BAB III HADIS-HADIS TENTANG MENGUCAPKAN DAN MENJAWAB
B. Pemahaman Para Ulama Terhadap Hadis Larangan Mengucapkan dan
Dalam buku Al-Majmu‟syarah Al Muhadzdzab karangan Imam Nawawi dijelaskan bahwa Al-Mawardi menjelaskan dalam Al-Hawi; dalam hal ini ada dua pendapat. Pertama, tidak boleh mengucapkan salam kepada orang-orang kafir. Kedua, boleh memulai salam kepada mereka, namun dengan mengucapkan;
al-s l mu‟alaika, bukan; al-s l mu‟alaikum. Pendapat ini nyeleneh dan lemah. Bila orang kafir dzimmi mengucapkan salam kepada orang muslim, jawaban yang diucapkan adalah; w ‟alaikum, tidak lebih. Inilah pendapat yang kuat, inilah yang
13
Muhammad bin Najib al-Muthi‟i menjelaskan, atsar ini diriwayatkan oleh Ahmad bin
Hanbal dari berbagai sanad dari Sufyan Ats-Tsauri. Juga diriwayatkan oleh Ya‟kub bin Syaibah
dalam musnadnya dari sanad Syu‟bah, Zuhair bin Mu‟awiyah dan lainnya, mereka semua
meriwayatkan dari Abu Ishaq As-Subai‟i dari Shillah bin Zuhfar dari Ammar. Matan riwayat
syu‟bah dari Ammar sebagai berikut; (Ada) tiga hal, barangsiapa yang tiga hal ini terdapat dalam dirinya, imannya telah sempurna. Riwayat ini intinya sama. Seperti itulah yang kami riwayatkan
dalam Jami‟ Ma‟mar dari Abu Ishaq. Seperti itu pula yang disampaikan oleh Abdurrazzaq dalam
mushannafnya dari ma‟mar. Abdurrazzaq menyampaikannya saat hafalannya berubah di akhir usia
dan ia sambungkan sanadnya hingga Nabi Saw.
Al-Hafizh Ibnu Hajar setelah menyebutkan atsar ini menyatakan, hadis ini cacat dari sisi sanadnya sebab Abdurrazzaq berubah hafalannya di akhir usia, dan mereka mendengarkan hadis ini dari abdurrazzaq di saat hafalannya telah berubah. Perlu di ketahui, hal semacam ini tidak
disampaikan berdasarkan pendapat dan dihukumi sebagai hadis marfu‟. Kami meriwayatkan hadis
ini secara marfu‟ dari sanad lain dari Ammar.
Ath-Thabari meriwayatkannya dalam Al-Mu‟jam Al-Kabir dan dalam sanadnya ada perawi
dhai‟f. Hadis ini memiliki riwayat-riwayat lain yang menguatkan seperti yang disebutkan dalam
ta‟liq At-Ta‟liq. Abu Zinad bin Siraj dan lainnya menyatakan, alasan kenapa orang yang menyatukan tiga hal tersebut berarti imannya telah sempurna karena poros ketiga hal tersebut adalah bila seorang hamba bersikap adil terhadap dirinya sendiri, ia tidak akan meninggalkan suatu kewajiban pun untuk Allah Saw., melainkan pasti ditunaikan dan tidaklah meninggalkan meninggalkan suatu laranganpun melainkan ia tinggalkan, hal ini menyatukan rukun-rukun iman. Berkenaan dengan mengucapkan salam, sikap ini mengandung akhlak-akhlak mulia, sikap tawadlu, tidak merendahkan orang lain, disamping karena mengucapkan salam akan menimbulkan persatuan hati dan cinta.
dipastikan oleh mayoritas fuqaha. Pengarang Al-Hawi menyebutkan pendapat lain, jawabannya adalah; wa rahmatullah. Pendapat ini nyeleneh dan lemah.14
Menurut Abdullah bin Abdurrahman Al Bassam dalam kitabnya “Syarah Bulȗghul Marâm” bahwa, tidak boleh kaum Muslim memulai salam kepada
Yahudi dan Nasrani. Tetapi jika mereka mengucapkan salam terlebih dahulu, maka hal ini dijelaskan dalam Ash-Shahihain dari hadis Anas bahwa Nabi Saw bersabda : “Ap bil seo ng hli kit b membe i s l m kep d mu, m k uc pk nl h w ‟ l ykum (d n k mu jug )”.15
Sayyid Quthb (1906-1966 M). Menurutnya, salam tidak layak diucapkan kepada non Muslim karena disamping salam merupakan penghormatan (tahiyyah) kepada sesama Muslim, salam juga meruapakan budaya Islam yang sangat khas sekaligus sebagai pembeda dari budaya non Muslim.16
Berpijak pada ayat 86 surat al-Nisâ‟, Quthb menjelaskan lebih jauh nilai
tahiyyah (penghormatan) yang ada pada salam. Baginya, tahiyyah yang ada pada
salam mengandung hal yang bersifat karateristik. Ia merupakan manhaj Islami untuk membentuk karakter umat Islam yang khas. Karenanya penggunaan
tahiyyah mempunyai tata aturan (nidzam). Menurutnya, perbedaan tahiyyah
dalam Islam dengan agama lainnya sama halnya perbedaan dalam masalah kiblat dan aqidah.
14
Imam Nawawi, Al-Majmu‟syarah Al Muhadzdzab, terj. H. Abdul Somad Lc., MA dan
Umar Mujtahid : Syarah Al Muhadzdzab (Jakarta: Pustaka Azzam, 2010), h. 1038 15
Abdullah bin Abdurrahman Al Bassam, Syarah bulughul maram, terj. Thahirin Suparta,
dkk. : Taudhih Al Ahkam min Bulugh Al Maram (Jakarta: Pustaka Azzam, 2007), h.363
16
Sayyid Quthb, T fsi i Zhil lil u ‟ n, terj. As‟ad Yasin, dkk. (Jakarta: gema Insani
Di samping itu, kata Quth, tahiyyah menjadi media perubahan yang paralel (kontinu) sekaligus sebagai media komunikasi untuk menguatkan tali asih dan hubungan kekerabatan antara individu-individu dalam masyarakat Islam. Mengucapkan salam dan menjawab tahiyyah dengan cara yang lebih baik adalah cara yang terbaik untuk menumbuhkan hubungan dan ikatan persaudaraan. Ikatan persaudaraan sebagai dampak psikologis yang ditimbulkan dari ucapan salam hanya akan terjadi di kalangan umat Islam. Efektifitas dampak psilokogis akan lebih terasa jika salam disampaikan orang Islam yang belum dikenal sebelumnya.17 Dari pandangannya ini, Quth meyakini bahwa salam sebagai budaya tahiyyah dalam Islam tak akan berdampak psikologis bagi non muslim jika salam itu diucapkan kepada mereka.
Berdasarakan pada ayat yang sama (Al-Qur‟an surat al-Nis ‟ ayat 86),
Ibnu Katsīr (1301-1372 M) memiliki pandangan yang hampir sama.
Menurutnya, tidak boleh bagi seorang Islam mengucapkan salam kepada non Muslim (baca Dzimmî). Namun, kalau sekedar menjawab salam mereka diperbolehkan berdasarkan Hadîts yang diriwayatkan melalui Ibnu Abbâs: Barangsiapa mengucapkan salam dari makhluk Allah (manusia), maka jawablah,
meskipun dia seorang Majusi.18 Meskipun diperbolehkan menjawab salam non
Muslim, tetapi isi jawabannya berbeda dengan jewaban salam kepada salam Muslim. Jawaban salamnya cukup dengan kalimat yang sepadan (bi
mitslihâ/mutamatsilah), tidak boleh lebih dari ucapan salam mereka, bahkan (akan
lebih baik bila dijawab) dengan jawaban yang sesuai dengan ketetapan dua hadîts
17
Sayyid Quthb, T fsi i Zhil lil u ‟ n, terj. As‟ad Yasin, dkk. h. 472
18
Muhammad Nasib ar-Rifa‟i, Taisiru al-Aliyyul Qadir li Ikhtishari Tafsir Ibnu Katsir, Jil.
shohih baik yang melalui Ibnu Umar r.a. maupun Abu Hurairah r.a, yakni kailmat wa alaikum.19
Syekh Mansûr „Ali Nâsif sebagai representasi ulama kontekstualis mempunyai pandangan berbeda dengan Ibnu Katsîr di atas. Menurut Syakh
Mansûr „Ali Nâshif, dalam bukunya ”al-T j”, umat Islam dianjurkan menjawab salam dengan kalimat w „ l ikum itu jika salam Dzimmî itu mengandung maksud
menghina, misalnya dengan kalimat „al-sâm‟ atau dengan kalimat lain yang
memiliki arti yang sama, atau salam mereka tidak dapat didengar dengan sempurna. Tapi, kalau unsur-unsur tersebut tidak ditemukan, maka umat Islam wajib menjawab salam mereka sebagaimana menjawab salam sesama Muslim. Kewajiban tahiyyah yang dijelaskan oleh Al-Qur‟an surat Al-Nisa‟ ayat 86
menurut Syekh Mansûr „Ali Nâshif, tidak melihat status Muslim dan kafir
Dzimmî, tetapi yang dilihat dan dinilai adalah unsur-unsur yang terdapat kalimat
salam.20
Dengan kata lain, salam yang wajib dijawab adalah salam yang betul-betul mengandung nilai dan pesan salam baik dari segi orang yang mengucapkan maupun dari segi kalimat yang diucapkan. Meskipun salam itu keluar dari lisan kafir Dzimmî tetapi diucapkan dengan penuh kesungguhan (berdoa dan bagian dari upaya damai) maka wajib dijawab. Namun sebaliknya, jika dalam salam itu tidak mengandung pesan-pesan salam, seperti doa, maka cukup dengan jawaban
w „ l ikum atau wa alaika, meskipun salam itu diucapkan oleh seorang Islam.
19
Muhammad Nasib ar-Rifa‟i, Taisiru al-Aliyyul Qadir li Ikhtishari Tafsir Ibnu Katsir, Jil.
1, terj. Syihabuddin, ringkasan tafsir ibnu katsir, h. 762
20
Syekh Manshur Ali Nashif al-Taj, al-J m‟u Li Ushul fi l-Hadits al-Rasul, penerjemah
Hal ini berdasar pada Hadîts yang diriwayatkan melalui Salman Al-Farisi, bahwa Nabi Muhammad pernah menjawab salam dengan kalimat “‟alaika”
kepada laki-laki yang mengucapkan salam dengan kalimat lengkap. Kemudian laki-laki itu bertanya kepada Nabi: “Wahai Nabi Allah, demi bapakku, engkau,
dan ibuku, fulan dan fulan datang kepadamu dan mereka mengucapkan salam kepadamu, engkau menjawabnya dengan jawaban yang lebih lengkap daripada
kepadaku”. Nabi menjawab: Sesungguhnya kamu tidak mendo‟akan apa-apa
kepada kami.”21
Hadits Nabi ini semakin memperjelas bahwa menjawab salam seseorang itu tidak berkaitan dengan latar belakang agama (Islam dan Non Islam/ kafir Dzimmî), tetapi didasarkan pada kualitas dan substansi salam.
Pemikiran Syekh Mansûr „Ali Nâshif tentang menjawab salam non
Muslim di atas jauh lebih maju dibandingkan dengan Quthb, Ibnu Katsîr, bahkan dalam masalah mengucapkan salam (ilq ‟ l-salâm) kepada non Muslim pun juga lebih maju dariapada pendapat keduanya. Jika bagi Quthb, dan Ibnu Katsîr haram hukumnya memulai salam kepada non Muslim (pendapat yang sama juga disampaikan oleh Al-Nawawi), bagi Syekh Mansûr „Ali Nâsif, larangan yang terdapat dalam hadits Abu Hurairah r.a. itu tidak mencapai haram, tatapi hanya makruh, bahkan bisa mubah jika salam itu mendatangkan manfaat dan menghindari dari bahaya.22
Muhammad Abduh (1849-1905 M) juga berpandangan bahwa wajib bagi umat Islam menjawab salam non Muslim. Selain itu, dia berpendapat sunnah hukumnya bagi mereka mengucapkan salam (ifsy ‟ s l m) kepada kaum Dzimmî.
21
Muhammad Nasib ar-Rifa‟i, Taisiru al-Aliyyul Qadir li Ikhtishari Tafsir Ibnu Katsir, Jil.
1, terj. Syihabuddin, ringkasan tafsir ibnu katsir, (jakarta: Gema insan press, 1999) h. 761
22
Abduh menempatkan salam untuk syiar; bahwa Islam adalah agama damai dan aman. Al-salâm adalah seuatu yang sangat asasi dalam Islam. umat Islam adalah ahli damai dan pencinta kedamaian.23
Dengan adanya Hadis-hadis tersebut, Abduh semakin yakin bahwa mengucapkan salam kepada non Muslim bukan sesuatu yang dilarang, apalagi salam itu menurutnya merupakan hak umum. Karena dari salam didapatkan dua hal yang didambakan oleh setiap orang yaitu: (1) penghormatan yang mutlak dan (2) terwujudnya keamanan bagi pengucap dan pendengar salam dari tindakan penipuan, pesakitan, dan dari hal-hal yang tidak baik lainnya. Alasan Abduh menempatkan salam sebagai hak umum didasarkan pada Hadits yang diriwayatkan oleh Imam Thabranî dan Baihaqî melalui Abî Umâmah:
“Sesungguhny All h T ‟ l menj dik n s l m seb g i keho m t n um t k mi
dan sebagai keamanan bagi kaum Dzimmî.” 24
Penjelasan Qatadah tentang perbedaan jawaban tersebut, kata Abduh, tidak ada dalilnya baik dalam al-Qur‟an maupun hadis, bahkan penjelasan tersebut bertentangan dengan hadîst yang diriwayatkan Ibn Jarîr dari Ibnu Abbâs r.a.
Rasulullah bersabda:”Barangsiapa dari makhluk Allah yang mengucapkan salam
kepadamu hendaklah dijawab meskipun dia seorang Majusi. Menurut
Abduh, kewajiban membalas penghormatan orang lain sebagaimana dimaksud Al-Qur‟an .S. Al-Nisâ‟ ayat 86 itu sama sekali tidak melihat latar belakang agama dan status sosial seseorang. Penghormatan atau salam yang sepadan
(mutamâtsilah/ruddûha) atau yang lebih baik (ahsana minhâ) itu dasarkan pada
23
Syekh Muhammad Abduh, Tafsîr Al-Manar , Ibid., h. 312
24
aspek kalimat salam yang diucapkan dan aspek tata cara, bahasa tubuh, serta keras dan pelannya suara saat menjawab salam.
Dalam syarah kitab Riyadhus Shalihin, Al-Utsaimin mengungkapkan bahwa al-Salām mempunyai makna al-du‟â (do‟a), yaitu do‟a keselamatan dari
segala sesuatu yang membahayakan, merugikan, atau merusakan.
Syeikh Ahmad Al-Sawi dalam tafsir Al-Sawi ketika menafsirkan waidzâ
huyyitum bitahiyyatin pada QS 4:86 beliau mengatakan bahwa al-Salām
maknanya keselamatan dari segala marabahaya baik di dunia maupun di akhirat. Dalam pendekatan lain, kata “ l-Salâm” termasuk sifat Allah Swt. Ketika
al-Salâm ini dinisbahkan kepada Allah Swt. Berarti juz salamah yang memiliki
keselamatan/keterhindaran. Itulah pendapat ulama seperti yang telah dikutip oleh Quraish Shihab (2000:42-43) hanya saja lanjut beliau beberapa ulama tersebut berbeda dalam memahami istilah ini, ada juga yang berpendapat bahwa Allah yang menghindarkan semua makhluk dari penganiayaan-Nya dan yang kelompok ketiga berpendapat bahwa al-Salâm yang dinisbahkan kepada Allah itu berarti yang memberi salam kepada hamba-hambanya di surga kelak.25
Mengucapkan salam adalah perbuatan menanam kasih sayang dan cinta dalam kalbu. Kesedihan, perlawanan, dan penolakan yang mungkin ada dalam kalbu orang-orang yang dicintai akan hilang lenyap dengan ucapan selamat.
Oleh karena, hukum suatu masalah baru bisa ditetapkan apabila diketahui konteks dan situasinya, yang dengan demikian diketahui pula kemaslahatan dan kemudlaratannya. Bukan hukumnya yang ditetapkan terlebih dahulu dan kemudian hukum itu diterapkan kepada semua peristiwa atau kasus. Hukum harus
tunduk kepada kemaslahatan dan hikmah. Tidak boleh sebaliknya kemaslahatan harus tunduk kepada hukum.26