu bentuk pelanggaran
yang terjadi selama proses pemilihan umum. Pelanggaran pemilihan umum adalah
pelanggaran-pelanggaran terhadap undang-undang pemilihan umum yang dapat
diklasifikasikan menjadi dua, yaitu pertama, pelanggaran pidana adalah
tindakantindakan kriminal dan berakibat pada hukuman penjara dan/ atau denda.
Kedua, pelanggaran administratif yaitu pelanggaran-pelanggaran terhadap
ketentuan dan persyaratan yang ditetapkan dalam Undang-Undang pemilihan
umum yang tidak didefinisikan sebagai tindakan kriminal dan tidak berkaitan
dengan hukuman/ dan atau denda. Konsekuensi dari pelanggaran administratif ini
adalah gagalnya partai politik peserta pemilihan umum untuk mengikuti sebagian
tahapan pemilihan umum karena tidak memenuhi syarat sebagaimana yang
dimaksudkan dalam Undang-Undang.26 Perkara perselisihan hasil pemilu adalah
perkara yang ditangani dan merupakan kewenangan MK namun perselisihan
26
pemilu yang terjadi merupakan suatu kronologis panjang terhadap 3 perkara
tersebut saling berkaitan atau terjadinya suatu perkara tertentu merupakan akibat
perkara lain, serta dimungkinkan adanya persinggungan antar perkara. Munculnya
perkara pemilu dalam hal administartif dan pidana seringkali menjadi permasahan
tersendiri dalam persidangan MK.
Di dalam persidangan MK hakim seringkali menemukan fakta-fakta
hukum yang tidak menjadi ranah kewenangannya, seperti contoh pada perkara
Pemilukada (Pemilihan Umum Kepala Daerah). Sebagaimana yang dikemukakan
oleh Hamdan Zoelva yang merupakan mantan Ketua Mahkamah Konstitusi
(periode 2013-2015) mengemukakan pendapatnya mengenai perkara-perkara yang
bersinggungan tersebut:27
Pengalaman MK dalam memutus PHPU Kepala Daerah,
menunjukan banyak pelanggaran administratif dan pidana
yang terjadi dalam pemilukada belum terselesaikan dengan
baik ketika perselisihan tersebut masuk menjadi perkara
MK. Padahal penyelesaian terhadap
pelanggaran-pelanggaran tersebut merupakan kewenangan KPU dan
Kepolisian dan bukan merupakan kewenangan MK. Di sisi
lain pelanggaran- pelanggaran administratif dan pidana
tersebut seringkali bersinggungan dengan pokok
permohonan yang harus diputus oleh MK. Sehingga MK
harus memberi putusan atas kewenangannya.
27
Peran MK dalam menangani perselisihan hasil pemilu menjadi tidak
efektif dan bersesuai oleh karena wewenang hanya sebatas sengketa hasil tidak
pada pelanggaran yang bersifat administratif dan pelanggaran pidana yang dalam
faktanya seringkali muncul dan dimasukan di dalam permohonan pemohon.
Persinggungan tersebut memberikan gambaran bahwa perkara perselisihan hasil
pemilu tidak tepat ditangani oleh MK itu sendiri dengan wewenang yang
dimilikinya.
Perkara perselisihan hasil pemilihan umum di MK menangani perkara
terhadap Perselisihan Hasil Pemilu Presiden dan Wakil Presiden, Pemilu Anggota
Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, Dan Dewan Perwakilan
Rakyat Daerah, Pemilihan Gubernur, Bupati, Dan Walikota. Dari perkara tersebut
MK memiliki data jumlah permohonan yaitu:
1. Perselisihan Hasil Pemilu Presiden dan Wakil Presiden: dengan jumlah
perkara yang akan diputus 2 dengan rincian ditolak adalah 2.28
2. Pemilu Anggota Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah,
Dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah: rekapitulasi pemilihan umum
2009 dengan pemilu legislatif 627 perkara dengan rincian jumlah perkara
yang diputus 42, Kabul : 68, Tolak : 398, Tidak Diterima : 107, Tarik Kembali :
27, dan Sela : 6. Pemilu DPD dengan 28 dengan rincian Kabul : 2, Tolak : 16, Tidak Diterima : 7, Tarik Kembali : 0, dan Sela : 3.29
3. Pemilihan Gubernur, Bupati, Dan Walikota: sejak tahun 2008 hingga
tahun 2017 telah tercatat 905 perkara yang sudah diregistrasi dengan
28
http://www.mahkamahkonstitusi.go.id/index.php?page=web.RekapPHPU&menu=5, diakses pada 29 Agustus 2017 pukul 19.05
29
rincian, Kabul : 77, Tolak : 467, Tidak Diterima : 332, Tarik Kembali : 26,
dan Gugur : 3.30
Hal tersebut terjadi pada pemilu 2009 belum pada pemilu setelah itu yang
tentu saja mengalami peningkatan oleh karena bertambahnya sejumlah calon
anggota DPR atau DPD yang ada akibat dari bertambahnya jumlah penduduk.
Melihat itu pada tahun 2003 hingga 2017 terhadap perkara utama MK soal
pengujian Undang-Undang terhadap UUD 1945 dengan 1665 dengan rincian 1082
telah diregistrasi dan 583 dalam proses yang lalu, dengan hasil Kabul : 235, Tolak
: 354, Tidak Diterima : 333, dan Tarik Kembali : 111.31
Melihat dari data tersebut dapat ditarik kesimpulan bahwa jumlah perkara
yang ditangani MK dengan 9 hakim konstitusinya sangat banyak. Perkara utama
MK yaitu pengujian Undang-Undang sudah mencapai angka 1000 lebih, ditambah
lagi dengan perkara sengketa hasil pemilu dengan perkara yang banyak juga,
bahwa perkara sengketa hasil pemilu menduduki peringkat pertama dengan
jumlah perkara terbanyak yang dimohonkan ke MK, hal tersebut merupakan suatu
kelemahan dan ketidakefektifan dalam fungsi dan peran MK itu sendiri sebagai
pengawal konstitusi. Oleh karena itu sangatlah penting jika kewenangan sengketa
hasil oleh MK dialihkan kepada badan peradilan khusus pemilu supaya dalam
menangani perkara utamanya MK dapat menjalankan fungsi dan perannya dengan
baik dan ideal.
30
http://www.mahkamahkonstitusi.go.id/index.php?page=web.RekapPHPUD&menu=5, diakses pada 29 Agustus 2017 pukul 20.38
31
D. Peluang dan Badan Peradilan Pemilu Masa Mendatang
Pembaruan hukum pemilu fokus utama yang dilakukan adalah melakukan
perubahan ketentuan-ketentuan yang ada sehingga memungkinkan untuk adanya
badan peradilan khusus pemilu di dalam tatanan peradilan di Indonesia. Sebagai
suatu pembaruan hukum maka dalam dilihat maka badan peradilan pemilu
merupakan hukum yang dicita-citakan (ius contituendum). Hukum yang
dicita-citakan tersebut melahirkan lembaga negara baru yang sebelumnya tidak pernah
ada di Indonesia yaitu peradilan khusus pemilu.
Perkembangan peradilan di Indonesia tidak lepas oleh sejarah panjang
perjalanan dan dinamika bangsa dari setiap masanya. Perkembangan setiap
masanya juga tidak lepas dari kebutuhan masyarakat Indonesia yang pada
nyatanya diatur di dalan ketentuan perturan perundang-undang sebagai cerminan
perlindungan dan penjaminan rasa keadilan masyarakat yang diamanatkan
terhadap lembaga peradilan. Indonesia mengenal peradilan dengan istilah sebagai
kekuasaan kehakiman, mengenai hal tersebut terdapat jenis-jenis lingkungan
peradilan di Indonesia baik yang bersifat lembaga peradilan utama maupun
lembaga peradilan dibawahnya, jenis-jenis lembaga peradilan diatur di dalam
pasal 18 Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman
yang berbunyi: Kekuasaan kehakiman dilakukan oleh sebuah Mahkamah Agung
dan badan peradilan yang berada di bawahnya dalam lingkungan peradilan umum,
lingkungan peradilan agama, lingkungan peradilan militer, lingkungan peradilan
tata usaha negara, dan oleh sebuah Mahkamah Konstitusi. Unruk kedua lembaga
tinggi peradilan di Indonesia yang memegang kekuasaan kehakiman adalah
dibawahnya merupakan lingkungan peradilan yang berada di bawah Mahkamah
Agung. Selain itu ada yang disebut pengadilan khusus sebagai bagian dari
pengkhususan lingkungan peradilan yang merupakan upaya terhadap fokus pokok
perkara yang ditangani lebih khusus dengan ruang lingkup yang terbatas.
Beberapa gagasan pembentukan peradilan khusus berkembang setelah era
reformasi sehingga dapat dikatakan lembaga-lembaga peradilan khusus lahir
hampir secara bersamaan.
Dewasa ini tercatat ada beberapa peradilan khusus dibawah Mahkamah
Agung yang masing masuk dalam kategori berdasarkan pasal 18 Undang-Undang
Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman yaitu:
1. Pengadilan Anak (bidang hukum pidana)32
2. Pengadilan Niaga (bidang hukum perdata)33
3. Pengadilan Hak Asasi Manusia (bidang hukum pidana)34
4. Pengadilan Tindak Pidana Korupsi (bidang hukum pidana)35
5. Pengadilan Hubungan Industrial (bidang hukum perdata)36
6. Pengadilan Perikanan (bidang hukum pidana)37
7. Pengadilan Pajak (bidang hukum tata usaha negara)38
8. Mahkamah Pelayaran (bidang hukum perdata)39
9. Mahkamah Syar‟iyah di Aceh (bidang hukum agama Islam)40
32
Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Anak 33
Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan 34
Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan Hak Asasi Manusia 35
Undang-Undang Nomor 46 Tahun 2009 tentang Pengadilan Tindak Pidana Korupsi 36
Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2004 tentang Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial 37
Undang-Undang Nomor 31 Tahun 2004 tentang Perikanan 38
Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2002 tentang Pengadilan Pajak 39
Undang-Undang Nomor 21 Tahun 1992 Tentang Pelayaran 40
10.Pengadilan Adat di Papua (eksekusi putusannya terkait dengan peradilan
umum)41
Dapat dikatakan bahwa peradilan pemilu nantinya termasuk di dalam suatu
peradilan khusus yang ada dibawah Mahkamah Agung. Meskipun di Bawah
Mahkamah Agung peradilan pemilu harus tetap menjunjung sebagai suatu
lembaga peradilan yang mengutamakan nilai indepedensi dalam menjalankan
fungsinya. Indepedensi disini berarti bahwa peradilan pemilu merupakan
peradilan yang bebas dari campur tangan pemerintaha maupun partai politik yang
merupakan sumber dari potensi intervensi. Indepedensi dalam hal ini juga bukan
berarti sebagai lembaga peradilan independen yang terpisah dari pemerintah
namun tetap menjadi suatu lembaga peradilan khusus di bawah Mahkamah Agung
sebagai pemegang kekuasaan kehakiman.
Peradilan pemilu di Indonesia sendiri merupakan suatu lingkungan
peradilan baru di samping beberapa lingkungan peradilan. Peradilan pemilu dapat
dikatakan sebagai peradilan yang bersifat khusus sebab sengketa yang ditangani
fokus pada hal tertentu atau dapat dikatakan ruang lingkup yang terbatas terhadap
perkara-perkara pemilu. Menjadi pembahasan penting ketika mengkaji kedudukan
badan peradilan khusus pemilu di dalam lingkungan peradilan Indonesia.
Mengingat bahwa peradilan pemilu bersifat khusus maka lingkungan peradilannya
ada pada peradilan khusus. Di dalam pasal 20 ayat (1) yang berbunyi: Mahkamah
Agung merupakan pengadilan negara tertinggi dari badan peradilan yang berada
di dalam keempat lingkungan peradilan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 18.
Jadi menurut ketentuan pasal tersebut bahwa lingkungan peradilan khusus tidak
41
lepas dari 4 kategori lingkungan peradilan umum, lingkungan peradilan agama,
lingkungan peradilan militer, lingkungan peradilan tata usaha negara. Jadi untuk
peradilan khusus menurut ketentuan Undang-Undang tersebut harus masuk
diantara 4 lingkungan peradilan yang telah diatur oleh Mahkamah Agung.
Peradilan pemilu untuk bisa menjadi sebuah badan peradilan yang sah
secara hukum tentu saja harus memiliki dasar hukum. Dasar hukum ini berguna
untuk memberi identitas hukum bagi peradilan pemilu untuk masa mendatang
dapat melaksanakan kewenangannya. Untuk memiliki suatu dasar hukum yang
tegas maka suatu badan pemerintahan memiliki dasar hukum setingkat
Undang-Undang atau pada peraturan-peraturan lain dibawah Undang-Undang-Undang-Undang. Melihat
ketentuan hukum dewasa ini hanya ada satu pasal di dalam peraturan
perundang-undangan yang menyinggung badan peradilan khusus pemilu yaitu terdapat di
dalam Pasal 157 ayat (2) Undang-Undang Nomor 8 tahun 2015 tentang Pemilihan
Kepala Daerah yang menyebutkan pada intinya perselesaian sengketa Pemilukada
diperiksa dan diadili oleh suatu badan peradilan khusus. Namun ketentuan yang
diamanatkan oleh Undang-Undang tersebut sampai dewasa ini tidak dijalankan
sebagaimana mestinya. Badan peradilan pemilu khusus yang menangani sengketa
pemilukada yang secara tersurat atau secara tegas diamanatkan oleh
Undang-Undang belum dijalankan dan belum ada peradilan khususnya. Oleh karena itu ide
untuk melahirkan suatu badan peradilan khusus pemilu sesungguhnya telah ada
sejak adanya Undang-Undang Nomor 8 tahun 2015 tentang Pemilihan Kepala
Daerah. yang terjadi secara nyatanya adalah sengeketa pilkada tetap diajukan
Kewenangan sengketa hasil pemilu menurut UUD 1945 sebagai konstitusi
negara dilaksanakan oleh MK menurut pasal 24C Bab IX tentang Kekuasaan
Kehakiman UUD 1945. Sementara itu oleh alasan-alasan yang telah ada MK
menurut fungsinya dan idealnya tidak sesuai dalam menangani sengketa hasil
pemilu. Oleh karena itu untuk bisa melaksanakan pembaruan hukum pemilu maka
pasal yang mengatur perkara sengketa hasil pemilu oleh MK di dalam UUD 1945
harus dihapuskan. Untuk dapat menghapuskan, merubah, menambahkan, atau
menggatanti suatu pasal di dalam UUD 1945 perlu adanya Amandemen. Maka
dari itu Amandemen UUD 1945 perlu dilaksanakan untuk menghapus
kewenangan MK soal penanganan sengketa hasil pemilu.
Amandemen UUD 1945 tercatat telah terjadi selama 4 kali di Indonesia,
jika amandemen dilakukan maka akan menjadi amandemen ke 5 sejak terkahir
kali pada tahun 2002. Pada umumnya suatu UUD tidak boleh terlalu mudah
diubah, oleh karena hal itu akan merendahkan arti simbolis UUD 1945 itu sendiri.
D