Obyektif (RSO) kemiliteran dengan Ruang Kesadaran Subyek (RKS) elit TNI AD.
Di antara dua entitas tersebut ada momen yang simultan berupa internalisasi dan eksternalisasi. Internalisasi terjadi dari arah Realitas Sosial Obyektif ke Ruang Kesadaran elit TNI AD. Sebaliknya eksternalisasi terjadi dari Ruang Kesadaran elit TNI AD ke arah Realitas Sosial Obyektif kemiliteran. Dalam Proses dialektika tersebut telah menciptakan gradasi tiga Realitas Sosial Obyektif kemiliteran yaitu Mikro, MikroMakro dan Makro; dimana gradasi tersebut juga merefleksikan adanya gradasi pemahaman di dalam Ruang Kesadaran Subyektif elit TNI AD.
Pertama, penulis sebut sebagai ”Realitas Obyektif Mikro” yaitu berupa dunia sosial TNI yang diciptakan bersamasama dalam momentum obyektivasi yang hampir sepenuhnya dilakukan oleh para aktor elit TNI. Realitas ini sudah dengan sendirinya juga merefleksi ke dalam ruang kesadaran aktor elit TNI AD dalam bentuk ruang kesadaran mikro.
Kedua, penulis sebut sebagai ”Realitas Obyektif MikroMakro” dimana realitas ini posisinya berada dalam persilangan, sebagian berada dalam dunia sosial TNI dan sebagian yang lain sudah berada di luarnya. Realitas obyektif ini dicirikan antara lain oleh andilnya aktoraktor sosial diluar TNI yang ikut berekspresi ke dalam wilayah yang pada dasarnya lebih merupakan domain dari dunia sosial TNI. Konsekuensinya realitas ini juga merefleksi pula ke dalam ruang kesadaran elit TNI AD dalam bentuk ruang kesadaran mikromakro.
Ketiga, penulis sebut ”Realitas Obyektif Makro”, yaitu dunia sosial dimana andil para aktor elit TNI hanyalah menjadi bagian sangat kecil diantara keterlibatan aktoraktor sosial yang lain, yang secara kolektif melakukan eksternalisasi atau ekspresi dalam dunia sosial keseluruhan (the whole of social world). Dan bagaimanapun realitas ini juga memantul ke dalam ruang kesadaran aktor elit TNI AD dalam bentuk ruang kesadaran makro.
Diskripsi mengenai proses dialektika yang terjadi antara realitas sosial obyektif dengan ruang kesadaran subyektif sebagaimana tersebut di atas, dapat digambarkan dalam sebuah model sebagaimana sebagai berikut:
Gambar 4 MODEL PEMAHAMAN TENTANG PROFESIONALISME MILITER (DIALEKTIKA ”REALITAS SOSIAL OBYEKTIF” DENGAN ”RUANG KESADARAN SUBYEKTIF”) KETERANGAN: A – Realitas Sosial Mikro A’ – Ruang Kesadaran Mikro B – Realitas Sosial MikroMakro B’ – Ruang Kesadaran MikroMakro C – Realitas Sosial Makro C’ – Ruang Kesadaran Makro
Keempat temuan tersebut di atas dapat diulas dengan menggunakan paduan beberapa perspektif teoritis yang ada yaitu: Konstruksi Sosial Berger, Interaksionisme Simbolik Mead, Strukturasi Giddens dan Antropologi Pengalaman Bruner sbb.:
Untuk dapat memahami persoalan dalam perspektif fenomenologi Husserl harus bertitik tolak dari konsep tentang kesadaran; yaitu “sadar” itu selalu ”sadar akan”, artinya selalu memiliki intensionalitas atau keterarahan (directedness) terhadap sesuatu yang tertentu. Kesadaran dalam temuan penelitian ini adalah pemahaman elit TNI AD tentang profesionalisme TNI. Kesadaran tersebut terjadi secara intensif, ekstensif dan terus berlangsung sampai pada bentuk dirinya menjadi sebuah pribadi (be that person) elit TNI AD sekarang ini (pada saat penelitian sedang dilaksanakan). Be that person sebagaimana yang disebut oleh Berger ini adalah serupa dengan apa yang disebut dan dikonseptualisasikan secara lebih lengkap oleh Mead dengan istilah Jari Diri(Self Identity).
Dalam teori Konstruksi Sosial, Berger menekankan adanya hubungan dialektik antara Realitas Sosial Obyektif (RSO) dengan Ruang Kesadaran
Subyektif (RKS). Adapun proses dialektika yang telah terjadi antara Realitas Sosial Obyketif (RSO) dengan Ruang Kesadaran Subyektif (RKS) yang ditemukan dalam penelitian ini adalah berupa hubungan dialektik antara Realitas Sosial Keluarga (Reskel), Realitas Sosial Pendidikan Kemiliteran (Resdikmil) dan Realitas Sosial Penugasan (Restu) di satu pihak dengan kesadaran elit TNI AD (yang menjadi Subyek Penelitian) di pihak lain. Proses dialektik tersebut terjadi sangat kompleks, namun apabila disederhanakan maka akan tampak adanya pola tertentu. Pola itu adalah, terjadinya internalisasi dan eksternalisasi. Internalisasi lebih cenderung terjadi tatkala RKS masih berada di Reskel dan ketika berada Resdikmil, baik pada saat mengikuti Pendidikan Pertama (Dikma) maupun Pendidikanpendidikan Pengembangan (Dikbang). Sedang eksternalisasi lebih cenderung terjadi terutama tatkala RKS berada dalam Realitas Sosial Penugasan (Restu) yang meliputi: Realitas Tugas Pasukan (Restupas), Realitas Tugas Operasi (Restusop), Realitas Tugas Pendidikan (Restudik) dan Realitas Tugas Teritorial (Restuter).
Apabila menggunakan perspektif Strukturasi Giddens temuantemuan penelitian tersebut dapat dijelaskan sebagai berikut:
Ada dua jenis entitas yaitu ”Struktur” di satu pihak dengan ”Agensi” di pihak lain 122 . Struktur di sini adalah berupa ”Struktur Sosial Kemiliteran”
(Sesosmil) yang dalam hal ini dapat dibuat tiga katagori yaitu: Keluarga Militer (Kemil), Pendidikan Militer (Dikmil) serta Penugasan Militer (Tumil). Sedang entitas agensi adalah terdiri dari para ”Aktor Militer” 123 (AM) yaitu para Perwira
Menengah TNIAD (yang menjadi Subyek Penelitian).
Di antara keduanya, yaitu Sesosmil dengan AM ini terdapat faktor lain yang bekerja yaitu apa yang Berger menyebutnya sebagai ”dualitas struktur” yang berfungsi membuat titik keseimbangan (a point of balance) di antara keduanya yang samasama sebagai kekuatan yang saling melengkapi (complementary 122 Istilah “struktur” mengacu pada faktorfaktor misalnya klas sosial, agama, jender, etnisitas, adat kebiasaan dll. yang nampaknya membatasi, mengekang atau mempengaruhi kesempatan yang dimiliki individuindividu. Istilah “agensi” mengacu pada kapasitas manusia sebagai individu individu untuk bertindak secara bebas dan membuat pilihan bebas mereka sendiri. (Juga lihat: Malcolm Waters, Modern Sociological Theory, London: Sage Publications, th. 1994, hal. 11 dan 12.
123 Giddens menggunakan istilah aktor sosial (social actor) dan agensi manusia (human agency) secara bergantian untuk pengertian yang sama (Lihat: Anthony Giddens, The Constitution of Society, [edisi bahasa Indonesia], Penerbit Pedati, 2004, hal xxvii).
forces). Dengan bekerjanya faktor dualitas struktur (structure of duality) ini membuat Sesosmil (struktur sosial militer) mampu mempengaruhi tingkah laku AM (aktor militer), sebaliknya AM memiliki kemampuan merubah Sesosmil yang mereka diami. Di dalam Kemil (keluarga militer) dan Dikmil (pendidikan militer), Sesosmil lebih berada dalam posisi mempengaruhi bahkan membentuk AM sedangkan di dalam Tumil (tugas militer), AM lah yang menjadikan Sesosmil sebagai medium untuk penciptaan.
Dengan menggunakan perspektif Teori Interaksionisme Simbolik Herbert Mead dapat diimajinasikan bahwa di dalam jagad cilik (inner world) masing masing elit TNI AD (Subyek Penelitian) itu terdapat apa yang disebut ”self”, ”I” dan ”Me”. ”Self” adalah ruang dan aktivitas yang ada di dalam inner world para elit TNI AD, yang secara terusmenerus berusaha mensinergikan dan memelihara harmoni antara ”I” dan ”Me” elit TNI AD yang dari waktu ke waktu dua entitas tersebut terusmenerus mengalami perkerkembangan. Di mana”I” adalah sifat sifat elit TNI AD yang spontan, individual, subyektif, dan bebas. Sedangkan ”Me” yaitu sikapsikap elit TNI AD yang terorganisir dan terarahkan kepada orangorang lain. “Me” ini boleh dikatakan sebagai penghubung antara diri elit TNI AD dengan masyarakat luar. “Me” ini memiliki sifatsifat sosial lagi terbatasi (determinated). Dengan menggunakan perspektif Interaksionisme Simbolik, ”Me Pamen TNI AD” (Subyek Penelitian) ini penulis beri makna sedikit lebih luas sebagai “Jati Diri TNI” 124 yang pada dasarnya –dalam
hubungannya dengan penelitian ini—ia adalah pemahaman dan pemaknaan elit TNI AD tentang Profesionalisme TNI. Pemahaman dan pemaknaan tersebut mereka konstruksikan dengan cara “melihat” dirinya sendiri dengan melalui “mata” orangorang lain yang berada sekitarnya (to see themselves through the eyes of others)”. Adapun orang lain tersebut adalah bisa dari kalangan prajurit TNI, terutama para elitnya, tetapi juga orangorang di luar TNI. ”Me” inilah yang disebut self identityatau jati diri.
Self identity yang sedang menjadi di dalam diri elit TNI AD (Subyek Penelitian) ini bukan anugerah dari lahir, melainkan berkembang melalui
124 Penulis bersandar pada pendapat bahwa “Me” itu sama dengan “Self Concept” atau juga“Self
Identity” (Lihat: Gordon Marshal [editor], A Dictionary of Sociology, New York: Oxford University Press, 1998).
komunikasi yang dilakukannya dengan aktoraktor sosial lain melalui simbol simbol yang lazim digunakan di kalangan masyarakat militer maupun masyarakat yang lebih luas. Perkembangan Jati Diri TNI itu terjadi dalam dua fase yaitu play stage (tahap mainmain), dan game stage (tahap permainan). Fase mainmain cenderung lebih banyak terjadi tatkala Pamen TNI AD masih berada di dunia keluarga, sebelum memasuki pendidikan militer dan kemudian tatkala mereka berada di dalam pendidikan militer khususnya Akademi Militer Magelang. Pada fase play stage diperlukan adanya significant other(s) yang bertindak sebagai rolemodel. Di dunia sosial keluarga significant other(s) tersebut pada umumnya adalah anggota keluarga, terutama ayah atau kakak lakilaki; sedang di dunia pendidikan militer adalah Jenderal Soedirman dan tokohtokoh TNI yang lain sebagai legendary role model, serta para Guru Militer dan Pelatih sebagai model nyata (real model).
Fase kedua, yaitu tahap permainan (Game Stage). Fase ini cenderung lebih banyak terjadi di dunia penugasan. Dalam fase permainan, dengan merujuk pendapat Herbert Mead, yang sangat diperlukan bukan lagi significant other(s), melainkan generalized other(s) –yaitu berbagai individuindividu yang bertindak sebagai Pemain Sosial (Social Player), di samping berbagai status, dan aturan permainan; yang semua itu harus dikenali dan diikuti oleh Pamen TNI AD. Jenis keberagaman itu tergantung pada macam medan tugas yang dijalani. Di medan pasukan misalnya, Pemain Sosialnya relatif homogen yaitu para anggota prajurit dan keluarganya dengan jenis status dan aturan yang relatif sederhana. Beda dengan tugas di teritorial Pamen TNI AD akan berhadapan dengan berbagai Social Player yang lebih beragam, begitu juga status dan tata aturan yang ada 125 .
Di medanmedan penugasan inilah para Pamen TNI AD membangun dan mengembangkan sikapsikap dan tingkah lakunya yang terorganisir dan terarah kepada masyarakat keseluruhan. Mereka mencoba menginterpretasikan status yang diberikan dan mengadakan adaptasi diri sesuai dengan status yang diberikan
125 Oleh karena itulah dalam tradisi TNI, tugas memimpin teritorial adalah tugas pemantapan, artinya diperuntukkan bagi yang sudah memiliki pengalaman di pasukan. Misalnya jabatan Komandan Batalyon dan Komandan Kodim adalah samasama diperuntukkan bagi Pamen TNI AD berpangkat Letnan Kolonel (Letkol). Akan tetapi hampir dipastikan, untuk bisa menjadi Komandan Kodim seorang Letkol harus terlebih dahulu pernah menjabat Komandan Batalyon atau jabatan staf yang setara dengan itu di pasukan.
oleh –atau ia rumangsa (sense) memperoleh status itu dari– orangorang lain di sekitarnya. Dengan melalui dua fase –play stage dan game stage ini memungkinkan para elit TNI AD memasukkan nilainilai yang menopang keberadaan masyarakat sekitarnya ke dalam jati dirinya. Baik dalam lingkup kecil yaitu di lingkungan masyarakat militer yang relatif homogin, maupun dalam masyarakat yang lebih luas dan heterogin, bahkan dalam masyarakat bernegara yang kompleks.
Temuan IV: Di balik fenomenfenomen yang dapat diungkap dari ruang